Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan menenpati
urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak.
Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta orang di seluruh dunia.
Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global,
dimana 80% beban tersebut berada di Negara berkembang. Pada
Negara berkembang di beberapa area 80-90% kasus tidak menerima
pengobatan sama sekali. (Dalam Jurnal Gunawan et al. 2014)

Secara keseluruhan insiden epilepsi pada Negara maju berkisar antara


40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di Negara berkembang,
insiden berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun.
Prevalensi dari epilepsi bervariasi antara 5-10 kasus per 1,000 orang.
(Dalam jurnal Gunawan et al. 2014)

Menurut penelitian dari World Health Organization (WHO),


ditemukan sekitar 50 juta orang diseluruh dunia menderita epilepsi.
Keadaan social ekonomi yang rendah berdampak terhadap peningkatan
risiko kejadian epilepsi. Sekitar 80% dari total penderita epilepsi di
seluruh dunia ditemukan di Negara berkembang. Untuk penderita
epilepsi di Negara Asia Tenggara, prevalensi yang didapatkan di
Thailand sebesar 7,2 per 1.000 anak sekolah. Sedangkan di Singapura
didapatkan prevalensi sebesar 3,5 per 1.000 anak sekolah. Sedangkan
di Indonesia, prevalensi penyakit epilepsi di Indonesia sekitar antara
0,5 4% dan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 penduduk. Jika jumlah
penduduk di Indonesia sekitar 220 juta, maka diperkirakan jumlah
penderita epilepsi pertahunnya adalah 250.000. Angka tersebut
terbilang tinggi jika dibandingkan dengan Thailand dan Singapura
sebagai sesame Asia Tenggara. (dalam jurnal Setiaji A, 2014).

1
2

Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi,


tetapi diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi
di Indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 0rang per tahun. (dalam
jurnal Gunawan et al. 2014).

Epilepsi telah dikenal sejak lama dan secara luas dalam masyarakat
Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah
untuk penyakit ini, seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan.
Walaupun telah dikenal secara luas, rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang penyakit ini mengakibatkan timbulnya stigma yang
mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap penderita epilepsi.
Penderita epilepsi sering digolongkan dalam penyakit gila, kutukan,
atau turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan
disembunyikan oleh keluarganya. Akibat banyak penderita epilepsi
yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan yang cepat
sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan
baik bagi penderita maupun keluarganya. (dalam jurnal Setiaji et al.
2014))

Epilepsi adalah kejang yang terjadi tanpa penyebab metabolik yang


reversibel. Epilepsi dapat berupa kondisi primer atau sekunder.
Epilepsi primer terjadi secara spontan, biasanya pada masa kanak-
kanak, dan memiliki predisposisi genetik. Saat ini sedang dilakukan
pemetaan beberapa gen yang berhubungan epilepsi primer. Epilepsi
sekunder terjadi akibat hipoksemia, cedera kepala, infeksi, stroke, atau
tumor sistem saraf pusat. Epilepsi awitan dewasa biasanya disebabkan
oleh salah satu insiden tersebut.(Corwin j. Elizabeth.2009).

Epilepsi merupakan penyakit kronik yang membutuhkan penanganan


dan edukasi yang lama terhadap penderita dan keluarga. Epilepsi
ditandai dengan gejala yang Khas, yaitu kejang berulang lebih dari 24
jam. Etiologi dari epilepsi adalah multifaktoral, tetapi sekitar 60% dari
3

kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang
lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik. Penyakit ini paling
sering terjadi pada anak dibawah 1 tahun dan orang tua di atas usia 65
tahun. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai epilepsi
menyebabkan banyak penderita epilepsi menjadi buruk. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Cheril P. Shore, susan M. Perkins, dan
Joan K. Austin didapatkan bahwa pengetahuan orang tua mengenai
epilepsi pada anak masih rendah. Rendahnya pengetahuan orang tua
paling sering dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah. (dalam
jurnal Setiaji et al. 2014).

Apabila di sekitar anda ada orang yang mengalami epilepsi yang


disertai hilangnya kesadaran. Sebaiknya Segera amankan penderita
dengan menjauhkannya dari benda-benda berbahaya, menjauhkan dari
benturan (terutama bagian kepala), dan lain sebagainya. Kemudian
Rebahkan dengan kepala miring ke samping agar lidah penderita tidak
menutupi jalan pernapasan dan longgarkan baju yang terlalu ketat agar
penderita mudah bergerak dan bernapas. Biarkan penderita bergerak
semaunya dan jangan meletekkan apa-apa pada mulut penderita. Gigi
penderita epilepsi bisa patah jika pada mulut penderita dimasukkan
benda-benda keras serta bisa menutupi jalan pernafasannya.(Anonim
2016).

Akibat dari masyarakat yang tidak mengetahui penyakit epilepsi. Bagi


masyarakat awam, Epilepsi dianggap sama dengan penyakit jiwa, dan
lebih dari itu, epilepsi dianggap sebagai penyakit menular (melalui
buih yang keluar dari mulut penderita), penyakit keturunan,
menakutkan dan memalukan. Ada beberapa guru juga yang menolak
kehadiran siswa yang menderita epilepsi dengan pertimbangan bahwa
siswa tadi akan menjadi pusat masalah bagi teman kelasnya. (dalam
jurnal Taruna, 2014).
4

Dampak rendahnya pengetahuan mengenai epilepsi yang utama yang


tidak terdeteksinya penyakit epilepsi, sehingga prognosis penyakit
epilepsi menjadi semakin buruk. Salah satu contoh rendahnya
pengetahuan masyarakat adalah masyarakat percaya bahwa epilepsi
disebabkan oleh Roh Jahat dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang suci.Hal itu semua menyebabkan timbulnya
masalah sosial bagi semua penderita epilepsi (dewasa & anak-anak).
(dalam jurnal Setiaji et al. 2014)

Dari data yang diperoleh dari Puskesmas Alalak Selatan tahun 2015
jumlah pasien Epilepsi yang berkunjung ke Puskesmas pada bulan
april-November pada anak-anak usia 0-6 tahun berjumlah 4 orang, dan
usia 7-14 tahun berjumlah 2 orang, dan usia 19-44 tahun berjumlah 70
orang, dan usia 60-69 tahun berjumlah 9 orang, maka dapat
disimpulkan dari jumlah keseluruhan penderita epilepsi mulai dari
bulan april November tahun 2015 berjumlah 85 orang yang dibagi
menjadi 43 orang berjenis kelamin laki-laki dan 42 orang berjenis
kelamin perempuan.

Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 16 desember di


puskesmas Alalak Selatan dan dilakukan wawancara singkat kepada 5
orang masyarakat, 4 orang mengatakan pernah mendengar tentang
penyakit epilepsi namun tidak mengetahui tentang penyakit, sedangkan
hanya 1 orang tidak terlalu mengetahui tentang penyakit epilepsi
namun pernah memberikan pertolongan kepada orang yang terkena
serangan epilepsi (adiknya sendiri) dengan memberi minyak kayu
putih yang digosok di tubuh penderita sambil di urut-urut sampai
serangannya berhenti. Dari permasalahan tersebut, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Masyarakat dengan Penanganan Epilepsi di
Wilayah Kerja Puskesmas Alalak Selatan.
5

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pada permasalahan di atas, rumusan masalahnya adalah :
Apakah Ada Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat
Dengan Penanganan Epilepsi di Wilayah Kerja Puskesmas Alalak
Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Dengan Penanganan
Epilepsi Di Wilayah Kerja Puskesmas Alalak Selatan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Dengan Penanganan Epilepsi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Alalak Selatan.
1.3.2.2. Mengedentifikasi Sikap Masyarakat Dengan
Penanganan Epilepsi Di Wilayah Kerja Puskesmas
Alalak Selatan
1.3.2.3. Mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan
Masyarakat Dengan Penanganan Epilepsi Di Wilayah
Kerja Puskesmas Alalak Selatan.
1.3.2.4. Mengetahui Hubungan Sikap Masyarakat Dengan
Penanganan Epilepsi Di Wilayah Kerja Puskesmas
Alalak Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat mengembangkan
ilmu pengetahuan khususnya tentang epilepsi, bagi pembaca
dan juga sebagai acuan teman-teman dalam melakukan
penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Bagi Peneliti
Dapat mengetahui secara langsung hubungan tingkat
pengetahuan dan sikap masyarakat tentang epilepsi sekaligus
dapat menambah dan memperdalam pengetahuan peneliti
tentang permasalahan epilepsi serta sebagai bahan
6

pembelajaran bagi peneliti dalam melakukan penelitian


selanjutnya.
1.4.3. Bagi Masyarakat
Memberikan masukan bagi keluarga yang mengalami penyakit
epilepsi dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup
yang lebih baik.

1.5. Penelitian Terkait


Setelah dilakukan penelusuran studi kepustakaan dan internet didapat
adanya kemiripan dengan penelitian terdahulu yaitu:
1.5.1. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et al. 2014 dengan
judul Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang
Epilepsi di kelurahan Mahena Kecamatan Tahuna Kabupaten
Sangihe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
tingkat pengetahuan masyarakat mengenai Epilepsi. Penelitian
merupakan suatu stadi deskriptif terhadap 93 orang warga
masyarakat kelurahan Mahena. Kuesioner yang digunakan
terdiri dari 12 pertanyaan yang di isi sendiri oleh warga
masyarakat. Hasil penelitian menunjukan dari93 orang
responden, 60,2% berjenis kelamin perempuan, 28% responden
berusian 16-24 tahun, dan 46,2% berpendidikan tekakhir
SMA/SMK/sederajat. Sebanyak 32,3% bekerja sebagai
PNS/pegawai kantoran. Sebagian besar responden (51,6%)
memiliki pengetahuan cukup mengenai Epilepsi, 40 orang
(43%) responden memiliki tingkat pengetahuan buruk
mengenai Epilepsi, dan hanya 5 orang (5,4%) memiliki tingkat
pengetahuan baik mengenai Epilepsi.

1.5.2. Setiaji A. 2014 dengan judul Penyuluhan tentang penyakit


epilepsi anak terhadap pengetahuan masyarakat umum.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
penyuluhan tentang penyakit anak terhadap peningkatan
pengetahuan orang tua. Penelitian ini menggunakan rancangan
quasi eksperimental one group pretest posttest design. Sampel
7

diambil secara consecutive sampling dan didapatkan 32


orangtua yang berkunjung di posyandu ngudi lestari
sendangmulyo semarang pada bulan april sampai mei 2014.
Peneliti menggunakan kuasioner yang telah di uji validitas dan
reliabilitas pretest, kemudian diberikan penyuluhan tentang
penyakit Epilepsi pada anak kepada responden. Posttest
dilakukan 35 hari setelah intervensi atau penyuluhan. Penelitian
ini menggunakan Paired T-Test untuk analisa statistik. Sebelum
dilakukan penyuluhan, rata-rata tingkat pengetahuan responden
berada dalam kategori sedang yaitu 20,065,967. Setelah
dilakukan penyuluhan, tingkat pengetahuan meningkat menjadi
26,782,756 (p<0,001). Pengetahuan yang diteliti meliputi
definisi, etiologi, gejala, faktor risiko, komplikasi, terapi, dan
perlakuan khusus.

Anda mungkin juga menyukai