Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

A. TINJAUAN PUSTAKA
A.1 Pengertian
Medula spinalis ( spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang
terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian
atas region lumbalis .Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia.
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai
servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada
tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum
tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
A.2 Epidemiologi
Di U.S., insiden trauma sumsum tulang belakang sekitar 5 kasus per satu
juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per tahun. Insiden trauma
sumsum tulang belakang tertinggi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Insiden trauma
sumsum tulang belakang pada pria adalah 81,2 %. Sekitar 80 % pria dengan
trauma sumsum tulang belakang terdapat pada usia 18-25 tahun. 1
SCIWORA (spinal cord injury without radiologic abnormality) terjadi primer
pada anak-anak. Tingginya insiden trauma sumsum tulang belakang komplit yang
berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9
tahun.1
A.3 Etiologi
Etiologi cedera spinal adalah:
1. Trauma misalnya kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kegiatan olah raga, luka
tusuk atau luka tembak.
2. Non trauma seperti spondilitis servikal dengan myelopati, myelitis,
osteoporosis, tumor.
A.4 Klasifikasi
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :

1. Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior,
dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus
vertebra dan mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera
semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
2. Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior
dan kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice
fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak
stabil.
3. Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama
kolum vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
4. Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus
vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture.
5. Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh
pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser,
fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides
mengkategorikan cedera spinal menjadi :
1. Cedera stabil mencakup cedera kompresi korpus vertebra baik anterior
atau lateral dan burst fracture derajat ringan.
1) Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra
torakolumbal umum ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik
tidak lazim ditemukan. Cedera ini menimbulkan rasa sakit, dan
penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah sakit selama
beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap
paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika
baji lebih besar daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi
dianjurkan. Jika tidak, analgetik, korset, dan ambulasi dini
diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak lazim
ditemukan.
2) Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini
stabil, dan defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan
pasien (analgetik dan korset) adalah semua yang dibutuhkan.
3) Kompresi Vertikal
4) Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1)
protrusi diskus ke dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura
ledakan. Yang pertama terjadi pada pasien muda dengan protrusi
nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam tulang berpori
yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di
tempat tidur selama beberapa hari, dan korset untuk beberapa
minggu. Meskipun fraktura ledakan agak stabil, keterlibatan
neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam
kanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang
lebih berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik,
pasien ditangani dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-
gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk menyokong
vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan.
Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari
kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau
posterior. Stabilisasi dengan batang kawat, plat atau graft tulang
penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah dekompresi.
2. Cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi,
dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat. Kombinasi dari
fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan vertebra
yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks.
Fraktura dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10
sampai L1 dan berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan
neurologik.Setelah radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-
Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang tergeser dan
stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalik diindikasikan.
Fraktura Potong : Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau
lateral akibat trauma parah. Pedikel atau prosesus artikularis biasanya
patah. Jika cedera terjadi pada daerah toraks, mengakibatkan paraplegia
lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada daerah lumbal,
jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada
kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi-
rotasi. Cedera Fleksi-Rotasi : Change fracture terjadi akibat tenaga
distraksi seperti pada cedera sabuk pengaman. Terjadi pemisahan
horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil. Stabilisasi bedah
direkomendasikan.

A.4 Patofisiologi
Columna vertebralis berfungsi menyokong tulang belakang dan melindungi
medula spinalis dan saraf sarafnya. Cedera medula spinalis dapat terjadi akibat
trauma columna vertebra atau ligamen. Umumnya tempat terjadinya cedera adalah
pada segmen C1-2, C4-6 dan T11-L2, karena segmen ini paling mobile sehinggga
mudah terjadi cedera. Cedera medula spinalis mengakibatkan perdarahan pada
gray matter medula, edema pada jam jam pertama paska trauma. Mekanisme
utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi, trauma
kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena
hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan kerusakan terjadi akibat
kekuatan akselerasi deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan
atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan perubahan bentuk dari medula spinalis
secara tiba tiba. Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang,
herniasi disk, hematoma, edema, regangan jaringa saraf dan gangguan sirkulasi
pada spinal. Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter
menurunkan perfusi vaskuler dan menurunkan kadar oksigen dan menyebabkan
iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengakibatkan edema
sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali
menjadi normal kurang lenih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang
terjadi adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar
oksigen secara cepat 30 enit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi
norephineprine. Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia,
ruptur vaskuler atau nekrosis jaringan saraf. Trauma medula spinalis dapat
menimbulkan renjatan spinal (spinal shock) yaitu terjadi jika kerusakan secara
tranversal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan. Pemotongan
komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen di
bawah garis kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberpa minggu
sampai beberapa bulan (3 6 minggu).
A.5 Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama tandanya adalah kelumpuhan
flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan
kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih
kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi
otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua
sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya
terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi
mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul
barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang
mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas
atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal
dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
A.6 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan
diagnosa :
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

A.7 Penatalaksanaan Medis


Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita
akan sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus,
terutama simple kompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika
dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
- Laminektomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis,
menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior fusion atau post spinal fusion

3) Perawatan status urologi


Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek
bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut
dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara
penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi
masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-
buli dan reflek detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede
c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya
vaskularisasi didaerah tersebut.

Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis


Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
wishplash Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya
dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6
minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan
supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum
penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8
jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh
hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah
tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

B. PROSES KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai