Sampingnya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari
penyebab.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan).
Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya
jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara
farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da
reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-blockers atau antihistaminika) dan
antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam)
Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga dikenal
sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar
berlawanan dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan untuk
mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang umum, dan antagonis H1 tertentu,
seperti diphenhydramine dan Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia.
Namun, antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-otak, dan dengan
demikian tidak menyebabkan kantuk.
Azelastine
Brompheniramine
Buclizine
Bromodiphenhydramine
Carbinoxamine
Cetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)
Cyclizine
Chlorpheniramine
Chlorodiphenhydramine
Clemastine
Cyproheptadine
Desloratadine
Dexbrompheniramine
Deschlorpheniramine
Dexchlorpheniramine
Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)
Dimetindene
Diphenhydramine (Benadryl)
Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)
Ebastine
Embramine
Fexofenadine
Levocetirizine
Loratadine
Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)
Olopatadine
Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama sebagai relaksan otot
rangka dan anti-Parkinson)
Phenindamine
Pheniramine
Phenyltoloxamine
Promethazine
Pyrilamine
Quetiapine (antipsychotic)
Rupatadine
Tripelennamine
Triprolidine
H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung
dan penyakit gastroesophageal reflux.
Cimetidine
Famotidine
Lafutidine
Nizatidine
Ranitidine
Roxatidine
Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis, meskipun
sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan
efek nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti ADHD, penyakit
Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya memiliki peran
imunomodulator dan sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .
H3-receptor antagonists
A-349,821
ABT-239
Ciproxifan
Clobenpropit
Conessine
Thioperamide
H4-receptor antagonists
Thioperamide
JNJ 7777120
VUF-6002
Lainnya
tritoqualine
catechin
Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan pelepasan
mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki
indikasi serupa.
Cromoglicate (cromolyn)
Nedocromil
Beta 2 (2) adrenergic agonists
DERIVAT ETANOLAMIN
DERIVAT PROPILAMIN Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin kuat.
Feniramin : Avil (Hoechst) Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek
meredakan batuk yang cukup baik, maka digunakan pula dalam obat-obat batuk.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard;
i.v. 1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.
Klorfenamin (Klorfeniramin. Dl-, Methyrit, SKF) Adalah derivate klor dengan
daya 10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya praktis tidak berubah. Efek-
efek sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga digunakan dalam obat batuk.
Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali lebih kuat daripada bentuk dl
(rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin, Schering). Dosis: 3-4 x sehari 3-4mg (dl,
maleat) atau 3-4 x sehari 2mg (bentuk-d).
Bromfeniramin (komb.Ilvico, Merck) Adalah derivate brom yang sama kuatnya
dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro juga aktif dan isomer-levo tidak. Juga
digunakan sebagai obat batuk. Dosis: 3-4 x sehari 3mg (maleat).
Tripolidin : Pro-Actidil Derivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak kuat,
mulai kerjanya pesat dan bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard). Dosis:
oral 1 x sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
DERIVAT PIPERAZIN Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan
piperazin. Pada umumnya bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.
Siklizin : Marzine Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama
digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Namun demikian obat-obat
ini sebaiknya jangan diberikan pada wanita hamil pada trimester pertama.
Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal) adalah derivat metilfenii dengan efek
lebih panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah 1-2 jam. Khusus digunakan sebagai
anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg.
Buklizin (longifene, Syntex) Adalah derivate siklik dari klorsiklizin dengan long-
acting dan mungkin efek antiserotonin. Disamping anti-emetik,juga digunakan
sebagai obat anti pruritus dan untuk menstimulasi nafsu makan. Dosis: oral 1-2 x
sehari 25-50mg.
Homoklorsiklizin (homoclomin, eisai) Berdaya antiserotonin dan dianjurkan pada
pruritus yang bersifat alergi. Dosis: oral 1-3 x sehari 10mg.
Sinarizin : Sturegon (J&J), Cinnipirine(KF) Derivat cinnamyl dari siklizin ini
disamping kerja antihistaminnya juga berdaya vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan
dengan efek relaksasinya terhadap arteriol-arteriol perifer dan di otak (betis,kaki-
tangan) yang disebabkan oleh penghambatan masuknya ion-Ca kedalam sel otot
polos. Mulai kerjanya agak cepat dan bertahan 6-8 jam, efek sedatifnya ringan.
Banyak digunakan sebagai obat pusing-pusing dan kuping berdengung (vertigo,
tinnitus). Dosis: oral 2-3 x sehari 25-50mg.
Flunarizin (Sibelium, Jansen) Adalah derivat difluor dengan daya antihistamin
lemah. Sebagai antagonis-kalsium daya vasorelaksasinya kuat. Digunakan pula pada
vertigo dan sebagai pencegah migran.
DERIVAT FENOTIAZIN Senyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan
antikolinergik yang tidak begitu kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek
neuroleptik.
Banyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas antihistaminergicyang
tidak diinginkan
Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan
AH1 non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.
Etilendiamin Antazolin, tripelanamin, pirilamin.
Etanolamin Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.
Alkilamin Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
Piperazin Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
Piperidin Siproheptadin.
Fenotiasin Prometasin.
Lain-Lain Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin,
mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.
Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol,
levokobastin, loratadin, dan terfenadin.
Farmakokinetik
Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek
sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat metabolisme
utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah.
Penggunaan klinis
Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi
alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya.
Pemilihan antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada
seorang pasien yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin
dapat ditukar dengan jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda.
Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap
antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami
pengurangan gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik
didapat bilamana antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis
vasomotor hasilnya kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat
mengurangi gejala pilek.
Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal.
Manfaatnya pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah
yang berefek sel rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau
AH1 nonsedatif lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan
kepatuhan. Apabila gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau
perlu ditambah simpatomimetik.
Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan setelah
epinefrin. Preparat yang banyak dipakai adalah difenhidramin. Pada serum sickness
antihistamin berfungsi untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil
terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama penyakitnya. Pada dermatitis
kontak dan erupsi obat fikstum, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal.
Hindari penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan sensititasi.
Antihistamin juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi alergi obat dan
reaksi akibat transfusi.
Efek samping
Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman
pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).
Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada
pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat
menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan
urtikaria, eksim dan petekie.
Chlorpheniramin maleat
Mekanisme kerja
Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang
paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek
sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan
tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang,
mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi.
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-
pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative
dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini
sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan
terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri.
Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1 merupakan
efek yang berbahaya.
PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-
kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara simtomatik dan
suportif karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam
yang ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan
yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal
napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan
analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi,
maka diberikan thiopental atau diazepam.
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran
pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan
alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.
www.growupclinic.com
Cetirizine merupakan antihistamin potensial yang memiliki efek sedasi (kantuk) ringan
dengan sifat tambahan anti alergi. Antihistamin masih menjadi pilihan pertama
pengobatan alergi khususnya alergi rinitis. Dianjurkan antihistamin generasi kedua
seperti cetirizine (cetirizine di HCL), desloratadin, fexofenadin, levocetirizine, atau
loratadin.
Cetirizine adalah obat antialergi generasi terbaru dengan bahan aktif Cetirizine
Dihidroklorida terbukti lebih nyaman dan menguntungkan karena tak menimbulkan efek
mengantuk sehingga tak mengganggu aktivitas pasien. Generasi pertama seperti
golongan CTM dan difenhidramin biasanya menimbulkan rasa kantuk yang hebat serta
memiliki dampak kurang nyaman pada pasien seperti jantung berdebar-deba. Sedangkan
antihistamin generasi kedua seperti cetirizine dan azelastine memiliki efek kantuk yang
rendah pada dosis anjuran, tidak menimbulkan rasa berdebar-debar dan penggunaannya
cukup sekali sehari. Berbeda dengan antihistamin generasi pertama, antihistamin generasi
terbaru umumnya bersifat mengurangi efek sedasi (rasa kantuk) dan sebagian lagi bersifat
anti-inflamasi ringan
Cetirizine di HCL yang merupakan antihistamin generasi kedua lebih sedikit menimbulkan efek
sedative pada pasien dibandingkan generasi pertama. Selain efek sedative hebat, antihistamin
generasi pertama seperti CTM dan difenhidramin juga menimbulkan rasa berdebar-debar.
