Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar belakang
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar seluruh

dunia. Sampai saat ini penyakit cacing masih tetap merupakan suatu masalah karena

kondisi sosial dan ekonomi. Di perkirakan lebih dari 60% anak-anak di indonesia

menderita suatu infeksi cacing, rendahnya mutu sanitasi menjadi penyebabnya

(Zulkoni, 2011), Infeksi cacing ini juga dapat berakibat buruk bagi keadaan gizi dan

dapat mengakibatkan anemia. Adanya ganguan gizi dan anemi ini dapat

meneyebabkan penurunan daya tahan tubuh dengan kemunduran kemampuan belajar

dan produktivitas kerja (Rampengan, 2006).

Penyakit infeksi kecacingan biasanya disebabkan oleh parasit dari nematoda

usus. Nematoda usus mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing

yang hidup sebagai parasit. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang

ditularkan melalui tanah yang biasa disebut dengan Soil Transmitted Helmints (STH)

yang terpenting bagi manusia yaitu A.lumbricoides, N.americanus, A.duodenale,

T.trichiura, S.stercoralis dan beberapa spesies Trichostrongylus.

(Gandahusada,S.,dkk, 2002). Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda

usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan

sehingga terjadi perubahan dari stadium tidak infektif menjadi stadium infektif.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Subianto (2009), pravalensi infeksi

nematode usus pada anak-anak dusun sirap sari menunjukkan pravelensi infeksi

1
2

nematode ini sebesar 10% diantaranya infeksi terbesar 100 merupakan infeksi

Ascaris lumbricoides. Hasil penelitian Billy dkk (2011) pada murid sekolah dasar di

Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa menunjukkan bahwa

infestasi kecacingan sebesar 12 % yang terdiri atas: A. lumbricoides dan A.

duodenale sebesar 36 %, T. trichura sebesar 9 % dan O. vermicularis sebesar 18 %.

Penularan (trasmisi) nematoda ini terjadi secara langsung maupun tidak

langsung, penularan berkaitan erat dengan hygiene dan sanitasi lingkungan yang

buruk, aspek sosial, ekonomi, dan tingkat pengetahuan yang kurang, ada pun cara

penularanya yaitu memakan telur infektif (telur berisi embrio), larva (filarifrom)

menembus kulit, memakan larva dalam kista, dan perantara vektor (arftropoda)

(Onggowaluyo, 2002).

Pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, dan perilaku manusia sangat

berperan pada penularan infeksi cacing. Pencemaran tanah dengan tinja merupakan

media penularan yang baik bagi penularan Soil Transmitted Helminths (STH). Telur

yang dibuahi akan berkembang dengan cepat pada keadaan lingkungan yang

menguntungkan dan menjadi telur yang infektif dalam waktu beberapa minggu.

Infeksi pada manusia terjadi melalui tangan yang tercemar telur cacing yang infektif,

lalu masuk kemulut bersama makanan atau larva menembus kulit pada infeksi cacing

tambang (Onggowaluyo, 2011). Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan perilaku

yang terpenting diantaranya adalah mencuci tangan sebelum makan atau sebelum

mengelolah makanan. Jangan memakan sesuatu yang telah jatuh tanpa mencucinya
3

sampai bersih terlebih dahulu sebelum diolah atau dimakan kembali (Zulkoni,A.,

2011).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di RT.03 desa Sarang Burung

Kecamatan Jambi Luar kota Kota Kab, Muaro Jambi, anak-anak usia sekolah dasar di

desa Sarang Burung yang berjumlah 37 orang berdasar kan data dari kepala RT 03

Desa Sarang Burung , daerah ini dengan keadaan lingkungan dan sanitasi yang

kurang baik, keberadaan tempat tinggal penduduk daerah aliran sungai. Batang

Hari yang terkadang sungai dapat meluap hingga ke perkarangan rumah. Sebagian

besar warga tidak mempunyai jamban pribadi dan membuang air besar di sungai,

Anak-anak masih kurang pengetahuannya dalam menjaga kebersihan diri sebagian

besar anak-anak tersebut tidak menggunakan alas kaki, hal ini sangat berpengaruh

terhadap potensi kejadian kecacingan.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti Gambaran infeksi

Soil Transmitted Helminths (STH) pada anak-anak usia sekolah dasar RT.03 di desa

Sarang Burung Kec. Jambi Luar kota Kab. Muaro Jambi.

2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran infeksi cacing golongan STH pada anak-anak usia

sekolah dasar RT.03 di desa Sarang Burung Jambi Luar kota Kab. Muaro Jambi.
3 Tujuan penelitian
1 Tujuan Umum
4

Untuk mengetahui gambaran Infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak-

anak usia sekolah dasar RT.03 di desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar Kota

Kab.Muaro Jambi.
2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui persentase infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak-

anak usia sekolah dasar RT.03 di desa Sarang Burung Kec. Jambi Luar kota

Kab. Muaro Jambi berdasarkan PHBS


2. Untuk mengetahui adanya infeksi Soil Transmitted Helmints pada anak-anak

usia sekolah dasar RT.03 di desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar Kota

Kab.Muaro Jambi.
3. Untuk mengetahui persentase infeksi Soil Transmitted Helminths pada anak-

anak usia sekolah dasar RT.03 laki-laki dan perempuan di desa Sarang Burung

Kec. Jambi Luar Kota Kab. Muaro Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Penulis

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dibidang parasitologi

yang diperoleh selama Kuliah di Akademi Analis Kesehatan Provinsi Jambi.

1.4.2 Bagi Akademik

Menambah informasi baru yang berhubungan dengan faktor-faktor

penyebab penularan penyakit STH dan sebagai buku baca perpustakaan

Akademi Analis Kesehatan Provinsi Jambi.


5

2 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat tentang infeksi kecacingan serta sebagai masukan untuk

meningkatkan upaya prilaku hidup sehat sebagai pencegahan terhadap infeksi

kecacingan.

5 Batasan Masalah

Untuk memperkecil pembahasan yang meluas, maka penulis

membatasi masalah sebagai berikut :

1 Penelitian dilakukan pada anak-anak usia sekolah dasar RT.03 di desa

Sarang Burung Kec. Jambi Luar Kota Kab. Muaro Jambi.


2 Gambaran infeksi cacing golongan Soil Transmitted Helminths total

sampling dilakukan menggunakan metode flotasi.


3 Penelitian dilakukan pada bulan september 2015.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nematoda

Nematoda berasal dari bahasa Yunani nema yang artinya benang, Nematoda

adalah bentuknya panjang, silindrik (gilig) dan tidak bersegmen bila tubuhnya

bilateral simetrik. Panjang cacing ini berpariasi dari beberapa milimeter hingga satu

meter (Onggowaluyu, 2002).


6

Nematoda mempunyai spesies yang terbesar di antara cacing-cacing yang

hidup sebagai parasit, cacing ini berbeda-beda dalam habitat, dan hubungan hospes

parasit (host-parasite relation sipsh). Biasanya sistem pencernaan eksresi dan

reproduksi terpisah. pada umumnya cacing bertelur, tetapi ada juga yang vivipar yang

berkembang biak secara pathogenesis. Cacing dewasa tidak bertambah banyak di

dalam badan manusia. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva

sebanyak 20 sampai 200.000 perhari. Telur atau larva ini di keluarkan dari badan

hospes dengan tinja (Sutanto, 2008).

1.1. Pembagian Nematoda


1.1.1. Nematoda Usus

Nematoda Usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi masyarakat

Indonesia karena masih banyak yang mengidap cacing ini sehubung banyaknya faktor

yang menunjang untuk hidup suburnya cacing parasiter ini. Faktor penunjang ini

antara lain keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan, kepadatan

penduduk serta masih berkembang kebiasaan yang kurang baik. Berdasarkan fungsi

tanah pada siklus hidup cacing ini, Nematoda Usus dibagi atas dua kelompok yaitu

Soil Transmitted Helmints dan Non Soil Transmitted Helmints (Natadisastra,D dan

Agoes,R.,2009).

2.2.2. Nematoda Darah dan Jaringan Pada Manusia

Cacing dewasa Nematoda darah dan jaringan hidup dalam sistem limfatik,

subkutan, dan jaringan ikat pada tubuh manusia. Spesies Nematoda jaringan dan
7

darah yang hidup pada manusia adalah W.bancrofti, B.malayi, B.timori, M.ozzardi,

O.volvulus, Loa loa, dan D.medinensis.Pada umumnya manusia sebagai hospes

definitif, sedangkan hospes perantaranya nyamuk, lalat, dan sebangsa Copepoda

(Muslim,M., 2009).

2.3 Soil Transmitted Helminths (STH)


Merupakan nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah

untuk proses pematangan untuk menjadi stadium infektif, beberapa yang termasuk

kelompok nematoda ini adalah A. lumbricoides, Ne. americanus, A. duodenale, T.

trichiura, S. stercoralis dan A. cantonensis (Natadisastra, 2009).

2.4 Ascaris lumbricoides

Penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides adalah Askariasis.

Askariasis adalah penyakit cacing yang paling besar prevalensinya diantara penyakit

cacing lainnya . Penyakit ini diperkirakan menginfeksi lebih dari 1 miliar orang.

Tingginya prevalensi ini terutama karena banyaknya telur disertai dengan daya tahan

telur yang mengandung larva cacing pada keadaan tanah yang kondusif (Widoyono,

2011).

2.4.1 Klasifikasi
8

Menurut Chandler dan Read, dalam Irianto (2013), Klasifikasi Ascaris

lumbricoides adalah :

Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub-Kelas : Phasmida

Ordo : Rhabdidata

Sub-ordo : Ascaridata

Famalia : Ascarididae

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides

2.4.2 Hospes dan Nama penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes dari Ascaris lumbricoides. Penyakit

yang disebabkan disebut askariasis (Sutanto 2008).

2.4.3 Morfologi

Cacing jantan memiliki ukuran panjang 15-31 cm dengan diameter 2 mm-4

mm, sedangkan cacing betina 20-35 cm, kadang-kadang sampai mencapai 49 cm,

dengan diameter 3 mm-6 mm, untuk dapat membedakan cacing betina dengan cacing

jantan dapat di lihat pada bagian ekornya (ujung posterior), dimana cacing jantan
9

ujung ekornya melengkung kearah ventral. Cacing jantan mempunyai sepasang

spikula yang bentuknya sederhana dan silindris, sebagai alat kopulasi, dengan ukuran

panjang 2 mm- 3,5 mm dan ujungnyan meruncing, sedangkan cacing betina memiliki

vulva yang letaknya dibagian ventral sepertiga dari panjang tubuh dan dari ujung

kepala. Vagina bercabang membentuk pasangan saluran genital. Saluran genital

terdiri dari seminal reseptakulum, oviduk, ovarium, dan saluran-salurannya berkelok-

kelok menuju bagian posterior tubuhnya yang dapat berisi 200.000 telur (Irianto,

2013).

