PENDAHULUAN
1
2
Epilepsi telah dikenal sejak lama dan secara luas dalam masyarakat
Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa daerah
untuk penyakit ini, seperti sawan, ayan, sekalor, dan celengan.
Walaupun telah dikenal secara luas, rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang penyakit ini mengakibatkan timbulnya stigma yang
mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap penderita epilepsi.
Penderita epilepsi sering digolongkan dalam penyakit gila, kutukan,
atau turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan
disembunyikan oleh keluarganya. Akibat banyak penderita epilepsi
yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan yang cepat
sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan
baik bagi penderita maupun keluarganya. (dalam jurnal Setiaji et al.
2014))
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang
lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik. Penyakit ini paling
sering terjadi pada anak dibawah 1 tahun dan orang tua di atas usia 65
tahun. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai epilepsi
menyebabkan banyak penderita epilepsi menjadi buruk. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Cheril P. Shore, susan M. Perkins, dan
Joan K. Austin didapatkan bahwa pengetahuan orang tua mengenai
epilepsi pada anak masih rendah. Rendahnya pengetahuan orang tua
paling sering dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah. (dalam
jurnal Setiaji et al. 2014).
Dari data yang diperoleh dari Puskesmas Alalak Selatan tahun 2015
jumlah pasien Epilepsi yang berkunjung ke Puskesmas pada bulan
april-November pada anak-anak usia 0-6 tahun berjumlah 4 orang, dan
usia 7-14 tahun berjumlah 2 orang, dan usia 19-44 tahun berjumlah 70
orang, dan usia 60-69 tahun berjumlah 9 orang, maka dapat
disimpulkan dari jumlah keseluruhan penderita epilepsi mulai dari
bulan april November tahun 2015 berjumlah 85 orang yang dibagi
menjadi 43 orang berjenis kelamin laki-laki dan 42 orang berjenis
kelamin perempuan.