Cetirizine di HCL mampu menurunkan gejala mayor rinitis alergi seperti hidung berair,
bersin, hidung gatal, mata berair lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan loratadin
dan plasebo. Efek cetirizine pada penderita urtikaria idiopatik kronik, pemberian cetirizine
dibandingkan dengan loratadine pemberian selama 14 hari. Ternyata cetirizine menurunkan
gejala urtikaria berupa bentol-bentol kemerahan lebih besar dibandingkan dengan loratadin.
Pengurangan bentol-bentol dengan cetirizine mencapai 95%, dibandingkan 70% dengan
loratadine. Sedangkan kemerahan berkurang 90% pada penerima cetirizine dibandingkan 62
% pada penerima loratadine.
Cetirizine relatif aman diberikan dalam jangka panjang, mengingat obat antihistamin
diberikan jika diperlukan saja. Namun untuk kasus urtikaria kronis, pemakaian obat jangka
panjang dievaluasi setiap 3-6 bulan sekali. Kadang untuk urtikaria antihistamin H1 seperti
cetirizine dikombinasikan dengan antihistamin H2.
Di Amerika Serikat dan Kanada, cetirizine seperti Zyrtec dan Reactine adalah paling sukses
sebagai produk non-makanan tahun 2008, menghasilkan penjualan $ 315.900.000. Hal ini
juga tersedia sebagai obat generik. Di Australia dan Selandia Baru, Zyrtec tersedia di apotek
dan di cetirizine Inggris bisa dijual dalam jumlah terbatas di outlet apapun dan di
supermarket. Pada 2009, Jerman membuat obat generik banyak mengandung cetirizine
tersedia di apotek tanpa resep. Norwegia, Swedia, Finlandia, Polandia dan Israel juga
mengakui cetirizine sebagai obat bebas. Di India, dijual dengan obat bebas merek-nama
CTZ (sebelumnya disebut Cetzine), meskipun tetap diklasifikasikan sebagai H
FARMAKOLOGI
1. Cetirizine melintasi penghalang darah-otak hanya sedikit, mengurangi efek
samping umum obat penenang dengan antihistamin yang lebih tua. Hal ini juga
telah terbukti dapat menghambat kemotaksis eosinofil dan LTB4 rilis. Pada dosis
20 mg, Boone dkk. menemukan bahwa hal itu menghambat ekspresi VCAM-1 pada
pasien dengan dermatitis atopik. Enansiomer levorotary dari cetirizine, yang
dikenal sebagai levocetirizine, adalah bentuk yang lebih aktif.
Dewasa dan anak usia diatas 12 tahun : 1 tablet 10 mg, 1 kali sehari
Penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal : dosis sebaiknya dikurangi
menjadi tablet sehari
Kejadian mengantuk telah dilaporkan pada beberapa pasien yang mengkonsumsi
Cetirizine; oleh karena itu hati-hati bila mengendarai kendaraan atau mengoperasikan
mesin. Penggunaan Cetirizine bersamaan dengan alkohol atau depresan sistem saraf
pusat lainnya sebaiknya dihindari karena dapat terjadi peningkatan penurunan
kewaspadaan dan kerusakan sistem saraf pusat.
Penelitian dengan diazepam dan cimetidine menunjukkan kejadian interaksi obat.
Sama seperti antihistamin lain, disarankan untuk menghindari konsumsi alkohol yang
berlebihan
OVER DOSIS : Mengantuk dapat menjadi gejala overdosis, akibat mengkonsumsi
50 mg sebagai dosis tunggal. Pada anak-anak, bisa terjadi agitasi (gelisah). Apabiia
terjadi overdosis, pengobatan diiakukan pada gejalanya atau pendukungnya, bisa
disarankan untuk menggunakan obat pencernaan secara bersamaan. Hingga saat ini,
tidak ada antidot yang khusus. Cetirizine tidak efektif untuk dihilangkan dengan cara
dialysis, dan dialysis akan tidak efektif kecuali zat yang dapat didiaiisa sama-sama
dicerna.
Penyimpanan: Simpan pada suhu kamar (25 30<sup>o</sup>C) dan terlindung
dari cahaya.