Gambar 1. Cacing Ascaris lumbricoides


Sumber : (http//:www.google.com

Telur Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah

dibuahi (fertilized eggs) dan telur yang belum dibuahi (unfertilized eggs).

Fertilizedeggs berukuran 60-45 m, bulat atau oval, dengan dinding telur yang kuat,

terdiri atas 3 lapis, yaitu lapisan luar terdiri atas lapisan albuminoid dengan

permukaan tidak rata, berigi-rigi, berwarna Kecoklat-kecoklatan karena pigmen


10

empedu lapisan tengah merupakan lapisan chitin, terdiri atas polisakarida dan lapisan

dalam, membrane pitellin yang terdiri atas sterol yang liat sehingga telur dapat tahan

sampai satu tahun dan terapung di dalam larutan mengalami garam jenuh (pekat).

Sedangkan telur tidak di buahi (unfertilized eggs), telur ini di hasilkan oleh betina

yang tidak subur atau terlalu cepat di keluarkan oleh betina yang subur, telur ini

berdinding tipis akan tenggelam larutan jenuh (Natadisastra, 2009).

Gambar 2: Telur Cacing Ascaris Lumbricoides

Sumber ://www.google.id/search/HTML/ImageLibrary/telur+Ascariasis_il.htm

2.4.4 Siklus hidup

Proses penularan askariasis pada manusia dapat dilihat dari siklus hidup

cacing. Telur yang dikeluarkan oleh cacing melalui tinja, lalu membutuhkan tanah

untuk berkembang biak, dengan keadaan lingkungan yang sesuai, telur ini akan

berkembang menjadi embrio dan menjadi larva yang infektif didalam telur, Apabila

karena suatu sebab telur tersebut tertelan oleh manusia , maka didalam usus larvaakan
11

menetas, keluar dan menembus dinding usus halus menuju ke sistem peredaran darah.

Larva akan menuju ke paru, trakea, faring dan tertelan masuk ke esophagus, hingga

sampai ke usus halus. Larva menjadi dewasa di usus halus, Perjalanan siklus hidup

cacing ini berlangsung selama 65-70 hari, Untuk lebih jelasnya siklus hidup cacing

ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Widoyono,2008).

Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides


Sumber : www.practicalscience.com

2.4.5 Patologi dan gejala klinis

Gejala klinis tergantung dari beberapa hal, antara lain beratnya infeksi,

keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap infeksi

cacing pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada

gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin atau

karena cacing dewasa keluar bersama tinja. Gejala dapat timbul oleh cacing dewasa

ataupun oleh stadium larva, (Nadadisastra, 2009).


12

2.4.6 Diagnosis

Diagnosa dapat di tegakkan berdasarkan menemukan telur cacing dalam tinja

(melalui pemeriksaan langsung atau metode konsentrasi), larva dalam sputum, cacing

dewasa keluar dari mulut, anus, atau dari hidung dan dapat juga dilakukan

mengidentifikasikan cacing dewasa keluar dari tubuh setelah memakan obat (Irianto,

2013).

2.4.7 Pengobatan

Untuk pengobatan ascariasis dapat menggunakan beberapa obat yaitu pyrantel

pamoate, levamisole hydrochorida, garam piperazine (Natadisastra, 2009).

2.5 Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)

Infeksi cacing ini tersebar seluruh dunia, tetapi daerah yang prevalensi tinggi

daerah tropis dan subtropis. Dalam bahasa Indonesia cacing ini dinamakan Cacing

cambuk karena secara menyeluruh bentuknya seperti cambuk, sampai saat ini dikenal

lebih dari 20 spesies Trichuris sp, namun yang menginfeksi manusia hanya Trichuris

vulpis, Dibandingkan dengan Trichuris trichiura, manusia jarang terinfeksi cacing ini

(Sandjaja, 2007).

2.5.1 Klasifikasi

Menurut Faust dan Russel, dalam Irianto (2013), Klasifikasi Trichuris

trichiura adalah :
13

Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub kelas : Adenophorea

Ordo : Enoplida

Sub Famili : Ttichinelloidea

Genus : Trichuris trichiura

2.5.2 Hospes dan nama penyakit

Hospes defenitif cacing ini adalah manusia. Cacing ini lebih sering ditemukan

bersama-sama dengan ascaris lumbricoides. Cacing dewasa hidup didalam usus besar

manusia, terutama di daerah sekum dan kolon. Cacing ini juga di temukan diapendiks

dan ileum distal. Penyakit yang di sebabkan adalah trikuriasis (Ongowaluyo, 2002 ).

2.5.3 Morfologi

Cacing dewasa berbentuk seperti rambut di 3/5 bagian anteriornya dan

membesar serta tampak berotot di bagian posteriornya sehingga secara keseluruhan

cacing ini menyerupai cambuk. Cacing jantan berukuran 30-45 mm sedangkan yang

betina 35-50 mm. Bagian posterior cacing jantan melingkar ke dalam dan

mengandung sebuah spicule. Pada cacing betina vulva terdapat di bagian tubuh yang

mulai membesar, sedangkan anusnya terletak dibagian posterior tubuh.


