Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional, sesuai dengan yang tertulis dalam Undang-undang No.23 tahun 1992
tentang kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah sejahtera dari badan, jiwa
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Sedangkan dalam Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)
tahun 1948 didepakati antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa
membedakan ras, agama, politik, yang dianut dan tingkat social ekonominya.
Masalah kesehatan masyarakat, dapat dipandang sebagai problem akibat dari
berbagai kebijakan atau kondisi masyarakat. Sebaliknya masalah kesehatan
sebagai salah satu unsur kualitas sumber daya manusia, merupakan penentu
berbagai kebijakan pembangunan.
Hernia merupakan salah satu kasus dibagian bedah yang pada umumnya
sering menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya memerlukan tindakan
operasi. Dari hasil penelitian pada populasi hernia ditemukan sekitar 10% yang
menimbulkan masalah kesehatan dan pada umumnya pada pria. Hernia pada bayi
dan anak dapat terjadi pada beberapa bagian tubuhnya, antara lain di pelipatan
paha, umbilikus atau pusar, sekat rongga dada, dan perut (disebut diafragma) serta
bagian-bagian lainnya. Yang umum terlihat langsung adalah hernia pada
umbilikus atau pusar, serta pada pelipatan paha karena dapat langsung ke kantung
buah pelir. Hernia ingunal indirek merupakan hernia yang paling sering
ditemukan yaitu sekitar 50% sedangkan hernia ingunal direk 25% dan hernia
femoralis sekitar 15%.
Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa 25% penduduk pria dan 2%
penduduk wanita menderita hernia inguinal didalam hidupnya, dengan hernia
inguinal indirek yang sering terjadi. Insidens hernia inguinal pada bayi dan anak-
anak antara 1 dan 2%. Kemungkinan terjadi hernia pada sisi kanan 60%, sisi kiri
20-25% dan bilateral 15%. Kejadian hernia bilateral pada anak perempuan

1
dibanding laki-laki sama (10%). Hernia dapat terjadi akibat kelainnan kongenital
maupun didapat. Pada anak-anak atau bayi, lebih sering disebabkan oleh kurang
sempurnanya procesus vaginalis untuk menutup seiring dengan turunnya testis
atau buah zakar. Pada orang dewasa adanya faktor pencetus terjadinya hernia
antara lain kegemukan, beban berat, batuk-batuk kronik, asites, riwayat keluarga,
dll.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu tindakan konservatif dan
operatif. Peengobatan konservatif terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan
pemakaian penyanggah atau penunjang untuk memepertahankan isi hernia yang
telah direposisi. Sedangkan prinsip dasar operasi hernia pada anak adalah
herniotomi.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Hernia
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian yang lemah dari dinding yang bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi
perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik
dinding perut. Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia.
2.1.1 Anatomi
A. Dinding Perut
Anatomi dari dinding perut dari luar ke dalam terdiri dari; Kutis, Lemak
subkutis, Fasia skarpa, Muskulus obligus eksterna, Muskulus obligus abdominis
interna, Muskulus abdominis tranversal, Fasia transversalis, Lemak peritoneal,
Peritoneum.
Lapisan dinding kulit abdomen terdiri dari, lemak subkutan, scarpas fascia,
peritoneum hesselbachs triangle, external oblique, internal oblique, transversus
abdominis, transversalis fascia. Dan di batasi oleh artery epigastrika inferior,
ligamentum inguinal dan lateralnya di batasi oleh rectus sheath.
B. Usus Halus

Gambar 1. Anatomi Usus Halus


Panjangnya kira-kira 2-8 m dengan diameter 2,5 cm. Berentang dari
sphincter pylorus ke katup ileocecal. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus

3
dua belas jari (duodenum) panjangnya 25 cm, usus kosong (jejunum) 1-2 m,
danusus penyerapan (ileum) 2-4 m.
1). Usus dua belas jari (Duodenum)
Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang
berarti dua belas jari. Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus
halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua
belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh
selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat
sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu daripankreas
dan kantung empedu.
2). Usus Kosong (Jejunum)
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti "lapar" dalam
bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Latin, jejunus, yang
berarti "kosong". Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum)
adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan
usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara
2-8 meter, 1-2 meter adalahbagian usus kosong. Usus kosong dan usus
penyerapan di gantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
3). Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usushalus. Pada
sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak
setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki
pH antara 7 dan 8(netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12
dangaram-garam empedu.
C. Usus Besar
Usus besar dimulai dari katup ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5
m dan lebarnya 5-6 cm. Usus besar terbagi kedalam cecum, colon, dan rectum.
Vermiform appendix berada pada bagian distal dari cecum.

4
Gambar 2. Anatomi Usus Besar
Colon terbagi menjadi colon ascending, colontransversal, colon
descending, dan bagian sigmoid. Bagian akhir dari usus besar adalah rectum dan
anus. Sphincter internal dan eksternalpada anus berfungsi untuk mengontrol
pembukaan anus.
D. Regio inguinalis
Kanalis inguinalis dibatasi di kraniolateral oleh anulus inguinalis internus
yang merupakan bagian yang terbuka dari fasia tranversus abdominis. Di medial
bawah, diatas tuberkulum pubikum, kanal ini dibatasi oleh anulus inguinalis
eksternus, bagian terbuka dari aponeurosis m. Obligus eksternus. Atapnya ialah
aponeurosis m.oblikus eksternus dan di dasarnya terdapat ligamentum inguinale.
Kanal berisi tali sperma pada lelaki, ligamentum rotundum pada perempuan.
E. Kanalis femoralis
Kanalis femoralis terletak medial dari v.femoralis di dalam lakuna vasorum,
dorsal dari ligamentum inguinalis, tempat vena safena magna bermuara di dalam
v.femoralis. Foramen ini sempit dan dibatasi oleh tepi yang keras dan tajam. Batas
kranioventral dibentuk oleh ligamentum inguinalis, kaudodorsal oleh pinggir os
pubis dari ligamentum iliopektineal (ligamentum cooper), sebelah lateral oleh
sarung vena femoralis, dan sebelah medial oleh ligamentum lakunare Gimbernati.
Hernia femoralis keluar melalui lakuna vasorum kaudal dari ligamentum
inguinale. Keadaan anatomi ini sering mengakibatkan inkaserasi hernia femoralis.

5
2.1.2 Klasifikasi Hernia
A. Berdasarkan terjadinya:
1) Hernia bawaan atau kongenital
2) Hernia didapat atau akuisita
B. Berdasarkan tempatnya:
1) Hernia Inguinalis Adalah hernia isi perut yang tampak di daerah sela paha
(region inguinalis).
2) Hernia femoralis Adalah hernia isi perut yang tampak di daerah fosa
femoralis.
3) Hernia umbilikalis Adalah hernia isi perut yang tampak di daerah isi perut.
4) Hernia diafragmatik Adalah hernia yang masuk melalui lubang diafragma
ke dalamrongga dada.
5) Hernia nucleus pulposus (HNP).
C. Berdasarkan sifatnya
1) Hernia reponibel Yaitu isi hernia masih dapat dikembalikan ke
kavumabdominalis lagi tanpa operasi.
2) Hernia ireponibel Yaitu isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke
dalamrongga.
3) Hernia akreta Yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium kantong
hernia.
4) Hernia inkarserata Yaitu bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia.
D. Berdasarkan isinya
1) Hernia adiposa Adalah hernia yang isinya terdiri dari jaringan lemak.
2) Hernia litter Adalah hernia inkarserata atau strangulata yang sebagian
dinding ususnya saja yang terjepit di dalam cincin hernia.
3) Slinding hernia Adalah hernia yang isi hernianya menjadi sebagian dari
dindingkantong hernia.

2.1.3 Hernia inguinalis


Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia. Lebih banyak pada lelaki

6
ketimbang perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan
pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui
oleh kantong hernia dan isi hernia. Selain itu diperlukan pula faktor yang dapat
mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar itu.
Pada orang yang sehat, ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya
hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur
m.oblikus internus abdominis yang menutup anulus inguinalis internus ketika
berkontraksi dan adanya fasia transversa yang kuat yang menutupi trigonum
Hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot. Gangguan pada mekanisme ini
dapat menyebabkan terjadinya hernia.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hernia inguinalis
antara lain: Kelemahan aponeurosis dan fasia tranversalis, Prosesus vaginalis yang
terbuka, baik kongenital maupun didapat, Tekanan intra abdomen yang meninggi
secara kronik, hipertrofi prostat, konstipasi, dan asites, Kelemahan otot dinding
perut karena usia, Defisiensi otot, Hancurnya jaringan penyambung oleh karena
merokok, penuaan atau penyakit sistemik.

Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi anulus
internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intraabdomen tidak tinggi dan
kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya bila otot dinding perut
berkontraksi, kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan anulus inguinalis
tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis.

7
Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan n.ilioinguinalis
dan iliofemoralis setelah apendektomi. Jika kantong hernia inguinalis lateralis
mencapai skrotum, hernia disebut hernia skrotalis.

2.1.4 Klasifikasi Hernia Inguinalis


a. Hernia Inguinalis Indirek
Disebut juga hernia inguinalis lateralis, karena keluar dari rongga
peritoneum melalui annulus inguinalis internus yang terletak lateral dari
pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis,
dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari annulus inguinalis ekternus. Apabila
hernia inguinalis lateralis berlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum, ini disebut
hernia skrotalis. Kantong hernia berada dalam muskulus kremaster terletak
anteromedial terhadap vas deferen dan struktur lain dalam funikulus spermatikus.
Pada anak-anak, hernia inguinalis lateralis disebabkan oleh kelainan bawaan
berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum sebagai akibat proses
penurunan testis ke skrotum. Pada orang tua, kanalis tersebut telah menutup
namun karena lokus minoris resistensie maka pada keadaan yang menyebabkan
peninggian tekanan intra abdominal meningkat, kanal tersebut dapat terbuka
kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis akuisita.
b. Hernia Inguinalis Direk
Disebut juga hernia inguinalis medialis karena tidak keluar melalui kanalis
inguinalis dan tidak keskrotum, umumnya tidak disertai strangulasi karena cincin
hernia longgar. Hernia menonjol langsung kedepan melalui segitiga Hesselbach,
yaitu daerah yang dibatasi ligamentum inguinal dibagian inferior, pembuluh
epigastrika inferior dibagian lateral dan tepi otot rektus dibagian medial. Dasar
segitiga hasselbach dibentuk oleh fasia transversal yang diperkuat oleh serat
aponeurisis m.tranversus abdominis yang kadang-kadang tidak sempurna
sehingga daerah ini potensial untuk menjadi lemah. Hernia inguinalis direk jarang
pada perempuan, dan sebagian besar bersifat bersifat bilateral. Hernia ini
merupakan penyakit pada laki-laki tua dengan kelemahan otot dinding abdomen.

8
2.1.5 Gejala Klinis dan Diagnosis Hernia Ingunalis
Gambaran dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaan isi
hernia. Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah adanya benjolan di lipat
paha yang muncul pada waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan dan
menghilang setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang dijumpai kalau ada biasanya
dirasakan di daerah epigastrium atau periumbilikal berupa nyeri visceral karena
regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam
kantong hernia. Nyeri yang disertai mual muntah baru timbul kalau terjadi
inkaserata karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau gangren.
Pada saat Inspeksi saat pasien mengedan, benjolan timbul pada lipatan paha
berbentuk lonjong yang berjalan dari kraniolateral ke kaudomedial. Sementara
pada Hernia inguinalis medial, Benjolan berbentuk bulat.
Pada Palpasi mungkin teraba massa, fluktuasi (+), dan berbatas tegas, teraba
juga usu, omentum. Pada anak-anak teraba silk sign (processus vaginalis
persisten.
Untuk membedakan Hernia Inguinalis Lateral dan Medial dapat dilakukan tes-tes
khusus:

Tes vesibel Tes oklusi Tes taktil Tes ziemen

Hernia tereposisi, Ibu jari menutup Jari telunjuk Jari ke II di anulus


penderita diminta angulus masuk menyusuri internus, jari ke III
untuk mengedan. inguinalis, pasien kanal inguinalis, di anulus
Pada HIL: diminta untuk ambil kulit setebal- eksternus, jari ke
benjolan keluar mengedan. tebalnya dan Iv di fossa ovalis
HIL: benjolan
dari kraniolateral pasien diminta (1 cm di atas
tidak keluar.
ke kaudomedial mengedan. ligamentum
HIM: Benjolan
HIL: Dirasakan
keluar lambat inguinalis)
keluar.
diujung jari. HIL: dorongan
berbentuk lonjong. HF: Benjolan
HIM: dirasakan
HIM: benjolan pada jari ke II
keluar.
disamping/sisi jari HIM: dorongan
keluar langsung
pada jari III.
pada daerah
HF: dorongan
medial (berbentuk
pada jari IV.
bulat).

9
HF: Benjolan
keluar di bawah
ligamentum
inguinalis pada
fossa ovalis,
keluar lambat.

Pada Auskultasi di jumpai peningkatan peristaltik oleh karena uleus


obstruksi hernia inkaerserata.

2.1.6 Penatalaksanaan Hernia Inguinalis


a. Konservatif reposisi dan pemakaian penyangga untuk
mempertahankan isi hernia yang telah direposisi.
- reposisi tidak dilakukan pada hernia inguinalis strangulata, kecuali pada
pasien anak.
- Metode reposisi bimanual: tangan kiri memegang isi hernia sambil
memebentuk corong sedangkan tangan kanan mendorongnya ke cicncin
hernia dengan sedikit tekanan perlahan yang tetap hingga terjadi reposisi.
b. Operatif Terdiri atas herniotomi dan hernioplasti
Herniotomi Hernioplasti
Dilakukan pembebasan kantong hernia Dilakukan tindakan memperkecil
sampai ke lehernya. Kantung di buka anulus inginalis internus dan
dan isi hernia dibebaskan. Jika ada memperkuat dinding belakang kanalis
perlekatan, kemudian direposisi. inginalis. Hernioplasti lebih effectif
Kantong hernia dijahit-ikat setinggi mencegah terjadinya redisif dibanding
mungkin lalu di potong. dengan herniotomi.

2.1.7 Komplikasi

10
a. Terjadi perlengkatan antara isi hernia dengan dinding kantong hernia
sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan kembali.
b. Sering penekanan pada cincin hernia akibat makin banyaknya usus
yang masuk. Keadaan ini menyebabkan gangguan aliran isi usus
diikuti dengan gangguan vaskular (proses strangulasi). Keadaan ini
disebut dengan hernia inguinalis strangulata. Pada keadaan ini dapat
timbul gejala ileus seperti mual, muntah dan opstipasi.
2.1.8 Prognosis
Prognosis hernia inguinalis lateralis pada bayi dan anak sangat baik. Insiden
terjadinya komplikasi pada anak hanya sekitar 2%. Insiden infeksi pascah bedah
mendekati 1%, dan recurent kurang dari 1%. Meningkatnya insiden recurrent
ditemukan bila ada riwayat inkarserata atau strangulasi.

2.2. RA SAB
2.2.1 DEFENISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid
di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai dari vertebra thorakal.
2.2.2 INDIKASI
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam.
2.2.3 KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
A. KONTRA INDIKASI ABSOLUT
Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.

11
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare: Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.

B. KONTRA INDIKASI RELATIF


Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis
sebelumnya agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan
deficit neurologis yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih
90-120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi
bisa bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.

12
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.

2.2.4 STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA


Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu:


a. menyangga berat kepala dan dan batang tubuh,
b. melindungi medula spinalis,
c. memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis,
d. tempat untuk perlekatan otot-otot,
e. memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil

13
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai kemudian
beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio
sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla
spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus
medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda
equina).Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara
vertebra T12 hingga L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra
lumbalis 4-5

14
Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan
anestesi spinal.
a. Kutis
b. Subkutis
Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
c. Ligamentum Supraspinosum
Ligamen yang menghubungkan ujung procesus spinosus.
d. Ligamentum interspinosum
e. Ligamentum flavum
Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm. Sebagian besar
terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari lamina ke
lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.

15
f. Epidural
Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang keluar
dari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra

g. Duramater
Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus duramater
seperti saat menembus epidural.
h. Subarachnoid
merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Padaruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat


arteri dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri
Spinalis posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.Arteri spinalis
anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga adreti
radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis
memperdarahi radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena
medularis anterior dan posterior.

16
Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis

2.2.5 PERSIAPAN ANESTESI


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib
diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi
dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat
diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
Menentukan prognosis pasien perioperative

17
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA).
Kelas Definisi

ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

ASA 2 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit


sistemikringan sampai sedang

ASA 3 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik


berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa.

ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik


berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.

ASA 5 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik


berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun
tidak dalam24 jam pasien meninggal.

ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ
untuk donor.

E Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status


pemeriksaan diikuti E (Misal, 2E)

Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang


perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.

18
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal

2.2.6 OBAT OBATAN PADA ANASTESI SPINAL


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat
anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat
anestesi local bersifat reversible.
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf.Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah

19
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 370 C adalah 1.003-1.008. Anastetik
local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan
berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan
umum digunakan.
Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,
dosis 20-50 mg (1-2ml).
Bupivakaine 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20
mg.
Bupivakaine 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg(1-3 ml).
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting

20
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun: Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular: obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.

21
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.
Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

2.2.7 TEHNIK ANESTESI SPINAL


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien.
Berikut adalah prosedur pelaksanaan teknik anestesi spinal:
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 -
1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.

22
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc. Jarum akan
menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid
tersebut.

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi[7]

23
Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi[7]

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median


dan paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah
dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm
lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial


Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada

24
dermatom di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan
darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat
monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit
menjadi pucat, pusing,mual, berkeringat.

