Anda di halaman 1dari 94

MISYKAT

Refleksi Tentang Islam ,Westernisasi


& Liberalisasi
Oleh Dr. Hamid fahmy zarkasyi
Kumpulan kolom misykat di Koran republika
Diambil dari halaman website hamidfahmy.com
I. Dewesternization
a) Barat http://hamidfahmy.com/barat/
b) Timur http://hamidfahmy.com/timur/
c) Tuhan http://hamidfahmy.com/Tuhan/
d) Agama http://hamidfahmy.com/Agama/
e) Kecerdasan dan keimanan http://hamidfahmy.com/kecerdasan/
f) filsafat Agama http://hamidfahmy.com/filsafat-agama/
g) iconoclasm http://hamidfahmy.com/iconoclasme/
h) Mendudukkan Orientalis http://hamidfahmy.com/mendudukkan-orientalis/
i) Humanisme http://hamidfahmy.com/humanisme/
j) Religious-Humanis http://hamidfahmy.com/religious-humanis/
k) ATEIS http://hamidfahmy.com/ateis/
l) Deprivatization http://hamidfahmy.com/deprivatization/
m) Dualisme http://hamidfahmy.com/dualisme/
n) Averroisme http://hamidfahmy.com/averroisme-2/ dan http://hamidfahmy.com/averroisme/
o) tanya jawab : memahami barat -
II. Deliberalization
A. Ideologi dan teologi liberal http://hamidfahmy.com/liberalisme-ideologi-menjadi-teologi/
B. dari WTC ke liberalism http://hamidfahmy.com/dari-wtc-ke-liberalisasi/
C. evil of liberalism http://hamidfahmy.com/evil-of-liberalism/
D. kebenaran http://hamidfahmy.com/hello-world/
E. problem moderat http://hamidfahmy.com/moderat/
F. Pluralism dan islam http://hamidfahmy.com/pluralisme-agama/
G. Pruralisme dan gereja -
H. Perihal toleransi -
I. Toleransi tanpa pluralism http://hamidfahmy.com/islam-toleransi-tanpa-pluralisme/
J. Eksklusif dan inklusif http://hamidfahmy.com/eksklusif-dan-inklusif/
K. Moderat,radikal dan liberal -
L. Sekulerisme dan liberalism http://hamidfahmy.com/sekularisme-dan-liberalisme/
M. Kebebasan menista http://hamidfahmy.com/kebebasan-menista/
N. Blasphemy
http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2010/03/17/42917/blasphemy.html
O. Desaklarisasi teks http://hamidfahmy.com/desakralisasi-teks/
P. Al Quran menghargai kesalahan ? http://hamidfahmy.com/al-quran-menghargai-kesalahan/
Q. Membakar Al Quran http://hamidfahmy.com/membakar-al-quran/
R. Menggugat syariat http://hamidfahmy.com/menggugat-syariat/
S. Syariat dan public reason lib.donnyreza.net/INSISTS/Syariah_dan_Public_Reason.pdf
T. Equality (persamaan) http://hamidfahmy.com/equality-persamaan/
U. Fe-minus http://hamidfahmy.com/fe-minus/
V. Clash of worldview http://hamidfahmy.com/clash-of-worldview/
W. http://hamidfahmy.com/liberalisasi-pemikiran-islam/ http://hamidfahmy.com/liberalisme-dan-
islam/
DE-WESTERNISASI

A. BARAT

Suatu hari David Thomas, pendeta dan Profesor teologi di Selly Oak College, Universitas
Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim: Are you happy with the
Western civilization? No, not at all jawabnya tegas. Why?, tanyanya. Sebab, paparnya,
Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen. Bos pabrik cokelat
Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun
perpustakaan Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana
sosial lebih.

Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti
Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap Ionia is
the cradle of Western civilization dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-
Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup
Kristen.

Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa
duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi
hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti
dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.

Teriakan Nietzsche God is dead masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia
mengatakan, ketika kami mendengar tuhan yang tua itu mati kami para filosof dan jiwa-jiwa
yang bebas merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita.

Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi
bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being. Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif.
Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan
tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.

Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat,
Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak
bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah,
larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.

Sejarah Barat adalah sejarah pencarian kebenaran. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih
penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni.
Sesudah membunuh tuhan Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau
rasionalisme.

Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti
moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak setuju harus keluar atau berhadapan. You
are with us or against us.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal
representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang
tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth), tanpa
realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam
pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).

Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan.
Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan teisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika,
agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god.

Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi
pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dan sebagainya tidak lagi berurusan
dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand
narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada
kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.

Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah ilusi verbal yang
diterima masyarakat atau tidak beda dari kebohongan yang disepakati. Etika harus di- globalkan
agar tidak ada orang yang merasa paling baik. Baik buruk tidak perlu berasal dari apa kata
Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri.

Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan
Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat
genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri.

Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka
akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah
mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistem kepercayaan Islam, tidak
lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.

Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka
mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis. Tuhan yang Maha Kuasa,
bisa menjadi Tuhan yang maha lemah, al-Quran yang suci dan sakral tidak beda dari karya
William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia.

Jika umat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti
Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah
lapuk Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem. Maksudnya apa artinya kemajuan ilmu
pengetahuan jika tanpa didukung agama. Apa arti ilmu tanpa iman.
B. Timur
Ketika saya berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester Inggris, photo
copy disitu mendadak macet dan tidak ada yang nampak bisa memperbaiki. Tiba-tiba seorang
yang berjanggut panjang dan berpakaian salwar gamis mencoba mengotak-atik mesin itu. Saya
yakin dari logat Inggrisnya dia orang Pakistan atau India. Banyak yang antri photo copy waktu
itu. Semua setengah kesal dan tidak sabar. Dan akhirnya dengan mudah mesin itu berfungsi
kembali.

Kisahnya sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang dikatakannya kemudian. Sambil
tersenyumdia berkata: You see! wisdom always come from the East. Lho! apa hubungannya?
Kami diam sejenak, tapi kemudian tertawa renyah. Rasanya kami sedang memperolok-olok
teknologi Barat. Teknologi itu kecil! Tidak ada apa-apanya dibanding wisdom dari Timur. Tapi, itu
hanya olok-olok.

Makna Timur atau orient dapat dipahami hanya dalam konteks Barat occident. Ini bukan
klasifikasi geografis dan nama dua mata angin. Tidak jelas siapa yang memulai mengolok-olok
kamu orang Timur! kamu orang Barat!. Yang pasti orientalisme mendahului occidentalisme.
Kini siapa yang disebut orang Timur dan orang Barat sudah jelas. Timur, kata Edward Said,
adalah masyarakat dan bahkan spirit yang menakutkan Barat. (Orientalism, hal. 1-2).

Bahasa Edward nampak agak kasar, tapi gambaran yang tepat untuk fenomena perseteruan.
Timur dan Barat bahkan seperti dua kutub yang mustahil bertemu. Saya lalu teringat dengan
Iqbal. Ia memberanikan diri menghubungkan kutub itu dengan pesan-pesannya. Dia sadar tidak
banyak yang berani menyampaikan pesan kepada Barat. Ia menulis:

Saya tahu di kegelapan Timur, tidak ada cahaya tangan Musa atas Firaun.

Pesan Iqbal untuk Barat dikompilasi dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul Payam-i-mashriq
(Pesan dari Timur). Pesan ini disampaikan sebagai jawaban atas ratapan Goethe seabad
sebelumnya. Goethe (1749-1832) menulis buku West-Oestlicher Divan. Ia meratapi mengapa
pandangan manusia Barat menjadi sangat materialistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi
yang menjanjikan nilai-nilai spiritual. Iqbal menjawab, moralitas dan agama itu penting bagi
peradaban bung! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas.

Ratapan Goethe dan pesan Iqbal masih tetap relevan hingga kini. Nyatanya para pendeta Kristen
di Barat masih terus menyesali spirituality has gone to the East. Barat memang materialistis,
individualistis dan mematikan rasa belas kasih dan persaudaraan antar manusia, kata Iqbal.
Maka ia kemudian berpesan:

Wahai penghuni negeri-negeri Barat, alam milik Tuhan ini bukan toko.

Yang kau anggap barang berharga akan terbukti bernilai rendah.

Peradaban anda akan bunuh diri dengan pisau anda sendiri.

Sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak bertahan lama.

Bait terakhir itu ia ulangi lagi dalam Bang-i-Dara Peradaban yang hanya berdasarkan
kapitalisme tidak akan berumur panjang. Pasalnya tentu, karena kekurangan asas moralnya dan
lack of wisdom.
Sejalan dengan kegelisahan Goethe, pesan Iqbal dialihkan ke Karl Marx (1818-1883). Iqbal
kagum pada gagasan ekonomi Marx. Karena terlalu kagum, ia menyebut Marx sebagai nabi
tanpa wahyu. Orang seperti Marx boleh jadi hatinya beriman tapi otaknya kafir. Karena itu,
pesan Iqbal, baiknya Marx kembali kepada agama dan nilai-nilai spiritual. Pesan itu secara puitis
dituangkan dalam Javid Namah Orang Barat kehilangan visi tentang surga. Mereka berburu
mencari spirit murni dari perut.

Iqbal pun berpesan kepada Nietzsche (1884-1900). Nietzsche adalah pemikir cengeng. Ia
merintih bagai orang tua dan menangis cengeng seperti anak kecil. Ketika pikirannya buntu ia
menangis where is man. Siapa yang bisa saya orangkan. Aku perlu guru (master), katanya.
Master yang bisa membimbing jiwa. Sayangnya teriakannya tidak bisa memanggil orang
semerdu azan, dan tidak mampu mengusik telinga sekuat musik rock. Tangisan Nietzsche adalah
nyanyian spiritual yang tidak lagi digubris di Barat. Mencari guru spiritual di Barat hanyalah
utopia.

Anehnya, dalam kesunyian spiritualnya dan kebuntuan intelektualnya Nietzsche menawarkan


gagasan Superman. Iqbal pun segera tahu, gagasan itu pinjaman dari literatur Islam atau Timur.
Sayangnya baju Superman itu tidak berlabel S (baca: Spiritualisme), tapi M (baca: Materialisme).
Superman ciptaannya hanyalah makhluk biologis yang tanpa moral dan spiritual.

Nietzsche hanya membuang tenaga dan waktu saja, kata Iqbal. Gagasan Superman, tanpa
melibatkan realitas khudi (Tuhan) adalah omong kosong. Pancaran sinar matanya hanya dapat
menembus dimensi fisik. Konsepnya hanya setingkat kemanusiaan (nasut).

Masih ada dua tingkat lagi yang belum dilalui: realisasi diri dalam konteks sosial dan kesadaran
ketuhanan (lahut). Iqbal pun gregetan: Kalau orang Barat itu (maksudnya Nietzsche) masih
hidup hari ini, tentu aku akan menjelaskan tingkat Kesadaran Ketuhanan ini. Mestinya
Superman diganti dengan Insan Kamil, kombinasi dari kesadaran ketuhanan (lahut) dan
kemanusiaan (nasut).

Masih soal manusia, Iqbal juga berpesan kepada kaum Feminis. Gerakan wanita modern ini, kata
Iqbal, memisahkan wanita dari tanggungjawab biologisnya. Peranan tertinggi wanita itu adalah
ibu bangsa.

Tapi wanita modern terlanjut menabur benih individualisme. Kodrat kewanitaan dikorbankan
untuk mengisi perut. Ini sama saja dengan bunuh diri, lanjutnya. Hasilnya wanita Barat hanya
memiliki kebebasan dan sanjungan. Sementara wanita Timur juga memiliki kebebasan tapi
dengan segala kehormatan dan penghargaan (with respect and honor). Barat tidak memahami
wisdom dibalik kerudung wanita Timur, katanya.

Jadi, benarkah wisdom selalu datang dari Timur?

Rabindranath Tagore peraih hadiah Nobel sastra dari India membenarkan. Kata bijak Cintailah
musuhmu diucapkan Nabi dari Timur. Taklukkan kemarahan dengan kesabaran, kejahatan
dengan kebaikan juga wisdom Nabi yang lain dari Timur. Tapi kata-kata Kenali Musuhmu,
vini, vidi, vici, we are the super power dan sebagainyakeluar darimulut orang Barat.

Tapi Tagore tidak selugas Iqbal. Ia sering menyampaikan pesan dari Timur ke Barat, Tapi ia
seperti ragu apakah Barat akan mendengar pesan-pesannya. Di Jerman ia pernah menulis:
Namaku matahari. Hingga kini aku hanya menyinari Timur. Kini sang matahari beranjak ke
Barat. Untuk melihat apakah ia dapat menyinari negeri-negeri itu, sehingga mereka mengalihkan
pandangan kepadanya, Yang tidak mempedulikan Timur atau Barat.

Tagore tidak punya rasa like dan dislike kepada Barat, ia malah tidak peduli Timur atau Barat.
Orang Barat yang bijak mestinya juga begitu. Orang Timur yang bijak malah menegur Barat,
seperti tangan Musa menegur Firaun. Hanya orang Timur yang tolol dan tidak tahu Timur
akan membenci Timur. Persis seperti kata Gai Eaton, dalam King of Castle: The core of all
stupidity is lack of self knowledge.

Goethe dan Tagore sama bijaknya. Tagore tidak peduli Timur atau Barat, Goethe menganggap
Timur dan Barat sama-sama milik Tuhan. Ia menulis:

Gottes ist der Orient,

Gottes ist der Okzident.

Tuhan adalah pemilik Timur. Tuhan adalah pemilik Barat. Luar biasa! Orang mungkin
terperangah dengan diktum Goethe ini. Tapi A. Dasgupta penulis buku Goethe and Tagore,
segera tahu ternyata Goethe diam-diam memplagiat ayat al-Quran, wa lillaahi al-mashriq wa al-
magrib. Hanya saja pada bait selanjutnya Goethe menambahi The Northland and the Sotherrn
land, Rest in the quiet of His hand. Masalahnya, Barat itu milik Tuhan tapi Barat sendiri tidak
memiliki Tuhan.

Jadi, benarkah wisdom selalu datang dari Timur?

Benar!, Kalau setuju bahwa Timur (syarq) adalah tempat terbit dan Barat adalah tempat
tenggelam (gharb). Faktanya semua agama terbit dari Timur, tapi ketika di Baratkan (seperti
Kristen) ia justru tenggelam. Mungkin pengakuan Hakim Agung Amerika Serikat tahun 70an
William O. Douglas seperti membenarkan kata orang berjanggut di Leicester itu One great
contribution of the East to the West is charity or love, as epitomized by Muhammad.. itulah
hikmah atau wisdom itu.

C. Tuhan

Pada suatu hari saya naik bus dari Aston ke Universitas Birmingham Inggris. Disamping saya
duduk seorang bule yang agak kusut. Ia melirik buku teologi yang sedang saya baca. Dan tiba-
tiba: Hai mike! Ia menyapa dengan aksen khas Birmingham sambil senyum. Kemudian ia
bertanya: Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang Ia tidak dapat mengangkatnya?.
Saya tahu konsekuensi jawabannya. Baik jawaban positif maupun negatif hasilnya sama yaitu
Tuhan tidak berkuasa. Ini pasti pertanyaan seorang sekuler atau ateis, pikir saya.

Ia bertanya dan tidak perlu jawaban. Untuk tidak memberi jawaban panjang kepadanya, saya
melontarkan pertanyaan balik Could you tell me what do you mean by God? Benar saja
sebelum menjawab pertanyaan saya dia sudah turun dari bus sambil meringis.

Pertanyaan apakah Tuhan bisa membuat lebih baik dari yang ada ini. pernah diajukan Peter
Abelard. Dia sendiri bingung menjawabnya. Pertanyaan Bule itu mungkin hasil adopsi dari Peter.
Tapi yang jelas bukan dari pikirannya sendiri. Apa makna Tuhan baginya kabur. Bertanya tanpa
ilmu akhirnya menjadi seperti guyonan atau bahkan plesetan.

Di Barat diskursus tentang Tuhan memang marak dan terkadang mirip guyonan. Presedennya
karena teologi bukan bagian dari tsawabit (permanen) tapi mutaghayyirat (berubah). Layaknya
wacana furu dalam Fiqih. Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar untuk semua.

Siapa saja boleh bertanya apa saja. Akibatnya, para teolog pun kuwalahan. Pertanyaan-
pertanyaan rasional dan protes-protes teologis gagal dijawab. Teolog kemudian digeser oleh
doktrin Sola Scriptura. Kitab suci bisa dipahami tanpa otoritas teolog.

Sosiolog, psikolog, sejarawan, filosof, saintis dan bahkan orang awam pun berhak bicara tentang
Tuhan. Hadis Nabi Idza wussida al-amru ila ghayri ahlihi fantadzir al-saah, (Jika suatu perkara
diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu (kehancurannya) terbukti. Katholik
pun terpolarisasi menjadi Protestan. Protestan menjadi Liberal dan al-Syiah itu barangkali
lahirnya apa yang disebut dengan modern atheism.

Apa kata Michael Buckley dalam At The Origin of Modern Atheism meneguhkan sabda Nabi.
Ateisme murni di awal era modern timbul karena otoritas teolog diambil alih oleh filosof dan
saintis. Pemikir-pemikir yang ia juluki Para pembela iman Kristiani baru yang rasionalistis
seperti Lessius, Mersenne, Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, itu justru melupakan
realitas Yesus Kristus.

Dalam hal ini Newton tidak mau disalahkan, Trinitas telah merusak agama murni Yesus, katanya.
Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan teolog, Lalu siapa yang bermasalah? Bisa
kedua-duanya.

Ini membingungkan. Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen dari Bible. Ia
dipahami hanya dari implikasi, sebab bahasa Bible itu susah, kata Duane A. Priebe. Konsep
Tuhan akhirnya harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible.

Akan tetapi malangnya kritik terhadap Bible (Biblical Criticism), bukan tanpa konsekuensi.
Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern. Alasannya lugas dan logis.
Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakikat Tuhan dan
tentang kebenaran eksistensi Tuhan itu sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya
Biblenya yang problematik, tapi perangkat teologisnya tidak siap. Inilah masalah teologi.

Tapi ateisme modern bukan mengkufuri Tuhan, tapi Tuhan para teolog tuhan agama-agama.
Yang problematik, kata Voltaire bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang Tuhan. Tuhan Yahudi
dan Kristen, kata Newton problematik karena itu ia ditolak sains.
Bahkan bagi Hegel Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan lalim. Tuhan,
akhirnya harus dibunuh. Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati.
Tapi ia tidak sendiri. Bagi Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan
belum mati, tugas manusia rasional untuk membunuhNya. Tapi Voltaire (1694-1778) tidak
setuju Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada, seandainya Tuhan tidak ada kita wajib menciptakannya.
Hanya saja Tuhan tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Suatu guyonan yang
menggelitik.

Belakangan Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis mencoba menetralisir, Tuhan bukan
tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia. Tuhan telah berbicara
pada kita tapi kini Ia diam. Sartre lalu menuai kritik dari Martin Buber (1878-1965) seorang
teolog Yahudi. Anggapan Sartre itu hanyalah kilah seorang eksistensialis. Tuhan tidak diam, kata
Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan
sangat sedikit merasa. Filsafat hanya bermain dengan image dan metafora sehingga gagal
mengenal Tuhan, katanya.

Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisnya geram. Filosof
berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan pikiran, tapi tanpa rasa keimanan. Martin lalu
menggambarkan nasib Tuhan di Barat melalui bukunya berjudul Eclipse of God. Saat Blaise
Pascal (1623-1662) ilmuwan muda brilian dari Perancis meninggal, dibalik jaketnya ditemukan
tulisan Tuhan Abraham, Tuhan Ishak, Tuhan Yakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan.
Kesimpulan yang sangat cerdas. Inilah masalah bagi para filosof itu.

Begitulah, Barat akhirnya menjadi peradaban yang maju tanpa teks (kitab suci), tanpa otoritas
teolog, dan last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan
dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana peradaban bahkan dari kehidupan publik. Tuhan,
kata Diderot, tidak bisa jadi pengalaman sobyektif. Meskipun bisa bagi Kant (1724-1804) juga
tidak menjadikan Tuhan ada. Berpikir dan beriman pada tuhan hasilnya sama. Kant gagal
menemukan Tuhan. Kant mengaku sering ke gereja, tapi tidak masuk. Ia seumur-umur hanya
dua kali masuk gereja : waktu dibaptis dan saat menikah. Maka dari itu Tuhan tidak bisa hadir
dalam alam pikiran filsafatnya.

Muridnya, Herman Cohen pun berpikir sama. Tuhan hanya sekedar ide, katanya. Tuhan hanya
nampak dalam bentuk mitos yang tidak pernah wujud. Tapi anehnya ia mengaku mencintai
Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang Kalau saya mencintai Tuhan, katanya, maka saya tidak
memikirkanNya lagi. Hatinya ke kanan pikirannya ke kiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya,
dan cintanya tidak melibatkan pikirannya.

Tuhan dalam perhelatan peradaban Barat memang problematik. Sejak awal era modern Francis
Bacon (1561-1626) menggambarkan mindset manusia Barat begini : Theology is known by faith
but philosophy should depend only upon reason. Maknanya, teologi di Barat tidak masuk akal
dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan.

Filsafat dan sains di Barat memang area non-teologis alias bebas Tuhan. Tuhan tidak lagi
berkaitan dengan ilmu, dunia empiris. Tuhan menjadi seperti mitologi dalam khayalan. Akhirnya
Barat kini, dalam bahasa Nietzche, sedang menempuh ketiadaan yang tanpa batas.

Tapi anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa Muslim mengusir Tuhan dari kampusnya
dan membuat plesetan tentang Allah gaya-gaya filosof Barat. Ini guyonan yang tidak lucu, dan
wacana intelektual yang wagu. Seperti santri sarungan tapi di kepalanya topi cowboy Alaska
yang kedodoran. Tidak bisa sujud tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal
yang berunsur western-tainment.

Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah sempurna sejak
selesainya tanzil. Bagi seorang pluralis ini jelas supremacy claim. Tapi faktanya Kalam dan
falsafah tidak pernah lepas dari Tuhan. Mutakallim dan faylosof juga tidak mencari Tuhan baru,
tapi sekedar menjelaskan. Penjelasan al-Quran dan Hadis cukup untuk membangun peradaban.

Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan, dan teks al-Quran
tidak bermasalah. Hermeneutika allegoris Plato maupun literal Aristotle pun tidak diperlukan.
Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas teolog juga tidak terjadi. Justru kekuatan konsep-
konsepnya secara sistemik membentuk suatu pandangan hidup (worldview).

Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia
berkembang menjadi peradaban yang tangguh. Roger Garaudy yang juga bule itu paham, Islam
adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang membentuk
sains, seni, individu dan masyarakat. Islam membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan
kemanusiaan sekaligus. Jika peradaban Islam dibangun dengan gaya-gaya Barat menghujat
Tuhan itu berarti mencampur yang alhaq dengan yang albatil alias sunt bona mixtra malis.

D. Agama

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat
Its like Religion. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun.
Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya
yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan
dibawahnya Manchester United.

Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan its like religion itu cukup mengusik
pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger.
Ini pelecehan terhadap agama.
Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog.
Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne
juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Quran araayta man ittakhadha
ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-
tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.

Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa
menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan
kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama.
Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama


adalah Rasa ketergantungan yang absolut (feeling of absolute dependence). Demikian pula
Whithehead, agama adalah Apa yang kita lakukan dalam kesendirian.

Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini
hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok
untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan
seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.

Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa
dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa
masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan
dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).

Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia
ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna
agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau
pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang
bermasalah. Agama Barat Kristen kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara
Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci,
apalagi Tuhan.

Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu Islam, sebagai agama, telah sempurna
sejak diturunkan. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas
sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep
asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa
agar bisa diterima akal manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrows God,
(Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi
cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern.
Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk
Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Socrates pun pernah berkata: Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan
berhenti berfilsafat. Artinya Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan
dengan akal saya sendiri. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya
berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengategorikan tradisi
intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu
istilah ini dibuang.

Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran
manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional
inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.

Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid
Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion
versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle
saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is
no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan
harus mengikuti peraturan akal manusia. Ia tidak boleh menjadi tiran, tidak boleh ikut
campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta
dianggap absurd.

Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 dibunuh Nietzche dari pikiran
manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama
disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa
Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu
mengatakan its really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan
risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek
kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama
dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak Politik Islam,
No tapi lalu berbisik Berpolitik, Yes.Money Politik laa siyyama (apalagi).

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar
agama-agama dihancurkan. Ini proyek besar bung! kata fulan berbisik. Ini zaman globalisasi
dan kita harus akur kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang Ya akhi
tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya; Gus! Maulud Nabi sama saja
dengan maulud Isa atau Natalan. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis Anda jangan
menganggap agama anda paling benar. Tak ketinggalan para ulama diperingati Jangan
mengatasnamakan Tuhan.

Kini semua orang harus membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas
dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah
hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan Kalau anda tidak pluralis
anda pasti teroris

Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-
kata Hamka yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama mungkin dianggap
kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang
kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.

Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama
Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi
dan semangat. Tidak ada yang absolut selain Allah artinya tidak ada yang tahu kebenaran
selain Allah. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia,
maka semua relatif.

Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut.
Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan
membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar
belakang ribuan santri dengan tulisan singkat Yesus Tuhan kita juga.

E. Kecerdasan dan keimanan

Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita
menarik. Tiga orang Professor menerbitkan hasil riset mereka. Mereka adalah Richard Lynn dari
Ulster University, Irlandia Utara, Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan John
Harvey Sussex, Inggeris.
Riset itu meliputi 137 negara di dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji
sebuah hypothesis adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman atau antara kecerdasan dan
keimanan. Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheis.
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religious.

Lynn dkk mengaku bukan peneliti pertama. Jauh sebelum itu Howells (1928) dan Sinclair (1928)
sudah pernah menguji hypothesa yang sama untuk mahasiswa. Demikian pula Argyle tahun 50
an melakukan penelitian yang sama. Hasil yang mereka peroleh konon mahasiswa cerdas lebih
sedikit kemungkinan menerima kepercayaan ortodoks dan cenderung tidak mendukung sikap-
sikap religius.
Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat
memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan.
Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit
yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan
pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat,
sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya
keimanan.
Sebagai tambahan survey Verhage terhadap 1538 sampel di Belanda (1964) menemukan bahwa
agnostik dan ateis rata-rata memiliki IQ 4 point lebih tinggi dari orang beriman.

Setelah proses browsing di dunia maya, saya memperoleh beberapa data hasil penelitian
tersebut. Untuk mengukur kecerdasan Lynn dkk memakai variable test IQ, sedangkan untuk
keimanan atau religiusitas diukur dari prosentasi penganut ateisme.

Maka dari itu Lynn dkk membuat table yang mencantumkan tingkat IQ penduduk dari 137
negara tersebut dan prosentase penganut ateismenya. Di Jepang IQ penduduknya tinggi (102)
dan penganut atheismnyua juga tinggi (65%). Demikian pula Israel (IQ 95-Atheis 15%), Hungary
(IQ 98-Atheis 32%), Lithuania (IQ 91-Atheis 13%), Latvia (IQ 98-Atheis 20%); Kazkhstan (IQ 94
Atheis 12%), Singapore (IQ 108-Atheis 13%), Vietnam (IQ 94-atheis 81%). Data-data Negara-
negara itu semua mendukung hypothesis diatas. Negara yang IQ penduduknya tinggi jumlah
penganut ateismenya juga tinggi.

Lynn juga mengemukakan table Negara-negara dengan IQ tinggi diatas 94 seperti Belgia (99),
Ceko (98), Denmark (98), Estonia (99), Inggeris (100), Jepang (105), Jerman 99), Perancis 98),
Swedia (99) dan Vietnam (94). Table itu kemudian disertai prosentase penganut atheism yang
terbukti memang tinggi,yaitu diatas 40%.
Tapi masalahnya apakah korelasi itu betul-betul menunjukkan kausalitas. Apakah tingginya IQ di
Ceko penyebab besarnya penganut ateisme (61%). Apakah orang menjadi komunis dan ateis
karena semakin cerdas? Apakah ateisme disana bukan karena tersebarnya faham komunisme?
Inilah poin yang tidak bisa dijelaskan oleh penelitian tersebut.
Demikian pula korelasi negatif itu tidak bisa menjelaskan kondisi negara Vietnam yang IQ nya
lebih rendah dari Singapore tapi penganut atheismenya lebih tinggi (81%). Lebih-lebih untuk
kasus Negara-negara lain. Di Irlandia misalnya IQ pendudukanya 92 tapi prosentasi penganut
atheisnya hanya 5% saja.

Malaysia yang tercatat IQ penduduknya sama dengan Irlandia (92) tapi prosentase penganut
atheisnya lebih kecil yaitu hanya 0.5%. Demikian pula Brueni (IQ 91-Atheis 0.5%), Thailand (IQ
91-Atheis 0.5%), dan Indonesia (IQ 87-Atheis 1.5%). Di negeri ASEAN kita justru bisa melihat
fenomena orang-orang terpelajar yang cerdas-cerdas dan sukes dalam berkarir bukanlah orang-
orang yang ateis atau rendah iman mereka.
Jadi penelitian ini mengandung dua masalah penting yaitu konsep dan metodologi. Secara
konseptual orang tahu, kesimpulan sebuah penelitian kuantitatif berasal dari sebuah hypothesa.
Hypothesa berasal dari cara pandang yang dipengaruhi worldview penelitinya. Latar belakang
agama, budaya, ras dan kepercayaan termasuk disitu. Orang yang membuat penelitian tentang
Kepuasan Palanggan Komplek Prostitusi, misalnya beda worldview nya dari orang yang
meneliti tentang Perbandingan Efektifitas Pendidikan Agama di Sekolah dan di Rumah.

Worldview apapun sebenarnya berperan dalam cara berfikir seseorang, termasuk dalam
kegiatan keilmuan atau menyusun desain penelitian (lihat Alparslan Ackgence, Islamic Science
Towards Definition). Worldview peneliti di Barat pada umumnya adalah saintifik sekularistik
atau setidaknya melihat segala sesuatu secara dichotomik. Artinya agama tidak lagi ada
kaitannya dengan kegiatan kehidupan sehari-hari.
Situasi sosialnya memang demikian. Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat
agama menjadi tidak laku di masyarakat. Yang fenomenal banyak gereja yang kosong. Para
pengurus gerejanya, mungkin, sudah putus asa, karena sepi jemaat. Jumlah jemaat gereja kalah
banyak dibanding jamaat yang antri masuk bar. Gereja sebagai symbol keberagamaan dan
keimanan sudah tidak banyak ditinggalkan.

