Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

BRONCHOPNEMONIA

I. Konsep Penyakit Bronchopneumonia


1.1 Definisi/deskripsi penyakit Bronchopneumonia
Bronchopneumonia adalah radang pada paru-paru yang mempunyai
penyebaran berbercak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di
dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Brunner dan Suddarth, 2002).

Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai


pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi
di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002).

Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah infeksi yang berbercak


dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan juga melibatkan
bronchi. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 2006).

1.2 Etiologi Penyakit Bronchopneumonia


Pada umumnya tubuh terserang Bronchopneumonia karena disebabkan
oleh penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme
patogen. Penyebab Bronchopneumonia yang biasa ditemukan adalah:

1.2.1 Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut.
Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S.
aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti
Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
1.2.2 Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi
droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab
utama pneumonia virus.

1
1.2.3 Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar
melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya
ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
1.2.4 Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC).
Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi.
(Reeves, 2001).
1.2.5 Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia
1.2.5.1 Faktor predisposisi
a. Usia /umur kurang dari 2 bulan
b. Genetik
c. Jenis kelamin: laki-laki
1.2.5.2 Faktor pencetus
a. Gizi kurang
b. BBLR
c. Tidak mendapat ASI memadai
d. Polusi udara
e. Kepadatan tempat tinggal
f. Imunisasi yang tidak memadai
g. Membedung anak berlebihan
h. Defisiensi vitamin

1.3 Tanda dan Gejala


a. Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran
pernafasan bagian atas selama beberapa hari. Pada tahap awal,
penderita bronchopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas
seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk produktif,
hidung kemerahan, saat bernafas menggunakan otot aksesorius dan
bisa timbul sianosis.
b. Demam (39o 40oC) kadang-kadang disertai kejang karena demam
yang tinggi.
c. Anak sangat gelisah,dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk,
yang dicetuskan oleh bernapas dan batuk

2
d. Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan
sianosis sekitar hidung dan mulut.
e. Kadang-kadang disertai muntah dan diare.
f. Adanya bunyi tambahan pernapasan seperti ronchi, whezing.
g. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya
serius.
h. Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mokus yang
menyebabkan atelektasis absorbsi.

1.4 Patofisologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan
oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran
pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus dan jaringan
sekitarnya. . Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret,
sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Setelah
itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan
yang meliputi empat stadium, yaitu :
1.4.1 Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

3
1.4.2 Stadium II/hepatisasi (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (
host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
1.4.3 Stadium III/hepatisasi kelabu (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
1.4.4 Stadium IV/resolusi (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan
sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan
mual.

Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi


yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan
atelektasis. Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan
napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan
penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai
pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga fleura.
Emfisema ( tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru )
adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan
peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada

4
klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan
mengakibatkan terjadinya gagal napas.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada kasus bronchopneumonia oleh bakteri akan terjadi
leukositosis (meningkatnya jumlah neutrofil) (Sandra M.
Nettina, 2001).
b. Pemeriksaan sputum
Bahan pemeriksaan yang terbaik diperoleh dari batuk yang
spontan dan dalam. Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis
dan untuk kultur serta tes sensitifitas untuk mendeteksi agen
infeksius (Barbara C, Long, 1996).
c. Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan
status asam basa (Sandra M. Nettina, 2001).
d. Kultur darah untuk mendeteksi bakteremia
e. Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk
mendeteksi antigen mikroba (Sandra M. Nettina, 2001 : 684).

1.5.2 Pemeriksaan Radiologi


a. Rontgenogram Thoraks
Menunjukkan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai pada
infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infiltrat multiple
seringkali dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus
(Barbara C, Long, 1996).
b. Laringoskopi/ bronkoskopi untuk menentukan apakah jalan
nafas tersumbat oleh benda padat (Sandra M, Nettina, 2001).

1.6 Komplikasi
a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau
kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk
hilang
b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura

5
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang
meradang
d. Infeksi sistemik
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak

1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari
kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-
penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia
ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit
saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi
dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
a. Vaksinasi Pneumokokus
b. Vaksinasi H. Influenza
c. Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya
tahan tubuh rendah
d. Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

1.7.2 Penatalaksaan keperawatan


a. Menjaga kelancaran pernapasan
b. Kebutuhan istirahat
c. Kebutuhan nutrisi dan cairan
d. Mengontrol suhu tubuh
e. Mencegah komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman

1.7.3 Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah:


a. Oksigen 2 liter/menit (sesuai kebutuhan klien)
b. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal
bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip

6
c. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan
salin normal dan beta agonis untuk transpor muskusilier
d. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief
Mansjoer, 2000).

1.7.4 Penatalaksaan farmakologi


Pemberian antibiotik misalnya penisilin G, streptomisin, ampicillin,
gentamisin. Pemilihan jenis antibiotik didasarkan atas umur, keadaan
umum penderita, dan dugaan kuman penyebab:
a. Umur 3 bulan-5 tahun,bila toksis disebabkan oleh streptokokus
pneumonia, Hemofilus influenza atau stafilokokus. Pada umumnya
tidak diketahui penyebabnya, maka secara praktis dipakai :
Kombinasi : penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kg/24 jam IM, 1-
2 kali sehari dan Kloramfenikol 50-100 mg/kg/24 jam IV/oral, 4
kali sehari. Atau kombinasi Ampisilin 50-100 mg/kg/24 jam
IM/IV, 4 kali sehari dan Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4
kali sehari atau kombinasi Eritromisin 50 mg/kg/24 jam, oral 4 kali
sehari dan Kloramfenikol (dosis sama dengan diatas).
b. Anak anak < 5 tahun, yang non toksis, biasanya disebabkan oleh :
Streptokokus pneumonia: o Penisilin prokain IM atau o
Fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/24 jam oral, 4 kali sehari o
Eritromisin atau o Kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 IVFD dekstrose
5 % NaCljam, oral 2 kali sehari. o Oksigen 1-2 L/menit.
ASI/PASI 8 x 20cc per sonde B. Non farmakologi 1.0,225%
350cc / 24 jam Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat,
cukup istirahat dirumah. 2. Simptomatik terhadap batuk. 3. Batuk
yang produktif jangan ditekan dengan antitusif 4. Bila terdapat
obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan
broncodilator. 5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan,
kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah
antibiotik yang sesuai dengan penyebabnya.

7
1.8 Pathway

II. Rencana Asuhan Keperawatan Anak dengan Bronkopneumonia


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
a. Keluhan utama.
Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan
dangkal, diserai pernapasan cuping hidupng, serta sianosis
sekitar hidung dan mulut. Kadang disertai muntah dan
diare.atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir,
anoreksia dan muntah.
b. Riwayat penyakit sekarang

8
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran
pernapasan bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh
dapat naik sangat mendadak sampai 39-40oC dan kadang
disertai kejang karena demam yang tinggi.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan
sistem imun menurun.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi
saluran pernapasan dapat menularkan kepada anggota
keluarga yang lainnya.
2.1.2 Pemeriksaan fisik : data fokus
a. Sistem kardiovaskuler
Takikardi, iritability.
b. Sistem pernapasan
Sesak napas, retraksi dada, melaporkan anak sulit bernapas,
pernapasan cuping hdidung, ronki, wheezing, takipnea,
batuk produktif atau non produktif, pergerakan dada
asimetris, pernapasan tidak teratur/ireguler, kemungkinan
friction rub, perkusi redup pada daerah terjadinya
konsolidasi, ada sputum/sekret. Orang tua cemas dengan
keadaan anaknya yang bertambah sesak dan pilek.
c. Sistem pencernaan
Anak malas minum atau makan, muntah, berat badan
menurun, lemah. Pada orang tua yang dengan tipe keluarga
anak pertama, mungkin belum memahami tentang tujuan
dan cara pemberian makanan/cairan personde.
d. Sistem eliminasi
Anak atau bayi menderita diare, atau dehidrasi, orang tua
mungkin belum memahami alasan anak menderita diare
sampai terjadi dehidrasi (ringan sampai berat).
e. Sistem saraf
Demam, kejang, sakit kepala yang ditandai dengan
menangis terus pada anak-anak atau malas minum, ubun-
ubun cekung.

9
f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal
Tonus otot menurun, lemah secara umum,
g. Sistem endokrin
Tidak ada kelainan
h. Sistem integumen
Turgor kulit menurun, membran mukosa kering, sianosis,
pucat, akral hangat, kulit kering.
i. Sistem penginderaan
Tidak ada kelainan.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.3.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan sputum
c. Analisa gas darah
d. Kultur darah
e. Sampel darah, sputum, dan urin
2.1.3.2 Pemeriksaan radiologi
a. Rontgenogram Thoraks
b. Laringoskopi/ bronkoskopi

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2.2.1 Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi
dari saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan
jalan nafas.

2.2.2 Batasan karakteristik


a. Subjektif
Dispnea
b. Objektif
Suara napas tambahan
Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
Batuk tidak ada atau tidak efektif
Sianosis

10
Kesulitan untuk berbicara
Penurunan suara napas
Ortopnea
Gelisah
Sputum berlebihan
Mata terbelalak

2.2.3 Faktor yang berhubungan


a. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok
pasif
b. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas,
spasme jalan napas.
c. Fisiologis; kelainan dan penyakit

Diagnosa 2: Hipertermi (00007)


2.2.4 Definisi
Peningkaan suhu tubuh di atas rentang normal.

2.2.5 Batasan karakteristik


a. Kulit merah
b. Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal (frekuensi
napas meningkat)
c. Kejang atau konvulsi
d. (kulit) teraba hangat
e. Takikardi
f. Takipnea

2.2.6 Faktor yang berhubungan


a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk
berkeringat
d. Pakaian yang tidak tepat
e. Peningkatan laju metabolisme
f. Obat atau anestesi

11
g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
h. Aktifitas yang berlebihan.

