Anda di halaman 1dari 12

Mata kuliah : Etika dan Hukum Kesehatan

Dosen : Prof. Dr. H. Indar, SH.,MPH

ABORSI SEBAGAI MALPRAKTIK KESEHATAN MASYARAKAT

OLEH:

Tince Yunarwati Anin

0113-10-06-2016

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan pembangunan
kesehatan pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa
Indonesia untuk mencapai kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Tenaga kesehatan sebagai profesi mengabdikan
ilmunya untuk kepentingan umum, mempunyai kebebasan dan kemandirian yang
berorientasi kepada nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan kode etik. Kode etik ini
bertujuan untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa
setiap profesi kesehatan harus senantiasa dilaksanakan dengan niat yang luhur dan dengan
cara yang benar (Simanjuntak S V, 2015).
Dalam UUD 1945 hasil amandemen, dalam Pasal 28 H ayat 1 dikatakan bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Di
sini secara jelas diatur bahwa hidup secara sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan
merupakan hak setiap warga negara dan menjadi kewajiban negara untuk
merealisasikannya. Sejak awal sebelum diatur secara jelas dalam amandemen UUD 1945,
kesehatan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga negara, termasuk didalamnya telah
diatur dalam UN Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, kemudian
dituangkan dalam WHO Basic Document, GENEVA 1973, yang berbunyi, The
enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of
every human being .
Pada tahun 1960-an hak warga negara perihal kesehatan ini tidak menjadi perhatian
utama pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya pencatatan sejarah mengenai hukum
kesehatan yang diatur di Indonesia, yaitu dengan UU Nomor 9 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Kesehatan 1, dimana upaya kesehatan hanya dipandang sebagai suatu
bentuk pencegahan dan pemerantasan suatu penyakit serta pemulihannya dalam
masyarakat. Dari sini dapat dilihat bahwa kesadaran akan kesehatan hanya sampai pada
tingkat asal jangan terkena wabah bukan pada tingkatan menjadi sehat itu sangat
penting. Oleh karena itu pada tahun-tahun setelah berlakunya tersebut banyak terjadi
kasus-kasus menyimpang termasuk di dalamnya berbagai kasus malpraktik tenaga
kesehatan yang pada 2012 dilaporkan mencapai angka 182 kasus yang dilakukan oleh
profesi kedokteran (Budianto A, 2009).
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan
yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah
terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang
tugas/pekerjaannya. Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan
pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan
seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai
dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan
dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Selanjutnya UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan ketentuan Pasal 11 ayat 1b
UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan
malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan. Medical Malpractice seperti yang disebutkan didefinisikan
menurut The Oxford Illustrated Dictionary, 2 nd ed, 1975 bahwa yang dimaksud dengan
malpraktik adalah : sikap tindak yang salah pemberian pelayanan terhadap pasien yang
tidak benar oleh profesi medis, tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan
sendiri sewaktu dalam posisi kepercayaan.
Dalam menjalankan profesinya setiap tenaga kesehatan berpedoman pada standar
dan etika profesi. Etika tersebut merupakan salah satu aplikasi dari filosofi etika. Kode
etik tenaga kesehatan didasarkan pada prinsip benefecience/non-malficience (manfaat/dan
tidak memperburuk keadaan), respect for the autonomy (menghormati hak-hak pasien),
justice (keadilan) and personal integrity (integritas pribadi tenaga medis) (Hardisman,
2010).
Tenaga kesehatan masyarakat memiliki kode etik yang diatur dalam
MUKADIMAH. Etika kesehatan melalui sumpah Hipokrates berfokus pada kewajiban
dokter pada tindakan yang bermanfaat dan melindungi pasien. Etika kesehatan
masyarakat juga memiliki beberapa prinsip yang apabila dilanggar maka perbuatan atau
tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai malpraktik kesehatan masyarakat (H Indar,
2014).
Menilik beberapa teori di atas maka sejatinya peraturan perundang-undangan
maupun berbagai prinsip kode etik tenaga kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dan melindungi masyarakat dari ketidakadilan yang bisa
saja dilakukan oleh profesi tertentu. Jika demikian maka beberapa hal yang menjadi
masalah dalam mewujudkan hal tersebut haruslah mendapat perhatian lebih,
pembangunan kesehatan misalnya mengacu kepada angka kematian ibu dan anak yang
diprogramkan kembali dalam MDGS 2020. Membahas lebih jauh, tindakan yang
berpotensi menyumbang angka kematian ibu adalah aborsi atau pengguguran kandungan.
Aborsi kriminal diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh dokter, bidan
maupun dukun beranak dengan cara menusuk dan meremukkan bayi dalam kandungan
kemudian dikeluarkan dan dibuang (H Indar, 2014).
Dalam konteks tersebut maka aborsi yang tidak sesuai dengan standar operasional,
indikasi dan bersifat beresiko menghilangkan nyawa ibu bertentangan dengan prinsip
etika kesehatan masyarakat yang mengatakan bahwa dalam menjalankan profesinya,
berorientasi kepada masyarakat, bersifat melindungi dan mengantisipasi resiko yang
kesemuanya guna meningkatkan derajat kesehatan sebagai bentuk dukungan terhadap
program pembangunan kesehatan.
Selanjutnya makalah ini akan membahas mengenai aborsi sebagai malpraktik
kesehatan masyarakat.

B. Rumusan masalah
1. Konsep aborsi
2. Contoh kasus malpraktik aborsi
3. Aborsi dalam pandangan hukum pidana
4. Aborsi sebagai malpraktik kesehatan masyarakat

C. Tujuan penulisan
1. Memahami konsep aborsi
2. Mengetahui kasus malpraktik aborsi yang pernah terjadi
3. Mengetahui aspek legal dan ilegal dalam pandangan hukum pidana aborsi
4. Mengetahui tindakan aborsi yang melanggar kode etik profesi kesehatan masyarakat
(malpraktik)

BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Aborsi
Dalam jurnalnya Napitupulu A (2013), menjelaskan bahwa aborsi atau lazim disebut
dengan pengguguran kandungan masuk ke peradaban manusia disebabkan karena
manusia tidak menghendaki kehamilan tersebut. Sejak berabad-abad yang silam berbagai
bangsa telah mengenal dan memakai beberapa jenis tumbuhan yang berkhasiat untuk
memacu kontraksi rahim guna merontokkan atau menjatuhkan janin. Membahas
persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk
dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang
aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana mana dan bisa saja dilakukan secara ilegal.
Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat
kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan
aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana.
Namun dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu
dapat dibenarkan apabila merupakan abortus provocatus medicalis. Sedangkan aborsi
yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus provocatus
criminalis.
Abortus itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia (abortus provocatus)
maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan
karena perbuatan manusia (abortus spontatus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan
manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita
yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut
maka kandungannya harus digugurkan (abortus therapeuticius). Disamping itu karena
alasan alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus criminalis). Masalah
pengguguran kandungan pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan nilai-
nilai serta norma norma agama yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, terkait
dengan hukum pidana positif di Indonesia pengaturan masalah pengguguran kandungan
tersebut terdapat pada Pasal 346, 347, 348, 349, dan 350 KUHP. Menurut ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP tersebut abortus criminalis meliputi
perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
1. Menggugurkan Kandungan (Afdrijving Van de vrucht atau vrucht afdrijving)
2. Membunuh Kandungan (de dood van vrucht veroorzaken atau vrucht doden)
B. Contoh kasus
Di Kediri tahun 2013, seorang wanita berinisial SN (23) tewas setelah berusaha
menggugurkan kandungannya. Diketahui bahwa SN terlibat hubungan gelap dengan
seorang pria beristri berinisial PB (34) yang mengakibatkan SN hamil 3 bulan.
Selanjutnya keduanya sepakat untuk menggugurkan kandungan tersebut dengan
mendatangi seorang petugas kesehatan inisial E yang kesehariannya bekerja sebagai
petugas kesehatan di Puskesmas setempat. Petugas E yang adalah seorang lulusan ilmu
kesehatan masyarakat awalnya menolak tapi kemudian menyetujui melakukan tindakan
tersebut setelah ditawarkan imbalan uang sebesar Rp.2.100.000. Selanjutnya dengan
meminta bantuan dari seorang rekan bidan mengenai beberapa resep maka petugas E
menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan
Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh SN yang menurut penuturan E obat
tersebut dapat menyebabkan kontraksi pada rahim dan mengeluarkan janin dengan
sendirinya. Sayangnya 2 jam berselang SN kehilangan nyawa akibat kontraksi hebat dan
perdarahan terus menerus, SN sempat pingsan tapi kemudian tewas setelah dilarikan ke
UGD terdekat.

C. Aborsi dalam pandangan hukum pidana


Pada dasarnya masalah aborsi (pengguguran kandungan) yang dikualifikasikan
sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana hanya dapat kita lihat dalam KUHP
walaupun dalam Undang undang No 36 tahun 2009 memuat juga sanksi terhadap
perbuatan aborsi tersebut. KUHP mengatur berbagai kejahatan maupun pelanggaran.
Salah satu kejahatan yang diatur di dalam KUHP adalah masalah aborsi kriminalis .
ketentuan mengenai aborsi kriminalis dapat dilihat dalam bab XIV Buku ke II KUHP
tentang kejahatan terhadap nyawa ( khususnya Pasal 346349). Adapun rumusan
selengkapnya pasal-pasal tersebut :
Pasal 299:
1. Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya
supaya diobati dengan sengaja memberitahukan atau ditimbulkan harapan,
bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam pidana
penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah
2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan atau jika ia
seorang tabib, bidan, atau juru obat, pidananya tersebut ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian.
Pasal 346:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam denga pidana penjara paling lama 4 tahun
Pasal 347:
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana
penjara paling lama 15 tahun.
Pasal 349:
Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang
tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan yang diterangkan pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa
yang dapat dihukum, menurut KUHP dalam kasus aborsi ini adalah :
a. Pelaksanaan aborsi, yaitu tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan
hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiga dan bisa juga dicabut hak untuk
berpraktek.
b. Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal 4 tahun
c. Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya
aborsi itu dihukum dengan hukuman bervariasi.
Undang undang kesehatan mengatur mengenai masalah aborsi yang secara
substansial berbeda dengan KUHP. Dalam undang-undang tersebut aborsi diatur dalam
Pasal 75 Pasal 78. Menurut undang-undang kesehatan dapat dilakukan apabila :
Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan / atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan / ataucacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan.
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
Pasal UU No 36 Tahun 2009
a. Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis .
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh mentri.
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
mentri.
Ancaman pidana yang diberikan terhadap pelaku aborsi provocatus kriminalis jauh
lebih berat dari pada ancaman pidana sejenis KUHP. Dalam Pasal 194 Undang-undang
No 36 Tahun 2009 pidana yang diancam adalah pidana penjara paling lama 10 tahun Dan
pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.000,- (satu milyar). Sedangkan dalam
KUHP, Pidana yang diancam paling lama hanya 4 tahun penjara atau denda paling banyak
tiga ribu rupiah (Pasal 299 KUHP), paling lama empat tahun penjara (Pasal 346 KUHP),
Paling lama dua belas tahun penjara (Pasal 347 KUHP), dan paling lama lima tahun enam
bulan penjara (Pasal 348 KUHP). Ketentuan pidana mengenai aborsi provocatus
kriminalis dalam Undang-undang No 36 Tahun 2009 dianggap bagus karena mengandung
umum dan prevensi khusus untuk menekan angka kejahatan aborsi kriminalis. Dengan
merasakan ancaman pidana yang demikian beratnya itu, diharapkan para pelaku aborsi
criminalis menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya, dalam dunia hukum hal ini
disebut sebagai prevensi khusus, yaitu usaha pencegahannya agar pelaku aborsi
provocatus kriminalis tidak lagi mengulangi perbuatannya. Sedangkan prevensi umumnya
berlaku bagi warga masyarakat karena mempertimbangkan baik-baik sebelum melakukan
aborsi dari pada terkena sanksi pidana yang amat berat tersebut. Prevensi umum dan
prevensi khusus inilah yang diharapkan oleh para pembentuk Undang-undang dapat
menekan seminimal mungkin angka kejahatan aborsi provocatus di Indonesia. Dalam
merumuskan ancaman pidananya, pembentuk undang-undang hanya memberi batasan
maksimal, yaitu paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000.000,-
(satu miliar rupiah). Dengan demikian, seorang pelaku aborsi provocatus kriminalis yang
terbukti bersalah di muka pengadilan dapat dijatuhi pidana seringan-ringannya, misalnya
misalnya pidana kurungan 10 bulan dan denda Rp.10.000,- (sepuluhribu rupiah). Inilah
kelemahan yang mendasar pada ketentuan pidana aborsi provocatus kriminalis dalam
Undang-undang No 36 Tahun 2009. Dikatakan mendasar, karena tujuan utama para
pembentuk undang-undang semula untuk mengadakan prevensi khusus dan prevensi
umum terhadap aborsi provocatus kriminalis belum mencapai hasil yang maksimal
karena dalam sanksi pidananya tidak ditentukan batas minimal khusus.

D. Aborsi sebagai malpraktik kesehatan masyarakat


Melihat contoh kasus pada poin B, maka beberapa hal yang dianggap melanggar kode
etik profesi kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Petugas kesehatan menggugurkan kandungan setelah ditawari uang sejumlah
Rp.2.100.000 bertentangan dengan kode etik kewajiban umum yang tertuang dalam
BAB 1 pasal 2 yang berbunyi profesi kesehatan masyarakat lebih mementingkan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi
2. Petugas kesehatan yang menggunakan Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur
dengan Cynaco Balamin yang seharusnya digunakan untuk membantu proses
persalinan dianggap melanggar ketentuan kode etik BAB 1 pasal 3 yang mengabaikan
prinsip efektivitas-efesiensi atau penggunaan yang tidak tepat guna.
3. Petugas kesehatan masyarakat yang melakukan pengguguran kandungan tidak sesuai
dengan latar belakang ilmu ataupun keahliannya. Hal ini melanggar kode etik BAB 1
pasal 5 yang mengatakan bahwa tenaga kesehatan masyarakat hanya melakukan
profesi dan keahliannya.
4. Pengguguran kandungan yang berujung pada tewasnya seseorang dianggap sebagai
bentuk pelanggaran keras terhadap etika profesi yang mewajibkan untuk melindungi
masyarakat (BAB II pasal 9 dan pasal 12).
5. Tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan oleh E mengabaikan standar
profesinalisme seorang ahli kesehatan masyarakat, tindakan yang tidak berdasar dan
tanpa memikirkan resiko bertentangan dengan kode etik profesi BAB II pasal 11 dan
pasal 13 yang mengharuskan setiap tenaga ahli kesehatan masyarakat haruslah
melakukan tindakan sesuai dengan prosedur profesionalitas, memiliki dasar dan
meminimalisir resiko.
Jika mengkaji lebih jauh maka pengguguran kandungan tidak hanya melanggar kode
etik kesehatan masyarakat tetapi juga mengabaikan prinsip filosofi etika tenaga kesehatan
secara umum yang mengutamakan benefecience/non-malficience (manfaat/dan tidak
memperburuk keadaan), respect for the autonomy (menghormati hak-hak pasien), justice
(keadilan) and personal integrity (integritas pribadi tenaga medis).
Pengguguran kandungan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masyarakat tidak
sesuai dengan latar belakang ilmu dan profesinya, bersifat merugikan dan tanpa prosedur
profesionalitas dikatakan sebagai malpraktik sesuai dengan The Oxford Illustrated
Dictionary, 2 nd ed, 1975 bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah : sikap
tindak yang salah pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi
medis, tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi
kepercayaan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengaturan Hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan UU Kesehatan No 36 Tahun
2009 Menurut Pengaturan Hukum, dalam hukum pidana Indonesia (KUHP) abortus
provocatus criminalis dilarang dan diancam hukuman pidana tanpa memandang latar
belakang dilakukannya dan orang yang melakukan yaitu semua orang baik pelaku
maupun penolong abortus.
Pengguguran kandungan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masyarakat tidak sesuai
dengan latar belakang ilmu dan profesinya, bersifat merugikan dan tanpa prosedur
profesionalitas dikatakan sebagai malpraktik sesuai dengan The Oxford Illustrated
Dictionary, 2 nd ed, 1975 bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah : sikap
tindak yang salah pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi
medis, tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri sewaktu dalam posisi
kepercayaan.

B. Saran
Dalam menjalankan profesinya, setiap tenaga kesehatan harus berpegang pada prinsip dan
kode etik profesi, peraturan perundanga-undangan dan tidak melalaikan kewajibannya
serta wajib melakukan setiap prosedur sesuai standar opersional yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Budianto A, 2009. Kasus Malpraktek Antara Penegakkan Hukum dan Rasa Keadilan
Masyarakat. (online) (http://indonesia.digitaljournals.org) di akses tanggal 24 April
2017.

Hardisman, 2015. Opini Masyarakat Tentang Malpraktek Kedokteran. (online)


(http://jurnalmka.fk.unand.ac.id ) di akses tanggal 24 April 2017.

H Indar, 2014. Konsep dan Prespektif Etika dan Hukum Kesehatan Masyarakat. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta.

Napitupulu A Annete, 2013. Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi di
Indonesia. (online) (http://jurnal.usu.ac.id) di akses tanggal 24 April 2017.

Simanjuntak V Sandy, 2015. Pertanggungjawaban Pidana Oleh Dokter yang Melakukan


Tindakan Malpraktek. (online) (http://e-journal.uajy.ac.id) di akses tanggal 24 April
2017.
Panggabean P Henry, 2014. Penanganan Kasus Malpraktek yang Responsif Dalam Sistem
Peradilan Indonesia. (online) (http://dspace.library.uph.edu ) di akses tanggal 24 April
2017.

Wiradharma Danny & Hartati S Dionisia, 2010. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran
(online) (http://digilib.uinsby.ac.id) di akses tanggal 24 April 2017.

Anda mungkin juga menyukai