Di Manchester terdapat nama gereja yang aneh, yaitu A Church for those who dont like to go
to church (Gereja untuk yang tidak suka pergi ke gereja). Di sana sinagog telah menjadi Jewish
Museum. Bahkan Masjid Besar di Manchester masih mempertahankan tanda salib dan altar
gereja. Gereja di daerah Aston dan City Center Bullring Birmingham sudah menjadi sarang
burung dara. Gereja di Stratford Road Camp Hill Birmingham telah berubah menjadi Masjid
Muath.

Itulah arti keluh kesah orang Barat yang masih obyektif spirituality has gone to the east. Persis
seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham, West developed
without Christianity. Itulah setting sosial yang melahirkan hypothesis dan juga variable
penelitian ini. Kalau kita boleh menyimpulkan semakin sekuler orang Barat itu maka semakin
rendah kecerdasan spiritualitasnya.

Jika para peneliti berangkat dari situasi seperti diatas maka konsep religiusitas atau keimanan
dalam penelitian ini bermasalah. Istilah religion, seperti kesimpulan W.Cantwell Smith tidak
pernah definitif. Maka istilah religiusitas yang diambil dari konsep religion pun pasti kabur.

Jika makna religiusitas dan keimanan kabur maka variable pengukur keimanannya bermasalah.
Keimanan atau religiusitas di Barat umumnya diukur dari frekuensi pergi ke gereja. Emanuel
Kant mengaku tidak religious karena seumur hidupnya hanya sekali pergi ke gereja.

Tapi Kanazawa (2009) tidak mengukur dari situ. Ia mengukur keimanan atau religiusitas 14.277
remaja di Amerika Serikat hanya dengan pertanyaan: Apakah anda orang yang beriman?
Jawabannya disusun menjadi 1) sangat beriman, 2) beriman, 3) tidak beriman dan 4) sangat
tidak beriman. Apa yang diperoleh itu memang remaja yang menjawab sangat tidak beriman
memiliki IQ tertinggi yaitu 103,09. Sementara yang mengatakan tidak beriman 99,34; yang
mengatakan beriman 98,28 dan yang mengatakan sangat beriman 97,14.
Jadi kekaburan makna religion, dan juga keimanan menjadikan variable-nya bermasalah. Maka
wajar jika metodologi untuk mengorek keimanan sungguh sangat superfisial. Bisa dibayangkan
remaja yang tidak pernah tersentuh oleh masalah agama tiba-tiba ditanya keimanan. Tentu ia
akan menjawab sekenanya. Akan tetapi apakah terdapat korelasi negatif bahwa semakin cerdas
seseorang itu semakin tidak religius, tidak bisa dibuktikan.

Selain religiositas, makna IQ dan kecerdasan dapat pula dipertanyakan. Test IQ bisa saja mejadi
ukuran. Tapi dalam kehidupan ini IQ saja tidak menentukan banyak hal. Faktor lain yang disebut
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion) juga bisa jadi faktor penting. Meskipun demikian
kecerdasan spiritual satu agama bisa beda variable-nya dari agama dan kepercayaan lain.

Pertanyaan mengapa orang Barat umumnya cerdas? Jawabnya karena banyak kemudahan,
kemakmuran dan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi mengapa orang Barat banyak yang ateis?
Jawabnya bukan karena mereka itu cerdas, tapi lebih karena agama disana sengaja di
marginalkan dan disingkirkan dari ruang publik bahkan dari sains.
Mungkin juga jawabannya karena agama (terutama agama Kristen & Yahudi) di Barat tidak
mampu menjelaskan hal-hal yang saintifik tentang alam, manusia dan Tuhan. Worldview yang
empirisistik dan rasionalistis tidak bisa menjelaskan agama yang metafisis dan agama yang
metafisis tidak mampu menjelaskan itu semua secara saintifik. Wajar jika kemudian para saintis
meninggalkan penjelasan teologi dan hanya bersandar pada akal.

Pertanyaan serupa dapat diajukan kepada penduduk Negara yang IQ nya rendah. Mereka tidak
cerdas karena banyak hal. Lynn dkk, menemukan sebabnya karena kemiskinan, sedikitnya kota
besar, pendidikan bermutu rendah, kurang media elektronik, banyak wabah penyakit, kesehatan
bayi yang rendah, gizi yang buruk, tidak mampu mengatasi polusi dsb. Tapi apakah kurang
cerdas itu menjadikan mereka religius atau sebaliknya karena mereka religius maka mereka
menjadi tidak cerdas? Barber, peneliti lain meragukan adanya korelasi ini.

Jadi apa yang dianggap korelasi disini bisa jadi sekedar sesuatu yang terjadi secara simultan.
Dalam bahasa awam terjadi secara kebetulan. Jika demikian maka kita juga bisa membuat
hypothesa korelasi positif. Hypthesisnya misalnya begini: semakin banyak penduduk yang
beriman dan berislam, semakin besar sumber minyak atau sumber alamnya di negeri itu.

Faktanya memang 63% cadangan minyak dan gas dunia, 70% hasil karet dunia, 65% cadangan
timah dunia, 70% cadangan posfat dunia, 65% cadangan timah dunia, dan lain sebagainya ada
dinegeri-negeri Islam.

Jika di Barat IQ tinggi cenderung ateis, bagaimana Lynn membaca fenomena di dunia Islam saat
ini bahwa semakin cerdas dan semakin kaya seorang Muslim semakin dekat dengan Tuhannya
alias semakin tinggi keimanannya.
Dalam Islam variable keimanan bukan sebatas pernyataan, tapi juga realisasinya dalam bentuk
aksi atau amal. Amal menyangkut perilaku baik buruk alias akhlaq. Jika dijabarkan maknanya
masing-masing akan sangat luas dan kompleks. Maka jika harus diteliti variable keimanan dalam
Islam akan sangat kompleks. Itupun baru dapat diungkap sebagiannya.

Rasanya bukan utopia jika kita dapati di negeri-negeri Muslim sosok seperti ini. Seorang Muslim
yang cerdas dengan IQ tinggi. Ia sukses menjadi pengusaha yang kaya. Pakaiannya berjas berdasi
tidak seperti layaknya ulama, tapi tetap menjaga kesuciannya. Fikirannya terfokus pada bidang-
bidang usaha, tapi hatinya selalu ingat kepadaNya. Waktunya khusus untuk berdagang, tapi
shalat 5 waktunya tertib ditambah rawatib tanpa berselang.

Kekayaan perusahaannya sudah tak terhingga, ia tidak lupa berderma dan hukum halal-haram
tetap ditaatitnya. Meski dunia bisnis adalah dunia yang yang penuh tipu daya, ia tetap berkata
apa adanya. Meski dikiri kanannya penuh godaan maksiat, ia tetap selamat. Bukankah ini yang
oleh Rasulullah dinamakan al-Kaisu, yaitu orang cerdas yang beramal di dunia tapi sekaligus
untuk akheratnya.

Pada tahun ini saya berkesempatan mengunjungi kembali beberapa negara Eropa. Banyak fakta
yang menarik untuk dibagi bersama. Diantara yang menarik adalah ketika saya berkunjung ke
Inggris, Maret 2010.

Di Nottingham saya dapat cerita bahwa sebuah penelitian di Universitas Nottingham


menemukan korelasi bahwa semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan sebaliknya
semakin sekuler dan bahkan ateis ia semakin cerdas.
Saya tidak baca hasil riset itu. Tapi setahu saya, menurut hasil riset W. Cantwell Smith definisi
religion di Barat itu masalah, dan otomatis arti religiusitas pun begitu. Makna cerdas pun juga
masalah. Sebab kini berkembang istilah kecerdasan spiritual. Jadi desain penelitian tersebut
nampaknya perlu dipersoalkan.

Benarkah masyarakat Barat sekuler sekarang ini cerdas. Perlu dikaji lebih lanjut. Jika maksudnya
adalah kecerdasan intelektual itupun masih perlu ujian lebih mendalam. Sebab kecerdasan itu
bukan karena pandangan hidup sekulernya, mungkin faktor lain. Jika maksudnya adalah
kecerdasan spiritual, jelas sekali tidak benar.

Buktinya di Manchester, sinagog yang telah menjadi Museum, dan gereja yang telah menjadi
Masjid. Di Birmingham, masjid Muaz adalah bekas gereja dan seminari. Beberapa gereja di
daerah Aston, Birmingham sudah menjadi sarang burung dara. Jumlah jemaat gereja kalah
banyak dibanding jamaah yang antri masuk bar. Gereja sudah tidak lagi dikunjungi banyak
orang.

Disana tidak ke gereja berarti tidak religius lagi. Mungkin karena sudah putus asa, di Manchester
terdapat nama gereja A Church for those who dont like to go to church. Itulah arti pernyataan
spirituality has gone to the east.

Persis seperti kata Prof. David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham Barat itu maju
tanpa agama. Artinya, semakin sekuler semakin rendah spiritualitasnya. Mungkin itu sebabnya
mengapa di Barat training kecerdasan spiritual menjamur. Jadi riset diatas tidak reliable. Apalagi
menurut Islam spiritualitas dan intelektualitas itu hampir tidak ada bedanya.

Benarkah jalan sekuler adalah pilihan cerdas dan solusi segala masalah. Ternyata tidak.
Menyingkirkan agama dari publik malah bermasalah. Di Perancis, Jerman, Swiss dan beberapa
negara Eropa yang anti agama, pemerintahnya mulai mengurusi agama.

Di Inggris pemerintah terpaksa membolehkan Muslim buka mahkamah syariah. Kini di Amerika
malah muncul ide de-privatization of religion, artinya agama tidak lagi bersifat privat. Harvey
Cox, yang pernah menjual ide sekularisasi agama-agama, akhirnya mengoreksi idenya itu. Ia lalu
menulis makalah berjudul Reconsidering Secularism. Barat kini seperti dalam kebingungan.

Menjadi sekuler ternyata juga tidak membuat orang semakin bijak. Bulan lalu saya
menyampaikan public lecture di Universitas Wienna, Austria. Temanya tentang moderasi dan
toleransi. Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini
dan negara Eropa tidak. Jawab saya, Barat itu terlalu sekuler dan bahkan terlalu kaku, sehingga
tidak toleran pada agama.

Di Indonesia agama bisa muncul di ruang publik. Ceramah agama-agama bisa muncul di TV.
Tabligh akbar, Natalan atau peringatan hari keagamaan bisa diadakan di ruang publik. Sesuatu
yang mustahil terjadi di Barat. Ini bukti lain bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif
dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.

Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah sikap keberagamaan. Itu pun berdasarkan
analisa abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-
sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling
menyalahkan.
Konflik bermuara pada pembunuhan. Andrew Sullivan di The New York Times Magazine
menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan
17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam.

Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang. Yang jadi sample adalah
peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada,
tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan.
Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik.

Tidak puas dengan sample peristiwa, Jack Nelson-Pallmeyer merujuk kepada kitab suci. Ia lalu
menulis buku Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran. Intinya, kedua kitab
ini memerintahkan pembunuhan.

Tapi konflik antar agama bukan satu-satunya alasan. Konflik yang sebenarnya justru antara
agama dan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan
pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.

Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama.
Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John
Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.

Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, All race, all nation, all
religion but one god. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology.
Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan
seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata
bagi dia itu benar.

Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham,
disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu.
Itu simbul pluralisme dan kesamaan Tuhan agama-agama.

Di Universitas Salzburg, setelah kuliah umum saya sempat diskusi dengan dosen systematic
theology Profesor Hans Joachim Sander. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori
pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang.
Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.

Bahkan dia terus terang Liberalisme itu omong kosong. Ia juga sepakat ketika saya katakan
bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah
pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama.

Lucunya, menindas agama tapi masih mencari jalan spiritualitas. Artinya menjadi sekuler atau
liberal bukan pilihan cerdas tapi membingungkan diri sendiri dan orang lain. Begitulah nestapa
masyarakat yang telah kehilangan misykat.

F. Filsafat Agama

Baru-baru ini Kementerian Agama melalui Dirjen Diktis mencoret program studi (prodi) filsafat
Islam menjadi filsafat agama. Padahal filsafat Islam ada dalam khazanah pemikiran Islam dan
juga telah menjadi prodi di banyak perguruan tinggi Islam. Sedangkan filsafat agama merupakan
produk dari kajian agama di Barat dan tidak ada dalam tradisi intelektual Islam.

Sejak zaman modern diskursus agama Di Barat berpindah dari tangan teolog ke tangan para
filosof. Pernyataan theology was subservient to philosophy atau under the tutelage of
philosophy adalah realitas yang tidak disesali.

Artinya, teologi menjadi bulan-bulanan para filosof. Untuk sekedar menyebut beberapa nama,
Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan lain-lain adalah
filosof-filosof yang bicara soal agama. Padahal mereka tidak punya otoritas untuk bicara teologi.

Para pakar sosiologi, psikologi, antropologi dan lain-lain pun ikut-ikutan membawa agama ke
ranah disiplin mereka. Para sosiolog menggunakan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882)
untuk menjustifikasi adanya perubahan dalam agama. Herbert Spencer (1820-1904) juga
mengikuti. Friedrich Max Muller (1794-1827), Emile Durkheim (1858-1917), Rudolf Otto (1869-
1937) dan lain-lain mengaitkan agama dengan realitas sosial.

Akhirnya, wacana keagamaan mereka itu tidak lagi bisa disebut teologi, mereka lalu
menciptakan apa yang mereka sebut philosophy of religion.

Filsafat Agama adalah suatu disiplin ilmu yang metode dan basis teorinya adalah filsafat Barat.
Obyeknya adalah semua agama. Maka ketika filsafat membahas agama-agama itu, worldview
Barat berada pada posisi bird-eye. Doktrin filsafat berada diatas doktrin agama-agama. Disini
pembahasan agama berada pada zone bebas agama tapi tidak bebas dari worldview Barat.

Di era postmodern disiplin ilmu ini kemudian dikembangkan menjadi Filsafat Agama Lintas
Kultural (Cross-Cultural Philosophy of Religion). Ini berarti bahwa obyek kajian filsafat agama
diperluas dari sekedar agama yang ada dalam kultur Barat menjadi agama-agama dan
kepercayaan yang berasal dari kultur lain.

Metode dan cara pandangnya tetap pemikiran filsafat, sosiologi dan antropologi Barat. Agama
hanya dianggap sebagai produk dari kreatifitas manusia dan akan terus berubah sebagaimana
makhluk hidup (living organism). Namanya pun dirubah menjadi sekedar penumpukan tradisi
(cummulative tradition).

Namun, menurut Thomas Dean, benih-benih disiplin ilmu filsafat agama telah ada sejak tahun
1950an, ia berbuah pada tahun 1960an, membesar pada tahun 1970an dan menjadi buah
masak pada tahun 1980an.

Benihnya adalah buku filsafat agama Ninian Smart (1958) Reason and Faith. Diikuti oleh karya
Wilfred Cantwell Smith The Meaning and End of Religion (1960), yang membahas pemahaman
agama lintas kultural dan kehidupan keagamaan sebagai sebuah dynamic historical continuum,
dan bukan merupakan sistem tertutup. Periode pembesaran, ditandai oleh penerbitan esai
analitis William Christian, Opposition of Religious Doctrines (1972).

Ditambah lagi ketika karya kroyokan para filosof dan pakar sejarah agama yang berjudul Truth
and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claim (1974) dan yang disunting John Hick
terbit. Buah itu menjadi semakin besar ketika Raimundo Panikkar menerbitkan bukunya, The
Intrareligious Dialogue (1978) dan Hick sendiri menulis buku Philosophy of Religion.
Sebagai titik kulminasi dari wacana ini adalah terbitnya karya Wilfred Smith yang berjudul
Towards World Teology, dan karya John Hick berjudul Problems of Religious Pluralism (1985)
dan Interpretation of Religion (Gifford Lecture, 1986-87). Didalam karyanya inilah Hick
mendeklarasikan perlunya teologi global.

Jadi buah masak dari disiplin filsafat agama adalah pluralisme agama. Goal getter nya adalah
Smith dan Hick. Jika seseorang memilih menjadi sarjana program studi filsafat agama di
perguruan tinggi Islam boleh jadi ini hanya akan menambah barisan penggugat fatwa MUI.
Artinya dari prodi ini akan lahir sarjana-sarjana pluralis yang akan percaya bahwa semua agama
itu sama benarnya dan Islam bukan yang paling benar.

G. Iconoclasm
Postmodernism is iconoclastic kata Ferid Muhic mengawali kuliahnya di kampus ISTAC
Malaysia di suatu pagi pada dekade lalu. Mata, telinga dan pikiran kami terfokus pada apa yang
akan dijelaskan kemudian oleh Profesor Filologi dan filsafat Barat asal Macedonia itu.

Kami begitu penasaran apa sebenarnya maksud profesor itu. Apa yang diperbuat oleh orang-
orang postmodernis itulah yang disebut iconoclastic acts of destruction lanjutnya. Namun,
pernyataan kedua ini masih menantang Curiositas kami.

Kata-kata Profesor pun terus mengalir. Syhadan diceritakan, suatu ketika John Chapman (1887)
membuat lukisan yang lebih unggul dari aliran impressonisme modern. Tapi ia tidak tahu apa
nama lukisannya itu. Pokoknya bukan lukisan modern dan bahkan menyimpang dari pakem
lukisan modern. Ia dengan nada main-main menamakannya post-Modern.

Lain John Chapman lain pula Charles Jencks. Jencks bersorak gembira ketika pada suatu hari di
tahun 1972, perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat dihancurkan.
Gembira, karena bangunan itu adalah lambang kepongahan arsitektur modern. Hancurnya
arsitek modern adalah kematian modernisme dan kelahiran postmodern. Banyak kisah seperti
ini, tapi yang penting adalah bagaimana orang memaknai istilah postmodern.

Postmodern berasal dari kata modern. Modern yang diduga ditemukan oleh Cicero itu berarti
here, now atau up to date, terkini atau kekinian. Istilah ini kemudian disematkan kepada zaman
kejayaan Barat setelah zaman Kegelapan (Dark Ages) Eropa.

Tapi karena itu nama zaman, dan zaman itu selalu berubah, maka nama ini dipersoalkan. Apalagi
di Barat, perubahan -termasuk dalam soal keyakinan dan kebenaran- adalah keniscayaan. Segala
sesuatu harus berubah dan tidak ada yang permanen kecuali perubahan. Tentu yang berubah
tidak pernah berwajah. Tanpa wajah boleh jadi tanpa identitas. Identitas modern dianggap tidak
ada atau tidak keren lagi.

Bosan menjadi modern, orang lalu ganti identitas baru yaitu post-Modern atau after now. Tapi
istilah ini pun bermasalah. Sebab waktu setelah hari ini secara esensial tidak atau belum wujud.
Kalaupun dianggap wujud ia hanya sebagai wujud akal (mental existence).

Tidak aneh jika bagi sementara pakar bahasa istilah postmodern itu dianggap aneh. Leszex
Kolaskosky, misalnya, mencirikan kata post-modern sebagai cacat istilah atau syntaxmatic (suatu
perkawinan 2 kata yang tidak sah secara linguistik).
Maka dari itu hasilnya ambiguous. Kekesalan memahami istilah Postmodern mirip dengan
anekdot di warteg Hari ini bayar, besok gratis. Tidak seorang pun pernah makan gratis disitu,
sebab orang akan selalu makan hari ini dan tidak akan pernah makan esok hari.

Istilah postmodern kemudian dinisbatkan kepada suatu sikap sosial, sikap hidup atau mentalitas.
Tapi tetap saja cacat. Sebab ternyata nama itu lahir dari kebencian, kritik atau bahkan
kemarahan pada masa lalu. Postmo seperti durhaka pada ibu yang melahirkannya.

Watak postmodern yang serba menghancurkan atau dekonstruktif itu iconoclastis namanya.
Iconoclasticism adalah istilah keagamaan yang diambil dari kata eikon dan klaein. Eikon artinya
gambar, frame atau image dan klaein artinya menghancurkan.

Dulu, iconoclasticism adalah aliran keagamaan dalam Kristen yang menafikan pemujaan
terhadap gambar (iconolaters). Penganutnya disebut iconoclast yang kemudian menjadi julukan
bagi siapa pun yang merusak dogma yang mapan. Di zaman Byzantium mereka dikenal dengan
sebutan iconodules atau iconophiles.

Dari sekedar menghancurkan gambar keagamaan, iconoclasme berubah menjadi sikap


menghancurkan tradisi. Icon bukan lagi gambar tapi doktrin, tradisi, kepercayaan atau prinsip
kebenaran.

Bagi Rudolf Panwitz dalam The Crisis of European Culture, yang dihancurkan postmo adalah
sikap militeristik, elitis dan nasionalistis. Menurut Kevin J. Vanhoozer, dalam The Cambridge
Companion to Postmodern Theology, target penghancuran postmo adalah bangunan, sistem
konsep, rezim politik, dan teologi.

Tapi bagi Nietszche lebih fundamental lagi, yang dikritik dan dihancurkan postmo adalah nilai
kebenaran. Karena kebenaran berasal dari tuhan, tuhan pun kena marah lalu dibunuh.
Membunuh tuhan adalah membunuh keimanan atau teologi. Karena teologi adalah bagian dari
metafisika, maka postmodernisme adalah post-metafisik, atau post-religion. Kalaupun ada itu
namanya religion without god.

Metafisik adalah rumah agama-agama. Maka putus cinta dengan agama berarti hengkang dari
rumahnya. Disini postmodernis kehilangan atau menghilangkan segalanya, kecuali nalarnya.
Maka tepat sekali Giani Vattimo ketika menyimpulkan bahwa orang Barat postmodernis adalah
nihilis yang sempurna atau kufur kaffah, dalam bahasa Islam.

Maknanya, nihil dari kebenaran dan nilai. Sebab seperti ajaran Nietzsche, kebenaran itu tidak
pasti, karena terus berubah. Bahkan prinsip pertama postmodern yang iconoclastic itu bagi
Kevin J. Vanhoozer adalah himbauan Jangan percaya pada yang absolute.

Alasannya, percaya pada kebenaran absolute menurut Lyotard dalam Postmodern Explained
adalah kejahatan kemanusiaan. Sebab kepercayaan ini menjurus pada totalitarianisme atau
ideologi. Kini apa yang dilakukan postmo terhadap agama, seni, filsafat dan berpikir secara
umum adalah pembersihan kuil-kuil pengetahuan dari sisa pemujaan konseptual.

Akhirnya, kebenaran berganti rumah dari metafisik menjadi fisik, dari surga turun ke dunia, dari
sacred menjadi profan. Alat ukurnya pun kaca mata saintis sosial (khususnya konstruksionis).
Sifatnya menjadi positivistik dan saintifik yang terus berubah sesuai dengan realitas obyektif.
Benar berarti benar secara empiris dan sosiologis-kultural. Benar menurut Tuhan sudah tidak
relevan lagi karena tuhan di zaman postmo telah mati.

Kalau jutaan pria-wanita di AS setuju dengan nikah sejenis, misalnya, maka nikah seperti itu
adalah benar secara obyektif. Dapat disahkan oleh undang-undang, kalau tidak akan melanggar
HAM. Bagi postmo tidak ada lagi nilai standar untuk menentukan baik-buruk dan benar-salah,
kecuali masyarakat. Itulah dekonstruksi nilai, kebenaran dan otoritas pemegangnya sekaligus.

Jadi, kini iconoclasme beralih fungsi menjadi menghancurkan logosentrisme (cara berpikir) Barat
modern, dogma dan doktrin keagamaan, kebenaran, nilai-nilai moralitas, tatanan sosial bahkan
makna-makna mapan dalam bahasa. Iconoclast secara khusus berarti orang yang menyerang
kepercayaan atau lembaga yang telah mapan. Jadi apa yang sedang dikerjakan orang
postmodernis yang berwajah liberal itu adalah iconoclastic acts of destruction.

H. Mendudukkan Orientalis
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui,
Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif
keilmuan, keagamaan, ataupun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat
diperlukan.

Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap
kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit
diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka
telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang
non-Muslim.

Al-Attas bahkan menyatakan bahwa kita tidak akan dapat mengetahui masalah yang dihadapi
umat Islam jika tidak mengetahui perbedaan Islam dan Barat. Namun ia tidak berbicara Barat
dalam pengertian politik. Apa yang ia tekankan adalah dalam aspek pemikiran atau secara
umum aspek pandangan hidup.

Terdapat perbedaan bahkan pertentangan permanen antara pandangan hidup Islam dan Barat.
Oleh sebab itu jika kita mempelajari pemikiran orang Barat, khususnya orientalis, kita perlu
mengkaji pula pandangan hidup yang menjadi asumsi dasar pemikiran tersebut. Pandangan
hidup yang dimaksud terdiri dari konsep Tuhan, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep
kenabian, konsep alam dan lain-lain.

Pada dasarnya, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial antara orientalis dulu dan
sekarang. Malah, Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamic
Movements and The Western Response: Clash of Civilizations or Clash of Interests?, menyebut,
ilmuwan kontemporer seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran neo-Orientalist yang
berbeda dengan aliran neo-Third-World. Pola pikir neo-Orientalist Lewis itulah yang mewarnai
isi buku barunya, The Crisis of Islam, yang begitu banyak membela politik neo-Konservatif AS.

Singkatnya, kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimanapun ilmiahnya, ia tetap berpijak


pada pre-supposisi Barat, dan terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah, dan al-Quran adalah firman Allah tidak menjadi asas bagi kajian mereka.
Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui
Islam sebagai agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui al-Quran sebagai firman
Allah.

Sebab al-Quran memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani,
seperti: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-
Masih putra Maryam, (al-Maidah, 5: 17 dan juga 5: 72); Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga.(al-Maidah (5: 73); Dan karena
ucapan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-masih, Isa putra Maryam, Rasul
Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang
diserupakan dengan Isa bagi mereka (al-Nisa 4: 157) dan berbagai ayat lainnya.

Kandungan al-Quran yang mengecam ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu jelas akan menuai
reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah
menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik
ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Quran (Arthur Jeffery, Ghevonds Text of the
Correspondence between Umar II and Leo III, Harvard Theological Review, p. 269-332).

Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasulullah SAW sebagai nabi palsu.
Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam
bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus.

John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab
yang bodoh. Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat
kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit
epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu
seksnya tidak tersalurkan. (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: The Heresy of the
Ishmaelites (Leiden: E. J. Brill, 1972, hal. 67-95).

Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M
berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of
desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai orang yang kasar, cinta perang dan biadab,
buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga
ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi.

Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu,
Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam
bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan,
berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan
seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.

Gambaran buruk tersebut dimanipulasi oleh Paus Urbanus II untuk membakar semangat
penganut agama Kristen dalam Perang Salib. Disebabkan provokasi Paus Urbanus II ini, ratusan
ribu umat Islam disembelih sejak bermulanya perang salib pada tahun 1095.

Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat,
image buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai karya setan.
Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak
setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan
pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah SAW beserta al-Quran terus menjadi target.
Snouck Hurgronje mengatakan: Pada zaman skeptic kita ini, sangat sedikit yang dikritik, dan
suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah
ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we
may expect to hear that Muhammad never existed).

Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis
sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul Did Muhammad Exist? Dalam
artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan
Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi, karena selalu adanya asumsi bahwa
setiap agama harus mepunyai pendiri.

Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis
klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.

Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar,
level, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad
dan kebenaran al-Quran.

Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis.
Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena
hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah SAW dan al-Quran tidak dibangun dari
keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.

Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak DB. MacDonald Alfred
Gullimaune, Montgomery Watt atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael
Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines dan lain-lain mempunyai framework
yang hampir sama.

Diantara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains dan hal-hal
yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah carbon copy dari pemikiran
Yunani. Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang
bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan
sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah
unsur utama berkembangnya peradaban Islam.

Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka
menjadi benar. Sebab, asumsi dan juga konsekuensi dari framework diatas adalah pengingkaran
terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Transmisi ilmu pengetahuan
melalui sumber yang disebut khabar mutawatir tidak diakui oleh mereka sebagai valid.

Jadi, sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun
kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam
yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal.

Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Quran, etika dalam Islam,
politik dalam Islam dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan
pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri.
Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan
mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman
kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang
jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.

Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah
melahirkan peradaban yang gemilang. Untuk mempertahankan dan mengembangkan
peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban
asing.

Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap
masuknya segala macam unsur dari peradaban lain. Sebab adil dalam Islam adalah meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya.

Untuk mengetahui tempat segala sesuatu perlu ilmu keislaman yang luas, dan dengan ilmu itu
orang akan bersikap kritis. Hikmah adalah barang milik mukmin yang hilang, namun seorang
mukmin tidak dapat menemukan hikmah yang hilang itu kecuali ia mengetahui apa itu hikmah.

I. Humanisme
Saya punya pengalaman menarik, waktu itu dalam suatu acara bersama para wali murid sekolah
anak saya di kawasan Aston Birmingham tahun 1998. Setelah kenalan dengan saya salah
seorang ibu-ibu bertanya Anda belajar apa? saya jawab Theology. Ups if you want to have a
friend dont talk about religion and politic katanya.

Mendengar theology ia seperti terkejut dan menjadi tidak bersahabat lalu meninggalkan saya.
Lama saya termangu dan bertanya-tanya. Ada apa dengan agama? Mengapa agama tidak jadi
alat persahabatan? Saya terus memendam pertanyaan itu selama saya di Inggris.

Kini saya baru mengerti. Sensus tahun 2001 di Inggris menunjukkan sedikitnya 15.5%
penduduknya tidak beragama. Survei Kementerian Dalam Negeri Inggris tahun 2004
menyatakan 22% penduduknya tidak percaya pada agama. Survei yang lain menunjukkan 30-
40% penduduk Inggris mengaku ateis dan agnostik, dan 65% nya pemuda.

Polling Ipsos MORI bulan November 2006 membuktikan 36% penduduk Inggris menganut
paham humanisme dalam soal moralitas. Itulah sebabnya mengapa di Inggris orang lebih banyak
konsultasi ke the British Humanist Association daripada ke pastur di gereja. Ibu-ibu wali murid
itu mungkin seorang humanis.

Humanisme ternyata seumur peradaban Barat. Istilah humanisme tercipta tahun 1808. Aslinya
bahasa Italia umanista, yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat
dilacak dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke 14. Semangat mengkaji filsafat, seni,
sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan individu dan kemampuan manusia
untuk menentukan kebenaran cukup kuat.

Lucunya, paham yang mencibir agama itu datang dari dalam agama. Adalah kardinal Pelagius
(354-420) yang mulai berwacana bahwa manusia punya kapasitas untuk berkembang sendiri
tanpa Tuhan. Bisa tahu baik buruk dengan akalnya.

Mula-mula Jerome dan St. Augustine yang mengkritik. Tapi ketika Pelagius tidak percaya pada
doktrin dosa warisan (original sin) dan menolak doktrin predestinasi Calvinisme ia dianggap
melawan gereja. Roma dan the Council of Orange tahun 529 akhirnya menfatwakan ide
Pelagius itu sesat. Tapi waktu itu belum ada kelompok liberal yang membela Pelagius dan
mentololkan petinggi Roma, seperti liberal disini yang mentololkan MUI.

Anehnya, meski difatwa sesat wacana Pelagius terus menghiasi perjalanan sejarah Katholik abad
pertengahan, mengiringi dendang Humanisme Renaissance, dan memotivasi Liberalisme
modern. Protestan yang kata Weber memendam jiwa kapitalisme itu langsung bersahabat
dengan humanisme. Sebab worldview humanisme, Protestan dan kapitalisme sejalan.

Perkawinan Kristen dan humanisme seperti tidak tertahankan lagi. Humanisme Kristen
(Christian Humanism) akhirnya lahir, tapi seperti ada kelainan genetik. Teologinya dirubah
menjadi berorientasi kemanusiaan. Anak cucu Pelagius pun bermunculan.

Teolog Belanda Erasmus, pengarang Inggris dan juga penganut Katholik Roma Thomas More,
penulis Perancis Francois Rabelais, sastrawan dan cendekiawan Itali Francesco Petrarch and
Giovanni Pico della Mirandola adalah humanis Kristen tulen.

Zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 serta kebebasan berpikir abad ke 19 telah
memoles humanisme menjadi berwajah modern. Pergumulan antara agama, modernisme dan
humanisme terus berlangsung. Awalnya humanisme berteduh di rumah agama. Tapi kemudian
meninggalkan dan memaki agama.

Di Inggris perkawinan humanisme dan agama awalnya masih bisa dipertahankan. Organisasi
humanisme paling awal bernama Humanistic Religious Association didirikan di London tahun
1853. Namun, ketika buah perkawinan itu membesar di zaman pencerahan dan rasionalisme di
abad ke 18 dan 19, ia berwajah modernis dan meninggalkan agama.

Perkumpulan humanis bernama the British Humanist Association tidak lagi memakai sifat
religious. Claire Raynes, wakil Presidennya, mengaku seperti pindah rumah ketika bergabung
dengan organisasi Humanisme itu. Alasannya, dalam humanisme tidak ada intimidasi seperti
dalam agama.

Sewaktu Salman Rushdi menulis The Satanic Verses tidak ada yang sadar bahwa agama sedang
dihabisi seorang humanis sekuler. Dalam sebuah acara Nightline TV ABC pada 13 Februari 1989
terus terang dia nyatakan saya tidak percaya pada mereka yang mengklaim tahu seluruh
kebenaran dan mencoba memaksa dunia ini agar ikut kebenaran itu. Lebih jelas lagi dalam
pernyataannya di New York Review tanggal 2 Maret.

Jadi dia sebenarnya telah berada di luar agama dan menjadi sebagai humanis sekuler. Dan
melalui karyanya Satanic Verses Saya mencoba memberi visi sekuler dan humanis terhadap
agama besar ini (maksudnya Islam), katanya dalam New York Review 2 Maret 1989. Di Barat
anak yang telah dewasa memang berhak minggat dari rumah. Orang beragama berhak murtad.

Di Amerika humanisme seperti anak nakal. Organisasi pertamanya (berdiri Februari 1877) tidak
sudi memakai kata religious. Pemrakarsanya F.C.S. Schiller didukung oleh Charles Francis
Potter dipengaruhi oleh doktrin pragmatisme William James.

Organisasi yang didirikan Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist jelas-jelas bernama
the Council for Secular Humanism. Demikian pula Humanist Society of New York yang didirikan
Charles Francis Potter tahun 1929 juga sekuler.
Penasehatnya Julian Huxley, John Dewey, Albert Einstein dan Thomas Mann. Ini disusul oleh
kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the
American Rationalist Federation dan sebagainya. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak
semua supernaturalis. Modalnya akal dan sains, alat penyebarannya adalah demokrasi. Dan
semua itu demi kepentingan kemanusiaan.

Di era globalisasi dan teknologi modern disaat mana agama kehilangan otoritasnya, humanisme
talak tiga dari agama. Fenomenanya terlihat ketika Potter bersama istrinya Clara Cook Potter
berani menerbitkan buku aneh (tahun 1930) berjudul Humanism: A New Religion.

Disinilah humanisme tidak hanya pindah rumah dari agama tapi sudah menjadi rival agama. Ini
tidak hanya mensekulerkan agama, tapi meng-agamakan paham sekuler. Inilah agama yang
tidak lagi berhubungan dengan Tuhan. Tidak aneh jika kemudian Fatwa tentang kemanusiaan
kini direbut humanisme.

Dari awal humanisme memang sudah berwatak sekuler. Tapi resmi berwajah sekuler ketika
berdiri the Council for Secular Humanism oleh Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist.
Karena sekularisme inklusif dalam modernisme, humanisme modern dan humanisme sekuler
sama saja.

Garda depannya adalah kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular
Humanism dan the American Rationalist Federation. Doktrinnya filsafat naturalisme yang
menolak semua supernaturalis. Andalannya akal dan sains, demokrasi dan kepentingan
kemanusiaan. Paul Kurtz dan Potter mungkin sudah lama berwacana bagaimana menghabisi
agama.

Babak-babak marginalisasi agama oleh humanisme modern dan sekuler terus berlangsung.
Ketika globalisme dan teknologi modern bangkit kekuasaan agama jatuh. Humanisme religius
pun kehilangan watak religiusnya.

Namun watak humanisme yang sejak awal telah menggugat agama itu akhirnya tidak dapat
menutupi identitasnya. Humanis adalah ateis. Faktanya semua aktifis humanis tidak sungkan lagi
mengklaim dirinya ateis dan agnostik. Robert G. Ingersoll, seorang humanis sekuler terang-
terangan berkata: Kini saya yakin hantu (ghost) dan tuhan (god) adalah mitos. Aku bebas
berpikir dan berbuat apa saja aku bebas! Bagi humanis sekuler tidak perlu lagi teriak
hallelujah! Jika ia Muslim pasti ia benci dengan yel Allahu Akbar.

Lucunya humanisme religius sama-sama menanda tangani Manifesto Humanist I & II tahun 1933
dan 1973. Tapi kedua manifesto itu dihegemoni humanisme sekuler. Sementara Humanisme
Kristen sudah dikuasai oleh Unitarianisme dan Universalisme. Suatu organisasi keagamaan
liberal dibawah gereja the Unitarian Universalist (UU) Amerika Utara. Kini kelompok Unitarian
yang liberal ini telah dianggap telah keluar dari Kristen.

Puncaknya kemenangan humanisme sekuler terjadi tahun 2008. Pemerintah Inggris pada
tanggal 8 Mei 2008 menyetujui Undang-undang Kriminal, Keadilan dan Keimigrasian. Undang-
undang itu mengandung amandemen untuk menghapus larangan penistaan agama.
Hak istimewa gereja dan agama tidak sesuai lagi dengan masyarakat Inggris modern. Undang-
undang ini benar-benar bertujuan menjaga masyarakat beserta hak-hak mereka, dan tidak
melindungi pemikiran dan kepercayaan mereka dari kritik.

Meski demikian, buku Potter berjudul Humanism: New Religion, masih dicibir kalangan gereja di
Amerika. Mereka membuat artikel plesetan berjudul Humanisme: The Atheists Religion!
Bibelnya: Manifesto Humanism; Obyek sembahannya: Manusia; Pendeta dan Misionarisnya:
Para pendidik; Seminarinya: Guru-guru sekolah; Gerejanya: Universitas. Mungkin jihad nya
adalah memerangi agama.

Akhirnya manusia sudah bukan makhluk Tuhan, tapi hasil evolusi. Tidak ada kehidupan sesudah
mati. Prinsip hidup humanis sangat simple: makan, minum dan kawinlah sepuasmu karena
mungkin besok akan mati. Lakukan apa saja asal kamu suka. Seks, lesbi, homo, kawin cerai,
bunuh diri, aborsi eutanasia adalah hak asasi dan tidak ada yang berhak mencampuri anda.

Cara perang melawan agama itu mudah. Manifesto Humanisme di Amerika Selatan pada 7 Mei
2005 mendeklarasikan kembali lagu-lagu Yunani Humans are the measure of all things. Jika
pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan,
humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.

Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin
cerai, bunuh diri, aborsi, eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. Baik buruk,
kata Betrand Russell yang ateis itu, adalah kualitas milik obyek yang terpisah dari opini kita.
Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif atau normatif.

Pantas! Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung sampai berdarah adalah kekerasan. Tapi
mutilasi tanpa takbir dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat maksiat dengan takbir
demi nahi munkar melanggar HAM.

Tapi, razia polisi demi keamanan dan tanpa takbir adalah biasa. Artinya jangan bawa-bawa
agama untuk kemanusiaan, apalagi berbentuk kekerasan. Pokoknya agama dipasung agar tidak
masuk ke ranah publik dan humanisme diusung agar menjadi agama publik. Ukuran moralitas
bukan agama tapi publik. Moralis tidak harus religius.

Disini sayup-sayup mulai terdengar Christian Humanism kini diterjemahkan menjadi Muslim
Humanis. Dengan bahasa fiqih mereka berfatwa Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk
manusia, maka ukurannya juga bukan Tuhan, Tujuan (maqasid) syariat lebih penting dari
syariat artinya Kemanusiaan lebih penting dari syariat, Konteks lebih penting daripada
teks.

Tidak! Memang tidak ada yang salah dalam agama. Tapi agama telah kalah dari Humanisme.
Manusia tidak lagi untuk Tuhan, tapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius.
Sila ketuhanan boleh jadi nantinya diganti dengan sila kemanusiaan. Sebab, disini ilmuwannya
sudah berani berfatwa Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, kemanusiaan lebih
penting dari syariat.

Kini ukurannya bukan syariat tapi insaniyah atau basyariah. Dulu saja Tertulian secara pejoratif
mengeluh What has Jerusalem to do with Athens? (maksudnya apa gunanya agama bagi akal).
Mungkin keluh kesah Tertulian itu akan berubah begini: Apa yang bisa dilakukan agama jika
semua demi manusia?.
Kini waktunya kita menyoal diri (muhasabah) apa gunanya agama jika kita hanya ingin surga
(dunia). Apa gunanya qalbu jika syahwat sudah menggebu? Saya akhirnya paham mengapa
penganut humanisme itu tidak bisa ngopi bersama sambil bicara agama dan Tuhan. Karena
mereka telah merasa jadi tuhan.

J. Religious-Humanis
Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi, Daripada beragama tapi jahat lebih baik
berperikemanusiaan meski tidak beragama. Itulah logika geram para pembenci agama dan
pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata jimat
atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah
dalih humanisme.

Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris
(Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap
sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga
postmodern.

Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak
riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan,
menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya
Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya
membuka jalan bagi blasphemy.

Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche.
Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur
Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak
Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan
agama-agama tidak lagi diberi ruang.

Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang
menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun
1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini
merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.

Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious
Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi.
Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the
World Religions.

Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di
California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada
bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti
perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.

Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan,
Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam
DUHAM.
Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius
dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani
malah menyatakan bahwa DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen
yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam.

Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan
yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh
Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya
memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah
syariah Islam.

Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya
menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika
sekuler liberal ateis itu salah.

Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya
mencatatkan Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi
politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang.

Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang,
mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit
dan juga tawanan perang, berhak untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta
pelayanan kesehatan.

CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa
mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama.
Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak
untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk
mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.

Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala
bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk
mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih
banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama
apalagi Tuhan.

Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan
pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik,
serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah
Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau
disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan
nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau
melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin
keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi
ras adalah dilarang.

Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan
manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah
terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang
dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah
beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.

Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin
humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an raahustaghna.

K. ATEIS
Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak: Aku mencari Tuhan! Aku mencari
Tuhan!. Orang lalu berkerumun menontonnya. Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari
atau pindah rumah?, Tanya seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam
semua orang yang monontonnya di pasar itu lalu bertanya Coba [terka] kemana Tuhan pergi?
Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita
telah membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!

Kisah diatas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof proklamator kematian Tuhan di
Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan. Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk
saja dianggap jahat. Tapi Nietszche juga jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan
baginya hanya ada dalam pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis tulen. Lho,
kalau begitu Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!

Ateisme ala Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah lama gerah dengan
agama. Siapapun yang beragama pasti tidak bebas, kata Nietszche.

Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun susah, apalagi ateis. Sedikit-
sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir seperti plesetan dan penghinaan. Kamu ateis! sama
maksudnya dengan Kamu anarkis! Kamu komunis! Ateis malah bisa berarti sifat orang tidak
saleh.

Munafik, pendosa yang merasa suci, berani dan bangga, bagi John Wingfield adalah ateis. Bagi
dramawan Inggris, Thomas Nashe (1567-1601), ambisius, tamak, rakus, sombong dan pezina
termasuk ateis. Lebih menggelikan lagi standar Penyair William Vaughan (1577-1641), tandanya
ateis yang nyata adalah menaikkan sewa rumah. Pendek kata semua yang buruk adalah ateis.

Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan institusi gereja. Giordano
Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia, Pierre Carvin, Pendeta Robinson, pengarang Honest
to God, Paul Tillich, pengarang Systematic Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh
hermeneutika adalah pengkritik teologi Kristen dan dianggap ateis.

Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Ingkar saja tidak cukup jadi hero.
Ingkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran
kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena minta ketaatan penuh.

Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche menegaskan tuhan tidak ada. Sesudah


Nietszche membunuh tuhan, Rudolf Bultmann, (1884-1976) penulis New Testament and
Mythology, memastikan Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat. Tuhan bagi mereka
adalah tirani jiwa the stodgy old tyrant of the soul. Bukan Tuhan agama-agama, karena Ia
dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.

Mengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley menjawab dengan
buku ilmiah yang ia beri judul At the Origins of Modern Atheism (1987) (Asal Usul Kekafiran
Modern). Meskipun kafir tapi modern, meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu
plesetannya. Buckley membahasnya secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force
memuji buku ini sebagai big, bold [and] highly readable book.

Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk pada filsafat
(Christian theology becomes subservient to philosophical reason). Biang keladinya adalah
pemikir dan filosof yang ia juluki new rationalistic defender of faith atau rationalistic
philosophers, seperti Lessius, Mersenne, Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton (1642-
1727) dan Clarke. Mereka bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang Yesus.

Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya gerakan kritik
terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya tentang Tuhan dan akhirnya eksistensi
Tuhan itu sendiri.

Pengkritik Bible biasanya berlindung dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan
akal, bukan lewat Bible. Tokoh-tokoh Deis Inggris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes,
Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis.

David Berman dalam bukunya A History of Atheism in Britain: From Hobbes to Russel, setuju
dengan James. Deisme adalah biang keladi ateisme. Ateisme modern lahir karena akarnya
diremehkan, dicurigai dan terkadang dianggap sepi oleh para teolog yang merasa terancam.

Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama. Now hatred
is by far the greatest pleasure, kata Don Juan. Karena itu banyak cara menjadi kafir. Ada yang
ingkar Tuhan saja (atheis), ada yang ingkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak
pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic).

Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu Tuhan
(deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang
minat ingkar Tuhan dengan akal dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New
International Webster Comprehensive Dictionary. Hal. 1177). Banyak jalan menjadi kafir.

Dalam Islam kekufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun tepat kafir. Sebab satu
rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam al-Quran, ingkar Allah (al-Nahl : 106-107),
ingkar pada ayat-ayat Allah (Israil : 98, Maryam : 73), atau menolak wahyu yang diturunkan
(Muhammad : 9, al-Hajj : 72), adalah kafir. Malah beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-
Nisa : 150-151), sama saja, tetap kafir.

Lucunya, Muslim juga tergiur shopping menu ateisme. Favoritnya adalah menu skeptic,
disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Quran di Lauh Mahfuz, tapi skeptik pada al-Quran yang
diturunkan. Menyucikan maknanya tapi melecehkan huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi
ragu apakah bisa memahami Allah, mirip doktrin credo et intelegam.

Jika mahasiswanya berani bertanya Mana epistemologi Tuhan? dosennya malah dengan
arogan menulis tesis Menggugat Wahyu Tuhan. Jika di Barat memprotes gereja melahirkan
ateisme, disini malah ada yang memprovokasi, Agar maju tirulah Protestan! Maksudnya agar
maju hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari Protestan
menjadi kapitalis.
Jadi persepsi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern intellectual
phenomenon), bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada cendekiawan.
Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan agama dengan sains.
Mestinya kompromistis, integratif alias tauhidi.

Tapi masalahnya, konsep tauhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku Dialog
between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah keraguan Tertulian Apa
ya yang bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem, antara Akademi dan Gereja? Jawabnya
tidak ada dan karena itu dialog antara teologi dan filsafat berbahaya.

Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of God. Tapi filosof
dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya mudah Bicaralah ilmu apa
saja asal jangan membawa-bawa Tuhan.

Kalau bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not theology! Teori-
teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud pun
tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold E. Loen lalu menulis buku Secularization, Science
Without God.

Dunia ini bagi saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif lagi.
Here we must disagree, tulis Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah menyingkirkan Tuhan,
apalagi ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma kamu ateis! bisa berimplikasi Kamu
saintis! Itulah modern atheism.

Tuhan di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi juga di kampus-kampus.
Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada tuhan dalam ilmu (godless).
Jadi ateis di zaman modern adalah ateis epistemologi.

Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu. Ilmunya tidak
menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya tidak epistemologis. Dalam
Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur.

Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan -
dalam hati dan pikirannya sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-
benar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide.

L. Deprivatization
Ketika Ahmadiyah ditolak oleh umat Islam Indonesia dan ketika Saksi Jehovah ditolak oleh umat
Katholik dan Protestan, negara ikut campur menjadi wasit. Ketika gelombang penistaan agama
menyeruak di Amerika, pemerintah negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat
mengeluarkan undang-undang yang menghukum dan mendenda penista agama.

Pada saat Taslima Nasrin di Bangladesh menulis di koran The Statesman (tahun 1994), al-
Quran harus direvisi secara menyeluruh negara memfonis hukuman mati. Empat tahun
kemudian, Ghulam Akbar, menghina Nabi Muhammad dan segera dihukum mati.

Tahun 2000 kelakuan Ghulam Akbar ditiru oleh Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali pengadilan
pemerintah propinsi Lahore memutuskan hukuman mati. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi
langsung dihukum mati dan selesai. Disini kisah-kisah itu membuktikan peran negara dalam
menyelesaikan konflik agama mutlak perlu dan terus berjalan.
Bagi penganut sekularisme dan liberalisme kaaffah, negara tidak boleh ngurusi agama dan
sebaliknya. Ini harga mati. Sebab agama dianggap sebagai domain pribadi. Privatisasi agama
adalah sekularisasi. Sekularisasi telah menjadi tren sosial politik di Barat Eropa sejak abad
Pencerahan (1720-1880).

Setengah abad yang lalu Smith (1970-76) mendeklarasikan sekularisasi sebagai perubahan
struktur dan ideologi yang sangat mendasar dalam proses pengembangan politik dan tren global
modernisasi. Acuannya adalah figur-figur ilmuwan sosial abad 19 seperti Marx, Durkheim,
Weber dan sebagainya. Jadi desakralisasi agama adalah satu paket dengan sekularisasi dan
modernisasi masyarakat.

Ketika itu memang agama telah kehilangan relevansi sosial dan politiknya. Sebab politisi dari
para pemuka agama semakin tidak cakap dan malah semakin tiranik. Kekuasaan tidak lagi di
tangan agama, tapi ilmu. Dari situlah keluar jargon knowledge is power, ilmu adalah kekuasaan.

Lebih-lebih kalangan gereja menganggap pemisahan itu hampir seperti keniscayaan. Doktrin
gereja itu sudah dikotomis, Berikan hak kaisar kepada kaisar dan hak tuhan kepada tuhan (Luke
21-25). Ditambah lagi suasana reformasi politik Eropa pada waktu itu begitu dominan sehingga
ketegangan antara gereja dan negara adalah warna sejarah Eropa yang kelam.

Tapi tahun 1979 setelah terjadi revolusi Iran orang baru sadar bahwa tafsir modernisasi ternyata
tidak tunggal dan kaku. Sejak saat itu agama dan politik yang sempat talak tiga di Eropa dan
negara-negara jajahannya, rujuk kembali. Tapi masih dalam status nikah sirri. Orang mengakui
tapi tidak berani terbuka. Tapi kenyataan sosial seperti mendorong ke arah sentralisasi agama
ke ruang publik.

Orang, misalnya bertanya-tanya mengapa Perdana Menteri Inggris, David Cameron mesti sowan
Paus Benedict ke XVI. Disitu ia mengungkapkan penyesalannya atas berkembangnya kultur
relativisme dan sekulerisme di Barat. Ia juga menghargai sikap Paus yang menurutnya telah
menggugah semua negara untuk bangkit dan berpikir melawan itu.

Di Amerika tahun 60an J. F. Kennedy menyatakan bahwa agama dan keyakinan Presiden adalah
urusan pribadi dan tidak bisa diberlakukan kepada bangsa dan sebaliknya. 50 tahun kemudian
senator Pensylvania Rick Santorum menyanggahnya.

Dalam kuliahnya di the University of St. Thomas, ia tegaskan pemisahan gereja dan negara
secara mutlak bukan dan tidak pernah menjadi model Amerika. Itu hanya model yang dipakai
oleh negara-negara seperti Perancis dan Turkey, tapi tidak laku di Amerika, kecuali setelah
Hakim Hugo Black melempar hal ini kedalam wacana publik.

Jeff Haynes, profesor pada Department of Politics and Modern History di University of London,
mencoba menganalisa. Ormas keagamaan menjadi aktor politik karena agama merasa terancam
oleh kebijakan-kebijakan sekuler.

Fenomena ini tersebar luas dan perlu kajian secara kasus per kasus. Konsekuensi dari intervensi
itu bisa bermacam-macam. Agama terkadang menjadi sangat berperan dalam rekayasa politik.
Demokrasi di Amerika Latin dan Eropa Timur tahun 80an tidak lepas dari peran gereja Katholik.
Jika Jeff diminta komentar tentang revolusi di Mesir, ia pasti melihat peran agamawan Islam
maupun Kristen Coptic sangat besar. Salat Jamaah para pendemo dan doa para pemimpin
Coptic di Lapangan Tahrir adalah no comment new. Kesuksesan menumbangkan Hosni Mubarak
dirayakan dengan sujud syukur, bukan dengan minum-minum atau dansa-dansi. Disitu agama
menjadi etos kerja pendemo.

Fenomena yang disebut Jeff terjadi di Inggris. Disana agama mulai menolak menjadi urusan
pribadi. Gereja-gereja Katholik muncul kembali membawa suara moral, sosial dan bahkan
politik.

Pada tahun 1996 misalnya mereka menyebarkan pamflet berjudul The Common Good and the
Catholic Churchs Social Teaching. Pamflet itu adalah intervensi gereja terhadap konflik antara
partai Buruh dan Konservatif. Menurut klaim mereka ini adalah kekuatan spiritual agama dan
juga relevansi agama Katholik dengan demokrasi liberal, pluralisme, dan ekonomi pasar.

Memang dalam soal hubungan negara dan gereja Kristen berbeda dari Islam. Dalam Islam
masjid bukan gereja dan tidak punya otoritas. Maka, sebenarnya, menurut P. J. Vatikiotis, (Lihat
Islam and the State) apa yang dituntut gereja sebagai komunitas moral, penjaga hukum Tuhan,
institusi kependetaan dan sekaligus komunitas politik lebih cocok dituntut oleh orang Islam.

Hidup dalam worldview Islam sebagai realitas fisik adalah ekspresi kehendak Tuhan. H. Dabashi
(dalam T. Robbins & R. Robertson (eds.), Church-State Relations), bahkan tegas menyatakan
tidak ada dalilnya dalam Islam yang memisahkan kesalehan dengan politik, keduanya adalah
perintah Tuhan. Meskipun dalam Islam otoritas agama dan politik dapat dipisahkan menjadi dua
institusi sosial yang berdiri sendiri-sendiri, namun keduanya selalu berhubungan.

Jadi yang masih membela privatisasi agama jelas set back setengah abad atau bahkan tiga abad.
Kini agama telah berubah dari interest pribadi menjadi publik, dari urusan institusi menjadi
konstitusi. Itulah makna deprivatisasi agama yang akan terus dilawan oleh liberalisasi dan
postmodernisasi.

M. Dualisme
Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggris tahun 90an ditampilkan isu
pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua
menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti
dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.

Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini
karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian
boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! siapa! ia
berteriak lantang. Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya
tetap suci. Hadirin pun bersorak.

Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan
merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak.
Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya
adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf
dan lain-lain.
Menurut Christian Wolff misalnya The dualists (dualistae) are those who admit the existence of
both material and immaterial substances tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini
disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.

Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia
dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan
doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700).
Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan
akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.

Bagi orang Mesir kuno R adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya
adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik,
musuhnya adalah asura tuhan jahat.

Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview
mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang
antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.

Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan
banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya. Empedocles setuju
dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam
dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.

Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab
nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riil. Heraclitus dan Parmenides
mengkritik dualisme Pythagoras.

Banyak itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu
sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme
Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup
maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle
ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.

Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat.
Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan.
Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama.

Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd
sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas,
kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.

Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut
Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi
pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal
sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang
menempati ruang (extended substance).

Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia materi (fisika)
dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure
Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-
Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin
dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.

Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid).
Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against
Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi
bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi
akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa
dan raga dianggap dua entitas.

Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara
ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda
komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik
dan raga pasti jahat.

Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan
jiwa (innama al-amal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa
kesehatan raga.

Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan
raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti
merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.

Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan sobyektif. Bahkan di zaman postmo
kebenaran ada dua absolute dan relatif. Dalam Islam konsep tauhid inherent dalam semua
konsep, tentunya asalkan sang sobyek berpikir tauhidi.

Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu.
Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal, I slept
with him but my heart is with you.

Seorang dualis bisa saja berpesan lakukan apa saja asal dengan niat baik. Anak muda Muslim
yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata jalankan syariat sesuka hatimu yang penting
mencapai maqasid syariah.

Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah penjahat yang santun, koruptor
yang dermawan, ateis yang baik, Pelacur yang moralis, dan seterusnya.

Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata Hati saya di
Mekkah, tapi otak saya di Chicago. Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual.
Hatinya berzikir pada Tuhan tapi pikirannya menghujatNya.

N. Averroisme

Pemikiran Ibn Rusyd diambil Barat sehingga Barat menjadi maju, sedang pemikiran al-Ghazzali
dibawa ke Timur dan karena itu Timur mundur. Kesimpulan ini tersebar luas di kalangan
mahasiswa dan dosen dari dulu hingga kini. Tidak jelas siapa yang mula-mula menyebarkannya,
tapi orientalis pada umumnya berasumsi begitu.
Pemikiran Ibn Rusyd memang populer di Barat karena gagasan integrasi filsafat dan agamanya.
Sejak diterjemahkan (1230), pemikirannya tersebar luas di Eropa dan diterapkan di gereja-
gereja, sehingga menjadi gerakan Averroisme.

Namun, Averroisme ternyata adalah tidak murni mengikuti Ibn Rusyd, tapi telah bercampur
dengan Aristotelianisme radikal dan heterodok. Ide utamanya adalah dua jalan menuju
kebenaran: filsafat dan wahyu, dikenal dengan Teori kebenaran ganda (double truth);
keabadian alam, kesatuan akal semua manusia (monopsychism), dan kebangkitan orang mati.

Karena gagasannya yang menyangkut agama itu Paus Gregory IX membentuk komisi khusus
untuk mengkajinya. Namun, tidak semua akur dengan pemikiran Ibn Rusyd. Tahun 1270 dan
1277 Bishop Etienne Tempier dari Gereja Katholik Roma memerinci hingga 219 poin kesalahan
Ibn Rusyd.

Diantaranya justru membela al-Ghazzali. Ramon Lull (1232-1316) yang menjuluki gerakan ini
dengan Averroistae mengkritik pembela Averroisme melalui wacana di kampus-kampus.
Pengikutnya Siger Barabant (1270), Boetius Dacia dan Bernier of Nivelles dosen di University of
Paris dituduh bidah. Dituduh telah terpengaruh Averroes buku Dante berjudul De Monarchia
dibakar atas perintah Paus John XXII.

Namun, dari abad ke 13 hingga 16 Averroisme terus berkembang menjadi tren pemikiran Barat
yang dominan, khususnya di Perancis. Bahkan di abad ke 16 pendukungnya seperti Giordano
Bruno, Pico della Mirandola dan Cesare Cremonini masih bertahan.

Selain dikritik, pemikiran Ibn Rusyd tentang kebenaran dianggap ancaman dan pemicu atheisme
modern. Eatine Gelner, menuduh Ibn Rusyd sebagai penebar benih sekulerisme di Barat.
Benedict Spinoza (1632-1677) mengaku bahwa gagasan pentheismenya tercipta dari doktrin
monopsychisme Ibn Rusyd, sedangkan kecenderungannya terhadap sekulerisme dipengaruhi
oleh doktrin Double Truth. Tak heran jika tokoh filosof mereka seperti Albert the Great (1200-
1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274) dengan keras ikut menghantamnya.

Benarkah Ibn Rusyd lebih rasional dan mendorong penggunaan akal. Ternyata tidak. Komentar
Ibn Rusyd tentang logika Aristotle (terjemahan William of Luna) masih kalah rasional dibanding
teori Ibn Sina.

Faktanya. Roger Bacon, Thomas Aquinas, dan diikuti oleh Pseudo-Robert Kilwardby, Radulphus
Brito, Hervaeus Natalis, Peter Aureoli, Duns Scotus and William of Ockham justru menjadi
santri setia Ibn Sina dalam bidang mantiq, bukan Ibn Rusyd. Selain itu, karya Ibn Sina
berjumlah 400an, sedang karya Ibn Rusyd hanya sekitar 70an.

Bukan hanya dalam logika. Teori Ibn Sina tentang fakultas jiwa manusia lebih populer dibanding
Ibn Rusyd. Buktinya teori jiwa Ibn Sina muncul dalam buku-buku standar filsafat di perguruan
tinggi sejak tahun 1220 hingga waktu yang lama.

Buku-buku seperti Philosophy of the Simple (Philosophia pauperum), Mirror of Nature


(Speculum naturale) dan Philosophic Pearl (Margarita philosophica) yang terbit tahun 1490an
menggunakan teori jiwa Ibn Sina.
Sementara doktrin Ibn Rusyd tentang kesatuan jiwa (monopsychisme dan panpsychisme) malah
dikritik banyak orang, diantaranya oleh Thomas Aquinas dalam bukunya De unitate intellectur
contra Averroistas (Kesatuan Intelek, Kritik terhadap Ibn Rusyd).
Dalam masalah kausalitas Ibn Rusyd dinilai banyak peneliti salah paham terhadap al-Ghazzali. Ia
menuduh al-Ghazzali mengingkari kausalitas dan karena itu mengingkari ilmu pengetahuan.
Padahal, al-Ghazzali menerima prinsip kausalitas, tapi menolak kepastiannya. Sebab, katanya,
jika kausalitas itu mutlak pasti, berarti Tuhan tidak memiliki kehendak dan kuasa terhadap alam
ini.

Dalam teori al-Ghazzali, Tuhan berkehendak tapi kausalitas tetap ada. Kehendak Tuhan pun
bukan semena-mena dan tidak akan merusak konsep ilmu. Kita pun tahu saat inipun kausalitas
alam semesta ini masih menyimpan faktor X, tidak tahu secara pasti sebab atau akibatnya,
kecuali Tuhan. Kritik al-Ghazzali terhadap kausalitas bahkan diadopsi Malebranche dan David
Hume. Tapi mereka menghilangkan faktor Tuhan sehingga menjadi sekuler.

Masalahnya, konsep Tuhan dalam ide kepastian kausalitas Ibn Rusyd dan para filosof peripatetik
itu adalah masih Tuhan Aristotle (Unmoved Mover). Teorinya rasional tapi bukan Tuhan Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tuhan yang bisa masuk ruang dan waktu, dan yang tahu hal-hal
partikular seperti dalam al-Quran. Teori kepastian kausalitas itulah yang kini menjadi basis sains
modern yang terpisah dari agama.

Jika kritik al-Ghazzali terhadap kepastian kausalitas disampaikan zaman sekarang, banyak
Muslim yang akan akur. Sebab hubungan sains dan agama di Barat semakin jauh dan bahkan
terputus alias Godless.

Dan jika teori kausalitas Ibn Rusyd, termasuk teori Tuhannya disampaikan sekarang, tentu masih
akan menuai badai kritik. Kini teori penciptaan lebih populer ketimbang emanasi dan ilmu
pengetahuan dalam Islam masih bisa berkembang.

Tuduhan bahwa kritik al-Ghazzali adalah pemicu kemunduran umat Islam atau sains di dunia
Islam tidaklah berdasar. Kajian teliti terhadap buku-buku al-Ghazzali, tidak sedikitpun
membuktikan tuduhan itu. Ia malah berpikir integrative: Semua ilmu rasional adalah religious
dan semua ilmu agama adalah rasional.

Buktinya sains dalam Islam, khususnya Astronomi tidak terpengaruh oleh Tahafut dan masih
terus berjalan hingga abad ke 15. Empat abad setelah Tahafut al-Ghazzali terbit. Karya-karya dan
pusat studi sains Ibn Shatir di Maragha masih berjalan. Lagi pula politik, ekonomi dan pendidikan
umat Islam mundur bukan karena kritik al-Ghazzali.

Ternyata Ibn Rusyd bukan satu-satunya pemikir Muslim yang berpengaruh di Barat. Bahkan,
menurut William Mc. Neil, dalam Rise of Western Civilization, peran dan prestasi para filosof
Muslim masih tergolong rendah dibanding para saintisnya.

Jadi klaim bahwa Barat maju karena pemikiran Ibn Rusyd dan Muslim mundur karena mengikuti
pemikiran al-Ghazzali adalah kesimpulan sembrono.

--
Pemikiran Ibn Rusyd diambil Barat sehingga Barat menjadi maju, sedang pemikiran al-Ghazzali
dibawa ke Timur dan karena itu Timur mundur. Kesimpulan ini tersebar luas di kalangan
mahasiswa dan dosen dari dulu hingga kini. Tidak jelas siapa yang mula-mula menyebarkannya,
tapi orientalis pada umumnya berasumsi begitu.
Pemikiran Ibn Rusyd memang populer di Barat karena gagasan integrasi filsafat dan agamanya.
Sejak diterjemahkan (1230), pemikirannya tersebar luas di Eropa dan diterapkan di gereja-
gereja, sehingga menjadi gerakan Averroisme.

Namun, Averroisme ternyata adalah tidak murni mengikuti Ibn Rusyd, tapi telah bercampur
dengan Aristotelianisme radikal dan heterodok. Ide utamanya adalah dua jalan menuju
kebenaran: filsafat dan wahyu, dikenal dengan Teori kebenaran ganda (double truth);
keabadian alam, kesatuan akal semua manusia (monopsychism), dan kebangkitan orang mati.

Karena gagasannya yang menyangkut agama itu Paus Gregory IX membentuk komisi khusus
untuk mengkajinya. Namun, tidak semua akur dengan pemikiran Ibn Rusyd. Tahun 1270 dan
1277 Bishop Etienne Tempier dari Gereja Katholik Roma memerinci hingga 219 poin kesalahan
Ibn Rusyd.

Diantaranya justru membela al-Ghazzali. Ramon Lull (1232-1316) yang menjuluki gerakan ini
dengan Averroistae mengkritik pembela Averroisme melalui wacana di kampus-kampus.
Pengikutnya Siger Barabant (1270), Boetius Dacia dan Bernier of Nivelles dosen di University of
Paris dituduh bidah. Dituduh telah terpengaruh Averroes buku Dante berjudul De Monarchia
dibakar atas perintah Paus John XXII.

Namun, dari abad ke 13 hingga 16 Averroisme terus berkembang menjadi tren pemikiran Barat
yang dominan, khususnya di Perancis. Bahkan di abad ke 16 pendukungnya seperti Giordano
Bruno, Pico della Mirandola dan Cesare Cremonini masih bertahan.

Selain dikritik, pemikiran Ibn Rusyd tentang kebenaran dianggap ancaman dan pemicu atheisme
modern. Eatine Gelner, menuduh Ibn Rusyd sebagai penebar benih sekulerisme di Barat.
Benedict Spinoza (1632-1677) mengaku bahwa gagasan pentheismenya tercipta dari doktrin
monopsychisme Ibn Rusyd, sedangkan kecenderungannya terhadap sekulerisme dipengaruhi
oleh doktrin Double Truth. Tak heran jika tokoh filosof mereka seperti Albert the Great (1200-
1280) dan Thomas Aquinas (1225-1274) dengan keras ikut menghantamnya.

Benarkah Ibn Rusyd lebih rasional dan mendorong penggunaan akal. Ternyata tidak. Komentar
Ibn Rusyd tentang logika Aristotle (terjemahan William of Luna) masih kalah rasional dibanding
teori Ibn Sina.

Faktanya. Roger Bacon, Thomas Aquinas, dan diikuti oleh Pseudo-Robert Kilwardby, Radulphus
Brito, Hervaeus Natalis, Peter Aureoli, Duns Scotus and William of Ockham justru menjadi
santri setia Ibn Sina dalam bidang mantiq, bukan Ibn Rusyd. Selain itu, karya Ibn Sina
berjumlah 400an, sedang karya Ibn Rusyd hanya sekitar 70an.

Bukan hanya dalam logika. Teori Ibn Sina tentang fakultas jiwa manusia lebih populer dibanding
Ibn Rusyd. Buktinya teori jiwa Ibn Sina muncul dalam buku-buku standar filsafat di perguruan
tinggi sejak tahun 1220 hingga waktu yang lama.

Buku-buku seperti Philosophy of the Simple (Philosophia pauperum), Mirror of Nature


(Speculum naturale) dan Philosophic Pearl (Margarita philosophica) yang terbit tahun 1490an
menggunakan teori jiwa Ibn Sina.
Sementara doktrin Ibn Rusyd tentang kesatuan jiwa (monopsychisme dan panpsychisme) malah
dikritik banyak orang, diantaranya oleh Thomas Aquinas dalam bukunya De unitate intellectur
contra Averroistas (Kesatuan Intelek, Kritik terhadap Ibn Rusyd).

Dalam masalah kausalitas Ibn Rusyd dinilai banyak peneliti salah paham terhadap al-Ghazzali. Ia
menuduh al-Ghazzali mengingkari kausalitas dan karena itu mengingkari ilmu pengetahuan.
Padahal, al-Ghazzali menerima prinsip kausalitas, tapi menolak kepastiannya. Sebab, katanya,
jika kausalitas itu mutlak pasti, berarti Tuhan tidak memiliki kehendak dan kuasa terhadap alam
ini.

Dalam teori al-Ghazzali, Tuhan berkehendak tapi kausalitas tetap ada. Kehendak Tuhan pun
bukan semena-mena dan tidak akan merusak konsep ilmu. Kita pun tahu saat inipun kausalitas
alam semesta ini masih menyimpan faktor X, tidak tahu secara pasti sebab atau akibatnya,
kecuali Tuhan. Kritik al-Ghazzali terhadap kausalitas bahkan diadopsi Malebranche dan David
Hume. Tapi mereka menghilangkan faktor Tuhan sehingga menjadi sekuler.

Masalahnya, konsep Tuhan dalam ide kepastian kausalitas Ibn Rusyd dan para filosof peripatetik
itu adalah masih Tuhan Aristotle (Unmoved Mover). Teorinya rasional tapi bukan Tuhan Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tuhan yang bisa masuk ruang dan waktu, dan yang tahu hal-hal
partikular seperti dalam al-Quran. Teori kepastian kausalitas itulah yang kini menjadi basis sains
modern yang terpisah dari agama.

Jika kritik al-Ghazzali terhadap kepastian kausalitas disampaikan zaman sekarang, banyak
Muslim yang akan akur. Sebab hubungan sains dan agama di Barat semakin jauh dan bahkan
terputus alias Godless.
Dan jika teori kausalitas Ibn Rusyd, termasuk teori Tuhannya disampaikan sekarang, tentu masih
akan menuai badai kritik. Kini teori penciptaan lebih populer ketimbang emanasi dan ilmu
pengetahuan dalam Islam masih bisa berkembang.
Tuduhan bahwa kritik al-Ghazzali adalah pemicu kemunduran umat Islam atau sains di dunia
Islam tidaklah berdasar. Kajian teliti terhadap buku-buku al-Ghazzali, tidak sedikitpun
membuktikan tuduhan itu. Ia malah berpikir integrative: Semua ilmu rasional adalah religious
dan semua ilmu agama adalah rasional.
Buktinya sains dalam Islam, khususnya Astronomi tidak terpengaruh oleh Tahafut dan masih
terus berjalan hingga abad ke 15. Empat abad setelah Tahafut al-Ghazzali terbit. Karya-karya dan
pusat studi sains Ibn Shatir di Maragha masih berjalan. Lagi pula politik, ekonomi dan pendidikan
umat Islam mundur bukan karena kritik al-Ghazzali.
Ternyata Ibn Rusyd bukan satu-satunya pemikir Muslim yang berpengaruh di Barat. Bahkan,
menurut William Mc. Neil, dalam Rise of Western Civilization, peran dan prestasi para filosof
Muslim masih tergolong rendah dibanding para saintisnya.
Jadi klaim bahwa Barat maju karena pemikiran Ibn Rusyd dan Muslim mundur karena mengikuti
pemikiran al-Ghazzali adalah kesimpulan sembrono.

O. Perbedaan worldview islam dan barat


Dengan menggunakan worldview sebagai tolok ukur identitas suatu peradaban sebenarnya
telah dapat diketahui bahwa antara Islam dan Barat telah dan tengah terjadi perang pemikiran.
Perbedaan antara worldview Islam dan Barat bukan masalah kecil yang dapat dinafikan.
Keengganan untuk membedakan antara peradaban Islam dan Barat, karena khawatir dituduh
anti Barat, merupakan sikap yang cenderung menafikan identitas peradaban Islam sendiri atau
bahkan kehilangan identitas (lost of identity). Di dalam masyarakat Barat sendiri anggapan
bahwa Islam dan ummat Islam adalah agama dan komunitas asing yang perlu diwaspadai adalah
biasa. Bahkan sikap anti Islam atau phobia Islam, baik terang-terangan seperti pelarangan jilbab
dinegara-negara Eropah ataupun tersembunyi yang tercermin dalam tulisan-tulisan jurnalis dan
orientalis merupakan manifestasi dan peneguhan ekslusifitas peradaban Barat itu sendiri. Hasil
penelitian kumulatif terhadap lebih dari 70 negara yang dianggap mewakili 80 persen penduduk
dunia yang dilakukan World Value Survey (WVS) pada tahun 1995-1996 dan 2000-2000,
membuktikan bahwa Islam dan Barat memiliki perbedaan nilai yang tajam. Hasil penelitian juga
membuktikan bahwa kultur adalah penyebab perbedaan.

Barat sendiri merupakan peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa
unsur yaitu filsafat, nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, agama Yahudi dan Kristen yang
dimodifikasi oleh bangsa Eropah. Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh
berdasarkan pada wahyu, yang didalamnya terdapat nilai-nilai dan konsep-konsep penting yang
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, kehidupan yang aman, tenteram dan damai.

Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting didalamnya yaitu modernisme
dan postmodernisme. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang
kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan
abad ilmu pengetahuan. Zaman itupun disebut dengan zaman modern. Cirri-ciri zaman modern
adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme,
rasionalisme, empirisisme, cara befikir dichotomis, desakralisasi, prgamatisme dan penafian
kebenaran metafisis (baca: Agama). Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran
yang lahir sebagi protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Sebab
postmodernisme sedikit banyak masih berpijak pada modernisme, yang didominasi oleh paham
atau pemikiran liberalisme, pluralisme, nihilisme, relativisme, persamaan (equality), dan
umumny anti-worldview. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa
liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan (pluralisme) adalah inti modernisme.
Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia.

Bagi kalangan yang berfikir sekuler-liberal membedakan Islam dan Barat adalah sesuatu yang
tidak perlu. Hal ini mungkin disebabkan oleh pemahaman Barat yang keliru, atau sikap apresiaif
terhadap Barat yang berlebihan sehingga menjadi fanatik. Namun jika seseorang memahami
Barat secara cermat dan ilmiyah maka ia akan menemukan perbedaan Islam dan Barat secara
tajam. Sebaliknya, jika terdapat seseorang yang enggan membedakan antara peradaban Islam
dan Barat, karena khawatir dituduh anti Barat, maka ia telah menafikan identitas peradaban
Islam sendiri atau bahkan kehilangan identitas (lost of identity).

Di dalam masyarakat Barat sendiri anggapan bahwa Islam dan ummat Islam adalah agama dan
komunitas asing yang perlu diwaspadai adalah biasa. Bahkan sikap anti Islam atau phobia Islam,
baik terang-terangan seperti pelarangan jilbab dinegara-negara Eropah ataupun tersembunyi
yang tercermin dalam tulisan-tulisan jurnalis dan orientalis merupakan manifestasi dan
peneguhan ekslusifitas peradaban Barat itu sendiri. Hasil penelitian kumulatif terhadap lebih
dari 70 negara yang dianggap mewakili 80 persen penduduk dunia yang dilakukan World Value
Survey (WVS) pada tahun 1995-1996 dan 2000-2000, membuktikan bahwa Islam dan Barat
memiliki perbedaan nilai yang tajam. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa kultur adalah
penyebab perbedaan.

Perbedaan Islam dan Barat dapat dibaca dari pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya The
End of History, and the Last Man. Disini meski ia mensejajarkan Islam dengan ideologi
Liberalisme dan Komunisme, tapi Islam menurutnya memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin
politik dan keadilan sosialnya sendiri. Karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah
menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-praktek liberal. Tapi kini kekuatan Islam
di luar negara Islam tidak demikian, bahkan kondisi Islam kini menjadi terbalik. Dalam hal ini
Fukuyama menegaskan:

Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai
ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah
memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme
adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional.

Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai ideologi-ideologi


atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan yang saling menebarkan
pengaruhnya. Disini perbedaan antara Islam dan Barat (liberal ataupun komunis) adalah
perbedaan ideologis.

Tapi, thesis Fukyama kemudian mendapat respon dari Huntington yang melihat perbedaan itu
bukan dari segi ideologis, tapi kultur atau peradaban. Disini Huntington menjelaskan apa yang ia
sebut dengan paradigma peradaban, yaitu komponen atau asas peradaban yang membedakan
antara satu peradaban dengan lainnya. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations, What? Samuel
Huntington Responds to His Critics, Huntington menyatakan bahwa asas peradaban adalah
prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu faktor-faktor untuk mengidentifikasi
orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka siap perang dan mati adalah keimanan dan
keluarga (faith dan family), darah dan kepercayaan (blood and belief). Itulah yang ia sebut
dengan paradigma peradaban yang mengakibatkan clash dan merupakan feomena sentral dari
politik global.

Selain itu ketika menggambarkan identitas peradaban Barat, khususnya Amerika sendiri, yang ia
sebut dengan Americas core culture, ia menyebutkan elemen-elemen penting peradaban
seperti, Agama Kristen, nila-nilai dan moralitias Protestan, etika kerja, Bahasa Inggeris, Tradisi
hukum bangsa Inggeris, keterbatasan kekuasaan pemerintahan, dan khazanah seni dan sastra,
filsafat dan musik Eropa. Ini ditambah dengan kepercayaan bangsa Amerika tentang prinsip-
prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, perwakilan pemerintahan dan kekayaan pribadi.
Jaddi, elemen-elemen utama peradaban Barat yang dapat ditangkap dari eksposisi Huntington
tentang kultur Amerika adalah:

1) Prinsip-prinsip agama (faith),


2) Nilai-nilai moralitas dan etika kerja Protestan,
3) Filsafat
4) Politik
5) Kepercayaan (belief) terhadap prinsip-prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, dan
kapitalisme.

Lebih spesifik dan parsial lagi Ronald Inglehart and Pippa Norris menggambarkan perbedaan
Islam dan Barat berkaitan dengan kesetaraan gender, dan kebebasan seks. Jadi yang terjadi
antara Barat dan Islam, menurut mereka, adalah benturan peradaban seks (Sexual clash of
Civilization). Menaggapi thesis Huntington mereka berkomentar:
Samuel Huntington hanya setengah benar. Garis kultural yang memisahkan Barat dan dunia
Islam bukan tentang demokrasi tapi seks. Menurut hasil survey terbaru, Muslim dan Barat sama-
sama menginginkan demokrasi, namun dunia mereka menjadi terpisah ketika mereka bersikap
terhadap perceraian, aborsi, kesetaraan gender, dan hak-hak gay, sehingga hal ini tidak
menjanjikan bagi masa depan demokrasi di Timur Tengah.
Di Barat generasi mudanya, dalam soal seks, menjadi semakin liberal, sementara di dunia Islam
masih tetap menjadi masyarakat yang paling tradisional di dunia

Pernyataan-pernyataan diatas hanyalah sedikit contoh dari gambaran tentang masyarakat Barat
dan perbedaannya dengan Islam oleh orang Barat sendiri. Sudah tentu dibelakangnya terdapat
cara pandang tersendiri. Jika dicermati dengan baik pernyataan-pernyataan itu sudah
merupakan bukti adanya perang pemikiran. Bahkan eksposisi tentang thesis Huntington clash of
civilization itu sebenarnya adalah deklarasi tentang perang pemikiran. Ia bukan hanya sekedar
prediksi masa depan yang mengkhawatirkan, tapi merupakan gambaran masa kini dan masa
lalu. Ia bukan asumsi-asumsi spekultatif tapi merupakan gambaran realitas yang bisa diterima,
meskipun dengan beberapa catatan. Dan memang saat ini tengah terjadi benturan antara
pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat. Pernyataan Fukuyama, Huntington,
maupun Ronald Inglehart and Pippa Norris dan banyak lagi yang lain umumnya membuka tabir
identitas peradaban mereka sendiri.

DE-LIBERALIZATION

A. Ideologi dan teologi liberal

Kata-kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu
keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian
menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan
berpikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal berkembang
sehingga mempunyai berbagai makna.

Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai
memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan
bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford
Dictionary of Philosophy).

Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai suatu etika sosial yang membela kebebasan
(liberty) dan persamaan (equality) secara umum (Coady, C.A.J. Distributive Justice). Menurut
Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi
dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan
kesempatan (opportunity) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).

Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting
peradaban Barat. Namun, perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di
Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja
kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John
sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early liberalism).

Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada
tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi
ini berhasil menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland) serta
mengangkat William II dan Mary II sebagai raja.
Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat
(Bill of Right) yang memuat penghapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-
hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.

Pada saat bersamaan, seorang filosof Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang
terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu
meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama,
dan berbicara.

Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah
memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-hak
dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.

Singkatnya pada abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918,
beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan
untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan pun akhirnya diberikan.

Menjelang tahun 1930an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan
berpolitik saja, tetapi juga mencakup kebebasan-kebebasan di bidang lainnya, misalnya
ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.

Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni


kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan
beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan
kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan
sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik.

Jika ditilik dari perkembangannya, liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama yang
saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah Liberal Klasik atau
Early Liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan
dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam kebijakan ekonomi dan kebebasan
melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state.

Dan kedua adalah Liberal Sosial. Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk
membela hak-hak individu (dalam pengertian yang luas), seringkali dalam bentuk hukum anti-
diskriminasi.

Selain kedua tren liberalisme diatas yang menekankan pada hak-hak ekonomi, politik dan sosial
terdapat liberalisme dalam bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam
konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus
terang, dan terbuka.

Kebebasan intelektual adalah aspek yang paling mendasar dari liberalisme sosial dan politik atau
dapat pula disebut sisi lain dari liberalisme sosial dan politik. Kelahiran dan perkembangannya di
Barat terjadi pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya
(abad ke 17). Di saat itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan diri mereka dalam bidang
intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan
Tuhan.
Pada saat terjadi Revolusi Perancis tahun (1789) kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama,
etika, kepercayaan, berbicara, pers dan politik sudah dicanangkan. Prinsip-prinsip Revolusi
Perancis itu bahkan dianggap sebagai Magna Charta liberalisme.

Konsekuensinya adalah penghapusan Hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari
Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik dan menjadikannya bersifat individual.

Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum
ataupun sosial.

Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap
semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan
adanya kekuatan diluar dan diatas manusia yang mengikatnya secara moral. Ini sejalan dengan
doktrin nihilisme yang merupakan ciri khas pandangan hidup Barat postmodern yang telah
disebutkan diatas.

Memang pada mulanya yang muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas
dari agama dan dari Tuhan, namun dari situlah lahir dan tumbuhnya liberalisme pemikiran
keagamaan yang disebut juga theological liberalism. Perkembangan liberalisme pemikiran
keagamaan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase perkembangan sebagai berikut:

Fase pertama, Dari abad ke 17 yang dimotori oleh filosof Perancis Rene Descartes yang
mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan
abad ke 18. Doktrin utamanya adalah a) Percaya pada akal manusia b) Keutamaan individu c)
Imanensi Tuhan dan d) Meliorisme (percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat
dikembangkan).

Fase kedua, Bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romantisisme yang menekankan
pada individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri (self-
consciousness) itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan (god-
consciousness). Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich Schleiermacher
dan sebagainya.

Fase terakhir, Bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan
semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang
perkembangan (notion of progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang
berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta diharapkan
dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern.

Itulah sebabnya kajian mengenai doktrin-doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi
kajian psikologis pengalaman keagamaan (psychological study of religious experience), kajian
sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan (sociological study of religious institution),
kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan (philosophical inquiry into
religious knowledge and values).

Sementara itu pada abad ke 19 liberalisme dalam pemikiran keagamaan Katholik Roma
berbentuk gerakan yang mendukung demokrasi politik dan reformasi gereja, namun secara
teologis tetap mempertahankan ortodoksi.
Sedangkan dalam pemikiran Kristen Protestan liberalisme merupakan tren kebebasan
intelektual yang menekankan pada substansi etis dan kemanusiaan Kristen dan mengurangi
penekanan pada teologi yang dogmatis. Artinya dengan masuknya paham liberalisme kedalam
pemikiran keagamaan maka banyak konsep dasar dalam agama Kristen yang berubah.

Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran
tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat adalah sebagai berikut:

Pertama, Percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen Orthodok.

Kedua, Memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Inilah yang membawa kelompok
liberal untuk berkesimpulan bahwa orang ateis sekalipun dapat menjadi moralis.

Ketiga, Tidak percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Menolak sebagian atau keseluruhan
doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan, Bibel sebagai kata-kata
Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Doktrin
satu-satunya yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah keabadian jiwa.

Keempat, Menerima secara mutlak pemisahan agama dan negara. Para pendiri negara Amerika
menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu
agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata Tuhan dan Kristen tidak terdapat
dalam undang-undang. Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi
konstitusi tahun 1787.

Kelima, Percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Pada mulanya toleransi
dibatasi hanya pada sekte-sekte dalam Kristen, namun toleransi dan kebebasan penuh bagi
kaum ateis dan pemeluk agama non-Kristen hanya terjadi pada masa Benyamin Franklin,
Jefferson dan Madison. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan
dalam beragama tapi bebas dari agama juga, artinya bebas beragama dan bebas untuk tidak
beragama.

Jadi sejatinya liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat telah
memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-
lahan. Agama tidak diberi tempat diatas kepentingan sosial dan politik.

Dan ketika liberalisme masuk kedalam pemikiran keagamaan Kristen Katholik dan Protestan ia
telah mensubordinasikan gereja ke bawah kepentingan politik dan humanisme, serta
mengurangi pentingnya teologi dalam bidang-bidang kehidupan.

Maka dari itu dalam liberalisme pemikiran keagamaan masalah yang pertama kali dipersoalkan
adalah konsep Tuhan (teologi) kemudian doktrin atau dogma agama. Setelah itu,
mempersoalkan kemudian memisahkan hubungan agama dan politik (sekularisme).

Akhirnya liberalisme pemikiran keagamaan menjadi berarti sekularisme dan dipicu oleh
gelombang pemikiran postmodernisme yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan
(equality), dan relativisme.

Kini paham liberalisme dibidang politik, ekonomi dan keagamaan yang merupakan sistem final
kehidupan sosial di Barat itu diekspor ke negara-negara dunia ketiga termasuk kedalam dunia
Islam.
B. dari WTC ke liberalism
Sekitar pukul 10 pagi, tanggal 11 September 2001 terjadi peristiwa yang
menggemparkan dunia. Dua pesawat komersil menghantam menara kembar WTC di
New York. Dua gedung yang menjadi lambang ekonomi Amerika itu dengan sekejap
mata rata dengan tanah. Dan dalam sekejap pula disimpulkan itu adalah kerja teroris
Muslim yang dipimpin oleh Usama bin Ladin.

Setelah peristiwa dramatis itu puluhan buku terbit. Intinya menegaskan Barat kini
menghadapi terorisme dan itu dari kalangan umat Islam. Teori Huntington akan
terjadinya clash of civilization terbukti oleh peristiwa itu.

Bahkan karena terlalu besar keinginan George W. Bush (Presiden AS) menjadikan Islam
musuh Barat ia anggap peristiwa itu sebagai Perang Salib baru (new crusade). Tapi ia
pun segera ditegur banyak orang.

Isunya pun melebar dan mendalam. Melebar karena yang dituduh musuh peradaban
Barat postmodern ternyata bukan hanya Islam tapi agama-agama. Mendalam sebab
kajiannya tidak hanya mencari siapa yang menjadi teroris tapi mengapa mereka bisa
menjadi teroris.

Lebih praktis lagi bagaimana pula merubah cara beragama umat manusia, khususnya
Islam agar tidak bertentangan dengan Barat. Dan inilah sebenarnya target atau output
yang diharapkan dari peristiwa itu.

Nalar para pemikir Barat terus menggelinding. Namun, pembahasan tentang peristiwa
itu sendiri tidak banyak dilakukan. Banyak analisa di seputar peristiwa dramatis itu yang
diantara intinya menolak bahwa peristiwa itu dilakukan oleh umat Islam tidak mendapat
perhatian yang serius.

Dan yang mengungkap kebenaran dibalik peristiwa itu adalah dua buah video terbitan
Amerika sendiri. Yang pertama berjudul Confronting the Evidence, a Call to Reopen, the
Sept, 11, Investigation dan kedua Loosing Change, directed by Dylan Avery. Dalam
kedua video itu para pakar bangunan, politik, jurnalis dan analis politik dilibatkan.

Ada beberapa fakta disampaikan disitu, diantaranya:

Pertama, Bahwa gedung WTC itu tidak mungkin meledak dan rata dengan tanah hanya
karena ditabrak pesawat, sebab satu pesawat yang menabrak Pentagon tidak
menghancurkan.

Kedua, Menurut pakar bangunan bertingkat kecepatan WTC runtuh hingga rata tanah
adalah 10 detik, padahal biasanya bangunan yang diledakkan hingga rata dengan tanah
memakan waktu 15 detik.

Ketiga, Bangunan beton bertingkat tidak hancur dan rata dengan tanah hanya karena
terkena benturan keras, pasti ada ledakan dahsyat dari dalam gedung itu.

Keempat, Jam 4 dini hari ada yang menyaksikan gedung itu sudah mengeluarkan asap.
Kelima, Tiga bulan sebelum terjadi peristiwa itu Colin Powel bertemu Usama bin Ladin di
Bahrain, namun, menurut pembicara disitu tidak seorang pun tahu apa yang dibicarakan
mereka berdua.

Kelima, Tidak lebih dari 24 jam seluruh media Barat sudah memuat gambar Usama bin
Ladin, seperti sudah dipersiapkan sebelumnya.

Di akhir video, yang menjadi MCnya menyimpulkan bahwa dari uraian para pakar
sebelum itu dapat dikatakan bahwa yang berada di balik peristiwa itu adalah George W.
Bush dan Usama bin Ladin.

Pada video pertama terdapat gambar pesawat yang akan menabrak WTC dan
dibawahnya tertulis What is that attached to the Bottom of the Plane? (Apa yang
nempel pada bagian bawah pesawat?).

Sedangkan pada video kedua terdapat beberapa komentar tokoh diantaranya : This is
the best damn 9-11 documentary out here; If you dont win an award for this, there is
something seriously wrong.

Diatas komentar itu penerbitnya menulis: This film shows direct connection between
the attack of September 11, 2001 and the United States government. Evidence is
derived from news footage, scientific fact, and most important, American who suffered
through that tragic day. (Film ini menunjukkan hubungan langsung antara serangan 11
September 2001 dengan pemerintah Amerika Serikat. Bukti-buktinya diambil dari
rekaman berita, fakta-fakta ilmiah, dan yang terpenting orang-orang Amerika yang
menderita karena hari yang tragis itu).

Setelah peristiwa dramatis 11 September 2001 itu negara-negara Islam dicurigai sebagai
sarang teroris, termasuk Indonesia. Untuk menghadapi itu selain melalui pendekatan
militer dan keamanan, diterapkanlah proyek liberalisasi.

Di Indonesia, gerakan liberalisasi pemikiran Islam terasa sangat intens dan serius.
Penyebaran wacana-wacana tentang Islam dan pemikiran keislaman yang terdengar
aneh dan asing ditelinga para ulama dan cendekiawan Muslim itu dilakukan melalui
media surat kabar, majalah, media elektronik baik radio maupun televisi, dan
penerbitan buku-buku.

Motornya adalah LSM-LSM, kelompok-kelompok studi, pusat studi yang sama sekali
baru, baik dari kalangan intelektual muda, lapisan muda ormas Islam serta mahasiswa
di kampus-kampus, khususnya kampus perguruan tinggi Islam. Yang lebih terasa aneh
lagi, gerakan ini telah mampu merekrut tokoh-tokoh agama, para profesor,
cendekiawan Muslim maupun non-Muslim dan tokoh-tokoh masyarakat akademis.

Bagi yang berpikir jernih dan tulus akan segera menangkap bahwa gerakan ini lebih
mirip gerakan sosial politik ketimbang wacana keilmuan biasa.

Sebab di kalangan mudanya gairah mengkritik dan memperburuk sahabat, ulama,


sejarah Islam, tradisi, aqidah, hukum-hukum syariat yang baku, al-Quran mushaf
Usmani, ilmu Tafsir dan sebagainya dalam Islam sangat tinggi bahkan seperti sebuah
kemarahan dan kebencian yang ekstrim.
Disisi lain semangat mahasiswa di perguruan tinggi Islam untuk mengkaji pemikiran
filosof dan ilmuwan Barat mengalahkan antusiasme kajian pemikiran Islam.

Di kalangan dosen afirmasi terhadap paham-paham pluralisme, feminisme dan gender,


konsep masyarakat sipil (civil society) dan teori hermeneutika, yang merupakan
tonggak-tonggak pemikiran postmodern dan liberalisme tersebar di berbagai perguruan
tinggi Islam.

Selain sikap kritis terhadap Islam dan afirmatif terhadap paham postmodernisme,
ghirah membela dan mempertahankan pemikiran liberal itu seperti membela sebuah
ideologi.

Sebagian orang ada yang menganggap gerakan ini sebagai pubertas intelektual.
Sebagian yang lain lagi mengklaim sebagai gerakan pembaharuan pemikiran Islam oleh
cendekiawan muda.

Namun, ternyata gagasan ini bukan berasal dari anak-anak muda yang mengalami
pubertas intelektual. Greg Barton menelusuri tren pemikiran ini dan
mengidentifikasinya sebagai pemikiran Islam Liberal yang tokoh-tokohnya adalah
cendekiawan Muslim yang tidak muda lagi.

Dan jika dikaji lebih mendalam dan serius lagi, akan ditemukan bahwa ide-ide yang
disebut Islam Liberal itu mempunyai kaitan erat dengan paham liberalisme yang
muncul di Barat awal abad modern dan kini semakin mengkristal dalam pemikiran Barat
postmodern.

Akan tetapi mengidentifikasi pola pikir liberal seorang tokoh yang telah memiliki
kualifikasi akademis memang tidak sederhana. Metodologi berpikir atau framework
serta konsep-konsep yang mereka gunakan harus diuji secara ilmiah.

Apakah semua itu masih sejalan dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual
Islam atau bertentangan?. Apakah di dalamnya terdapat kerancuan-kerancuan
konseptual?. Dan apakah pandangannya berimplikasi pada dekonstruksi pada teologi
dan epistemologi Islam?

Kajian terhadap wacana para tokoh liberal menunjukkan, Pertama, Bahwa metodologi,
framework, konsep dan teori yang mereka gunakan itu terbukti bertentangan secara
diametris dengan apa yang telah ada dalam tradisi intelektual Islam. Kedua, Kajian lebih
lanjut menunjukkan adanya korelasi antara tren pemikiran liberal para tokoh
cendekiawan Muslim dengan tren pemikiran di Barat untuk mewujudkan masyarakat
sipil (civil society).

Konsep-konsep seperti pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, feminisme,


demokratisasi, humanisme, kebebasan, hak asasi manusia ternyata memenuhi wacana
para cendekiawan Muslim liberal. Skripsi, Thesis dan Disertasi di perguruan tinggi Islam
ditulis untuk mencari justifikasi Islam terhadap konsep-konsep tersebut. Puluhan buku
diterbitkan hanya untuk menjelaskan kedekatan Islam dengan ide-ide, konsep dan
sistem masyarakat sipil (civil society) di Barat.
Mungkin alasan mereka karena konsep masyarakat sipil seperti di Barat yang sekuler
dan liberal itu tidak terdapat dalam Islam, sedangkan Islam harus ikut berpartisipasi
dalam wacana kontemporer itu, maka upaya mudah yang mereka lakukan adalah mem-
Barat-kan Islam, men-sekular-kan Islam atau me-liberal-kan Islam.

Caranya adalah dengan membaca, menafsirkan dan menganalisa Islam dengan


menggunakan metode dan teori ilmu-ilmu humaniora dari Barat. Atau yang sederhana
mencari ayat-ayat dan hadis-hadis yang dapat ditafsirkan sesuai dengan paham Barat
itu, atau menyesuaikan Islam dengan paham Barat.

Anthony Chase dalam sebuah artikel berjudul Liberal Islam and Islam and Human Right:
A Sceptics View (Religion and Human Right I: p. 145-163 mengomentari tokoh liberal
Abdullahi An-Naim bahwa He works specifically within a human right framework,
attempting to reconcile it to Islam. Benar, yang jelas An-Naim kini berada di Barat dan
sedang menjalankan proyek ini.

Bukan hanya Muslim yang berupaya meliberalkan diri, tapi pihak Barat sendiri memang
sengaja melakukan liberalisasi pemikiran Muslim.

Charles McDaniel, dalam artikelnya berjudul Islam and Global Society: a Religious
Approach to Modernity, (Brigham Young University Law Review, vol. 536, 2003, 507),
menyatakan bahwa perbedaan kultural antara Islam dan Barat terlalu besar untuk
dijembatani hanya dengan penyebaran materi dan export konsepsi liberal tentang HAM
(by the simple expansion of material affluence and the export of liberal conception of
human rights).

Artinya, liberalisasi pemikiran Islam memang diakui ada dengan dana besar, tapi itu
masih belum cukup untuk mem-Barat-kan Islam. Slavoj Zizek, seorang profesor Hegelian
dan Marxist di The New York Times memberi usulan yang lebih dahsyat lagi:

Hari ini, ketika agama muncul sebagai sumber kekerasan yang membunuh di seluruh
dunia Bagaimana jika kehebatan ateisme-salah satu warisan Eropa terbesar dan
mungkin hanya satu-satunya peluang untuk perdamaian- dihidupkan kembali.

Gagasan Zizek nampaknya bukan bersifat pribadi, tapi boleh jadi mewakili komunitas
tertentu yang termakan oleh promosi media Barat yang anti agama melalui stigmatisasi
pada terorisme.

Tidak mustahil jika gagasan mengangkat paham ateisme itu ikut gerbong gerakan
liberalisasi pemikiran Islam yang jelas-jelas dibiayai oleh foundation-foundation di Barat.
Entah bagaimana model transmisinya, yang pasti di Indonesia umat Islam dikagetkan
oleh ekspresi-ekspresi ateistik anak-anak muda liberal seperti Anjinghu akbar,
Kampus bebas tuhan, Tuhan adalah ateis, Tuhan adalah tiran dan sebagainya
adalah pengaruh dari gagasan itu.

Dari gagasan diatas maka proyek liberalisasi pemikiran yang sedang diterapkan di dunia
Islam saat ini bermacam-macam dengan strategi yang digunakan berlapis-lapis.

Intinya adalah untuk menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang di dalamnya
diterapkan paham-paham seperti yang disebutkan diatas yaitu pluralisme, feminisme
dan kesetaraan gender, demokrasi, humanisme, sekularisme dan kebebasan
(liberalisme).

Diantara tokoh-tokoh liberal di dunia Islam yang menjadi rujukan kalangan akademis
adalah di Indonesia misalnya Nasr Hamid Abu Zayd (Studi al-Quran), Muhammad
Syahrur (Hukum Islam), Muhammad Arkoun (Studi Quran) dan Syed Hossein Nasr
(Pluralisme), Aminah Wadud, Asghar Ali, Fatimah Mernisi, (Feminis), Abdullahi Ahmad
an-Naim (politik) dan sebagainya.

Tergolong liberal karena upaya mereka, untuk membongkar aspek teologi dan
epistemologi Islam ke akar-akarnya sehingga dapat merubah keyakinan umat terhadap
kitab suci, Nabi dan hadis Nabi, hari akhir, otoritas ulama, dan lain-lain.

Diantara proyek liberalisasi pemikiran Islam yang dilakukan oleh tokoh-tokoh


cendekiawan Muslim adalah merubah penafsiran terhadap al-Quran. Inilah yang
dilakukan diantaranya oleh Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Muhammad
Arkoun dan lain-lain.

Proyek liberalisasi pemikiran Islam yang lain adalah pluralisme agama. Paham ini juga
dipengaruhi oleh doktrin nihilisme, relativisme dan equality postmodern. Dari Paham ini
kini muncul istilah Islam inklusif, Islam pluralis dan sebagainya. Diantara konsep yang
mendukung paham ini adalah paham Global Theology atau World Theology dan
Transcendent Unity of Religion (TUR).

Selain pluralisme adalah feminisme dan kesetaraan gender. Diantara strateginya adalah
dengan menyebarluaskan wacana ini dari media massa hingga wacana akademik.
Hasilnya kini di berbagai perguruan tinggi dibentuk Pusat Studi Wanita (PSW) dimana
wanita justru menjadi obyek kajian, sesuatu yang selama ini mereka protes.

Strategi lainnya adalah dengan menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca


kemajuan, sehingga PBB pun mempunyai standar kemajuan suatu Negara berdasarkan
ukuran GDI (Gender Development Index).

Karena ukuran itu maka kini disyaratkan agar supaya 20% anggota dewan perwakilan
rakyat berasal dari wanita. Namun hal itu tidak dapat tercapai karena memang tuntutan
itu bukan tuntutan riil di masyarakat, khususnya Negara-negara Islam.

Jika dianalisis secara teoritis kita dapat kaitkan penyebaran konsep, teori dan sistem
dalam bentuk wacana itu dengan teori Michel Fucoult tentang ilmu dan kekuasaan.

Menurutnya, ilmu selalu merupakan kekuasaan dan ketika digunakan ia akan mengatur
perilaku orang lain, mengikat dan menjadi aturan yang mendisiplin. (Foucault. Discipline
and Punishment, London, Tavistock, 1977, hal. 27.).

Ternyata teori Fucoult benar, kini perilaku dan pemikiran Muslim seakan telah diikat
oleh wacana-wacana itu dan seperti tidak bisa menolak. Wacana-wacana itu sudah
seperti keharusan sosial. Jika dianalisis secara politis kita dapat kaitkan dengan tulisan
David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars (www.usnews.com diakses pada 4-25-2005),
bahwa: Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk
mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi
dalam Islam.

Karena cara-cara orang liberal mempengaruhi masyarakat Islam itu melalui wacana-
wacana dan gerakan keilmuan melalui media masa atau kajian serius di kampus-kampus
atau melalui buku-buku, maka Muslim perlu mengkonter melalui medan yang serupa.

Mereka seringkali menuduh keimanan umat Islam pada Islam sebagai penyucian
pemikiran keagamaan atau dalam istilah mereka taqdis afkar dini, padahal pada saat
yang sama mereka mengimpor pemikiran Barat tanpa proses keilmuan yang memadai
dan dapat juga kita namakan sebagai penyucian pemikiran Barat atau taqdis afkar al-
gharbi. Untuk itu Muslim juga perlu tahu bagaimana sebenarnya paham-paham di Barat
yang dibanggakan oleh orang liberal itu.

C. evil of liberalism
Dalam sebuah situs Katholik di Amerika, terdapat artikel berjudul The Evil of Liberalism,
ditulis oleh Judson Taylor, tokoh besar Misionaris. Artikel itu ditulis pada awal abad ke
19 (1850an), dalam sebuah buku kumpulan essai berjudul An Old Landmark Re-Set
diterbitkan ulang tahun 1856 dengan editor Elder Taylor.

Di dalam pengantarnya editor situs itu menulis bahwa misi yang disampaikan artikel itu
lebih cocok untuk kita pada hari ini. Sebab perkembangan liberalisme keagamaan, akhir-
akhir ini benar-benar menakjubkan orang tapi seluruhnya destruktif bagi kitab suci
Kristen.

Makalah itu dimulai dengan pernyataan tegas Liberalisme telah menggantikan


Persecutiton. Persecutiton artinya penganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi
Kristen penganiayaan terjadi karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy)
dalam teologi. Artinya liberalisme sama dengan penganiayaan.

Hanya saja, lanjutnya, jika Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan


penyebabnya, maka liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang.
Dalam artian liberalisme memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran
Tuhan.

Memang dalam sejarah agama Katholik, Persecution atau yang lebih hebat lagi
inquisition merupakan alat pembela kebenaran agama. Cara ini, kata Judson Taylor,
lebih disukai daripada kompromi Kebenaran versi liberal.

Kompromi kebenaran mungkin sekarang ini menjadi relativisme yang mengakui semua
benar meskipun salah satunya salah. Itu pun tidak konsisten, dalam banyak kasus, orang
liberal yakin bahwa Bible banyak masalah sedangkan kebejatan moral zaman ini malah
tidak masalah.

Judson nampaknya belum curiga pada paham nihilisme atau pluralisme pemikir liberal.
Sebab memang, ketika artikel ini ditulis, pemikiran Nietzsche masih sedang mencari
bentuknya, dan Paham pluralisme agama masih belum lahir. Dalam bahasa Judson,
kaum liberal lebih cenderung permisif alias bersahabat dengan semua sekte dan
kemungkaran.
Blunder yang terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme yang
mendukung kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan (kebenaran dan
kesalahan) yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. Selain itu,
cara berpikir liberal yang konon netral dan rasional itu ternyata memihak juga.

Akhirnya, Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang
utama ada enam: Pertama: Banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua: Mengakui
berbagai kesalahan di zamanya dan juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui
kesalahan. Ketiga: Mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan,
ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan. Keempat:
Tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima: Mempromosikan keraguan
beragama yang tidak berarti. Keenam: Mendukung keyakinan keagamaan dan
prakteknya yang populer.

Orang yang berpikir liberal umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas
dari kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu menonjol.
Sebab manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything).

Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 itu sudah nampak jelas
kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini. Pertama:
Muslim liberal menggugat al-Quran. Kedua: Muslim liberal membela aliran sesat.
Ketiga: Muslim liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat:
Muslim liberal mendukung paham relativisme. Kelima: Muslim liberal mempromosikan
paham skeptisisme

Ketika kami ceramah pemikiran di Surabaya, seorang audien yang kebetulan muallaf
tiba-tiba menyalami kami. Ia lalu meyakinkan kami bahwa liberalisasi pemikiran dalam
Islam tidak jauh beda dari pengalamannya dalam Katholik.

Ucapan muallaf tersebut tidak perlu banyak bukti. Cukup dari pernyataan seorang
mahasiswa liberal yaitu bahwa Agar Islam maju, maka tirulah Protestan Itulah,
liberalisme yang nama dan substansinya merupakan hasil adopsi total konsep-konsep
Liberal Barat. Jika, dijustifikasi menjadi Islam Liberal maka itu berarti Islam yang mem-
Barat.

D. Kebenaran
Semua adalah relatif (All is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di
Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman
tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa.
Tepatnya dokrtin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan
menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak
porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya
tergantung siapa yang menilainya.

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern
terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi
postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak
pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan
persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih
kebenaran dari pada persahabatan.
Tidak puas dengan sekedar membenci, selanjutnya postmodernisme ingin menguasai
agama-agama. Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain itu mungkin
logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu
membuat teologi-teologi baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-
teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin teologi pluralisme agama berada diatas
agama-agama. Global Theology dan Transcendent Unity of Religions mulai dijual
bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global diciptakanlah nama tuhan baru yakni
The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.

Bukan hanya itu Semua adalah relatif kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir.
Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar, sebab kebenaran itu relatif. Jangan
terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan, karena
kebenaran itu relatif. Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami, semua adalah
relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman
orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang
kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, No one has the right to choose to do what is
wrong, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha raa minkum
munkaran dan seterusnya bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru
menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.

Jadi merasa benar menjadi seperti makruh dan merasa benar sendiri tentu haram.
Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi
dan marah ada yang berteriak Semuanya benar dan harus dihormati. Yang membuka
aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang
mendakwahkan ayat-ayat syetan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme.
Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah
kata Nietzsche. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan
agama anda salah. Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka
pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. Surga Tuhan terlalu sempit kalau
hanya untuk umat Islam, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah
dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.

Slogan Semua adalah relatif kemudian diarahkan menjadi kesimpulan Disana tidak
ada kebenaran mutlak (There exists no Absolute Truth). Kebenaran, moralitas, nilai
dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia
menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan Tidak ada kebenaran mutlak maka kata-
kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda
mengatakan semua adalah relatif atau Semua kebenaran adalah relatif maka
pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau semua adalah relatif maka
yang mengatakan disana ada kebenaran mutlak sama benarnya dengan yang
menyatakan disana tidak ada kebenaran mutlak. Tapi ini self-contradictory yang
absurd.

Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri


liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Krsiten missionaris dan 27% atheis dan
agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya
percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles
Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin postmo pun
berubah: Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan
kepercayaan anda pada orang lain. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan
siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi
kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi
kita pernyataan ini menghapuskan amar maruf nahi munkar.

Slogan Semua adalah relatif pun menemukan alasan baru yang absolut hanyalah
Tuhan. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti
berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud). Tapi
ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-Quran yang diwahyukan dalam
bahasa manusia (Arab), Hadith yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dsb. adalah relatif
belaka. Tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang
menyejarah. Padahal Allah berfirman al-haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan inda
rabbika (pada Tuhanmu). Dari Tuhanmu berarti berasal dari sana dan sudah berada
disini di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang manusiawi dan
menyejarah sebenarnya bisa mutlak.

Thomas F Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem,


menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai moral
manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal 60).
Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan
manusia,tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. Semua adalah relatif bisa berarti
semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak.
Jika begitu benarlah pepatah para hukama al-Nas ada ma jahilu, manusia itu musuh
bagi apa yang tidak diketahuinya.

E. problem moderat
Tahun 2008 Japan Institute of International Affair (JIIA) menggelar simposium di Tokyo.
Temanya Islam and Asia: Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam, yakni
tentang masa depan politik Islam. Pesertanya mayoritas dari negara-negara Islam
seperti Mesir, Pakistan, Iran, Turkey, Tunis, Indonesia dan Malaysia, ditambah seorang
dari Amerika dan beberapa dari Jepang sendiri. Nampaknya simposium ini bertujuan
untuk mengukur masa depan kekuatan politik Islam pasca peristiwa 11 September, akan
ditangan radikal atau moderat.

Maka dari itu diantara isu yang dilontarkan disitu adalah tentang arti Muslim moderat.
Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi
sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme.

Mulanya para peserta merespon dengan datar-datar saja. Moderat artinya tidak
berlebihan ghuluw (ekstrim) dalam menjalankan agama. Bagi Profesor Bedoui Abdel
Majid, dari Tunis, moderat dalam Islam tercermin dalam keimanan, peribadatan,
hubugan sosial, tradisi dan dalam pemikiran maupun dalam kehidupan nyata.

Tapi masalahnya menjadi krusial ketika Angel Rabasa, wakil dari Rand Coorporation
Amerika Serikat mendefinisikan, Muslim moderat adalah yang mau menerima
pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil
society.

Dr. Sohail Mahmud dari Pakistan menganggap definisi Rabasa itu sarat dengan
kepentingan Barat. Azzam Tamimi, Direktur TV al-Hiwar London, menolak definisi itu
dan menegaskan bahwa mayoritas Muslim menurut kriteria Islam adalah moderat
meskipun tidak setuju dengan pluralisme, feminisme, humanisme dan sebagainya.

Saya pun ikut merespon. Pengertian anda itu sekarang di Indonesia disebut dengan
Islam Liberal, mestinya anda tahu itu. Dan Islam Liberal di Indonesia itu tidak
moderat tapi ekstrim. Jika anda katakan Islam liberal adalah moderat maka
konsekuensinya mayoritas umat Islam yang tidak liberal, termasuk NU dan
Muhammadiyah, adalah fundamentalis, ekstrimis dan tidak moderat.

Masataka Takeshita, Profesor Studi Islam dari Universitas Tokyo segera bertanya, apa
yang anda maksud Islam liberal?, saya katakan Islam Liberal itu terlalu kontekstual,
artinya cenderung menafsirkan Islam hanya untuk menjustifikasi konsep-konsep dalam
konteks masyarakat Barat.

Contohnya, di kalangan liberal ada yang menafikan hukum Tuhan (syariat),


mempersoalkan otentisitas al-Quran, menyoal otoritas ulama agar kemudian dapat
menghalalkan homoseks dan lesbi, nikah beda agama dan sebagainya. Rabasa tetap
pada pendiriannya, tapi diluar forum terus terang dia terkejut dan tidak percaya jika ada
orang liberal Indonesia yang setuju dengan homoseks dan lesbi. I will check it, katanya.

Rabasa tidak bergeming karena pasca 9/11, Rand Coorporation giat menjual Islam
moderat. Setelah American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini
secara serial lima tahun lalu, petanya semakin jelas. Sedikitnya ada tiga kelompok: anti-
Islam, Barat dan Islam.

Definisi Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs muslimsagainstshariah.
Disitu ditulis begini diantaranya: tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis
terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro
Israel atau netral, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang
pakaian Islam, syariah, dan terorisme.

Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 justru dengan tegas
menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one
who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak
moderat.

Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Rabasa, Graham E. Fuller dan
Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak
literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan
menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran
agama lain.

Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah
yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada
tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak
menafsirkan al-Quran, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak
menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok Islam
Liberal yang kental bau orientalismenya.
Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi
orang liberal itu biasa dan nothing wrong. Tapi justru yang menemukan kesalahannya
adalah John L. Esposito.

Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat itu diterima maka
Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang
wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang
Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu
justru tidak masuk kriteria moderat.

Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama.
Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim
belum dianggap moderat jika belum menolak al-Quran secara publik.

Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus
mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya
yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina. Itu
kesalahan yang kedua.

Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian Muslim moderat di Barat
adalah a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and
openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms.

Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal
mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslims Call for Reform in Her
Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini
oleh Barat dianggap sebagai the voice of moderation.

Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang
berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar maruf nahi
munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah
Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya
hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.

Jadi, untuk mengalahkan radikalisme tidak perlu liberalisme dan agar menang melawan
hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan
mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.

F. Pluralism dan islam


Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer
this country. We dont want equal time. We dont want pluralism. Randall Terry,
Founder of Operation Rescue.

Jika Christian Nation diganti Daulah Islamiyah, dan Biblical Duty diganti Jihad dan God
ditukar Allah, pasti penulisnya jadi buronan. Dalam standar buku When Religion Become
Evil karya Charles Kimbal, Randall dan agama Kristen sudah tentu masuk kategori agama
jahat (evil) dan melanggar HAM.
Jika Randall pernah membaca tulisan Akbar S. Ahmed tahun 90an bahwa
Postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme, berarti Randall tengah protes dan
melawan arus. Sebab ia pasti tahu bahwa pluralisme menjadi ordo di zaman postmo.

Artinya untuk dihormati dan menghormati standarnya adalah pluralisme. Siapa


melawan, termasuk Randall pasti dapat stigma intoleran, mungkin juga teroris. Jika
belum baca, pasti ia telah menelisik fenomena relativisme postmo itu.

Sudah jamak postmodernisme lahir sebagai kemurkaan terhadap modernisme dan


kejengkelan terhadap nilai dan kebenaran (nihilisme). Pluralisme menurut Peter Berger,
(1967) merupakan alternatif pengganti sekularisme yang telah gagal di dunia Islam.

Kalau al-Attas menganggap sekularisme sebagai program, kita bisa yakin pluralisme
adalah proyek postmodernisme. Dilaksanakan dengan dana, strategi dan agen-agen
untuk setiap Negara dan agama. Dipopulerkan oleh tokoh dan didukung tokoh populer.
Dipromosikan pada dua wilayah sekaligus yakni sacred, dan profane.

Tidak mudah tapi ini proyek peradaban. Karena itu makna pluralisme dibuat ambigu.
Misi umumnya adalah memberangus fundamentalisme, persis seperti postmo. Tapi
makna istilahnya dibuat bersayap. Terkadang bermakna toleransi dan disaat lain berarti
relativisme.

Tapi kalangan agamawan Kristen telah mencium trik ini. Robert E. Regier & Timothy J.
Dailey misalnya dalam Religious Pluralism or Tolerance?, sudah menaruh curiga.
Menurutnya, banyak orang hari ini yang dibingungkan oleh istilah toleransi keagamaan
tradisional Barat dengan pluralisme agama.

Pluralisme agama berarti semua agama sama-sama valid. Jika demikian, lanjutnya, maka
akan terjadi relativisme moral dan ketidakberaturan etika (ethical chaos). Kesan Rick
Rood, seorang tokoh Katholik lainnya, juga sama Dalam pluralisme agama semua
agama adalah sama-sama benarnya sebagai jalan menuju Tuhan.

Bahkan John Stott, teolog Anglican (dalam interview tahun 1998) tidak hanya curiga. Ia
menuduh target pluralisme pada akhirnya adalah melarang penyebaran agama,
khususnya Kristen (evangelisme).

Sudah tentu trik ini tidak dipahami oleh para blind supporter pluralisme. Padahal
diantara narasumber mereka yaitu Diana L. Eck, pimpinan proyek pluralisme Amerika,
tidak menafikan sayap relativisme itu. Menurutnya agama-agama dan pandangan hidup
sekuler adalah sama benar dan validnya.

Benar jika dilihat dari dalam kulturnya sendiri. Untuk itu, kata Diana L. Eck., dalam The
Challenge of Pluralism, pluralitas harus digandengkan dengan pluralisme. Pengakuan
terhadap pluralitas agama-agama tidak cukup, harusnya juga mengakui realitas
kebenaran agama-agama, tegasnya.

Kini makna toleransi dan relativisme dalam pluralisme telah dibumikan menjadi makna
sosiologis dan teologis. Tapi ini justru merungsingkan pihak gereja. Dr. Dawe Robert L.
Dabney dalam Christian Century May 12, 1982 menulis bahwa gaung pluralisme telah
memasuki ruang-ruang gereja. Namun pemahaman kita cenderung sosiologis daripada
teologis tulisnya.

Tapi secara sosiologis sekalipun, menurut profesor teologi di Union Theological


Seminary, Richmond, Virginia itu masih terdapat sisi negatifnya. Negatifnya gereja harus
menerima berbagai pandangan baik konservatif ataupun liberal, yang saleh atau yang
brengsek, feminis atau tradisionalis, aliran kiri atau kanan. Artinya nanti aliran setan
sekalipun harus ditolerir.

Jadi sebenarnya mendukung pluralisme sosiologis juga masih riskan secara teologis.
Orang diluar gereja merasa aman dari upaya penyingkiran. Tapi secara teologis
mengakui keragaman kebenaran termasuk ateisme justru bertentangan secara teologis
dengan gereja dan agama manapun.

Itulah sebabnya uskup pertama Baltimore Dr. Dawe John Carroll bingung, jika gereja
bersikap terlalu eksklusif Kristen menjadi tidak laku di pasaran yang penuh persaingan.
Jika bersifat inklusif atau pluralis maka berarti mengakui semua sebagai sama-sama
benar adanya. Ini masalah.

Namun mereka tidak sadar dampak sosial ternyata tidak sebesar konsekuensi religius.
Sebab ternyata para peneliti menemukan bahwa pluralisme agama melemahkan
keterlibatan masyarakat dalam agama. Penelitian Finke dan Stark (1988) menyimpulkan
bahwa pluralisme menghilangkan kegairahan beragama.

Ketika Negara atau lembaga publik tidak lagi mengobarkan kebaikan suatu agama, maka
pemeluk agama-agama itu akan kehilangan kualitas atau intensitas keimanan atau
kepercayaan pada agamanya. Akibatnya, keterlibatan masyarakat pada agama menjadi
turun. Semakin pluralis seseorang semakin rendah semangatnya pergi ke gereja,
begitulah simpul Finke dan Stark.

Kesimpulan Sensus Olson and Hadaway (1998) di Kanada juga sama. Pluralisme
menggerogoti semangat masyarakat dalam kegiatan keagamaan di Amerika Utara. Tapi
anehnya, Berger, salah seorang konseptor pluralisme, berkesimpulan bahwa secara
kognitif pluralisme agama telah menjadikan individu sulit mengimani agama tertentu.

Stark dan Bainbridge (1987) juga mencatat ketika seseorang berbeda pendapat tentang
(ajaran) suatu agama, maka salah satunya akan berkurang keimanannya.

Selain itu kesimpulan Joseph M. Mcshane, S.J., Dosen religious studies di LeMoyne
College di Syracuse, New York menarik dicermati. Dalam masa 200 tahun gereja-gereja
Amerika menikmati karunia pluralisme tapi pada kurun waktu 40 tahun terakhir,
gereja akhirnya harus menanggung efek pluralisme yang merusak. Kini di Amerika orang
sulit membedakan antara penganut Katholik dan orang awam.

Mengamati situasi diatas Gregory Koukl, rekan John Scott menjadi marah dan emosional
mirip Randall. Dengan tegas dan blak-blakan ia mengatakan Saya rasa konsep
pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid). Konsep bodohnya adalah ide bahwa
semua agama pada dasarnya sama-sama benar.
Emosinya tercermin dari serapah dalam bahasa informal Amerikanya That is just flat out
stupid. Tapi bukan hanya Gregory yang geram. Lagenhausen seorang Muslim juga
marah, tapi ia lebih santun. Tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi
terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah, tulisnya.

Di Barat pluralisme telah meresahkan pihak gereja, tapi di negeri ini para aktifis LSM
menganggapnya berkah melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama
menerimanya dalam domain ijtihad, karena dianggap baru dan berdimensi universal
meski asing bagi umat.

Padahal Islam telah memiliki konsep tasaamuh yang tidak merusak. Ijtihad pendukung
pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog Barat.

Mereka telah sampai tahap berani membuka pintu-pintu surga bagi semua umat
beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-lebar, mereka belum
menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah
relatif.

Boleh jadi di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah
dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang
menurut mereka sangat plural itu.

G.
H.
I. Toleransi tanpa pluralism
Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar
masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil
Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global mengharamkan hal itu. Doktrin
pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri
paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.

Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin
peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan
dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme
Nietzche, tokoh filosof Barat postmo. Filsafat kemudian menjalar ketengah-tengah
diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak
ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat
kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam
pelukan Kristen.

Namun gereja masih dianggap belum maju jika belum sesuai dengan doktrin
relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para
pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi
upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inkuslifisme. (Agama) yang satu
dalam konteks pluralisme agama mengakui (kebenaran agama) yang lain. Ide inilah
yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim diharamkan dan semua dapat
mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab
kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan. Disini hak asasi untuk beragama
dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu
disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Islam vs Pluralisme

Jika cara berfikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemiikiran dan peradaban
Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi
mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopiadan lain-lain masuk Islam bertentangan dengan
doktrin pluralisme. Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama
lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din
(yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang ekslusif dan
tidak pluralis.

Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al- al-
Maidah, 69 dan al-Baqarah 62 untuk menjustifikasi doktrin itu. Dalam al-Maidah, 69
berbunyi Sesungguhnya orang-orang mumin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-
orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada
Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak pula mereka bersedih. (bandingkan al-Baqarah 62).

Ayat diatas difahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabean.
Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabean, seperti
Hindu, Buddha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabean
adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.

Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat.
Sebelumnya (pada al-Maidah 65) disebutkan bahwa Jika orang-orang ahlul kitab
beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami
masukkan surga. Kata jika (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab
itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul
kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat
dan Injil. Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-
kitab itu tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa
Trinitas dalam Bible itu diterima al-Quran. Padahal pada ayat ke 71 dan 73 disebutkan
bahwa ahlul kitab yang percaya Trinitas adalah kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah
ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang membawa konsep tauhid.

Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul
kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu
dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabean dsb itu kini telah
mansukh. Ini diperkuat oleh al-Tabari bahwa surat al-Baqarah 62 dan Ali Imran 69 itu
telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 85 Barangsiapa memeluk agama selain
Islam .. Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi,
Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-
Tafsir al-Sahih, mausuah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Mathur, 2 jld, jld 1,
Dar al-Maathir, Madinah, 1999, 169).

Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabean penyembah bintang-


bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui
kebenarannya oleh al-Quran asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat ini memiliki kelemahan premis minornya. Ternyata menurut al-Tabari tidak
begitu. Penganut Sabean adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat
limawaktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir
al-Sahih, hal. 169)

Maka dari itu menurut Ibn Taymiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk
konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup
sebelum datangnya Islam.

Lalu mengapa dalam ayat itu disebut sesungguhnya orang-orang beriman yang
kemudian diikuti yang beriman kepada Allah? Apakah ini merujuk kepada orang yang
percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud orang-orang
beriman dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku
beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq.( Ibn Qutaybah, Tawil Mushkilat al-Quran,
ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).

Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas
menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa
Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl 126). Mengapa pula Nabi sendiri
mengirimsurat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, RajaEthiopia
masuk Islam.

Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling
benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa
Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu
Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul
kitab).

Islam Menjunjung Toleransi

Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama
yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran 20, al-Kafirun 2-6 menunjukkan
bahwa Islam adalah ekslusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl
126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan
dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-
Quran.

Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam
kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam
secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep
Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.

Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan.
Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi
penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-
Qiyamah. Dalam sejarahnya Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling
damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan
secara damai.

Di Cordoba ummat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi
sesudah kerajaan Bani umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam
secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen
yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim inquisisi Kristen.

Demikian pula ketika Islam masuk kePersiakekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-
cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada
tahun 700 an ketika Qutaibah bin Muslim menjabatGubernur Khurasan,iadengan damai
meluaskan kawasan Muslim keBukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai
perbatasan Cina.

Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini:
Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa
hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu
dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini,
ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama
pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah
Imperium Tang.

Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap
di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali
hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum
penyembah api yang miskin. Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni
lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi
Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan.
Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda,
menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid diPeking.

Begitulah, meskipun Islam adalah agama missi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la
ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi
antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak
memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.

Rahmat Islam

Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak
berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun diseluruh dunia. Rahmat Islam
terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut Ibn Taymiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan
melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-
Quran. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat
qauliyyah dan ayat nafsiyyah.

Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah


pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika,
estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dsb. Karena itulah maka konsep-
konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain
Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan
kebudayaan mereka.

Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi
kehidupan bangsa Eropah. Kemampuan umat Islam menterjemahkan filsafat dan sains
Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian
ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban
Barat tidak dapat diragukan lagi. .

Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang
terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan
menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat kenegara-
negara Islam. Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak
membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk
serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.

Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa
perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dsb. kepada masyarakat yang
animistis dan dinamistis waktu itu. Yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa
peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-
agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep
universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan prinsip pluralisme agama, tapi memiliki
rasa toleransi yang tiada bandingannya.

J. http://hamidfahmy.com/eksklusif-dan-inklusif/
Masuklah Islam, maka anda akan selamat (Aslim Taslam). Namun jika anda menolak
anda akan mendapat dosa dua kali lipat. Begitulah kalimat-kalimat dalam surat Nabi
yang dikirim kepada Heraclitus, Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia Ebrewez
surat Nabi berbunyi sama dengan tambahan . jika anda menolak maka bagi anda dosa
seluruh kaum Majusyi.

Kepada Kaisar Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi berbunyi: Aku ajak anda kepada Allah
yang Esa yang tiada sekutu bagiNya dan mempercayai apa yang aku bawa

Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian: Masuklah Islam anda akan selamat
agar Allah memberi pahala dua kali lipat. Jika anda menolak anda akan menanggung
dosa bangsa Qibti.

Surat Nabi itu adalah tawaran, dawah atau, panggilan untuk keselamatan. Bukan
memasarkan agama. Bukan pula intimidasi yang militeristik. Kurirnya pun tidak disertai
pasukan bersenjata. Beda dengan perkataan You are with us or against us lalu tebar
dana liberalisasi. Surat itu santun tapi tegas. Nabi sedang membawa risalah
menyempurnakan risalah sebelumnya.

Masuklah Islam anda akan selamat, artinya jelas bahwa yang tidak masuk Islam tidak
akan selamat. Tidak ada jalan keselamatan diluar Islam. Itulah misi Nabi. Itulah Islam
sebagai Al-din al-kamil.

Islam adalah din bukan religi atau agama kultural. Din adalah sistem keyakinan,
peribadatan serta prinsip kehidupan dunia-akhirat yang turun melalui wahyu Allah. Jadi
din adalah jalan kebenaran dan keselamatan. Jika seseorang masuk dalam sistem
keyakinan atau din ini maka ia akan berserah diri. Itulah berislam.

Berserah diri dalam Islam jelas kepada Tuhan yang bernama Allah. Allah seperti yang
dalam konsep para nabi dan Nabi Muhammad. Maka dari itu Allah bukan Yahweh,
bukan tuhan Bapak, bukan Nirguna Brahman, bukan Tao Te Ching, bukan En Soph,
bukan pula Dharmakaya.

Allah juga tidak sama dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep
transendentalisme. Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa
dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi
Muhammad.

Jika Tuhan agama nabi-nabi itu benar mengapa penganut agama-agama terdahulu itu
harus ikut agama Nabi Muhammad? al-Quran surah al-Maidah: 65 menjawab: Jika
orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa
mereka dan akan Kami masukkan surga.

Artinya ahlul kitab dianggap tidak beriman kepada Allah SWT. Menurut ahli tafsir al-
Baydhawi ahlul kitab yang dimaksud adalah sebelum datangnya Islam. Standarnya pun
merujuk kepada Kitab Taurat dan Injil (al-Maidah 67) yang intinya adalah tauhid. Tapi itu
pun tidak mereka lakukan.

Sesudah Islam datang konsep berserah diri dan beriman pada Allah pun disempurnakan.
Konsep beriman pada Allah merujuk kepada al-Quran. Rukunnya ditambah iman pada
rasul-rasulNya dan kitab-kitab yang dibawa mereka, pada hari akhir, qadha-qadar, serta
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya.

Dalam al- al-Maidah: 69 dan al-Baqarah: 62, jelas bahwa keselamatan agama terdahulu
adalah beriman pada Allah, hari akhir dan beramal shaleh. Keselamatan sesudah Islam
datang beriman dengan rukun-rukunnya.

Bukankah agama-agama itu dibawa oleh nabi-nabi dan turun dari Allah juga?, Benar,
tapi para pakar tafsir menyimpulkan bahwa untuk masa sesudah kedatangan Islam,
agama-agama itu dibatalkan (mansukh).

Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah disempurnakan
Islam. Ketika menafsirkan al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69, Al-Thabari yakin bahwa surat
itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75 Barangsiapa memeluk agama selain
Islam tidak diterima..

Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli
dan mufasir-mufasir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih,
mausuah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Mathur, 2 jld, jld 1, Dar al-Maathir,
Madinah, 1999, hal. 169).

Menurut Ibn Taymiyyah bunyi al-Baqarah: 62 Beriman kepada Allah dan hari akhir
tidak bisa dipahami secara literal tapi perlu ditafsirkan. Konsep iman berkaitan dengan
konsep amal dan ilmu.

Jadi beriman kepada Allah dan hari akhir saja tidak cukup. Konsekuensi menerima
konsep itu yang terpenting adalah masuk Islam. Artinya menerima enam rukun Iman
dan lima rukun Islam. Tapi untuk mereka yang hidup sebelum kedatangan Nabi
Muhammad, adalah beriman kepada Allah dan akhir seperti yang diajarkan oleh Nabi-
nabi yang diutus kepada mereka.
Menolak Islam manjadi tidak seperti tidak logis. Sebab jika agama-agama yang dibawa
oleh Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad itu beriman pada Tuhan yang sama, mengapa
ketika Tuhan yang sama berfirman tidak mereka indahkan. Malah Nabi Muhammad
yang dimaki-maki.

Kalau kita harus merespon wacana keagamaan di Barat yang berkembang dari eksklusif
menuju inklusif dan pluralis, maka Islam mempunyai jawabannya. Islam adalah agama
eksklusif. Sebab selain jalan Islam tidak dianggap selamat.

Logikanya, jika Islam mengakui keselamatan ada pada agama lain, tentu Islam tidak akan
mengajak pemeluk agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Nabi juga tidak akan
mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia
masuk Islam.

Maka, tidak heran jika Islam tidak akan pernah mentolerir ijtihad-ijtihad teologis yang
menyimpang secara ijma. Maka aliran-aliran yang secara teologis menyimpang seperti
Ahmadiyah, Bahaiyyah, dan sebagainya tidak akan pernah ditolerir.

Islam juga bisa disebut agama yang inklusif. Sebab dalam Islam, anak-anak dari orang
tua yang beragama apapun, jika meninggal sebelum baligh akan masuk surga alias
selamat.

Islam juga bisa dicap agama pluralis. Alasannya jelas, Islam sejak lahir telah berhadapan
dengan pluralitas agama, ras, suku dan tradisi. Tapi pluralisme disini bukan pluralisme
teologis tapi sosiologis. Islam dapat hidup dengan berbagai agama, ras, suku dan aliran
apapun.

Sejarah membuktikan, pembunuhan nabi-nabi dilakukan oleh mereka yang tidak suka
agama. Kini tidak ada lagi nabi-nabi pembawa kebenaran dan jalan keselamatan untuk
dibunuh. Yang dibunuh adalah kebenaran dan jalan keselamatan dan bahkan tuhan itu
sendiri.

K.
L. http://hamidfahmy.com/sekularisme-dan-liberalisme/
Pada tahun 1970 dan 1972 Nurcholis Madjid (NM) melempar gagasan sekularisasi.
Temanya Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman
Keagamaan. Sesudah itu pemikirannya disebut oleh rekan-rekannya sebagai
pembaharuan dalam Islam.

Pada era reformasi tahun 2000an sekelompok anak muda melemparkan gagasan
liberalisasi pemikiran keagamaan Islam. Dimana-mana muncul tulisan Islam liberal,
liberalisasi pemikiran Islam, dekonstruksi syariat dan lain sebagainya.

Dan sama, secara implisit mereka mengklaim pemikiran mereka adalah pembaharuan
dalam Islam. Di kalangan akademisi, juga muncul upaya-upaya yang menggugat
berbagai aspek aqidah (teologi), dan syariat termasuk kitab suci dan Hadis Nabi. Inipun
diklaim sebagai Pembaharuan Islam.
Geneologi pemikiran yang diklaim pembaharuan itu jelas sekali dari Barat. Pertama,
sekularisasi yang digagas NM berasal dari terma modernisme, berlatar belakang ajaran
Bible Berikan hak tuhan pada tuhan dan berikan hak raja kepada raja. Ini kemudian
menjadi dalil pemisahan agama dan gereja.

Para saintis mengembangkannya menjadi doktrin epistemologi dualisme dan dikotomi.


Akhirnya agama dan sains, jiwa dan raga, obyektif dan subyektif, rasional dan empiris
seperti dua kutub yang tak pernah bersatu. Ini jelas bertentangan dengan doktrin tauhid
dalam Islam.

Selain dari doktrin modernisme, gagasan NM berasal dari teologi Protestan. Ia merujuk
buku Harvey Cox, The Secular City. Dari copy gagasan Cox itu NM menyimpulkan
bahwa syahadat adalah sekularisasi besar-besaran.

Kalimat dalam Bible dimodifikasi NM menjadi Menduniakan hal-hal yang duniawi dan
mengukhrawikan hal-hal yang ukhrawi. Padahal, syahadat tidak dapat dipisahkan
secara dikotomis, iman secara setengah-setengah juga berdosa.

Padahal, saat ini di Barat, ide sekularisme dianggap menyesatkan. Eatine Gilson
menyalahkan Islam, gara-gara teori double truth Ibn Rusyd Barat menjadi sekuler. Gara-
gara sekularisme, agama di Barat ditinggalkan orang dan para pendeta pun menyesali
spirituality has gone to the east.

Dalam seminar Islamic Philosophy and Science tahun 1992 di Pinang, Malaysia, John
Esposito menyatakan bahwa Barat sekarang dalam keadaan dead-lock. Karena Barat
tidak pernah bisa menyatukan dualisme dan dikotomi.

Tidak seperti sekularisme, geneologi liberalisme lebih kasat mata. Meski di Barat
liberalisme seumur modernisme, tapi menjadi sangat intens di era postmodernisme. Jika
inti dari postmodernisme adalah relativisme, dekonstruksi, anti otoritas, persamaan
(equality), dan pluralisme, maka liberalisme adalah idem ditto.

Akan tetapi, yang lebih menyolok ketika liberalisme dan juga postmodernisme itu
diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Dalam situs Kedutaan Besar
AS disebutkan programnya adalah Mengembangkan paham pluralisme dan toleransi
untuk menghadapi ekstrimisme.

Jadi pluralisme tujuannya adalah untuk itu. Tidak heran jika kemudian kelompok liberal
di Indonesia muncul dalam posisi memusuhi kelompok yang mereka sebut
fundamentalis.

Pluralisme seperti diklaim sebagai hal baru dalam Islam. Padahal jika maknanya adalah
toleransi, Islam sudah matang bertoleransi sejak ia lahir. Dan jika maknanya adalah
relativisme maka pluralisme tidak lebih dari kepanjangan tangan dari postmodernisme.

Lebih dari itu, klaim pembaharuan kelompok liberal itu sejatinya tidak lebih dari
justifikasi paham feminisme dan kesetaraan gender, pluralisme, teori hermeneutika dan
teori dekonstruksi ke dalam studi Islam.
Ini semua jelas merupakan ingredient liberalisme dan postmodernisme. Akhirnya unsur
konsep Islamnya kalah dominan dibanding unsur Baratnya. Dan inilah yang menurut
Foucault adalah penjajahan wacana.

Jadi ternyata pembaharuan telah diartikan sebagai modifikasi dan aplikasi paham
Barat asing ke dalam pemikiran Islam. Jika demikian maka pembaharuan adalah
perubahan terus menerus yang tidak ada jalan kembali seperti Barat.

Pembaharuan menjadi dekonstruksi kepercayaan masa lalu menjadi kontemporer.


Penafian makna-makna teks secara kontekstual dan sosial sehingga sesuai dengan
tuntutan masyarakat sekuler dan liberal.

Akhirnya, jika pembaharuan diartikan liberalisasi dan sekularisasi maka beberapa


konsekuensi logis terpaksa harus diterima. Pertama, Islam akan menjadi terbarukan jika
meniru paham-paham Barat. Kedua, Jika berislam tapi menentang kesetaraan gender,
pluralisme, demokrasi, hermeneutika berarti mundur. Ketiga, Jika pembaharuan
model itu dianggap benar maka tajdid ulama di masa lalu itu menjadi salah.

M. Kebebasan menista
Aktifis dan pendukung Liberalisme yang tergabung dalam AKKBB pada tanggal 27
Januari 2010 lalu mengajukan usulan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Peraturan
Presiden No: 1/PNPS/1965 yang telah ditetapkan dalam undang-undang No: 5/1969
tentang larangan penistaan agama itu dicabut. Jika ini dicabut berarti agama-agama
baru dapat muncul, penghinaan terhadap agama tidak ada hukum dan aturannya lagi.
Apakah benar kebebasan sudah tidak perlu diatur lagi dalam undang-undang? Apakah
manusia zaman sekarang sudah dewasa dan dijamin tidak akan menista agama lagi.

Nampaknya usulan kelompok liberal tersebut selain berdasarkan UUD 45 dipastikan


pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diakui undang-undang
hak asasi manusia dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
ICCPR mengakui hak bebas bicara sebagai hak untuk berpendapat tanpa gangguan.
Namun sebenarnya ketika DUHAM itu disusun tidak satupun pihak agamawan, apalagi
Islam dilibatkan. Kini kebebasan berbicara itu clash dengan kebebasan beragama
dengan segala rukun-rukunnya.

Suara kebebasan itu memang datang dari Barat. Sebelum DUHAM wacana kebebasan
sudah menjadi topik pembahasan para pemikir. Bagi yang pernah belajar filsafat akan
mengenang Socrates (470-339 SM), orang yang menyuarakan kebebasan tanpa batas.
Tapi ternyata ajaran kebebasan yang dibawa filosof ini dianggap merusak moral anak
muda Athena dan telah mengakibatkan kegusaran pada politisi dan pemimpin agama
atau kepercayaan Yunani. Ia akhirnya dihukum mati.

John Stuart Mill misalnya mengartikan kebebasan berbicara menjadi kebebasan


menyebarkan informasi, pendapat, termasuk mencari, menerima dan memberi
informasi dan ide. Di Perancis telah ada Deklarasi Hak-hak Manuisia dan Warga negara
(1789), yang merupakan dokumen kunci Revolusi Perancis. Akan tetapi, kebebasan yang
dimaksud disitu adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang diatur oleh hukum.

Ini berarti sejak awal sudah ada kesadaran bahwa sebesar apapun hak kebebasan orang
untuk berbicara, ia akan dibatasi kebebasan orang lain. Kebebasan tidak boleh
menghina, merendahkan, melecehkan, menyudutkan ras, agama dan kepercayaan lain
juga tidak boleh merusak kehormatan atau melukai perasaan orang lain.

Pemerintah Jepang pernah memperketat kebebasan berbicara dan media. Akibatnya,


gempa berskala 7.9 richter yang mengorbankan ribuan orang tidak dapat dilaporkan.
Kasus korupsi, bunuh diri pasangan juga tidak dapat dilaporkan media. Setelah perang
Dunia ke II kebebasan mulai dibuka. Tapi, yang muncul justru terbitnya buku, komik dan
gambar porno dipajang di super market dan dapat dibeli bebas oleh anak-anak.
Akhirnya, tahun 1995 surat kabar terkemuka Asahi Shimbun memberi julukan Jepang
sebagai Porn Paradise. Karena semua tidak mampu membendung kebebasan,
berbagai pihak bertanya Suara siapa yang akhirnya didengar?

Artinya siapa yang akan ditaati kalau bukan undang-undang. Sebab dalam perjalanan
sejarahnya kebebasan telah melampau batasnya dan dalam kaitannya dengan agama
yang terjadi adalah menista.

Pada tahun 1951 misalnya, Roberto Rossellini seorang neo-realist membuat film
berjudul The Miracle. Film yang berdurasi 40 menit itu bercerita tentang Saint Joseph
yang menghamili gadis petani yang percaya bahwa dirinya adalah Bunda Maria. Ini
menurut pihak gereja adalah penghinaan. Film lain yang dianggap menista agama
adalah The Last Temptation of Christ and Monty Pythons Life of Brian.

Pada tahun 1966, seorang penulis Belanda bernama Gerard Reve dituduh melakukan
penistaan agama, karena sebuah prosa yang ia tulis menggambarkan percintaan dengan
Tuhan, berinkarnasi selama tiga tahun sebagai keledai. Andres Serrano seorang
fotografer merekayasa sebuah gambar seakan ada salib yang terbenam dalam air
kencing. Gambar seni itu diberi judul Piss Christ. Demikian pula lukisan Chris Ofili yang
berjudul Black Madonna menggambarkan Bunda Maria berkulit hitam dikelilingi
gambar-gambar dari film-film blaxploitation dan men-close up kemaluan wanita dari
majalah porno lalu ditempelkan. Ini juga penghinaan.

Tahun 2004, sebuah website di America membuat kartun berjudul Jesus Dress Up. Di
dalamnya menggambarkan Jesus yang disalib dengan berpakaian celana pendek dan
diberi baju piyama setan. Lebih dari 25.000 orang protes keras atas karton tersebut.
Kasus buku karton Gerhard Haderer tahun 2003 di Yunani berjudul The Life of Jesus;
Ekspresi seni Marith and Franois Girbaud tahun 2005 yang memparodikan lukisan
keagamaan Leonardo The last Supper. Dan yang paling mutakhir terjadi tahun 2008,
ketika festival punk di Linkping, Swedia membuat poster yang menggambarkan setan
yang sedang, maaf, memberaki Jesus di tiang salib. Di dalam poster itu ditulis Punx
against christ. Pimpinan redaksi koran yang menerbitkan poster tersebut mendapat
ancaman hukuman mati. Itu semua adalah penistaan agama atas nama kebebasan
berbicara, berpendapat, berkreasi seni dan berekspresi.

Penistaan serupa juga terjadi dialami oleh umat Islam. Tahun 1989 Salman Rushdie,
warga Inggris keturunan India, menulis novel berjudul The Satanic Verses yang isinya
menghina nabi dan al-Quran. Tahun 1997 Tatiana Soskin tertangkap di Hebron ketika
mencoba menempelkan gambar Nabi Muhammad dalam bentuk babi sedang membaca
al-Quran. Pada tahun 2002 peraih hadiah Pulitzer Doug Marlette menyebarkan gambar
Nabi Muhamamd yang sedang mengendarai truk yang membawa roket nuklir.
Tahun 2004 Theo van Gogh and Ayaan Hirsi Ali produser film asal Belanda membuat film
berjudul Submission. Film berdurasi 10 menit itu menggambarkan kekerasan terhadap
wanita dalam masyarakat Islam. Dalam film itu ditunjukkan empat wanita bugil yang
mengenakan baju transparan. Pada tubuh wanita itu ditulis ayat-ayat Quran.

Tahun 2005 Runar Sogaard asal Swedia menulis bahwa Nabi Muhammad mengidap
kelainan seks (paedaphile) karena menikahi Aisyah dibawah umur. Pada tahun yang
sama surat kabar Denmark Jyllands-Posten menerbitkan karton Nabi Muhammad yang
melecehkan. Setahun kemudian di Jerman seorang aktifis bernama Manfred van H
mengirim paket ke masjid-masjid dan media berisi kertas toilet yang diberi tulisan ayat-
ayat al-Quran. Tahun 2007 di Swedia seorang seniman bernama Lars Vilks, dalam
sebuah pameran seni menampilkan gambar yang bertema The Dog in Art dengan
menggambarkan Nabi Muhammad dikelilingi anjing. Dan yang paling mutakhir adalah
ulah politisi Belanda Geert Wilders dengan filmnya yang berjudul Fitnah. Filmnya
menggambarkan kekerasan dalam Islam dan dianggap ancaman bagi Barat.

Orang-orang Sikh juga mengalami penistaan yang sama. Di tahun 2004, sebuah teater di
Birmingham berencana untuk menampilkan pertunjukan yang berjudul Behzti artinya
pencemaran atau aib. Cerita yang ditulis oleh Gurpreet Kaur Bhatti asal India itu
menggambarkan kekerasan seksual dan pembunuhan di kuil Sikh. Karena dianggap
penistaan dan diprotes maka pertunjukan itu batal dilaksanakan.

Tentu yang tahu dan merasa bahwa suatu pembicaraan, tulisan, gambar atau lainnya
merupakan penistaan adalah pemeluknya. Tapi masalahnya di Barat hak agama untuk
berkeberatan tidak mendapat tempat semestinya. Maka, dari seluruh penistaan itu
tidak semua, atau bahkan mungkin tidak ada yang sampai ke pengadilan dan diberi
hukuman. Padahal banyak Negara yang memiliki undang-undang anti-penistaan.

Di Negara bagian Massachusetts di Amerika Serikat misalnya terdapat undang-undang


yang melarang penistaan. Babnya diberi judul Kejahatan terhadap Kesucian, Moralitas,
Kepantasan dan Ketertiban. Pasal 36 berbunyi : Barang siapa dengan sengaja
menistakan nama suci Tuhan dengan mengingkari, memaki atau dengan sengaja
mencela Tuhan, cipataanNya, kekuasaanNya atau akhir dari dunia, atau dengan sengaja
memaki, mencela Jesus atau Roh Kudus, atau dengan memaki firman Tuhan yang
terdapat dalam kitab suci harus dihukum penjara tidak lebih dari satu tahun atau
didenda tidak lebih dari tiga ratus dollar..

Di negara-negara Islam kebanyakan penistaan berakhir di pengadilan, Tahun 1994


Taslima Nasrin di Bangladesh difatwa hukum mati karena pernyataannya di koran The
Statesman yang berbunyi bahwa al-Quran harus direvisi secara menyeluruh. Tahun
1998 Ghulam Akbar, seorang penganut Syiah telah dihukum mati karena mengucapkan
kata-kata penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Dan tahun 2000 pengadilan Lahore
juga memutuskan hukuman mati terhadap Abdul Hasnain Muhammad Yusuf Ali karena
melecehkan nama Nabi Muhammad. Di Mesir seorang yang mengaku Nabi langsung
dibunuh dan selesai.

Tapi harus diakui bahwa penistaan telah menimbulkan keresahan masyarakat dan
berakhir dengan ancaman bunuh dan bahkan sudah banyak yang terbunuh diluar jalur
hukum. Logikanya, jika Muntazar al-Zaidi yang melempar George W Bush dengan sepatu
dibawa ke penjara, wajar jika penghina Tuhan dan Nabi dihukum mati. Dan wajar jika
hukuman itu tidak terjadi maka masyarakat akan menghukum sendiri. Theo Van Gogh
misalnya dibunuh oleh Mohammad Bouyeri pada tanggal 2 November 2004, di
Amsterdam. Pembunuhnya lalu menempelkan tulisan pada dada Van Gogh yang
bernada ancaman terhadap pemerintah Belanda, Yahudi dan Hirsi Ali. Salman Rushdie di
fatwa Khomeini dengan hukuman mati.

Jadi kebebasan berpendapat dapat dilindungi dan dibela, tapi pada satu titik tertentu
memang tidak dapat lagi. Titik batasnya dengan gamblang disampaikan Hakim
Mahkamah Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr. Ia menyatakan bahwa
proteksi terhadap kebebasan berbicara yang paling ketat sekalipun tidak dapat
melindungi seseorang yang bohong berteriak kebakaran dalam sebuah gedung bioskop
dan mengakibatkan kepanikan. Dalam bahasa agama, orang bisa melindungi kebebasan
bicara tapi tidak bisa melindungi kebebasan menista agama.

PBB melalui UNHRC (United Nation Human Right Council) sudah banyak meluluskan
pasal larangan penistaan agama (Defamation of Religion). Terakhir, tahun 2009, setelah
mendengar Zamir Akram delegasi dari Pakistan bahwa penistaan agama dapat dan telah
mengakibatkan kerusuhan, UNHRC meluluskan resolusi yang menyatakan bahwa
penistaan agama sebagai penistaan hak asasi manusia. Namun, pada hari yang sama
yakni tanggal 26 Maret 2009, lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil (civil society
organizations) yang berasal dari 46 negara mendesak UNHRC untuk menolak resolusi
yang melarang penistaan agama. Dan ternyata organisasi masyarakat sipil itu terdiri dari
kelompok Muslim, Kristen dan Yahudi (tentu yang liberal), serta kelompok Sekular,
Humanis dan Atheis. Nampaknya aspirasi inilah yang dibawa AKKBB ke MK.

Walhasil, sebenarnya kebanyakan kasus penistaan Nabi, Tuhan dan kepercayaan agama-
agama di Barat bukanlah hasil murni kebebasan berbicara, berpendapat atau
berekspresi untuk tujuan-tujuan kreatif yang secara tidak sengaja menista agama. Akan
tetapi, gambar-gambar, film, pernyataan dalam kasus-kasus diatas murni merupakan
kebencian terhadap agama. Kalau mereka bebas menista agama, maka kebebasan itu
menjadi terkotori. Jadi sejatinya kebebasan menista itu pada akhirnya malah menista
kebebasan itu sendiri.

N. http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2010/03/17/42917/blasphemy.html
Jika orang melakukan penistaan agama dengan dalih kebebasan berfikir, maka serahkan
ketentuan benar dan salah pada suara mayoritas yang berilmu

Terkait
Turki Bolehkan Polwan Gunakan Jilbab
Pakar: Negara Membiarkan Pencabulan dan Perzinahan di Luar Nikah
Pascaserangan Kereta di Jerman, Mufti Mesir Minta Barat Mereview UU yang
Mengekang Muslim
Kontroversi Dr Zakir Naik di Malaysia
Oleh: Hamid Fahmi Zarkasyi*

DALAM suatu simposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Ia salah seorang
peneliti pada Rand Coorporation, yaitu NGO yang memberi saran dan masukan ke
Security Council Amerika Serikat (AS) bagaimana menumpas fundamentalisme dalam
Islam pasca 11 September.

Di saat coffee break, ia sengaja menghampiri saya dan langsung menembak, What is
wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan ini adalah kasus penistaan agama
(religious blasphemy). Oh no, itu kan masalah kebebasan
berpendapatblablabla.

Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan seperti ingin ikut campur urusan
umat Islam. Saya baru teringat tulisan David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars,
Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi
bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam.
Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut David.

Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah
yang dianggap sesat? tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah
seperti menahan sesuatu. Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke
pemerintah, jawabnya.

Di sini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam
urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh
masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya.
Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God (COG) dan Jehovah Witnesses dilarang
Kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan
Kristen. Jika demikian itu juga berdasarkan laporan para penganut Kristen.

Tapi kemudian saya katakan, kalau Anda menyerahkan penyelesaian urusan blasphemy
ke masyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahu sendiri
bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-
daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Dan perlu Anda tahu bahwa penganut
Ahmadiyah sendiri menganggap siapa pun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad
sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah
salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah.

Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia
mengalihkan pembicaraan. Lets talk something else, katanya.

Blasphemy adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata
blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, 2001 Douglas Harper disebut sebagai
berasal dari bahasa Prancis, blasfemie; asalnya dari bahasa Latin blasphemia atau
bahkan dari Yunani blasph?mein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau
menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.

Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan
pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya, serta tulisan-tulisan-
tulisan mengenainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap
sakral. (Merriam-Websters Dictionary of Law, 1996). Menurut The American
Heritage, blasphemy adalah aktivitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan,
irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam the Random House Dictionary dan The American Heritage menganggap
seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk
blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi.
Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau
menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.

Hanya masalahnya, orang-orang liberal sekuler menuduh para pemeluk agama-agama


telah membatasi kebebasan berpendapat. Agama, menurut mereka, menggunakan dalih
blasphemy, penistaaan, bidah, musyrik, tabu dan sebagainya untuk membungkam
pikiran mereka. Itu pun, dalam persepsi mereka, para agamawan hanya membatasi hak
memahami agama pada otoritas keagamaan (ulama, pendeta, sami, dan sebagainya). Di
sini agama menjadi buruk muka dan diposisikan sebagai pemasung kebebasan.

Inti masalahnya ada pada worldview masing-masing. Di Barat agama-agama memiliki


alam pikirannya sendiri. Sejarahnya, memang selalu bentrok dengan masyarakat Barat,
khususnya masyarakat ilmiah (scientific community).

John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggris pernah bentrok dengan parlemen. Itu
gara-gara brosur buatannya yang liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan
ilegal. Tapi Milton membela diri. Katanya, kesatuan suatu bangsa diperoleh melalui
gabungan pendapat individu yang berbeda ketimbang homogenitas yang dipaksakan.
Kemampuan menggali ide-ide cemerlang diperlukan dan kebenaran tidak dapat dicapai
kecuali dengan merujuk semua pendapat orang.

Jadi, bagi pemikir non-agama, kebenaran tidak harus melalui otoritas keagamaan.
Milton bahkan menambahi pembelaannya bahwa jika fakta-fakta dibiarkan telanjang,
kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka.

Tapi siapa yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah? Menurut Milton bukan
individu, tapi gabungan pendapat individu-individu. Katakanlah kebenaran ditentukan
oleh suara mayoritas. Sekilas orang bisa terima, tapi ternyata ini bermasalah. Sebab bagi
Milton, meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan
kebenaran mereka sendiri-sendiri. Jadi teori Milton masih problematik, karena tidak ada
standar kebenaran. Kebenaran itu tergantung pada individu masing-masing.

Kebebasan mencari dan menentukan kebenaran gaya Milton tetap saja akan memihak.
Nah, tapi Noam Chomsky mencoba merumuskan begini: Jika Anda percaya pada
kebebasan berbicara, Anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung
pendapat yang tidak kau sukai. (If youre in favor of freedom of speech, that means
youre in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi
kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara, hanya
mendukung pendapat yang mereka sukai saja.

Kembali ke soal blasphemy. Jika orang melakukan penistaan agama dengan dalih
kebebasan berfikir dan berpendapat, maka rumus Milton perlu digunakan. Serahkan
ketentuan benar dan salah pada suara mayoritas yang berilmu tentang itu. Bukan
kepada individu tapi kepada komunitas, dan ini harus mengikat individu.

O. DESAKRALISASI TEKS
Jika banyak orang melihat sekularisme sebagai suatu aliran pemikiran di Barat, al-Attas
dengan tajam dan jeli menyimpulkan bahwa itu adalah program filsafat. Program itu
oleh Weber disarikan menjadi tiga elemen utama: Pengosongan alam dari nilai
(Disenchantment of nature), Penafian nilai (Deconsecration of value), dan Desakralisasi
politik (desacralization of politic).

Inti dari ketiga elemen ini adalah desakralisasi segala sesuatu. Artinya tidak ada yang
suci dan tidak perlu ada yang disucikan di dunia ini, termasuk segala aspek dalam
agama.

Ketika ide desakralisasi itu masuk dalam wacana pemikiran Islam, yang pertama menjadi
sasaran adalah teks al-Quran. Alasannya pensakralan teks itu menyebabkan umat
terkungkung dalam lingkup (boundary) yang sempit dan kadang-kadang sulit untuk
keluar dari lingkup tersebut.

Konon ini merujuk kepada kata-kata Muhammad Al-Ghazzali dalam bukunya Kaifa
Nataamal Maa al-Quran. Tapi sebenarnya maksud al-Ghazzali itu diplintir untuk
sebuah kepentingan. Dan apa yang dimaksud sakralisasi teks pun tidak jelas.

Wacana ini sebenarnya merupakan rajutan antara realitas pemikiran Islam dan
postmodernisme. Suatu asimilasi yang lucu dan menyesatkan, sebab Islam berangkat
dari yang absolute (Wahyu/Allah), melalui jalan metafisika yang jelas sedangkan
Postmodernisme berangkat dari penafian yang absolute dan penolakan metafisika.

Cikal bakal Postmodernisme dapat dilacak dari doktrin nihilisme-nya Nietsche atau
Heiddeger yang melahirkan statement God is dead. Konsekuensi logisnya adalah
bahwa God was no longer Supreme Being, but collective reason, God exist within human
intelligence. (Alain Finkielkraut, 1995).

Maka dari itu menurutnya ketika metafisik mencapai kebenaran yang dianggap sebagai
dari Tuhan (absolute) sebenarnya tidak lain hanyalah sesuatu yang sobyektif yang boleh
jadi salah seperti mana suatu pendapat atau kepercayaan. Kalau kita menolak
kesalahan maka kita juga harus menolak kebenaran kata Nietsche.

Ide nihilisme ini kemudian berkembang menjadi apa yang disebut Philosophy of
Difference. Doktrinnya: Perbedaan antara benar dan salah, rasional dan irrasional
harus dipisahkan dari bahasa atau konsep, artinya semua apa yang kita alami tidak lain
hanyalah Penafsiran.

Segala sesuatu yang berbeda-beda di dunia ini selalu dapat ditafsirkan kedalam terma-
terma yang dihasilkan oleh nilai-nilai sobjektif dalam diri kita. Ringkasnya, ide ini
berkembang menjadi apa yang disebut sekarang dengan Hermeneutic (Filsafat Tafsir).
Nihilisme dan Hermeneutic tidak jauh berbeda karena keduanya menawarkan konsep
relativitas.

Ernest Gelner penulis Buku Postmodernism, Reason and Religion, mengatakan ciri-ciri
Postmodernisme dapat diketahui dari statement bahwa: Segala sesuatu adalah teks,
materi dasar teks, termasuk masyarakat atau apapun juga, adalah arti, dan arti-arti itu
harus didekonstruksikan, pernyataan tentang realitas objektif harus diragukan.
Arti dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah bahwa dalam mendekati suatu teks kita
harus skeptis dan maksud penulis teks tidak perlu diutamakan, yang ada hanyalah
kesempatan untuk menafsirkan atau mengomentari teks secara tanpa ada batasan. Ide
ini tidak saja cocok dengan doktrin relativisme tapi yang penting adalah Penolakan
Kebenaran Transendental (termasuk disini adalah kebenaran adanya Tuhan).

Atas dasar latar belakang doktrin-doktrin Postmodernisme itulah kalangan liberal


mencoba manawarkan dekonstruksi tafsir Jihad. Tapi sebelum menerapkan doktrin
Postmodernisme ini kedalam Islam, terlebih dahulu Muslim liberal menggiring kita
kepada konklusi tentang perlunya menerapkan doktrin dekonstruksi Derrida dengan
mengenalkan kita pada premis-premis yang cukup mengejutkan:

Bahwasannya umat Islam seringkali mempraktekkan Jihad sebagai perang suci (Holy
War) atas nama agama dan Tuhan.
Bahwa studi hukum Islam menampilkan sikap kejam sehingga berakibat pada sakralisasi
teks. Hukum Islam dulunya adalah relatif, kini diperlakukan sebagai sakral dan absolute.
Kedua premis sering kita dengar keluar dari mulut orientalis. Perang atas nama Agama
seakan-akan dianggap sebagai naive dan sektarian, padahal dari dulu sampai kapanpun
perang dalam Islam harus atas nama Agama dan Tuhan atau berdasarkan perintah
Tuhan.

Istilah Holy War itu yang paling ditakuti Barat sehingga melahirkan cap kejam pada
Islam, image bahwa Islam identik dengan perang suci, fundamentalis, terorisme,
kekerasan dan lain-lain.

Sebagai seorang Mukmin sebaiknya kita memahami Qital atau Jihad al-Asghar seperti
apa yang dipraktekkan Nabi. Itulah perintah-perintah yang ada. Perang-perang yang
dipraktekkan Rasulullah bukanlah semata-mata dilihat dari nilai historis belaka, tapi
adalah aplikasi suatu ketaatan pada teks (wahyu) yang absolut. Meskipun tidak
menafikan bahwa jihad intelektual memiliki maqam yang lebih tinggi.

Jadi menurut pendapat penulis premis-premis diatas sudah tidak benar, bagaimana
dapat dipakai untuk menggiring kepada perlunya menggunakan doktrin dekonstruksinya
Derrida ?

Selanjutnya, apabila jalan keluar yang ditawarkan adalah dekonstruksi tafsir Jihad, maka
al-Quran diletakkan sebagai teks yang harus diragukan atau dipertanyakan. Tidak peduli
bagaimana sejarah teks tersebut dan bagaimana otentisitasnya.

Cara lain untuk meragukan teks adalah dengan menganggap al-Quran sebagai
representasi kalam Tuhan melalui bahasa Arab dan akal pikiran Nabi. Representasi
kalam Tuhan berarti bukan kalam Tuhan yang sesungguhnya. Al-Quran dianggap
sebagai sabda Nabi berdasarkan kreatifitas dan akal pikiran beliau.

Apalagi jikalau teks itu dianggap representasi berarti apa yang menjadi objek bukanlah
al-Quran, sebab representasi bukanlah presentasi (kehadiran) dan al-Quran tidak dapat
dianggap sebagai representasi, karena ia adalah presentasi. Disini orang-orang liberal
salah paham terhadap makna teks dalam konsep Derrida.
Dengan mengikuti doktrin Postmodernisme kaum liberal menjadikan al-Quran sebagai
open text dan dapat ditafsirkan oleh siapa saja tanpa batasan. Dalam perkataan mereka
yang tidak bertanggung jawab, Tafsir ayat al-Quran adalah sebanyak kepala manusia di
dunia.

Padahal para ulama tafsir yang telah memenuhi persyaratan keilmuan yang cukup untuk
menafsirkan hingga kini tidak sampai menghasilkan seratus kitab tafsir. Apalagi seribu,
sejuta atau semilyar tafsir.

Memang dalam doktrin postmodernisme yang relativistik dan nihilistik otoritas


dihapuskan, dan maksud asli suatu teks (maqasad al-nash) dihilangkan tidak perlu
diutamakan. Untuk itu maka semua makna harus dibongkar dimaknai ulang.

Jika ini terjadi pada al-Quran maka siapa yang akan menjadi penafsirnya. Kalau semua
orang boleh menafsirkan, tanpa sumber otoritas, lalu apa gunanya Nabi dan Ulama
sebagai pewarisnya?, Padahal struktur ilmu pengetahuan Islam dan otoritas penafsiran
teks ada pada Nabi dan para ulama (al-rasikhun fii al-ilmi), baik ulama klasik atau
kontemporer. Karena itu sakralitas teks adalah suatu kemestian dan sekularisasi atau
merelativekan teks adalah suatu kerancuan.

Kalau Foucaoult mengatakan tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan
sebenarnya dapat diislamkan dengan tidak ada pengetahuan yang bebas dari
kekuasaan Tuhan, tidak ada pengetahuan yang bebas dari nilai.

Bagi seorang muslim kepentingan dalam pengetahuan adalah ibadah. Adapun kalau ada
individu-individu yang jauh dari al-haq lalu membelokkan pengetahuan untuk
kepentingan tertentu, itu terlepas dari ilmu pengetahuan Islam. Tapi kalau kepentingan
adalah masalah besar, bukankah postmodernisme sendiri bias dengan kepentingan?

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa konsep jihad dapat ditafsirkan dengan
orientasi keadilan dan kebenaran. Caranya adalah dengan memahami teks itu sendiri
sesuai dengan maknanya yang benar.

Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya/proporsinya. Kita tidak bisa


meletakkan sesuatu pada tempatnya jika kita tidak tahu ilmu tentang sesuatu itu dan
bagaimana meletakkan sesuatu secara benar dan tepat. kita tidak akan dapat
mengorientasikan Jihad Intelektual kepada kebenaran kalau kita tidak mengetahui
ilmu untuk menuju kebenaran itu.

Kalau ingin membawa tafsir jihad supaya lebih toleran, pertanyaannya adalah apa dasar
toleransi itu? karena kepentingan nasional, kepentingan kerukunan beragama,
kepentingan keselamatan masyarakat atau apa?

Benar jihad intelektual lebih mulia ketimbang jihad fisikal, tapi perlu diingat bahwa qital
memerangi orang yang memerangi Islam dan umatnya tidak dapat dihapuskan karena
kemuliaan jihad intelektual.

Walaupun Nabi tidak pernah melarang orang berperang dan menggantikannya dengan
jihad intelektual. Masing-masing amal memiliki maqamnya sendiri-sendiri. Bahkan
pengusaha yang jujur dan saleh adalah sejajar dengan syuhada dan siddiqin. Tapi nabi
tidak lantas menyuruh semua orang berbisnis secara jujur dan meninggalkan amal yang
lain.

Walhasil, sekarang dengan tanpa mengecilkan dan menafikan adanya jihad secara fisik,
bagi kalangan umat Islam tertentu adalah berjihad secara intelektual adalah penting.
Jihad intelektual yang sangat urgen sekarang ini adalah memerangi pemikiran-pemikiran
yang menyesatkan, memerangi syirik intelektual, memerangi deviasi-deviasi
pemahaman din, memerangi keraguan, dan memberi pencerahan dengan merujuk
kepada al-Quran dan hadis untuk dipahami dalam konteks zaman sekarang.

P. Al Quran menghargai kesalahan ?


Postmodernisme dihidupkan oleh semangat pluralisme dan dihadapkan dengan
fundamentalisme, kata Akbar S. Ahmed dan Ernest Gelner. Kini semua agama
diprovokasi merespon semangat ini. Sekularisme telah gagal, kata Peter L. Berger dan
gantinya adalah pluralisme.

Buku al-Quran Kitab Toleransi ini adalah contoh riil respon itu, Membangun toleransi
di tengah gelombang intoleransi yang makin marak. Kandungannya sarat dengan
wacana pluralisme dan memusuhi fundamentalisme. Masih satu skenario dengan buku-
buku yang ditulis Charles Kimbal, When Religion Become Evil, atau Cheryl Bernard, Civil
Democratic Islam, Partner, Resource and Strategy dan sebagainya.

Buku ini berangkat dari asumsi bahwa sejauh ini Islam dianggap intoleran. Pembacaan
yang serius terhadap al-Quran dalam masalah ini tidak ada. Kitab-kitab klasik pun tidak
dihadirkan secara menyeluruh untuk tujuan itu (h. xi).

Asumsi-asumsi itu memberi banyak harapan kepada pembaca. Pertama, harapan akan
ada kajian serius terhadap bangunan konsep al-Quran. Kedua, adanya bangunan
konsep yang menggabungkan konsep toleransi, intoleransi dan bahkan absolutisme.
Ketiga, kajian komprehensif terhadap kitab-kitab Tafsir sehingga muncul tafsir baru. Tapi
apakah harapan-harapan itu dipenuhi buku ini, kita lihat.

Pertama penulis menjadikan al-Quran kitab terbuka (h.65). Maksudnya al-Quran harus
bisa dipahami tanpa bahasa Arab, bahasa yang tidak bisa disentuh oleh manusia biasa,
sakral (h.72). Tapi bagaimana caranya tidak dijelaskan. Pembaca hanya disuguhi paparan
tentang kaidah-kaidah para ulama dalam memahami al-Quran. Contoh kasusnya pun
melulu fikih.

al-Quran kemudian didekati secara hermeneutis. al-Quran diposisikan sebagai produk


budaya (muntaj tsaqafi) atau juga podusen budaya (muntij tsaqafi), meminjam teori
Nasr Hamid Abu Zayd. Tapi yang menonjol adalah yang pertama, budaya Arab
mendominasi pembentukan teks.

Bagaimana al-Quran dengan konsep-konsepnya menjadi produsen budaya (muntaj


tsaqafi) tidak dielaborasi. Harapan pembaca untuk mendapatkan bangunan konsep baru
pun pupus.

Pada bagian selanjutnya pembaca berharap menemukan kajian Tafsir klasik yang
komprehensif. Tapi penulis justru berpendapat perlunya memperkaya khazanah Tafsir
dengan metode Tafsir produk orang-orang berbeda ajaran dan kepercayaan (hal.106).
Metode itu adalah hermeneutika. Teori-teori hermeneutika Paul Ricour, Heidegger,
Gadamer, Dilthey, Habermas dan sebagainya juga disebut secara singkat.

Bagaimana teori hermeneutika diaplikasikan untuk teks wahyu, juga tidak jelas. Josep
van Ess yang non-Muslim dan profesor itu saja sadar bahwa hermeneutik was not
made for Islamic studies as such. Yang kemudian terjadi bukan pengayaan metodologis,
tapi, justru membongkar tradisi Tafsir. (hal.124). Harapan ketiga pun pupus sudah.

Toleransi dimaknai sebagai menerima dan menghargai pihak yang salah dan
keberagaman. Salah dalam masalah apa tidak pasti. Tapi tiba-tiba pembaca disodori
hadis ijtihad furuiyyah, yang salah dapat pahala satu yang benar dapat dua.

Dalil fikih inipun lalu digunakan untuk memaknai inklusifisme teologis, yaitu menerima
kebenaran kelompok atau agama lain. (hal. 199). Suatu loncatan akrobatik dari fikih ke
teologi yang mengejutkan.

Dari toleransi dan inklusifisme lalu beralih ke wacana pluralisme. Penulis nampaknya
hanya memahami pluralisme sosiologis. Sebab ia menyalahkan MUI yang memahami
pluralisme teologis ala John Hick, W.C. Smith, atau Schuon. Padahal, pluralisme
sosiologis itu pada akhirnya juga akan menggiring pada pluralisme teologi.

Dalam Oxford Dictionary of Philosophy disebutkan It (pluralism) frequently consorts


with relativism and general suspicion of a notion of the truth. Muaranya sama, tidak
berpihak pada kebenaran. Jika anda meyakini kebenaran maka anda harus toleran
kepada kesalahan, begitulah doktrin Nietzsche, sang relativis. Dus, pluralisme
menyimpan relativisme.

Kesimpulan bahwa al-Quran adalah Kitab Toleransi lebih merupakan infotainment bagi
manusia postmo. Realitas teks dan sejarah bahwa Islam berwajah keras, tegas dan
terkadang berbahasa peperangan seperti ditutup-tutupi. Surat Nabi mengajak raja-raja
dan Kaisar masuk Islam dalam paradigma ini bisa dihukumi intoleran. Buku ini banyak
fakta tapi tidak koheren. Walhasil, buku ini belum bisa menjawab pertanyaan Jack-
Nelson-Pallmeyer Is Religion Killing Us?

Q. Membakar Al Quran
Brad Thor, seorang penulis novel yang produkif. Tulisannya yang agak mutakhir berjudul
The Last Patriot, Thriller. Detail mengenai novel ini tidak penting. Tapi yang aneh karya
fiksi ini memasukkan fakta-fakta sejarah Islam yang difiksikan atau dikarangnya sendiri.

Misalnya, ia menulis bahwa Pada bulan juni 632 Nabi Muhammad menerima wahyu
terakhir. Dalam beberapa hari (kemudian) ia terbunuh. Selain itu ia juga menyatakan
bahwa wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad hilang.

Tapi, di akhir buku itu, dalam Authors Note (catatan penulis) ia menulis bahwa
pendapat tentang hilangnya wahyu Muhammad itu adalah karangan saya dan
pendapat tentang terbunuhnya Muhammad oleh sahabatnya itu adalah rekayasa saya
(meskipun ada bukti bahwa Muhammad itu dibunuh).
Dalam novel itu Brad Thor mengaku bahwa konsultannya tentang Islam, diantaranya,
adalah Daniel Pipes dan Robert Spencer. Kedua konsultan ini banyak menulis Islam
secara negatif.

Robert Spencer menulis buku berjudul Islam Unveiled (DiIndonesiakan dan diterbitkan
oleh Paramadina menjadi Islam Ditelanjangi). Di dalam buku ini ia menggambarkan
bahwa al-Quran tidak punya konsep damai dengan kafir dan musyrik.

Ia juga menyitir ayat-ayat perang terhadap kafir dan juga ahlul kitab. Itu berarti bahwa
inti dari ajaran Islam, yakni al-Quran memang sudah memusuhi orang kafir. Bahkan dia
menolak pernyataan Harun Yahya bahwa al-Quran bukan sumber kekerasan.

Kisah-kisah pembunuhan di zaman Nabi terhadap musuh-musuh Islam (yang belum jelas
kesahihannya) dibeberkan. Masih banyak lagi. Selain mengorek apakah Islam itu agama
damai, ia juga memojokkan Islam dalam soal HAM dan soal Perempuan. Pendek kata
Spencer melihat secara khusus sisi negatif Islam dari pemahamannya sendiri dan tidak
menyebut sisi positifnya.

Semua itu seperti memberi tahu orang Barat bahwa Islam adalah masalah besar bagi
Barat. Solusi yang ditawarkan Robert secara implisit muncul dalam bentuk pertanyaan :
Apakah Islam kompatibel dengan Demokrasi Liberal?, Dapatkah Islam disekularkan,
dicocokkan dengan Pluralisme Barat?, Apakah Islam toleran terhadap non-Muslim?,
Jawaban dari dua pertanyaan pertama adalah positif, sedangkan jawaban pertanyaan
terakhir adalah negatif. Artinya, solusi masalahnya, Islam harus diBaratkan, disekularkan
atau diliberalkan.

Robert Spencer seperti menegaskan bahwa masalah terbesar hubungan Islam dan Barat
adalah al-Quran itu sendiri. Dan mustahil terjadi rekonsiliasi dengan Islam. Jalan satu-
satunya yang harus ditempuh adalah mem-Barat-kan, mensekularkan, meliberalkan
Muslim. Dan ini sudah berhasil di beberapa kasus.

Sejatinya, pembakaran al-Quran oleh John Terry atau siapapun tidak berdampak apa-
apa bagi Muslim. Orang masih bisa mencetak lagi. Kita perlu marah karena ghirah kita,
karena keimanan kita dan karena merusak sesuatu yang kita sucikan. Jangankan al-
Quran, bendera kita dibakar pun mengundang demo besar-besaran. Bagi yang tidak
demo akan dicap rendah jiwa patriotismenya dan lemah nasionalismenya.

Memang mendemo pembakar al-Quran sangat perlu, supaya mereka toleran bahwa
yang dianggap suci orang Islam itu mereka hormati. Namun, yang lebih perlu adalah
mendemo tulisan orientalis dan murid-muridnya yang merusak aqidah, menafikan
syariat dan merendahkan status al-Quran dari wahyu menjadi sekedar karangan Nabi
Muhammad. Karena menyerang ajaran al-Quran itu lebih dahsyat dari sekedar
membakar mushaf al-Quran.

Al-Quran adalah ilmu dan ilmu itu cahaya, oleh karena itu cahaya tersebut harus tetap
hidup dalam diri kita. Jangan ada seorang pun yang menghina cahaya itu dan bahkan
mematikannya dari dalam hati kita.

R. Menggugat syariat
Tahun 2007 lalu saya bersama Abdullahi Ahmad an-Naim membedah buku
terjemahannya. Judul bukunya adalah Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa
Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa
kritikan. Diantaranya saya mengkritik konsepnya tentang syariat, Negara, public reason
dan sebagainya.

Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah
interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan
tidak menerapkan syariat (hal.33).

Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Quran terdapat syariat atau hukum. Kalau
syariat diartikan jalan berarti juga ingkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariat itu dibuat
oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda
tangan serta menulis With profound appreciation. Mungkin dia menerima kritikan
saya. Wallahu alam

Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation,
AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariat sebagai the
entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly
judgments, and open to selective use and interpretation.

Intinya syariat itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam
sebuah koran Tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia. Ketiganya
bermaksud sama mengartikan syariat sebagai hasil interpretasi manusia Muslim
terhadap kitab sucinya.

Apa yang dimaksud interpretasi ternyata beda dari Tafsir atau Tawil. Interpretasi
mementingkan sejarah teks. Al-Quran dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi
politik, sosial, psikologis, ideologi dan sebagainya.

Alhasil, al-Quran menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak
lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya di sekitar teks. Maka, sebab khusus ayat
itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu
(umum-ul-lafz).

Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau
tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus Penafsiran ulama itu kondisional
dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berpikir
seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.

Ternyata itu semua adalah bagian dari skenario intelektual untuk menumpas Muslim
fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard Challenge their
interpretation of Islam and expose inaccuracies (tantanglah interpretasi mereka
[fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya).

Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen
Ilmu Tafsir malah lebih kreatif Satu ayat seribu tafsir, Kitab-kitab Tafsir klasik tidak
relevan lagi, bahkan Tidak kontekstual.
Untuk membuktikan seribu tafsir muncullah tafsir baru untuk menjual dagangan
feminisme radikal, misalnya. Seorang profesor pemikiran Islam menyatakan bahwa
lesbianisme itu halal. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa
homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir baru menghasilkan syariat
(hukum) baru. Hukum baru nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam
laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.

Tafsir-tafsir baru itu nampaknya adalah pengamalan dari dawuh Cheryl Bernard.
Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the
original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif
mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi
syariat. Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas menciptakan
syariat. Islam adalah liberal.

Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktik syariat. Ketika sejumlah
daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri,
minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira.

Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium bau syariat, sontak mereka protes.
Meski tidak berbunyi perda syariat, perda itu dianggap inkonstitusional dan
menyulut disintegrasi bangsa.

Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa.
Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun,
begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes.
Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, memberangus kebebasan seni dan
kreatifitas dan membunuh budaya.

Karena menolak syariat konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan
(hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa cm (centimeter)
goyang yang diperbolehkan, berapa cm (centimeter) paha boleh dibuka?. Ternyata
syariat ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another,
kata Nietzsche.

Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggris tahun 90an pentas di Perancis mereka
dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekuler pun
masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang ngebor
dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.

Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal
menegaskan tidak ada hukum Tuhan, yang sekuler akur tidak ada yang haram di
negeri ini. Para artis tambah yakin Buka-bukaan boleh asal profesional.

Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh (berzina)
asal tidak menyakiti orang lain. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang
menurut Cheryl are the most Westernized.

Sejatinya, syariat tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang
sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, menyucikan,
menenangkan, dan membersihkan manusia dari segala nestapa kehidupan dunia.
Siapa yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan
menentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang
lebih besar yaitu ingkar Tuhan.

Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariat sebagai jalan. Bukan kewajiban
tiap keperluan. Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu. Taat dan berserah
diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi Berserah dirilah anda akan selamat (aslim
taslam), selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan

S. Syariat dan public reason


Dalam waktu hampir sebulan ini Prof. Abdullahi Ahmed An-Na'im menjajakan sebuah
wacana tentang hubungan antara Islam, Negara, dan masyarakat, diseluruh Indonesia.
Wacana hasil riset proyek The Asia Foundation ini telah dibukukan
dan diterbitkan Mizan dengan judul "Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah". Dari judulnya terselip kesan ingin menegosiasikan pengusung ide
negara sekuler dan pembela penerapan syariah. Atau boleh jadi
juga ingin memasarkan ide negara sekuler dan meredam aspirasi negara Islam. Baginya
tidak ada negara Islam, yang ada adalah negara sekuler. Tapi syariah bisa menjadi nilai-
nilai bagi kebijakan publik.
Ide dasarnya nampak sederhana, syariah dapat menjadi undang-undang negara dan
public policy asalkan melalui public reason. Untuk itu ia mengadopsi konsep public
reason filosof Amerika John Rawl dan memahami syariah dengan
framework historisisme dan relativisme. Namun konsep dasarnya tentang syariah dan
public reason pada dataran teori dan praktis masih memendam banyak persoalan.
Public reason Public reason adalah terma yang digunakan John Rawl yang merujuk
kepada nalar seluruh warganegara dalam masyarakat yang plural. Dalam konteks agama
konsep public reason yang diadopsi al-Naim dari Rawl dapat disarikan begini: agama
bisa menjadi asas moral, tapi jika dibawa ke publik ia harus dapat dinalar oleh akal dan
dapat dipahami penganut agama lain atau orang ateis sekalipun. Agama
harus dimodifikasi kedalam bahasa politik dan bukan teologi. (Lihat: al-Naim Islam dan
Negara Sekuler, hal. 15; Rawl, Political Liberalism, hal 441-442). Jika Rawl melarang
doktrin agama menjadi public policy, al-Naim membolehkannya.
Tapi keduanya sepakat bahwa public reason akan menyulap doktrin agama menjadi
konsensus publik. Setelah melalui public reason doktrin agama tidak nampak lagi.
Perkawinan gay, lesbian, prostisusi, merokok, minuman keras dsb.
misalnya bisa dilarang bukan karena agama, tapi karena public reason. Tapi
ersoalannya, dapatkan masyarakat secara umum mempunyai komitmen yang sama
terhadap proses public reason. David A Reidy dan beberapa pakar lainnya menafikan,
“Unfortunately, this commitment appears unjustifiable upon critical
examination”, tulisnya. Sebab alasan David warga negara, pejabat dan tokoh
masyarakat tidak mudah mencapai konsensus dalam menyelesaikan masalah yang
mendasar dalam politik melalui public reason. Ini diamini oleh Micah Schwartzman,
professor Hukum di Universitas Virginia Amerika. Public reason, menjadi turun bobotnya
dari konsensus, menjadi sekedar penyamaan framework nilai dan prinsip. Tapi memang
menurut Eric MacGilvray, Assitent Professor Ilmu Politik, Universitas Wisconsin,
Madison peran public reason sebagai sarana konsensus bermasalah. Sebab tujuan yang
ingin dicapai bersama masih kabur. Karena itu public reason perlu disusun ulang dengan
menetapkan tujuan. Karena kaburnya tujuan konsensus itu maka baik Rawl maupun al-
Naim menjadi bias. Bagaimana jika public reason bertentangan dengan non-public
reason. Apakah hakim, pejabat atau lembaga politik dibolehkan memihak atau
mengakomodir non-public reason. Bagi Rawl jika non-public reason bertentangan
dengan konstitusi dan “keadilan” (dalam arti politik liberal) ia harus
digilas. Bagi al-Naim public reason adalah alat negosiasi agar jangan ada
institusionalisasi agama di negara. Bias teori ini semakin jelas. Jika suatu suatu doktrin
agama tertentu disepakati public reason untuk menjadi kebijakan publik, maka,
keduanya sepakat, negara harus segera mencegahnya.
Public reason diperlukan untuk menekan agama, moral dan ideologi lain agar tidak
mengancam negara. Jadi meski negara itu sekuler ternyata juga tidak netral. Konsep
syariah Syariah bagi al-Naim adalah hasil pemahaman manusia
terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pemahaman manusia, baginya tidak ada yang
divine dan benar secara absolut serta mengikat. Dalam doktrin ini semua relatif yang
absolut hanya Tuhan. Al-Naim nampaknya terjebak dengan doktrin relativisme posmo.
Secara ontologis dichotomi asolut-relatif itu memang benar, tapi secara epistemologis
tentu tidak. Wujud Nabi adalah relatif tapi pemahaman Nabi (Sunnah) ada yang relatif
dan absolute. Demikian juga pemahaman ulama. Sebab syariah Islam merupakan
campuran wahyu dan pemahaman manusia. Tidak semuanya absolut dan tidak
semuanya relatif. Ada hal-hal yang permanen (tsawabit) dan ada yang berubah secara
relative (mutaghayyirat). Karena doktrin relativis itu maka al-Naim menganggap syariah
adalah produk ijtihad belaka yang relatif. Karena itu syarat ijtihad bikinan ulama masa
lalu itu kini tidak berlaku lagi. Ijtihad tidak terbatas pada segelintir orang yang memiliki
syarat khusus, tapi bebas bagi masyarakat luas. Jika al-Naim menganggap syariah adalah
produk ijtihad dan bersifat relatif maka negosiasi syariah dan public reason menghadapi
dua kesulitan penting. Pertama, ijtihad yang terbuka umum itu tidak berdasarkan pada
otoritas keilmuan. Karena itu proses ijtihad menjadi arbitrer dan akan menghasilkan
berbagai macam versi syariah dan semuanya relatif. Kedua, ketika syariah akan dilempar
ke public reason, para hakim, penguasa dan politisi tentu akan kesulitan memahami
wajah syariah yang berbeda-beda itu. Jika menentukan point of agreement untuk public
reason saja sulit, apalagi menyepakati syariat yang berbeda-beda itu.
Akhir kalam, jika syariah adalah relatif, tergantung pada tempat dan waktu, mestinya
syariah hasil ijtihad ulama Indonesia, tidak perlu diproses oleh public reason. Karena ia
dicipta oleh nalar publik Indonesia. Jika kita konsisten ijtihad “ulama”
Amerika tidak perlu pula ditrapkan ke Indonesia, karena ia adalah produk nalar Muslim
Amerika. Ma’lisy yaa Professor al-Naim!

T. Equality (persamaan)
Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya seorang
profesional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai ibu rumah tangga dengan 2
orang anak Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-
anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera.

Tapi, Nancy ternyata telah kerasukan paham kesetaraan gender. Ia menjadi tidak
nyaman berkeluarga. Mengurus rumah tangga tiba-tiba serasa seperti pembantu atau
budak.

Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Berger The family now appears
as an age-old evil. Heterosexual is rape; motherhood is slavery, all relation between the
sexes are struggle of power. (Keluarga sekarang nampak seperti setan tua. Hubungan
seks pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan
antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan).

Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap
dirinya. Meski itu tidak secuil pun terbesit dalam pikiran suaminya.

Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat
di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak
sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih di urusnya sendiri dan
nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah
dihadapi.

Di dalam benaknya terdetik penyesalan ternyata sendiri itu tidak nyaman. Tanpa
suami hidupnya terasa pincang. Benarlah wisdom dari Nabi: Sungguh miskin! wanita
tanpa laki-laki. Sungguh miskin! laki-laki tanpa wanita. Kalau saja Nancy pernah
membaca hadis ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berpikir panjang untuk
cerai. Asalkan dia tidak membaca hadis itu dengan hermeneutika.

Mimpi Nancy adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmo yang sarat
kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Mimpi Nancy adalah misi postmo, yakni
membangun persamaan total.

Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi persamaan adalah keadilan. Artinya kerja


menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori
menyama-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting
yang berada pada melting pot postmodern.

Tapi penyamaan adalah utopia fatamorganis. Menjanjikan tapi tidak menjamin.


Membela tapi untuk menguasai. Sebab para pakar di Barat yang sadar mengkritik misi
ini.

Di tahun 1715-1747 Marquis De Vauvenargues sudah wanti-wanti Alam tidak mengenal


kesamaan; hukum, yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan. Hampir
seabad kemudian James Anthony Fuller, (m. 1894) mengulangi pesan Marquis Man are
made by nature unequal, it is vain, therefore to treat them as if they were equal.

Fakta sosial juga menunjukkan bahwa in-equality antara sesama laki-laki sekalipun bisa
diterima. Apalagi antara laki-laki dan wanita. Fakta biologis menjelaskan strukur tubuh
laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu Dr.
Ratna Megawangi dengan tepat dan cerdas memberi judul bukunya Membiarkan
Berbeda.

Jika demikian apa berarti tuntutan equality tidak universal? Memang! Sebab kebebasan
dan persamaan adalah bagian dari Americas core culture (Fukuyama).

Malahan, kata Ronald Inglehart dan Pippa Norris kesetaraan gender, kebebasan seks,
perceraian, aborsi, dan hak-hak gay adalah ciri khas Barat. Maka benturan IslamBarat
adalah Sexual clash of Civilization, tulisnya. Itulah, equality memang tidak universal.
Tapi mengapa kini tiba-tiba menjadi seperti universal? Sebab equality satu paket dengan
Westernisasi, modernisasi dan globalisasi. Mulanya (abad 19 hingga awal abad 20)
hanya sekedar menuntut kesamaan hak pilih, tapi kemudian (1960an-1980an)
persamaan bidang hukum dan budaya. Periode selanjutnya (1990an) adalah evaluasi
kegagalan gerakan pertama dan intensifikasi gerakan kedua.

Penyebarannya berbasis teori Foucault untuk menjajah pemikiran kuasai wacana!.


Caranya, semua bangsa dan bahkan agama didorong untuk bicara gender. Yang menolak
berarti ndeso alias kampungan. Strategi dan aplikasinya menjadikan kesetaraan gender
sebagai neraca pembanguan di PBB. Pembangunan diukur dari peran wanita didalamnya
dalam bentuk GDI (Gender Development Index).

Tapi benarkah peran wanita dapat menjadi neraca pembangunan?, Ternyata tidak. di
Negara-negara seperti Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan sebagainya telah
ada equality dan equal opportunity dalam pendidikan dan pekerjaan. Tapi itu tidak juga
mengangkat share income dalam keluarga.

Korelasi antara equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota
parlemen di AS misalnya hanya 10.3%, di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%,
sedangkan Indonesia 12.2%. Meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS,
Singapura dan Jepang, dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi.

Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dan sebagainya
total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu
rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang antara wanita praktis tidak bekerja
ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang
signifikan terhadap Negara.

Lucunya, di negeri ini ulama, kyai dan cendekiawan Muslimnya tergiur untuk
mengimpor paham kesetaraan ini. Mereka menjadi pongah lalu melabrak syariat. Fikih
empat mazhab itu dicaci sebagai terlalu maskulin dan harus dirombak. Ayat-ayat
gender ditafsirkan ulang demi equality. Yang muhkamat (pasti) diangggap mutasyabihat
(ambigu).

Akhirnya, lahirlah konsep fikih berwawasan gender, lesbianisme dianggap fitrah dan
perilaku homoseks dianggap amal saleh. Lucu! bak shalawat dilantunkan secara rap atau
R&B, atau bagaikan masjid dihias pohon natal.

Jika para pegiat feminisme, mendapat berbagai awards dari Barat tidak aneh. Semakin
galak menista syariat semakin bertaburan awards-nya. Tapi ide penerima awards tidak
berarti benar dan sebaliknya. Sebab dari penelitian Yayasan Ibu Harapan di 6 kota besar
di Indonesia, gagasan fikih itu ditolak oleh 90% responden dari 500 muslimah.

Ide persamaan hak waris pun ditolak 91% responden. Bahkan mayoritas (97.4%) tidak
sepakat dengan ulah Aminah Wadud menjadi Imam. Apalagi perilaku Irsyad Manji yang
lesbi dan pendukungnya di negeri ini.

Masalahnya apakah tuntutan kesetaraan itu setingkat 50-50? Jika benar, apakah
tuntutan hak juga perlu disamakan dengan pelaksanaan kewajiban, khususnya dalam
agama?, Padahal dalam Islam ada hak-hak (huquq) dan kewajiban (waajibat). Jika
kesetaraan penuh tidak mungkin, apa saja yang harus disamakan?.

Mungkin benar pepatah Latin kuno yang berbunyi Omne Simile claudicate itaque de
singulis verbis age (Semua persamaan itu pincang, oleh karena itu jelaskanlah secara
rinci). Dan sungguh benar firman Allah bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita
meski tidak harus beda surga.

U. Fe-minus
Istilah femina, feminisme, feminis berasal dari bahasa Latin fei-minus. Fei artinya iman,
minus artinya kurang, jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di Barat, sejarahnya,
memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap
terlalu macho.

Tapi lawan kata feminis, yakni masculine tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus
atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Maka dari itu dalam
agama wanita Barat itu korban inquisisi dan di masyarakat jadi korban perkosaan laki-
laki. Tak pelak lagi agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.

Itulah worldview Barat asal feminisme lahir. Dan memang worldview, menurut al-Attas,
Alparslan, Thomas Wall, Ninian Smart dan lainnya adalah sumber aktifitas intelektual
dan sosial. Buktinya worldview Barat liberal menghasilkan feminis liberal, Barat Marxis
membuahkan feminis Marxis, Barat postmodern melahirkan feminisme posmo dan
seterusnya.

Seperti liberalisme tuntutan feminis liberal adalah hak ekonomi dan kemudian hak
politik. Dalam bukunya a Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft
menyimpulkan di abad ke 18, wanita mulai kerja diluar rumah karena didorong oleh
kapitalisme industri. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan jasmani (perut), tapi
berkembang menjadi ambisi sosial. Taylor dalam Enfranchisement of Women (1851)
malah memprovokasi agar perempuan memilih jadi ibu atau wanita karir.

Tapi berkarir bukan tanpa masalah. Para feminis itu ternyata berkarir diluar rumah tapi
di rumah ia mempekerjakan pembantu wanita. Taylor sendiri begitu. Bagi feminis liberal
berkarir apapun wanita harus dibela.

Bahkan menurut Rosemarie Putnam Tong dalam Feminist Thought-nya feminis liberal
terang-terangan membela karir wanita pelacur dan ibu yang mengomersialkan
rahimnya.

Semua berhak melakukan semua dan harus dibela, begitu kira-kira doktrinnya.
Membela wanita berarti membela wanita yang melecehkan dirinya sekalipun.
Memberdayakan wanita berarti membenci laki-laki. Aroma adagium barbar masih
kental membela diri artinya menyakiti orang lain. Biar wirang asal menang. Begitulah,
gerakan ini memang tanpa iman.

Karena kapitalisme dilawan sosialisme, maka feminis liberal dilawan juga oleh feminis
Marxis. Idenya sudah tentu menolak kapitalisme. Sebab struktur politik, sosial dan
ekonomi kapitalis liberal telah meletakkan wanita dalam kelas sosial yang lain. Kapitalis-
liberal juga menciptakan sistem patriarkis. Karena itu gagasan Feminis Marxis adalah
menghapus kelas sosial ini.

Namun, nampaknya feminisme liberal atau Marxis masih dianggap kurang nendang.
Mereka perlu lebih radikal lagi. Bahasanya bukan lagi reformasi tapi revolusi. Fokusnya
tidak lagi menuntut hak sipil tapi memberontak sistem seks/gender yang opressif.
Pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi wanita dan laki-laki
dianggap tidak adil. Bible pun tak luput dari kritikan. Kristen itu menindas perempuan,
kata Stanton dalam The Womens Bible.

Selain itu perempuan sering diposisikan sebagai alat pemuas lelaki. Inilah sebabnya
feminis radikal lalu marah. Tanpa lelaki wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan
seksnya begitulah kemarahan mereka. Lesbianisme pun dianggap keniscayaan.

Padahal dalam The Vatican Declaration on Sexual Ethics tahun 1975 diputuskan bahwa
perilaku lesbian dan homoseks are intrinsically disordered and can in no case be
approved of. Paus Benediktus XVI pada malam Tahun Baru 2006, mengutuk hubungan
seks sejenis itu. Tapi apa arti agama jika iman tidak di dada. Begitulah, gerakan ini
memang tanpa iman.

Tapi Gayle Rubin, juru bicara feminis radikal libertarian, malah ngompori dan baiknya
wanita jangan hanya puas menjadi lesbi tapi juga memprotes segala aturan tentang
hubungan seks. Institusi perkawinan pun jadi sasaran.

Tapi beda dari libertarian, feminis kultural justru memprotes pornografi, prostitusi, dan
heteroseksual. Tapi tidak berarti mereka setuju dengan UU pornografi dan perda
bernuansa syariah. Sebab kedua aliran ini sepakat untuk menghapus institusi keluarga.

Feminis radikal sedikit banyak dapat angin dari gerakan feminis psikoanalisis dan
gender. Pendekatannya bukan sosial, politik atau seksual, tapi psikologis biologis.
Bahasanya lebih radikal dari feminis radikal.

Gerakannya menggugat konstruksi gender secara sosial dan biologis. Karena laki-laki
dominan bukan karena faktor biologis, tapi sebab konstruk sosial. Maka konstruk sosial
ini harus dirubah. Kalau perlu laki-laki bisa hamil dan menyusui, dan wanita bisa menjadi
pemimpin laki-laki.

Feminisme adalah gerakan nafsu amarah. Pemicunya adalah penindasan dan


ketidakadilan. Obyeknya adalah laki-laki, konstruk sosial, politik dan ekonomi. Ketika
diimpor ke negeri ini, ia berwajah gerakan pemberdayaan wanita.

Bagus. Tapi nilai, prinsip, ide dan konsep gerakannya masih orisinal Barat. Buktinya
nafsu amarah lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan
penuh kepercayaan dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan. Bangunan
konseptualnya berwajah liberal, radikal, Marxis dan terkadang postmo. Begitulah, nafsu
tidak memiliki batas dan marah tidak mengenal moralitas. Dan memang gerakan
feminisme adalah feminus, alias kurang iman.

V. Clash of worldview
Samuel P. Huntington adalah pemberi nama konflik global yang terjadi saat ini dengan
sebutan Clash of Civilization melalui bukunya yang berjudul The Clash of Civilization
and the Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik umat manusia
saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural.

Sebab, semua orang kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika
kultur atau peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah
worldview. Jadi clash of civlization berindikasi clash of worldview.

Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau
provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang.

Namun Huntington bukan tanpa pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik
politik sekarang ini adalah collision of consciousness (benturan kesadaran atau
persepsi), kata lain dari clash of civilization. Tapi pilihan kata, clash dan collision
memang vulgar, masih kalah lembut dari kata-kata al-Attas divergence of worldviews.
Tapi benarkah kini sedang terjadi clash of civilization?

Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman lebih
dulu memiliki istilah weltanschauung, welt = dunia, anschauung = persepsi, berarti
persepsi tentang dunia.

Di Italia digunakan istilah konsepsi tentang dunia. Di Perancis kata weltanschauung


dipinjam dan diartikan dengan pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi
kehidupan, di Rusia disebut mirovozzrenie berarti pandangan dunia.

Dan semua setuju bahwa kata worldview harus diikat oleh predikat kultural, religius,
ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview,
Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua
mempunyai cara pandang yang eksklusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling
meminjam antar peradaban, antar worldview.

Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah menerima denominasi berdasarkan


worldview ketimbang agama. Hegel misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan
menerimanya sebagai Indischen weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan
worldview sebagai alat untuk mengeksplorasi kepercayaan manusia (crosscultural
explorations of human beliefs).

Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan berlayar ke


lautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun begitu, di Barat
masalah worldview tetap hanya sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview bagi
Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus sensibilis).

Tapi bagi Shaikh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia bermula,
maka worldview adalah mabda (tempat bermula). Disitu dapat diketahui spektrum
makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti yang digambarkan al-Attas tidak
sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud, ruyat al-Islam lil
wujud.
Menjadikan worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau lainnya sah-
sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran orang. Oleh
sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja
konseptual).

Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya sebagai asas formulasi epistemologis
yang obyektif. Worldview lalu berfungsi sebagai asas ilmu-imu sosial (Dilthey), dan ilmu-
ilmu alam (Kant). Thomas S. Kuhn (1922-1996) bahkan menyulap worldview menjadi
paradigma yang menyediakan nilai, standar dan metodologi tertentu yang mengikat
kuat kerja-kerja saintifik.

Ia bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki elemen


yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of European
Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan keagamaan yang
bersifat individual.

Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran yang positif. Ringkas kata, paradigm dan
worldview memiliki variabel-variabel konsep yang terstruktur, yang berproses menjadi
framework pemikiran, dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi
sarat nilai, alias tidak netral.

Dalam Islam, sejauh apapun pikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi obornya. Al-
Quran sendiri sarat dengan sistem konsep (conceptual scheme). Ilmu-ilmu seperti fiqih,
hadis, tafsir, falak, tabiah, hisab dan sebagainya adalah derivasi dari konsep-konsep
dalam wahyu.

Artinya, worldview al-Quran telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang juga
eksklusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa mengadopsi metode tadil dan tajrih ilmu
hadis, atau mengadopsi ilmu faraid dalam Islam, dan seterusnya.

Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran dikotomis: obyektif dan
subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-seksualisme Freud, doktrin evolusi
Darwin dan sebagainya. Setiap teori atau konsep berangkat dari framework dan setiap
framework diderivasi dari worldview.

Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada dataran
epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada dataran ini
memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial, lebih-lebih
senjata.

Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam dihitung baik pedang
syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini terjadi kebingungan
(confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). Namun disini istilah
clash of worldview lebih tepat disebut worldview intrusion.

Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran umat Islam kini sedang
dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau ulama
memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S. Kuhn, Derrida dkk., tapi mengkritik
al-Asyari, al-Ghazzali, al-Shafii dan lain-lain.
Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya
rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan
begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang
hitam, juga seorang Marxist.

Ia memahami makna Tauhid, tapi tidak tahu berpikir tauhidi. Imannya tidak didukung
oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah imannya. Muslim tapi worldview dan
framework berpikirnya tidak. Itulah dampak worldview intrusion.

Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida (1930-.).
Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism telah dirobohkan
(deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-worldview era. Tidak ada lagi
worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran tentang alam, apalagi framework.
Semua bebas memahami semua.

Jadi tidak ada clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung worldview
dan framework dia sendiri?, humor pun bagi Witgenstein masih termasuk worldview,
meski ia hanya ilusi manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri konflik
kebaikan dan kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara kerajaan
Tuhan dengan kerajaan Setan.

Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview bukanlah skenario peperangan,


karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita
tidak hanya perlu ditunjukkan tentang hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju
kebenaran.

W. Liberalism dan islam


Francis Fukuyama dalam bukunya itu jelas-jelas mensejajarkan atau merivalkan Islam
dengan ideologi Liberalisme dan Komunisme. Islam ia anggap memiliki nilai moralitas
dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Dan karena itu pernah
menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-praktek liberal. Ia bahkan tetap
pada pendiriannya bahwa nilai-nilai liberal Barat merupakan ancaman bagi masyarakat
Islam. Dalam hal ini Fukuyama menegaskan:

Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah
menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang
lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab
munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat
terhadap masyarakat Islam tradisional.

Fukuyama secara eksplisit meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai


ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling
bertentangan satu sama yang lain dan saling mengancam. Jika demikian maka wajar jika
liberalisme juga dianggap sebagai tantangan dan ancaman bagi Islam. Apa yang disebut
ancaman bukan bayang-bayang ketakutan yang satu terhadap yang lain, akan tetapi
merupakan fakta bahwa liberalisme dan Islam itu sangat berbeda. Perbedaan ini dapat
dilacak dari fakta bahwa ummat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan setiap
bangsa memiliki peradaban sendiri-sendiri. Cara berfikir dan cara pandang antara satu
peradaban dengan yang lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan
cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Perbedaan
pandangan hidup antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur,
agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations, What?
(Samuel Huntington Responds to His Critics), Huntington menyatakan bahwa substansi
atau asas peradaban adalah prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu
faktor-faktor untuk mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka
siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga (faith dan family), darah (baca: ras)
dan kepercayaan (blood and belief).

Perbedaan identitas dan kemudian gesekan antara satu peradaban dan worldview inilah
yang disekenariokan dan diteorikan Samuel P Huntington sebagai clash of civilization
(benturan antar peradaban). Benturan ini menurutnya akan mengakibatkan ketegangan,
benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan. Selain itu, tesis Huntington
merupakan deklarasi ataupun self-disclosure bahwa Barat akan berhadapan dengan
peradaban yang berbeda dan akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik
ataupun peperangan di masa depan. Masalahnya bukan hanya karena terdapat
perbedaan antar peradaban, tapi karena peradaban atau bangsa-bangsa Barat
mengklaim cara pandang mereka itu universal dan dapat dianut oleh seluruh umat
manusia.

Persoalannya apa yang oleh Barat itu dianggap universal ternyata tidak demikian bagi
umat Islam. Faktanya memang antara konsep-konsep Barat dan Islam terdapat
perbedaan yang tidak dapat disatukan. Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial
menyebabkan konflik, clash atau dalam bahasa Peter L Berger disebut collision of
consciousness (tabrakan persepsi). Pada tingkat individu, mengakibatkan terjadinya
pergolakan pemikiran dalam diri seseorang dan pada dataran konsep, mengakibatkan
tumpang tindih dan kebingungan konseptual (conceptual confusion). Perang pemikiran
pada tingkat inidividu inilah yang kini dirasakan ummat Islam Indonesia. Jadi perang
pemikiran dalam skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan kebudayaan
Barat atau pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat.

Sebenarnya jika globalisasi difahami secara adil maka Barat dapat memahami worldview
Islam dan bahkan dapat saling tukar menukar konsep dan sistim yang tidak
bertentangan dengan worldview masing-masing. Akan tetapi Barat berusaha
memaksakan penggunaan konsep-konsep mereka itu kedalam pikiran umat Islam.
Pemaksaan itu dikenal dengan program westernisasi dan globalisasi. Penggunaan istilah
Islam fundamentalis, Islam Liberal, Islam tradisional, Islam modern dan
sebagainya merupakan sedikit contoh bagaimana terminologi dan konsep-konsep Barat
dipaksakan kepada umat Islam. Untuk penyebaran konsep-konsep, nilai, kultur dan
sistim, Barat menggunakan berbagai sarana. Westernisasi dan Globalisasi digunakan
sebagai kendaraan untuk menyebarkan budaya, paham-paham dan ideologi Barat,
orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam dari kaca mata Barat
sehingga melahirkan makna Islam yang berbeda dari pemahaman umat Islam sendiri.
Missionarisme dipakai untuk memperluas penerimaan kultur dan kepercayaan Barat,
dan terakhir kolonialisme yang merupakan kekuatan strategis untuk penaklukan dunia
Islam yang memanfaatkan orientalisme dan missionarisme untuk tujuan-tujuan politik
dan ekonomi.

Masyarakat Barat memang terbukti tidak toleran dan bahkan resisten terhadap praktek-
praktek keagamaan masyarakat Islam di Barat. Di negeri-negeri mereka (Barat) misalnya
kita tidak akan pernah menyaksikan mimbar agama Islam di TV, atau perayaan hari Raya
Islam ditempat terbuka, kumandang azan dari menara masjid. Padahal di negara
mayoritas Muslim umat Kristiani bebas merayakan hari natal, caramah di TV,
membunyikan lonceng gereja dan sebagainya. Demikian pula dalam soal pakaian. Di
Barat pakaian jilbab bagi Muslimah di haramkan, sementara umat Islam Indonesia
dipaksa toleran terhadap orang Barat yang berpakaian setengah telanjang ditempat-
tempat umum. Jika sikap masyarakat Barat begitu resisten, maka tidak heran jika umat
Islam juga resisten terhadap paham-paham sekuler, liberal, pragmatis dan hedonis serta
berbagai kultur yang khas masyarakat Barat. Sudah tentu situasi seperti ini harus
diterima sebagai konflik atau perang pemikiran yang telah terjadi dan berjalan terus.
Inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri (perang pemikiran).

Kini setelah peristiwa dramatis 11 September 2001, upaya-upaya Barat untuk


menyebarkan nilai, ide, konsep, sistim dan kultur Barat kedunia Islam semakin gencar
dan merupakan kerjasama kompak antara Barat kolonialis, orientalis dan missionaris.
Karena hal ini berkaitan dengan pemikiran, maka mediun yang digunakan untuk
menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa
karya-karya ilmiyah, seperti buku, makalah-makalah dan workshop-workshop ataupun
berupa opini di media elektronik dan media masa. Namun, medium yang paling efektif
bagi penyebaran teori, konsep dan ideologi adalah bangku-bangku kuliah di perguruan
tinggi melalui mulut para intelektual, ulama, saintis, budayawan dsb. Melalui berbagai
sarana inilah maka secara teknis paham, ide, konsep, sistim dan teori liberalisme Barat
disebarkan kedunia Islam.
--
Masalah liberalisasi adalah tantangan bagi semua umat. Berikut adalah jawaban dari
sebagian pertanyaan yang seringkali menjadi kesalahan mendasar para pengikutnya.

Apakah Liberalisasi Pemikiran Islam itu?

Liberalisasi Pemikiran Islam adalah suatu gerakan pemikiran yang berasal dari paham
liberalisme yang lahir dan berkembang di Barat maka gerakan ini dipengaruhi oleh cara
berpikir manusia Barat sekuler.

Di Barat, liberal artinya bebas, bebas dari gereja, dari ikatan moral, dari agama serta
bebas dari Tuhan. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran Islam, kebebasan
diartikan sebagai bebas untuk menafsirkan agama sesuai dengan pikiran masing-masing
orang. Akibatnya, hal-hal yang jelas haram hukumnya menjadi halal, yang wajib menjadi
sunnah dan seterusnya

Bagaimanakah paham ini bisa masuk kedalam pemikiran Islam?

Sebenarnya upaya-upaya orientalis untuk mempengaruhi umat Islam agar terlepas dari
tradisi keilmuan Islam sudah lama dilakukan. Namun, pengaruhnya terhadap pemikiran
Islam terjadi secara lambat melalui para sarjana Muslim yang belajar ke Barat.

Karena bekal sebelum belajar ke Barat kurang memadai maka para cendekiawan Muslim
itu terpengaruh oleh cara orientalis memahami Islam. Para orientalis diantaranya
berpandangan bahwa melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil yang terdapat
dalam al-Quran dan Hadis adalah liberal. Padahal dalam Islam hal ini dibolehkan untuk
masalah-masalah furu atau ijtihadiyah.
Istilah Islam liberal diproklamirkan untuk pertama kali oleh Charles Kurzman dalam
bukunya Liberal Islam: a Source Book, kemudian dikuti oleh Leonard Binder yang
berjudul Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies. Dari buku ini maka
sekelompok anak muda di Jakarta mendirikan kelompok yang menamakan diri mereka
Jaringan Islam Liberal (JIL).

Apakah gerakan liberalisasi yang mereka lakukan di Indonesia?

Gerakan liberalisasi di Indonesia meliputi beberapa bidang dan menempuh berbagai


jalan. Gerakannya dalam bentuk LSM-LSM seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), yang
menjadi motor dan provokator liberalisasi pemikiran Islam, International Center for
Religious Pluralism (ICRP), pembawa bendera pluralisme agama, Fahmina Institute,
pengusung paham kesetaraan gender dan feminisme kedalam Fiqih Islam, Freedom
Institute yang bergerak dalam berbagai proyek liberalisasi, dan banyak lagi.

Selain itu gerakan liberalisasi juga berada di kampus-kampus perguruan tinggi Islam.
Meskipun bukan resmi proyek perguruan tinggi tersebut, namun dosen-dosen yang
berpikiran liberal tersebar hampir di seluruh perguruan tinggi Islam.

Share this:

Anda mungkin juga menyukai