Pemberian decongestan tetes maupun semprot, sebaiknya tidak melebihi 5-7 hari
untuk menghindari rinitis medikamentosa. Dekongestan oral sering dikombinasikan
dengan antihistamin, tetapi sebaiknya tidak diberikan pada penderita penyakit
hipertensi dan jantung. Kortikosteroid nasal bisa diberikan pada penderita rinitis yang
disertai hidung tersumbat dan pemakaian jangka panjang. Obat-obat lain yang
diberikan pada rinitis alergi adalah ipratropium bromida, natrium kromolin, dan
antagonis lekotrin.
Sediaannya saat ini terdiri dari kapsul yang mengandung cetirizine dihidroklorida 10
mg. Obat ini juga tersedia dalam bentuk sirup kemasan botol 60 ml, setiap 5 ml sirup
mengandung cetirizine dihidroklorida 5 mg.
Bentuk kunyah, non-kunyah, dan sirup cetirizine sama-sama diserap secara cepat dan
efektif, dengan makanan diserap teliti mempengaruhi tingkat penyerapan yang
menghasilkan kadar serum puncak satu jam setelah pemberian
Pada saat ini tidak ada interaksi dengan obat lain. Penelitian Diazepam dan Cetirizine
tidak memperlihatkan interaksi. Seperti pemakaian antihistamin lainnya, disarankan
untuktidak mengkonsumsi alkohol.
Seperti banyak obat antihistamin lainnya, cetirizine yang umumnya diresepkan dalam
kombinasi dengan pseudoefedrin hidroklorida, dekongestan. Kombinasi ini
dipasarkan dengan menggunakan nama merek yang sama seperti cetirizine dengan -
D akhiran (Zyrtec-D, Virlix-D, dll) Sebelumnya hanya tersedia dengan resep, Zyrtec
pada November 2007 menjadi tersedia over-the-counter di Amerika Serikat, seperti
yang dilakukan Zyrtec-D di kebanyakan negara.
INDIKASI
1. Pengobatan rhinitis alergi menahun ataupun musiman, dan urtikaria idiopatik
kronik.
2. Indikasi utama cetirizine adalah untuk demam dan alergi lainnya. Karena gejala
gatal-gatal dan kemerahan dalam kondisi ini disebabkan oleh histamin yang bekerja
pada reseptor H1, memblokir reseptor sementara mengurangi gejala-gejala.
6. Sifat cetirizine itu menjadi efektif baik dalam pengobatan pruritus (gatal) dan
sebagai agen anti-inflamasi membuatnya cocok untuk pengobatan dari pruritus
yang terkait dengan lesi
Kontra Indikasi :
Efek samping
Ada beberapa laporan terjadinya efek samping ringan dan sementara, misalnya
Oral drop 30 mL x 1s
(Rp36.000)
Cerini Sanbe Kaplet 10 mg x 2 x 10s
(Rp53.300)
Cetinal Kalbe farma Tablet kunyah 10 mg x 3 x
10s (Rp130000)
Cetirizine Kimia Farma Tablet 10 mg x 3 x 10s
OGB (Rp13.200)
Cetrixal Sandoz Tablet 10 mg x 5 x 10s
(Rp133.000)
Cetrol Solas Kaplet 10 mg x 5 x 10s
(Rp132.400)
Estin Gracia Pharmindo Tablet 10 mg x 2 x 10s
(Rp50.000)Sirup
5 mg/5 mL x 60 mL x 1s
(Rp30.000)
Provided By
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak
dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya.
Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi
atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin
secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena
pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang
banyak menjanjikan keuntungan.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap
tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya
hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus
pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor histamin dapat
dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini,
antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-
blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-
asam)
Mekanisme kerja
Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
Otot polos: secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos
(usus,bronkus).
Permeabilitas kapiler: peninggian permeabilitas kapiler dan udem akibat histamin,
dapat dihambat dengan efektif oleh AH1
Reaksi anafilaksis dan alergi: reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi
autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas
berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin: efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung
tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Susunan saraf pusat: AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek
perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah
insomnia, gelisah dan eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan
waktu reaksi yang lambat. Antihistamin yang relative baru misalnya terfenadin,
astemizol, tidak atau sangat sedikit menembus sawar darah otak sehingga pada
kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau
efek lain pada SSP. AH1 juga efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat
peradangan labirin atau sebab lain.
Anestesi lokal: beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda.
AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi
untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi
daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik: banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk
terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut
kering, kesukaran miksi dan impotensi. Sistem kardiovaskular: dalam dosis terapi,
AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada system kardiovaskular. Beberapa
AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat
anestetik lokalnya
Daftar Lengkap Antihistamin dan Generasinya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari
penyebab.
Antihistamin adalah obat dengan efek antagonis terhadap histamin. Di pasaran banyak
dijumpai berbagai jenis antihistamin dengan berbagai macam indikasinya.
Antihistamin terutama dipergunakan untuk terapi simtomatik terhadap reaksi alergi
atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin berlebih. Penggunaan antihistamin
secara rasional perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi karena
pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai obat yang
banyak menjanjikan keuntungan.
H1-receptor antagonists
Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga dikenal
sebagai antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-
benar berlawanan dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan untuk
mengobati reaksi alergi. Sedasi adalah efek samping yang umum, dan antagonis H1 tertentu,
seperti diphenhydramine dan Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia.
Namun, antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-otak, dan dengan
demikian tidak menyebabkan kantuk.
Azelastine
Brompheniramine
Buclizine
Bromodiphenhydramine
Carbinoxamine
Cetirizine
Chlorpromazine (antipsychotic)
Cyclizine
Chlorpheniramine
Chlorodiphenhydramine
Clemastine
Cyproheptadine
Desloratadine
Dexbrompheniramine
Deschlorpheniramine
Dexchlorpheniramine
Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)
Dimetindene
Diphenhydramine (Benadryl)
Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)
Ebastine
Embramine
Fexofenadine
Levocetirizine
Loratadine
Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)
Olopatadine
Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama sebagai relaksan otot
rangka dan anti-Parkinson)
Phenindamine
Pheniramine
Phenyltoloxamine
Promethazine
Pyrilamine
Quetiapine (antipsychotic)
Rupatadine
Tripelennamine
Triprolidine
H2-receptor antagonists
Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2
reseptor histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung
dan penyakit gastroesophageal reflux.
Cimetidine
Famotidine
Lafutidine
Nizatidine
Ranitidine
Roxatidine
Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis, meskipun
sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan
efek nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti ADHD, penyakit
Alzheimer, dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya memiliki peran
imunomodulator dan sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .
H3-receptor antagonists
A-349,821
ABT-239
Ciproxifan
Clobenpropit
Conessine
Thioperamide
H4-receptor antagonists
Thioperamide
JNJ 7777120
VUF-6002
Lainnya
tritoqualine
catechin
Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan pelepasan
mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki
indikasi serupa.
Cromoglicate (cromolyn)
Nedocromil
Beta 2 (2) adrenergic agonists
Banyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas antihistaminergicyang
tidak diinginkan
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap
tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya
hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus
pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara farmakologi reseptor histamin dapat
dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini,
antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-
blockers atau antihistaminika) dan antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-
asam)
Pada garis besarnya antihistamin dibagi dalam 2 golongan besar
Farmakokinetik
Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek
sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat metabolisme
utama (70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang
tidak berubah.
Mekanisme kerja
Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor
yang spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang
sama dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan
dengan efek sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis
daripada untuk mengatasi serangan.
Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih
kuat dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan
preparat dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast
sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada
yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena
dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa
jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat
untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
Efek samping
Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman
pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan
gangguan kesadaran yang ringan (somnolen).
Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada
pasien dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat
menimbulkan diskrasia darah, panas dan neuropati.
Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan
urtikaria, eksim dan petekie.
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang
paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS
atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek
sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan
tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang,
mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek
samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat
antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi.
Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini
juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-
pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia).
Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative
dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran
pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan
alcohol, obat penenang atau hipnotik sedative.
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat
persediaan dalam rumah tangga.
Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat
usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral
AH1 merupakan efek yang berbahaya.
PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi
halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-
kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar
dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka
dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa,
manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi
dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
PENGOBATAN INTOLSIKASI
Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum
spesifik.
Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturate.
Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat
dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan,
tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptic yang justru akan
mempermudah timbulnya konvulsi.
Bila terjadi konvulsi, maka diberikan thiopental atau diazepam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.PENGERTIAN
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan
atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis
histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada
antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari
tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di
tubuh.
Di samping rhinitis, pollinosis dan alergi makanan/obat, juga banyak digunakan pada
sejumlah gangguan berikut:
1. Asma yang bersifat alergi, guna menanggulangi gejala bronchokonstriksi. Walaupun
kerjanya baik, namun efek keseluruhannya hanya rendah berhubung tidak berdaya terhadap
mediator lain (leukotrien) yang juga mengakibatkan penciutan bronchi. Ada indikasi bahwa
penggunaan dalam bentuk sediaan inhalasi menghasilkan efek yang lebih baik. Obat-obat
ketotifen dan oksatomida berkhasiat mencegah degranulasi dari mastcells dan efektif untuk
mencegah serangan.
2. Sengatan serangga khususnya tawon dan lebah, yang mengandung a.l. histamine dan suatu
enzim yang mengakibatkan pembebasannya dari mastcells. Untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan, obat perlu diberikan segera dan sebaiknya melalui injeksi adrenalin i.m. atau
hidrokortison i.v.
3. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gatal-gatal, terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti
alimemazin (Nedeltran), azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal mungkin berkaitan pula
dengan efek sedative dan efek anestesi local.
4. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan dengan demikian menaikkan
berat badan, yakni siproheptadin ( dan turunannya pizotifen) dan oksatomida. Semua zat ini
berdaya antiserotonin.
5. Sebagai sedativum berdasarkan dayanya menekan SSP, khususnya prometazin dan
difenhidramin serta turunannya. Obat-obat ini juga berkhasiat meredakan rangsangan batuk,
sehingga banyak digunakan dalam sediaan obat batuk popular.
6. Penyakit Parkinson berdasarkan daya antikolinergisnya, khususnya difenhidramin dan
turunan 4-metilnya (orfenadrin) yang juga berkhasiat spasmolitis.
7. Mabuk jalan dan Pusing (vertigo) berdasarkan efek antiemetisnya yang juga berkaitan
dengan khasiat antikolinergis, terutama siklizin,meklizin dan dimenhidrinat, sedangkan
sinarizin terutama digunakan pada vertigo.
8. Shock anafilaksis di samping pemberian adrenalin dan kortikosteroid. selain itu,
antihistaminika banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk selesma dan flu.
Antikolinergik: banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk
terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering,
kesukaran miksi dan impotensi.
Sistem kardiovaskular: dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang
berarti pada system kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin
pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.
2.5. FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul
15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah
pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam.
Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah
setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian
dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan
kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga
pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan
klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah
24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
2.6. MEKANISME KERJA
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa
gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada
3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine. Yang paling
sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah golongan klorfeniramin (biasanya dalam
bentuk klorfeniramin maleat). Antihistamin menghambat efek histamin pada reseptor H1.
Tidak menghambat pelepasan histamin, produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi.
Kebanyakan antihistamin memiliki sifat antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi,
mata kering, dan penglihatan kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi.
Beberapa fenotiazin mempunyai sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki kefek
antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin
sehinnga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum
pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya sama denfan AH 1.
2.7. EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling
sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien
yang perlu banyak tidur.
Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau
penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin,
loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor.
Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual,
muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang
bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping
karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin
nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi. Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien
yang mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
Hal ini juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan
pasien-pasien yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalemia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non
sedative dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
2.8. Obat-Obat Antihistamin
a. Antagonis reseptor H1
Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik
sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan
obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 50 mg, i.v. 10-50 mg
meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan mengobati
perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai bekerjanya lambat,
tetapi berlangsung lama (9 24 jam). Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini
dilarang penggunaannya di Indonesia. Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.
primatour (ACF)
adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat ini adalah
kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus
digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat, yaitu sampai jam dan
berlangsung cukup lama.
Dosis : dewasa 1 tablet.
2.9. Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi
tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan.
Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi
alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion
sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum,
analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin
digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.
(http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-histamin/)
2.10. Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma,
stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction,
penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang
menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus
atau terkait secara struktural.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan
atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis
histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada
antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari
tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di
tubuh.
3.2. SARAN
Kita harus lebih mampu belajar dalam kehidupan keperawatan yang luas, agar kita
mendapatkan wawasan yang luas, pada dasarnya kita harus ditengah-tengah masyarakat, oleh
karena itu jangan lupa masalah yang timbul dalam keperawatan kita sebagai bahan untuk
mengasah kita untuk memecahakan suatu masalah, dan kita harus bisa menyelesaikan
masalah itu dengan sesegera mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Turunan etanolamin ( X= O)
Obat golongan ini memiliki daya kerja seperti atropin
(antikolinergik) dan bekerja serhadap SSP (sedative).
Antihistamin golongan ini antara lain difenhidramin,
dimenhidrinat, klorfenoksamin, karbinoksamin, dan
feniltoloksamin.
3. Turunan propilamin (X = C)
Obat golongan ini memiliki daya antihistamin yang kuat.
Antihistamin golongan ini antara lain feniramin,
khlorpheniramin, brompheniramin, dan tripolidin.
4. Turunan piperazin
Obat golongan ini umumnya memiliki efek long acting.
Antihistamin golongan ini antara lain siklizin, meklozin,
homoklorsiklizin, sinarizin, dan flunarizin.
5. Turunan fenotizin
Obat golongan ini memiliki efek antihistamin dan antikolinergik
yang tidak begitu kuat, tetapi memiliki daya neuroleptik kuat
sehingga digunakan pada keadaan psikosis. Selain itu juga
memiliki efek meredakan batuk, maka sering dipakai untuk
kombinasi obat batuk. Atihistamin golongan ini antara lain
prometazin, tiazinamidum, oksomemazin, dan metdilazin.
8. Golongan sisa
Antihistamin golongan ini antara lain mebhidrolin, dimetinden,
dan difenilpiralin.
a. Difenhidramin ( diphenhdramin)
Efek : antihistamin kuat, sedativ, antikolinergik,
antispasmodik, antiemetik, dan antivertigo.
Penggunaan : obat batuk, obat mabuk perjalanan , anti gatal-
gatal karena alergi,dan obat tambahan pada penyakit
parkinson.
Efek samping : mengantuk
b. Klorpheniramin ( chlorpheniramini)
Efek : antihistamin (efek lebih kuat dari feniramin ),
sedativ ringan
Penggunaan : pengobatan alergi seperti rhinitis alergia,
urtikaria , asma bronchial, dermatitis atopik, eksim alergi, gatal-
gatal dikulit, udema angioneurotik.
Efek samping : mengantuk
c. Prometazin
Efek : antihistamin, meredakan batuk, antiemetik,
sedativ, hipnotik
Penggunaan : obat batuk, obat kombinasi untuk sindrom
parkinson, mencegah mual dan mabuk perjalanan
Efek samping : mengantuk
d. Dimenhidrinat
Efek : antiemetik
Penggunaan : mencegah mabuk perjalanan, dan morning
sicknes saat hamil
Efek samping : mengantuk
e. Antazolin
Efek : antihistamin ( tidak merangsang selaput lendir)
Penggunaan : mengobati gejala alergi pada mata dan hidung.
Efek samping : mengantuk
f. Feniramin ( pheniramin)
Efek : antihistamin kuat , meredakan batuk.
Penggunaan : obat batuk, antialergi
Efek samping :mengantuk
g. Siproheptadin (ciproheptadin)
Efek : antihistamin , menambah nafsu makan
Pengunaan : obat anti alergi, penambah nafsu makan
Efek samping : mengantuk, pusing, mual, dan mulut
kering.selain itu salah satu efek sampingnya adalah
meningkatkan nafsu makan
h. Mebhidrolin napadisilat
Efek : antihistamin ( tidak bersifat menidurkan)
Pengunaan : gatal karena alergi
Efek samping : -
i. Cetirizin
Efek : antihistamin
Penggunaan : perineal rhinitis , rhinitis alergi, urtikaria
idiopatik
Efek samping :-
j. Loratadin
Efek : antihistamin
Penggunaan : rhinitis alergi, urtikaria kronik, dermatitis alergi,
rasa gatal pada hidung dan mata, rasa terbakar pada mata.
Efek samping :-