14

Gambar 4. Cacing Trichuris trichiura


Sumber : www.standford.edu

Telur T.trichiura berbentuk bulat panjang dan memiliki sumbat yang

menonjol di kedua ujungnya. Telur ini berukuran 44-50 x 22 mikron dan berwarna

kuning kecoklatan. Telur yang belum matang dikeluarkan dari tubuh bersama tinja

dan merupakan pertanda diagnostik untuk trichuriasis. Di luar tubuh manusia telur ini

berkembang lebih lanjut sampai akhirnya mengandung embrio, dan pada saat inilah

telur menjadi infeksius (Sandjaja,B.,2007).

Gambar 5. Telur cacing Trichuris trichiura


Sumber : www.standford.edu
15

2.5.4 siklus hidup

Apabila manusia menelan telur yang matang, maka telur akan menetaskan

larva yang akan berpenetrasi pada mukosa usus halus selama 3-10 hari. Selanjutnya

larva akan bergerak turun dengan lambat untuk menjadi dewasa di sekum dan kolon

asendens. Siklus hidup dari telur sampai cacing dewasa memerlukan waktu sekitar 3

bulan, Di dalam sekum cacing bisa hidup sampai bertahun-tahun. Cacing akan

meletakkan telur pada sekum dan telur-telur ini keluar bersama tinja. Pada

lingkungan yang kondusif, telur akan matang dalam waktu 2-4 minggu

(Widoyono,2008). Tanah liat yang lembab dengan suhu optimum 300C merupakan

tempat yang baik untuk pematangan telur cacing T.trichiura (Sutanto,I.,dkk,2008)

Gambar 6. Siklus hidup Trichuris trichiura


Sumber : www.standfort.edu
16

2.5.5 Patologi dan gejala klinik

Cacing ini memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus, sehingga terjadi

trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus, di tempat perlekatan

dapat terjadi pendarahan, sehingga dapat menyebabkan anemia, pada penderita

terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun yang dapat

menunjukan gejala diare yang diselingi sindrom disentri, berat badan menurun

(Sutanto, dkk. 2008).

2.5.6 Diagnosis

Infeksi cacing ini umumnya ditegakkan diagnosis dengan menemukan telur

dalam tinja atau menemukan cacing dewasa pada derita prolapses rekti pada anak

(Sandjaja, 2002).

2.5 Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan adalah dengan memberikan obat santonin, oleum

chenopodium dan hexylresorcinol (Natadisatra, 2009).

2.6 Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

Cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale. Infeksi cacing ini telah di kenal sejak zaman mesir kuno dan
17

mengenai penyakitnya telah ditulis di Italia, Arab dan Brazilia, jauh sebelum cacing

tambang.Ancylostoma duodenal ditemukan oleh Dubuni pada tahun 1838. Kedua

spesies cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) umumnya

dijumpai bersama-sama (Irianto, 2013).

2.6.1 Klasifikasi

Menurut Faust dan Russel,dalam Irianto (2013), Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus adalah :

Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Ordo : Rhabditida

Sub ordo : Strongyloide

Superfamalia : Strongyloidea

Famalia : Ancylostomatide

Genus : Ancylostoma

Spesies : Ancylostoma duodenale

Kingdom : Anamalia

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub-kelas : Phasmida
18

Ordo : Rhabditida

Sub-ordo : Strongylata

Supermapilia : Strongloidea

Famalia : Ancylostomatidea

Genus : Necator

Spesies : Necator americanus

2.6.2 Hospes dan Nama penyakit

Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyababkan penyakit nekatoris

dan ankilostomiasis (Sutanto,2008).

2.6.3 Morfologi

Cacing tambang dewasa yang masih hidup berwarna putih abu-abu sampai

kemerah-merahan, kedua spesies di atas mempunyai morfologi mirip satu sama lain,

perbedaanya antara lain bentuknya yang khas terutama pada cacing betina, pada

Necator americanus mempunyai hurup S sedangkan pada Ancilostoma duodenale

menyerupai hurup C (Natadisastra, 2009). Cacing dewasa berbentuk silindrik. Ukuran

cacing betina 9-13 mm. Sedangkan jantan berukuran 5-10 mm. Pada N. americanus

mulut dilengkapi gigi, sedangkan pada A. duodenale dilengkapi dua pasang gigi

berbentuk lancip. Rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan terbuka

(Onggowaluyo,2002).
19

Gambar 7 : Cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus


Sumber : www.dbpedia.org

Bentuk cacing tambang berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis, dan

mengandung embrio. Berukuran sekitar 60x40 mikron, di dalamnya terdapat

beberapa sel. Dan mempunyai larva rabditiform dan filatiform (Sutanto, 2008).

Gambar 8 : Telur cacing Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus


Sumber : www.dbpedia.org
20

2.6.4 Siklus hidup

Cacing ini keluar bersama tinja. Di dalam telur ini cepat matang dan

menghasilkan larva rhabditiform, selama 1-2 hari di bawah kondisi yang mengijinkan

dengan suhu 23-33C. Larva yang baru menetas (berukuran 275 x 16 mikron) ini

aktif menekan pembusukan organik dan cepat bertambah besar (500-700 mikron

dalam 5 hari). Kemudian ia berganti kulit untuk kedua kalinya dan berbentuk

langsing menjadi larva filariform yang infeksius. Larva filoriform akan menembus ke

saluran kulit luar tuan rumah melalui folikel-folikel rambut, pori-pori atau kulit yang

rusak. Umumnya daerah infeksi pada dorsum kaki atau disela jari kaki. Larva masuk

ke saluran vena menuju jantung kanan, dan masuk ke saluran paru-paru, dari situ

mereka naik ke bronki dan trekae, tertelan dan masuk ke usus, peredaran larva dalam

sirkulasi daerah dan migrasi paru-paru berlangsung selama satu minggu. Selama

periode ini mereka bertukar kulit untuk yang ketiga kalinya, setelah berganti kulit

empat kali dalam jangka waktu 13 hari mereka menjadi dewasa (Irianto, 2013 ).

Gambar 9 : Siklus hidup Acylostoma Duodenale dan necator Americanus


Sumber : www.dbpedia.org
21

2.6.5 Patologi dan gejala klinik

Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis menurut sutanto terbagi atas dua yaitu:

1 Stadium larva :
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka akan

terjadi perubahan kulit yang di sebut ground itch. Perubahan pada paru

biasanya ringan, infeksi larva filariform A.duodenale secara oral

menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, batuk, sakit

leher, dan serak.


2 Stadium dewasa
Gejala tergantung pada jumlah spesies dan jumlah cacing.Bisa terjadi

infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di

samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing ini biasanya tidak menyebabkan

kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun (Sutanto,

2008).
Gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemia.Pada infeksi berat,

Hb dapat turun sampai 2 gr %, penderita merasa sesak napas. (Natadisastra,

2009).
2.6.6 Diagnosis
Diagnosis ankilostomiasis didasarkan pada hasil analisis klinis dan data

laboratories. Faktor yang menentukan adalah ditemukan telur cacing dalam tinja

(Irianto, 2013).
2.6.7 Pengobatan
Pengobatan dapat di lakukan dengan memberikan obat untuk N. americanus

adalah tetralorelitin (juga efektif untuk A. duodenale). Obat lain yang bisa digunakan
22

adalah mebendazol, albendazol, bitoskamat, dan befenium, hidrosibafoat

(Onggowaluyo, 2002).

2.7 Strongyloides stercoralis

Strongyloides stercoralis adalah yang umum terdapat didaerah panas. daerah

penyebaran terutama berdekatan dengan daerah cacing tambang (Irianto, 2013).


2.7.1 Klasifikasi
Menurut Chandler dan Read, dalam Irianto (2013), Klasifikasi Strongyloides

stercoralis adalah :
Kingdom : Anamalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Phasmida
Ordo : Rhabditida
Sub-ordo : Strongylina
Famalia : strongyloididea
Genus : Strongyloides

Spesies : Strongyloides stercoralis

2.7.2 Hospes dan Nama penyakit


Hospes utama dari cacing ini adalah manusia walaupun ada yang ditemukan

pada hewan. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut Strongiloidiasis

(Onggowaluyo, 2002).
2.7.3 Morfologi
Cacing jantan yang parasitik maupun yang free living memiliki bentuk yang

sama dan berukuran 0,7 mm, pada bagian anterior tubuhnya terlihat adanya buccal

cavity yang pendek atau bahkan tidak ada ( Sandjaja, 2007).


23

` Gambar 10 : Cacing Strongyloides


Sumber : www parasit.org.au

2.7.4 Siklus hidup


Larva Strongyloides stercoralis dikeluarkan melalui feses, di mana larva ini

menjalani siklus hidup bebas di tanah atau berdiferensiasi menjadi larva infektif yang

menginvasi pejamu lain melaui kulit yang utuh, dan Telur disimpan di mukosa usus,

menetas menjadi larva rhabditiform, menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus,

keluar bersama tinja dan telur kadang- kadang juga ditemukan dalam tinja (Irianto,

2013).

Gambar 11: Siklus hidup Strongyhloides stercoralis


Sumber : www parasit.org.au

Menurut Irianto ( 2013) Strongyhloides stercoralis terbagi atas 3 yaitu :


24

2.7.4.1 Siklus langsung

Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran kira-kira

225x16 mikron, berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan

merupakan bentuk infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filariform

menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan

kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai

menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring.Sesudah sampai di

laring terjadi reflex batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus

bagian atas dan menjadi dewasa.

2.7.4.2 Siklus tidak langsung


Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi

cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Larva rabditiform dalam waktu

beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam

hospes baru, atau larva rabditiform tersebut dapat juga mengulangi fase hidup

bebas.
2.7.4.3 Auto infeksi
Pada siklus auto infeksi dapat bertumbuh menjadi stadium filaform dalam usus

dan menembus dinding mukosa usus, ini dinamakan endo auto infeksi, atau

didaerah kulit perianal masuk kembali ke dalam hospes yang di namakan ekso-auto

infeksi (Irianto, 2013)

2.7.5 Patologi dan gejala klinis


25

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan

kulit yang dinamakan creepisng eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat,

cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan

Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak

menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-

tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar (Sutanto, 2008).


2.7.6 Diagnosis
Strongiloidiasis tidak memberikan manifestasi klinis yang nyata, diagnosis

klinisnya sulit untuk ditegakkan. Diagnosis pasti diperoleh dengan ditemukannya

telur, larva, dan cacing dewasa dalam tinja, bahan duodenum maupun sputum. Bahan

pemeriksaan tinja kadang-kadang tidak memberikan hasil yang positif, walaupun

dapat ditemukan telur cacing dengan pemeriksaan rutin dan metode konsetrasi

sekalipun, jumlah larva yang ditemukan dalam tinja selalu bevariasi dari waktu ke

waktu (Onggowaluyo, 2002).


2.7.7 Pengobatan
Obat cacing untuk Strongiloidiasis adalah albendazol (Irianto, 2013).

2.7.8 Pencegahan
Penularan Strongiloidiasis dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Apabila

diketahui sesorang positif terinfeksi, orang itu harus segera diobati.Kemungkinan

terjadinya auto infeksi dan daur hidup bebas dapat mempersulit pencegahan.

Tindakan pencegahannya dapat dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan

infeksi cacing tambang pada umumnya (Onggowaluyo, 2002).


26

2.8 Jenis Kelamin

Merupakan sifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan

secara biologis tidak dapat ditukarkan antara laki-laki dan perempuan. Seseorang

yang dikatakan berjenis kelamin laki-laki memiliki penis, jakun, kumis, jengkot, dan

memproduksi sperma. Sementara perempuan mempunyai vagina dan rahim sebagai

alat reproduksi, mengalami kehamilan dan proses melahirkan.

Jenis kelamin sangat berpengaruh potensi kecacingan hasil penelitian widya (2014)

didapatkan hasil 17,5% responden yang positif keberadaan telur cacing mempunyai

jenis kelamin laki-laki dan 14,7% berjenis kelmin perempuan.

2.9 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan upaya yang dilakukan

Departemen Kesehatan untuk membudidayakan perilaku hidup bersih dan sehat demi

mencapai derajat kesehatan optimal dan kesejahteraan bangsa sesuai dengan

pembukaan UUD 1994 (Farida, 2009) . Salah satu bagian dari PHBS yaitu memakai

alsa kaki saat bermain, membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum makan

menggunakan sabun dan air bersih,


27

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN METODELOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat


- Jenis Kelamin Infeksi telur Soil
- PHBS Transmitted

3.2 Defenisi operasional variable

No Variabel Definisi Cara ukur Alat Hasil Skala


ukur ukur
1 Jenis Perbedaan antara Wawancara Kuisioner -laki-laki Nominal
kelamin perempuan dan - perempuan
laki-laki secara
biologis sejak
lahir
2 Perilaku Suatu prilaku yang Wawanca ra Kuesioner 1.Mencuci Tangan Ordinal
Hidup Bersih biasa dilakukan 2.Tidak mencuci
dan Sehat untuk membersih tangan
(PHBS) kan tangan dengan 3. memakai alas
sabun dan air kaki
sebelum makan . 4. tidak memakai
alas kaki
28

3 Infeksi soil Infeksi cacing Pemeriksaan Mikroskop Positif (+) di Ordinal


Transmitted biasanya mikroskopis temukan telur
Helminths ditularkan melalui metode cacing STH
tanah Flotasi Negatif (-) tidak
ditemukan telur
STH

3.3 Metode penelitian

Metode yang digunakan adalah deskriftif yaitu gambaran pemaparan infeksi


29
STH pada anak-anakusia sekolah dasar di desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar kota

kab.Muaro Jambi.

3.4 Populasi dan sampel penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak-anak usia sekolah dasar

RT.03 di Desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar Kota Kab.Muaro Jambi.

3.4.1 Sampel penelitian

Sampel yang diteliti adalah 30 sampel anak-anak usia sekolah dasar RT.03

Desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar kota Kab.Muaro Jambi.

3.5 Waktu dan tempat penelitian

3.5.1 Waktu penelitian

Waktu penelitian Juli sampai dengan september 2015.

3.5.2 Tempat penelitian


29

Penelitian ini dilakukan di desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar Kota

Kab,Muaro Jambi dan dilakukan dilaboratorium Parasitologi Akademi Analis

Kesehatan Provinsi Jambi.

3.6 Teknik pengumpulan data

Data yang dikumpulkan berdasarkan, jenis kelamin, PHBS.

3.7 Instrumentasi penelitian

3.7.1 Metode pemeriksaan

Metode flotasi

3.7.2 Bahan pemeriksaan

Feaces Anak-anak usia sekolah dasar RT.03 di Desa Sarang Burung

Kecamatan Jambi Luat Kota Kab, Muaro Jambi.

3.7.3 Alat

- Wadah yang bermulut lebar

- Spidol permanen

- Objek glass

- Lidi

- Tissue

- Pipet tetes

- Mikroskop

- Sarung tangan
30

- Masker

- Plastik

- Cover glas

3.7.4 Reagensia

a. Larutan MgSO4 jenuh

-Ditimbang 75 gr MgSO4

-Ditambahkan 250 ml aquadest lalu campur

-Ditambahkan 25 gr MgSO4 , campur.

b. Eosin 1%

- Ditimbang 1 gr eosin dilarutkan dengan aquadest sampai 100 ml.

3.8 Prosedur pemeriksaan

3.8.1 Pengambilan spesimen

Pengambilan specimen dilakukan di Desa Sarang burung Kec. Jambi Luar

Kota Kab.Muaro Jambi yang di awali dengan memberikan kepada anak-anak tersebut

tentang tujuan pemeriksan feaces, setelah pengarahan selesai, dilanjutkan dengan

memberikan tempat spesimen kepada anak-anak tersebut untuk mengambil spesimen

dirumah masing - masing dengan memasukan feaces kedalam wadah yang telah

diberikan kode (no sampel, nama, alamat, dan waktu pengambilan) dengan spidol.