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil: berdasarkan NOC
a. Menunjukkan bersihan
Jalan napas yang efektif yang dibuktikan oleh, pencegahan
aspirasi, status pernapasan: ventilasi tidak terganggu dan
status pernapasan: kepatenan jalan napas.
b. Menunjukkan status pernapasan: kepatenan jalan napas,
yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:

1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada gangguan

Indikator 1 2 3 4 5
Kemudahan bernapas
Frekuensi dan irama pernapasan
Pergerakan sputum keluar dari jalan
napas
Pergerakan sumbatan keluar dari jalan
napas

Pasien akan:

batuk efektif
mengeluarkan secret secara efektif
mempunyai jalan napas yang paten
pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang
jernih
mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang
normal

12
mempunyai fungsi paru dalam batas normal
mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan
dirumah.

2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC


3.3.2.1 Respiratory monitoring
a. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha
respirasi.
Rasional: Mengetahui tingkat gangguan yang
terjadi dan membantu dalam menetukan
intervensi yang akan diberikan.
b. Perhatikan gerakan dada, amati simetris,
penggunaan otot aksesori, retraksi otot
supraclavicular dan interkostal.
Rasional: menunjukkan keparahan dari gangguan
respirasi yang terjadi dan menetukan intervensi
yang akan diberikan.
c. Monitor suara napas tambahan
Rasional: suara napas tambahan dapat menjadi
indikator gangguan kepatenan jalan napas yang
tentunya akan berpengaruh terhadap kecukupan
pertukaran udara.
d. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea,
hyperventilasi, napas kussmaul, napas cheyne-
stokes, apnea, napas biots dan pola ataxic.
Rasional: mengetahui permasalahan jalan napas
yang dialami dan keefektifan pola napas klien
untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.

2.3.2.2 Airway Management


a. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi,
wheezing.
Rasional: Adanya bunyi ronchi menandakan
terdapat penumpukan sekret atau sekret
berlebih di jalan nafas.

13
b. Berikan posisi yang nyaman untuk
mengurangi dispnea.
Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi
paru dan menurunkan upaya pernapasan.
Ventilasi maksimal membuka area atelektasis
dan meningkatkan gerakan sekret ke jalan
nafas besar untuk dikeluarkan.
c. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea;
lakukan penghisapan sesuai keperluan.
Rasional: Mencegah obstruksi atau aspirasi.
Penghisapan dapat diperlukan bia klien tak
mampu mengeluarkan sekret sendiri.
d. Anjurkan asupan cairan adekuat
Rasional: Mengoptimalkan keseimbangan
cairan dan membantu mengencerkan sekret
sehingga mudah dikeluarkan.
e. Ajarkan batuk efektif
Rasional: Fisioterapi dada/ back massage
dapat membantu menjatuhkan secret yang ada
dijalan nafas.

f. Kolaborasi pemberian oksigen


Rasional: Meringankan kerja paru untuk
memenuhi kebutuhan oksigen serta
memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh.
g. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai
indikasi.
Rasional: Broncodilator meningkatkan ukuran
lumen percabangan trakeobronkial sehingga
menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

14
Diagnosa 2: Hipertermi
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama . Maka
suhu tubuh klien mulai normal dengan kriteria hasil :
a. Warna kulit normal
b. Suhu tubuh normal seperti semula

2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional


a. Kaji penyebab hipertermi
Rasional: hipertermi merupakan salah satu
gejala/kompensasi tubuh terhadap adanya infeksi baik
secara local maupun secara sistemik. Hal ini perlu diketahui
sebagai dasar dalam rencana intervensi.
b. Regulasi suhu
Rasional: mencapai atau mempertahankan suhu tubuh
dalam rentang normal
c. Terapi demam beri komper hangat pada dahi atau axilla
Rasional: penatalaksanaan pasien yang mengalami
hiperpireksia akibat factor selain lingkungan, daerah dahi
atau axilla merupakan jaringan tipis dan terdapat pembuluh
darah sehingga proses vasodilatasi pembuluh darah lebih
cepat sehingga pergerakan molekul cepat.
d. Anjurkan ibu untuk memakaikan pakaian tipis dan yang
dapat menyerap keringat
Rasional: pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat
proses evaporasi
e. Beri minum sering tapi sedikit
Rasional: untuk mengganti cairan yang hilang selama
proses evaporasi.
f. Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
Rasional: obat antipiretik bekerja sebagai pengatur kembali
pusat pengatur panas.

15
III. Daftar Pustaka

Smeltzer, Suzanne C.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,


Volume I, Jakarta : EGC.
Martin tucker, Susan. 2000. Standar Perawatan Pasien: Proses
Keperawatan, Diagnosis, Dan Evaluasi halaman 247.EGC:
Jakarta.
Mansjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3 Jilid ke 2.
Media Aesculapius.Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia:Jakarta.
Departemen Kesehatan RI (1996). Pusat Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat, Depkes ; Jakarta.
Brunner & Suddrath. 2002. Keperawatan Medikel Bedah. EGC: Jakarta.
Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan
proses-proses penyakit. EGC: Jakarta.
Sandra M Nettina.2001. Lippincott Manual Praktik Keperawatan. EGC:
Jakarta.

Martapura, Juni 2017

Preceptor Akademik, Preceptor Klinik,

(..) (..)

16

Anda mungkin juga menyukai