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris

2.2.7 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL


Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.

25
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.

2.2.8 KOMPLIKASI TINDAKAN


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah:

A. Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return.
Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang
sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac
arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang
berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus
seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest
tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang

26
disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak
10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila
dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan
vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit
sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan
sulfas atropine 1/8-1/4mg I

B. Blok Tinggi atau Total


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis
motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok
simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena,
hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal
ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak
dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan
kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas
saraf phrenikus biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan
yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif.Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali
ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang
permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang
cepat dan tepat.

27
C. Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan.

D. Gastroinstertinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 48 jam pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat
tambahan yaitu Ondansetron atau diberikan Ranitidine.

E. Nyeri Kepala (PUNCTURE HEADACHE)


Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah
tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi.

28
Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas
suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area
oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia,
mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri
makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari
tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien
tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih dahulu
seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan
terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan
extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan
salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

F. Nyeri Punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur
ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat
dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang
dalam beberapa waktu yang singkat saja.

G. Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam.

29
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Nama : Sarkawi Hasibuan
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 59 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pahlawan Desa Delitua Medan
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
No RM : 26.64.54

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Benjolan di lipatan paha kanan
Telaah : Pasien laki-laki datang ke IGD RS Haji Medan dengan keluhan terdapat
benjolan di lipatan paha kanan sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan dapat keluar
masuk. Benjolan dapat membesar ketika pasien mengangkat beban dan ketika
pasien jalan, namun saat pasien berbaring benjolan dapat masuk. Bnjolan tersebut
tidak nyeri, lunak dan tidak mengeluarkan cairan. Tidak ada nyeri perut, mual,
ataupun muntah. BAK dan BAB Normal, riwayat penyakit jantung, diabetes
melitus, asma ataupun alergi disangkal. Riwayat anestesi sebelumnya disangkal.
RPT : (-)
RPO : (-)
RPK : (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis

30
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 37,00C
Tinggi Badan : 162 cm
Berat Badan : 62 kg
Pemeriksaan Umum
Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
Kepala : Normocepali
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
abdominotorakal, retraksi costae -/-
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Nyeri Ketok (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Ekstremitas : Edema -/-
Genitalia : Terdapat benjolan di lipatan paha kanan.
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 14,2 g/dl

31
HT : 44,5 %
Eritrosit : 4,8 x 106/L
Leukosit : 8,200/ L
Trombosit : 286,000/L
Metabolik
KGDS :-
Asam Urat :-
Fungsi Ginjal
Ureum :-
Kreatinin :-
Diagnosis : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra Reponibilis dengan Status
ASA 1

5. RENCANA TINDAKAN
Tindakan : Hernioraphy
Anesthesi : RA-SAB
PS-ASA :1
Posisi : Supinasi
Pernapasan : Kanul nasal O2

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 20x/menit
SP : Vesikuler ka=ki
ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
Akral : Hangat
TD : 90/60 mmHg

32
HR : 108x/menit
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
Urine Output : 200 cc
Kateter : Terpasang
B5 (Bowl)
Abdomen : Soepel
Peristaltik : Normal (+)
Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
Oedem : (-)

7. PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
Bupivacain : 15 mg
Fentanyl : 25 mg
Jumlah Cairan
PO : RL 500 cc
DO : RL 500 cc
Produksi Urin :-
Perdarahan
Kasa Basah : 5 x 10 = 50 cc
Kasa 1/2 basah : 3x 5 = 15 cc
Suction : = 100 cc
Jumlah : 165cc
EBV : 62 x 70 = 4340 cc
EBL 10 % = 434 cc

33
20 % = 868 cc
30 % = 1302 cc
Durasi Operatif
Lama Anestesi= 11.15 12.15 WIB
Lama Operasi =11.20 12.10 WIB
Teknik Anastesi : RA-SAB
Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 Desinfektan
betadine + alcohol 70% Insersi spinocan 25G CSF (+), darah (-)
injeksi bupivacain 0,5% 17,5mg posisi supine atur blok setinggi T6.

8. POST OPERASI
Operasi berakhir pukul : 11.10 WIB
Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
PERAWATAN POST OPERASI
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

34
9. TERAPI POST OPERASI
Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
IVFD RL 30gtt/menit
Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah

35
DAFTAR PUSTAKA

Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi. EGC.
Jakarta. pp:229-231

Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC

Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta

Snel, R.S., 2006. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto,


Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 147
200

Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, De Jong,. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.

36

Anda mungkin juga menyukai