Kemudian dimasukkan kedalam plastik dan dibawa ke Laboraturium Parasitologi

Akademi Analis Kesehatan Prov. Jambi.

3.8.2 Prosedur pemeriksaan telur cacing metode wilis


31

1 Di Siapkan semua alat dan bahan yang diperlukan.

2 Masukkan 1/2 sendok teh feaces dalam tabung reaksi.

3 Isi seperempat tabung reaksi dengan larutan MgSO4 jenuh, hancurkan feaces

dengan mengaduk.

4 Lalu isi lagi tabung reaksi dengan larutan MgSO4 jenuh sampai permukaan

tabung terlihat cembung.

5 Di Letakkan dengan hati-hati cover glass pada permukaan tabung, jangan

sampai ada gelembung udara.

6 Diamkan selama 10 menit.

7 Angkat cover glass dengan hati-hati dan letakkan di atas objek glass yang

sudah diberi larutan eosin 1%.

8 Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x10

(-) : tidak ditemukan telur cacing STH

(+) : ditemukan cacing STH

3.9 Pengolahan dan analisa data

Data dan penelitian ini diperoleh dari pemeriksaan telur cacing STH pada

feaces anak yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan anak-anak Desa Sarang

Burung Kec.Jambi Luar Kota Kab.Muaro Jambi, serta jumlah persentasi negatif telur

cacing soil transmitted helminths pada anak laki -laki dan perempuan anak-anak usia

sekolah desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar Kota Kab. Muaro Jambi.
32

Pengolahan data pada penelitian ini dianalisa secara deskriptif dalam bentuk

persentase dan digambarkan dalam bentuk tabel.

R = F x 100%
n

Keterangan :

R = Persentase hasil
F = Jumlah sampel yang positif atau negatif
n = Jumlah total sampel

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Hasil penelitian yang dilakukan pada bulan september 2015 terhadap 30

sampel anak-anak RT 03 Desa Sarang Burung Kec.Jambi Luar Kota Kab.Muaro

menunjukkan bahwa sebagian besar laki-laki 17 orang (56,6%), perempuan 13

(43,4%). Enam belas orang (53,3%) mempunyai kebiasaan yang baik, yaitu mencuci

tangan sebelum makan, dan tidak mencuci tangan sebelum makan 14 orang (46,7%),

serta berdasarkan memakai alas kaki 63,3% memakai alas kaki, sedangkan 36,7%

tidak menggunakan alas kaki, ini dapat dilihat di bawah ini pada tabel 1.

Tabel 1. Table Karakteris responden anak-anak desa Sarang Burung


33

No Karakteristik Responden N %
1. Jenis Kelamin
Laki-Laki 17 56,6%
Perempuan 13 43,4%
2 PHBS
Mencuci tangan 16 53,3%
Tidak mencuci tangan 14 46,7%
Alas kaki
Memakai alas kaki 19 63,3%
Tidak memakai alas kaki 11 36,7%
Dari 30 sampel feaces anak-anak yang diperiksa ditemukan 12 (40%) sampel

positif Soil Transmitted Helminths, dan 18 sampel negatif. Sampel feaces yang positif
34
mengandung telur cacing STH 7 diantaranya mengandung telur cacing

A.lumbricoides, dan 5 sampel cacing T.trichiura, dari sampel yang positif kecacingan.

dapat dilihat di bawah ini pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan telur cacing STH dalam feaces Anak-anak RT 0.3 desa
Sarang Burung Kec,Jambi Luar Kota Kab, Muaro Jambi

Hasil pemeriksaan
No Jenis telur Jumlah
Positif Negatif
1 A.lumricoides 7 (23,4%) 23 (76,6%) 30 (100%)
2 T.trichiura 5 (16,6%) 25 (83,4%) 30 (100%)
3 C. tambang 0 0 0
4 S. stercolaris 0 0 0

Hasil penelitian yang dilakukan pada 30 sampel menunjukkan bahwa

sebagian besar anak-anak yang positif kecacingan berjenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 7 orang (58,3%), sedangkan yang perempuan positif 5 orang (41,7%), ini

dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil pemeriksaan Berdasarkan jenis kelamin


34

Kejadian Kecacingan
No Jenis Kelamin
Positif Negatif
1 Laki-laki 7 (58,3%) 10 (55,6%)
2 Perempuan 5 (41,7%) 8 (44,4%)
Jumlah 12 18

Hasil penelitian terhadap feaces anak-anak menurut kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan menunjukkan bahwa seluruh anak yang positif kecacingan tidak

mencuci tangan sebelum makan sebanyak 10 orang, dan mencuci tangan seabnyak 2

orang positif, ini dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan kebiasaan menggunakan

alas kaki, sebagian besar sampel yang positif (66,7%) tidak menggunakan alas kaki,

ini dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil pemeriksaan berdasarkan Kebiasaan Mencuci Tangan

Kejadian Kecacingan
No PHBS Jumlah
Positif Negatif
1 Mencuci tangan 2 (16,6%) 14 (77,7%) 16

2 Tidak mencuci tangan 10 (83,3%) 4 (22,2%) 14

Jumlah 12 18 30 (100%)

Tabel 5. Hasil pemeriksaa berdasarkan Penggunaan Alas Kaki

Hasil Pemeriksaan
No PHBS Jumlah
Positif Negatif
Memakai alas
4 (33,3%) 15 (83,3%) 19
kaki
Tidak memakai
8 (66,7%) 3 (16,7%) 11
alas kaki
35

Jumlah 12 18 30 (100%)

4.2. Pembahasan

Hasil penelitian terhadap anak-anak RT 03 Desa Sarang Burung Kec,Jambi

Luar Kab,Muaro Jambi yang positif sebanyak 7 orang (58,3%) anak-anak berjenis

kelamin laki-laki, dan anak-anak berjenis kelamin perempuan sebanyak 5 orang

(41,7%) hal ini di karenakan anak laki-laki lebih sering kontak dengan tanah saat

bermain. Dari hasil penelitian sesuai dengan Alfath (2014) terhadap Hubungan

Tingkat Pengetahuan Sikap dan Perilaku Pencegahan Kecacingan Dengan Status

Kecacingan Siswa SDN 03 Pontianak Timur Kotamadya Pontianak, juga

mendapatkan persentase infeksi Nematoda Usus lebih tinggi pada anak laki-laki 7

(17,5%) dan anak-anak perempuan 5 (14,7). Hal ini menunjukkan bahwa anak laki-

laki lebih rentan dari perempuan karena aktivitas anak laki-laki yang umumnya lebih

banyak berada diluar rumah, baik untuk bermain maupun untuk membantu

orangtuanya diluar rumah.

Pada pemeriksaan ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides sebanyak 7

(34,4%) dan cacing Trichuris trichiura sebanyak 5 (16,6%). Dalam hal ini telur

Ascaris lumbricoides lebih tinggi dari telur Trichuris trichiura. Dari hasil penelitian

Menurut hasil Kundaian (2011) Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan

Cacing Pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten

Minasaha, juga mendapat hasil persentase Ascaris Lumbricoides lebih tinggi (36,4%)

dari Trichuris trichiura (9,0%).


36

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kebiasaan anak-anak mencuci

tangan sebelum makan menggunakan sabun sangat berpengaruh terhadap angka

kejadian kecacingan, 12 anak-anak yang positif kecacingan tidak mencuci tangan

sebelum makan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Winitia (2014) pada

siswa SDN 10 Paseban Jakarta pusat yang menunjukkan hasil 65% responden yang

positif tidak melakukan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Mencuci tangan

sebelum makan menggunakan sabun mempunyai peran yang sangat penting terhadap

pencegahan penyakit kecacingan (Widoyono, 2008), .Infeksi kecacingan terutama

dari golongan STH sebagian besar menginfeksi manusia melalui mulut yaitu telur

cacing yang termakan bersama dengan makanan.

Berdasarkan penggunaan alas kaki didapatkan hasil persentase (66,7%) yang

positif tidak menggunakan alas kaki dan 33,3% menggunakan alas kaki. Hasil ini

sesuai dengan hasil penelitian T.ratag (2013) pada siswa Sekolah Dasar Gmist

Nazareth Lesa Kecamatan Tahuna Timur Kabupaten Sangihe menunjukkan hasil 69%

positif kecacingan tidak menggunakan alas kaki saat bermain. Hal ini di karenakan

kebiasaan seseorang kontak dengan tanah sangat mempengaruh potensi kejadian

kecacingan.

Infeksi kecacingan dapat dipengaruhi oleh hygiene perorangan seperti

kebersihan tangan dan kuku. Infeksi cacingan kebanyakan ditularkan melalui tangan

yang kotor, kuku jemari tangan yang kotor dan panjang sering tersimpan telur cacing.

Sejalan dengan teori yang dikemukakan Entjang (2003), kebanyakkan penyakit


37

cacing ditularkan melalui tangan dan kaki yang kotor serta kuku yang panjang

terselip oleh telur cacing.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 30 sampel feaces anak-

anak RT 0.3 Desa Sarang burung Kec,Jambi Luar Kota Kab.Muaro Jambi dapat

disimpulkan sebagai berikut :

a Hasil penelitian dari 30 responden yang di periksa, menunjukkan bahwa

terdapat infeksi STH (40,0%) pada anak-anak RT 0.3 Desa Sarang burung

Kec,Jambi Luar Kota Kab.Muaro Jambi


b Penelitian terhadap feaces anak-anak RT 0.3 Desa Sarang burung Kec,Jambi

Luar Kota Kab.Muaro Jambi (58,3%) responden yang positif terinfeksi STH

berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 41,7% berjenis kelamin perempuan.


c Hasil penelitian terhadap feaces anak-anak RT 0.3 Desa Sarang burung

Kec,Jambi Luar Kota Kab.Muaro Jambi 83,3% responden yang positif

terinfeksi STH tidak mencuci tangan sebelum makan. Dan 66,7% responden

yang positif terinfeksi STH tidak menggunakan alas kaki.


38

2 Saran
39
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka penulis memberikan saran

sebagai berikut :

a Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian terhadap hal-hal

lain yang dapat mempengaruhi potensi kejadian kecacingan.


b Kepada anak-anak sebaiknya pada saat bermain menggunakan alas kaki dan,

serta mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan untuk mencegah

terjadinya infeksi kecacingan.


c Kepada pihak Dinas Kesehatan terkait sebaiknya perlu di adakannya

penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang

pencegahan kecacingan.
d Bagi anak-anak yang positif kecacingan lebih baik segera berobat ke

Puskesmas atau pelayanan kesehatan lainnya, agar diberikan pengobatan

yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai