Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT THT

EPISTAKSIS

DISUSUN OLEH :

MHD. Fadli Arsil

PEMBIMBING
dr. Irwan, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN


ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSU Dr. SLAMET GARUT

PERIODE 06 APRIL 2015 08 MEI 2015


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................2
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG ........................................................... 3
2.1 Anatomi............................................................................................................... 3
2.2 Fisiologi................................................................................................7
BAB III EPISTAKSIS .................................................................................. ..........9
3.1 Definisi....................................................................................................... 9
3.2 Etiologi ....................................................................................................... 9
3.3 Patofisiologi ................................................................................................ 16
3.4 Diagnosis .............................................................................................18
3.5 Penatalaksanaan........................................................................................... 21
3.6 Komplikasi ............................................................................................... 27
3.7 Diagnosis Banding..................................................................................27
3.12 Pencegahan............................................................................................... 28
3.13 Prognosis.................................................................................................... 28
BAB IV STATUS PASIEN ....................................................................................29
BAB V KESIMPULAN .................................................................................................. .41

BAB I

PENDAHULUAN

Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis
dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua.

Case Report : Epistaksis | 1


Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan kecil kemungkinan pasien
dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT. Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga
dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis
meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun
keatas.
Penyebab terjadinya epiktasis dibagi menjadi dua: secara lokal dan sistemik. Secara
lokal, epistaksis dapat disebabkan oleh trauma, fraktur, reaksi imunologik, kelainan anatomis
hidung, penggunaan nasal spray, benda asing, tumor intranasal, dan sebagainya. Sedangkan
penyebab sistemik terjadinya epistaksis adalah kelainan vaskuler, keganasan hematologik,
alergi, malnutrisi, alcohol, hipertensi, obat-obatan dan infeksi.
Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, yang mana perdarahan
berasal dari anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach).
Epiktasis posterior umumnya berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina.
Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa
berlangsung asimptomatik atau dapat secara diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis,
anemia, hemoptysis atau melena.
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung dan memasang
tahanan pada lubang hidung dengan menggunakan kain kasa atau kapas yang telah di basahi
nasal dekongestan. Penekanan langsung setidaknya di lakukan terus menerus selama 5 menit
dan sampai 20 menit. Memiringkan kepala ke depan dapat mencegah darah mengalir ke
bagian posterior faring, hal ini mencegah mual dan obstruksi jalan nafas.
Edukasi kepada pasien dapat membantu mencegah terjadinya epitaksis. Diskusi terarah
tentang pentingnya mencegah pasien untuk tidak mengupil, mencegah dari paparan iritan
udara, bulu dan asap, dan pengendalian alergi dapat menurunkan episode terjadinya
epistaksis.
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai definisi,
anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada epistaksis.
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2.1 ANATOMI

Case Report : Epistaksis | 2


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah: 1.pangkal
hidung (bridge), 2.batang hidung (dorsum), 3.puncak hidung (tip), 4.ala nasi, 5.kolumela,
6.lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus frontalis os maksila dan
3.prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2.sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan 3.tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis, 2.vomer, 3.krista nasalis os
maksila dan 4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah 1.kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2.kolumela.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.

Case Report : Epistaksis | 3


Gambar-1: Anatomi Cavum Nasi

Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari
sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara
konka superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Case Report : Epistaksis | 4


Vaskularisasi Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior,
arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri
etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung.
Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri
sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral
hidung dan arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina,
arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera
oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior
yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Case Report : Epistaksis | 5


Gambar-2: A.Perdarahan pada septum nasi. B.perdarahan pada dinding lateral nasal.

Innervasi Hidung

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus

Case Report : Epistaksis | 6


(N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatina.

Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan


persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion
sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.2 FISIOLOGI

Dalam keadaan idealnya, desain hidung internal menyediakan saluran yang canggih
untuk pertukaran udara yang laminer. Selama inspirasi hidung, terjadi penyaringan partikel-
partikel dan pelembaban udara dari luar oleh epitel bertingkat torak semu bersilia
(pseudostratified ciliated columnar epithelium). Lapisan hidung, terutama pada konka inferior
dan media mengandung lamia propia bervaskuler tinggi. Arteriol-arteriol konka berjalan
melewati tulang konka dan dikelilingi oleh pleksus vena. Dilatasi arteri yang terjadi dapat
memblok aliran balik vena, yang akhirnya menyebabkan kongesti mukosal.

Fungsi Respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
reflex bersin.

Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

Case Report : Epistaksis | 7


menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

Gambar-3: Bagian Rongga Hidung.

Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga terdengar
suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat
kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek)
atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.

Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran


cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin
dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung,
dan pancreas.

Case Report : Epistaksis | 8


BAB III

EPISTAKSIS

3.1 DEFINISI

Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir
90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari
dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada
anak-anak dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelanan kesehatan primer dan
kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit atau ke spesialis THT. Walaupun
kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-limiting, ada beberapa kasus yang
berat dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius. Penting sekali mencari asal
perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan mengobati
penyebab yang mendasarinya.

3.2 ETIOLOGI

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik.

1) Lokal

a) Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih
hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek
hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain
itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka
itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi
atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi

Case Report : Epistaksis | 9


hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan
trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum
dan kemudian perdarahan.

Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada
pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.

Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan
karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma
wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.

Gambar-4: Epistaksis

b) Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis.

Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan di hidung.

c) Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,


kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma
dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh
sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.

Case Report : Epistaksis | 10


Gambar-5: Epistaksis pada neoplasma

d) Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan


telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga sering
terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan
bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga
memudah kan terjadinya perdarahan.

Gambar-6: Oslers Disease

Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan
kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat
permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi
memar atau perdarahan dalam.

Case Report : Epistaksis | 11


Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang
normal.

Gambar-7a. Pembekuan darah Gambar-7b. Pembekuan darah tidak


normal normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.


Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke
daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar
melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya
sehingga akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada
tempat yang terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat
terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar
dalam darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk
jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von
Willebrand) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.

Case Report : Epistaksis | 12


Gambar-8a. cascade koagulasi Gambar-8b. cascade koagulasi
normal hemophilia
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.

1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von
Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara
normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga
trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit
tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah.

2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein
yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII
dalam dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan
waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk
menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.

e) Pengaruh lingkungan

Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat
menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.

f) Deviasi septum

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi
dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi
udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur
bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.

Case Report : Epistaksis | 13


2) Sistemik

a) Kelainan darah

Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,


hemofilia dan leukemia.

Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di
sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit
pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A
(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada
awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi
lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak
danmembentuk plug

trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia adalah
keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ l. Trombositopenia akan
memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam
pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan
trombositopenia.

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-


linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana
terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B).
Darah pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal.
Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
epistaksis.

Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam
tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai
daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam
tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada
Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan

Case Report : Epistaksis | 14


atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit.
Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.

Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula


mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan
menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-
molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak.
Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat
terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.

b) Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.

1. Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG
dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada
tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh
penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus
menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.

2. Arteriosklerosis

Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan


tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.

3. Sirosis hepatis

Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan


dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor
V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-
protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu
sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada
penderita sirosis hepatis.

4. Diabetes mellitus

Case Report : Epistaksis | 15


Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati
dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel
endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal
sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal
ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding
pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi
perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.

c) Infeksi akut

Demam berdarah

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain


mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam
berdarah.

d) Gangguan hormonal

Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh
darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.

e) Alkoholisme

Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan


terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan

Case Report : Epistaksis | 16


kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.

3.3 PATOFISIOLOGI

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,
terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan
kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang
komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi
pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan
yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan
setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau Trauma

Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar


ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.

1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid
anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana.

Gambar-9: Epistaksis anterior


2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.

Case Report : Epistaksis | 17


Gambar-10: Epistaksis posterior

3.4 DIAGNOSA

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya


harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat
mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari
bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor.
Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping
pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan
sinus paranasal, kalau perlu ct scan

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.

Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur
untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat
menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak
produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.

Case Report : Epistaksis | 18


Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk . Sesudah 10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa.

a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar-11: Rhinoskopi Anterior

Case Report : Epistaksis | 19


b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

c) Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.

e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

Gambar-12: Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.

g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis.

Case Report : Epistaksis | 20


3.5 PENATALAKSANAAN

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,


mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Gambar-13: Diagram penangan epistaksis

Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau
sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali
bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap
untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini
dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara
ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.

Case Report : Epistaksis | 21


Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan
kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada
kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa
protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.

A. Epistaksis Anterior

1. Kauterisasi

Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan


tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan
epinefrin 1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan

penilefrin 0.5 %. Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 10
menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.Kauterisasi secara kimia
dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 30% atau dengan asam
triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 70%. Setelah
tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta
yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan
pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia
dapat digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90%
kasus epistaksis yang ditelitinya.

2. Tampon Anterior

Gambar-14: Anterior Nasal Packing / Tampon Hidung Anterior

Case Report : Epistaksis | 22


Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan
kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.Tampon ini dipertahankan
selama 3 4 hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005)
menggunakan swimmers nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.

B. Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat
diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan
embolisasi.

1. Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan
menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil
melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan
dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik
kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.
Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan
ini.Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior
kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada
pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.

Case Report : Epistaksis | 23


Gambar-15: Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior

2. Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan


tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior.
Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan
anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan
disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan
10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup
rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit
yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila
tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
posterior.

Case Report : Epistaksis | 24


Gambar-16a: Double Balloon terpasang Gambar-16b: Perbandingan Double Balloon
sebelum dan sesudah di kembangkan

3. Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis
yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke
mukosa hidung.

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi
suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini dapat
dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas
mandibula yang menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis
kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a.
faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.


Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell
Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati

Case Report : Epistaksis | 25


buang dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari
bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela
(window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating
microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang
menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi
dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter
dan nervehook. Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan
menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan
masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam.

Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna.


Plane of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan
identifikasi perlekatan m. temporalis keprosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi
tumpul pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan,
dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat
dilakukan oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah
lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga
lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah
pembengkakan pipi dan trismus yang dapat berlangsung selama tiga bulan.Shah (2005)
menggunakan clip titanium pada arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi

dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada
tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada
sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n.
optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan
disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri
diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan
berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi
bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan
pemakaian kauter untuk menghindari trauma.

Case Report : Epistaksis | 26


d. Angiografi dan Embolisasi

Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a.


maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang
persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan
sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan
telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring,
tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan
embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan
ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi
embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga
sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable
gelatin sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih
kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila
terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

3.6 KOMPLIKASI

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat),
air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.

3.7 DIAGNOSIS BANDING

Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar
dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii
yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

3.8 PENCEGAHAN

Case Report : Epistaksis | 27


Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain:

a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada
kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu
biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.
3.9 PROGNOSIS

Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

BAB IV
Case Report : Epistaksis | 28
STATUS PASIEN I

IDENTITAS PASIEN Tanggal Pemeriksaan: 22-1-2016

Nama : Ny. SM

Umur : 67 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Minang

Alamat : Lubuk Layang

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan berumur 67 tahun datang ke UGD RSUD Lubuk Sikaping pada
tanggal 22 Januari 2016 dengan :

Keluhan Utama :

Keluar darah dari hidung sejak 5 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluar darah dari hidung sebelah kanan sejak 5 jam SMRS, mengalir lambat,
berwarna merah segar, terasa mengalir di tenggorokan, frekwensi 3x, sebanyak 1
sendok makan per kalinya. Di UGD darah keluar kembali, frekwensi 2x, sebanyak 1
sendok makan per kalinya.
Demam tidak ada
Sakit kepala tidak ada
Nyeri kuduk ada, sejak 1 minggu ini
Batuk dan sesak nafas tidak ada
Bersin-bersin dan pilek tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
BAK dan BAB normal
Riwayat trauma tidak ada
Riwayat darah sukar membeku tidak ada
Riwayat hipertensi tidak ada

Case Report : Epistaksis | 29


Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:

Pasien sehari-harinya pergi ke ladang

Kebiasaan merokok, minum kopi tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan darah : 150/100 mmHg

Frekuensi nadi : 84 x/menit

Frekuensi nafas : 22 x/menit

Suhu : 37 C

Pemeriksaan sistemik

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Toraks : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Abdomen: supel, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N

Extremitas: edem (), akral hangat, CRT < 2

STATUS LOKALIS THT

Case Report : Epistaksis | 30


Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Kel. Kongenital - -
Trauma - -
Daun Telinga Kel. Metabolik - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan - -
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Dinding Liang
Hiperemi - -
Telinga
Edema - -
Massa - -
Tanda radang - -
Fistel - -
Mastoid Sikatrik - -
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -

Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Deformitas - -
Kelainan kongenital - -
Hidung luar Trauma - -
Radang - -
Massa - -

Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -

Rinoskopi Anterior
Tidak dilakukan
Rinoskopi Posterior

Case Report : Epistaksis | 31


Tidak dilakukan
Orofaring dan Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole + Simetris/tidak Simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Arkus faring
Edema - -
Bercak/eksudat - -
Dinding Faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Tidak tampak darah mengalir
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Muara kripti Melebar
Detritus - -
Eksudat - -
Tumor Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normal Normal
Lidah
Deviasi - -
Massa - -

Laringoskopi Indirek
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.

RESUME

(DASAR DIAGNOSIS)

Anamnesis :

Keluar darah dari os nasal kanan sejak 5 jam SMRS


Demam tidak ada
Nyeri kuduk sejak 1 minggu SMRS
Bersin, pilek tidak ada

Case Report : Epistaksis | 32


Riwayat trauma tidak ada

Pemeriksaan Fisik :

Tidak tampak darah mengalir di dinding faring


TD 150/100

Diagnosis Kerja : Epistaksis anterior ec Hipertensi

Diagnosis Tambahan : Hipertensi grade II tidak terkontrol

Diagnosis Banding : Epistaksis anterior ec gangguan darah, Epistaksis posterior

Pemeriksaan Anjuran : - Pemeriksaan lab darah

Hasil : Hb 11,8 Leukosit 8.500 Trombosit 190.000

Working Diagnosis : Epistaksis anterior ec Hipertensi

Terapi :

- Observasi perdarahan

- Pasang tampon hidung

- IVFD RL 12 jam/kolf

- Inj. Kalnex 3 x 500 mg

- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.

- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram

- Amlodipin 1 x 10 mg p.o

Prognosis :

Quo ad Vitam : bonam


Quo ad Sanam : bonam

Case Report : Epistaksis | 33


STATUS PASIEN II

IDENTITAS PASIEN Tanggal Pemeriksaan: 24-1-2016

Nama : An. A

Umur : 16 tahun

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Suku Bangsa : Minang

Alamat : Tapus

ANAMNESIS

Seorang pasien anak laki-laki berumur 16 tahun rujukan Hc. Tapus ke UGD RSUD Lubuk
Sikaping pada tanggal 24 Januari 2016 dengan :

Keluhan Utama :

Keluar darah dari hidung sejak 2 jam SMRS

Case Report : Epistaksis | 34


Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluar darah dari hidung sebelah kanan sejak 2 jam SMRS, mengalir cepat, berwarna
merah segar, terasa mengalir di tenggorokan, frekwensi 2x, sebanyak 3 sendok makan
per kalinya. Di UGD darah keluar kembali, mengalir cepat dari hidung sebelah kiri
frekwensi 1x, sebanyak 5 sendok makan.
Demam sejak 3 hari yang lalu, tinggi, terus-menerus, tidak menggigil, tidak
berkeringat banyak. Disertai nyeri di seluruh sendi tubuh
Sakit kepala ada, bagian depan sejak 1 hari yang lalu
Batuk dan sesak nafas tidak ada
Bersin-bersin dan pilek tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
BAK dan BAB normal. Riwayat BAB hitam tidak ada
Riwayat trauma tidak ada
Riwayat darah sukar membeku tidak ada
Riwayat perdarahan gusi tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:

Pasien seorang siswa SMA tahun 1

Kebiasaan merokok, minum kopi tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Frekuensi nadi : 93 x/menit

Case Report : Epistaksis | 35


Frekuensi nafas : 22 x/menit

Suhu : 38,8 C

Pemeriksaan sistemik

Kulit : ptekie (-), purpura (-), ekimosis (-)

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Toraks : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Abdomen: supel, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) N

Extremitas: edem (), akral dingin, CRT 2

STATUS LOKALIS THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Kel. Kongenital - -
Trauma - -
Daun Telinga Kel. Metabolik - -
Nyeri tarik - -
Nyeri tekan - -
Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Dinding Liang
Hiperemi - -
Telinga
Edema - -
Massa - -
Mastoid Tanda radang - -
Fistel - -
Sikatrik - -

Case Report : Epistaksis | 36


Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -

Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Deformitas - -
Kelainan kongenital - -
Hidung luar Trauma - -
Radang - -
Massa - -
Tampak darah mengalir dari os nasal sinistra

Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Nyeri tekan - -
Nyeri ketok - -

Rinoskopi Anterior
Tidak dilakukan
Rinoskopi Posterior
Tidak dilakukan
Orofaring dan Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Palatum mole + Simetris/tidak Simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
Arkus faring
Edema - -
Bercak/eksudat - -
Dinding Faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Tampak sisa darah di dinding faring, tidak mengalir
Tonsil Ukuran T2 T2
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Muara kripti Tidak melebar
Detritus - -
Eksudat - -
Tumor Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Konsistensi - -
Lidah Warna Merah muda Merah muda

Case Report : Epistaksis | 37


Bentuk Normal Normal
Deviasi - -
Massa - -

Laringoskopi Indirek
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Pada inspeksi tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pada palpasi tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher.

RESUME

(DASAR DIAGNOSIS)

Anamnesis :

Keluar darah dari os nasal sejak 2 jam SMRS


Terasa darah mengalir di tenggorokan
Demam sejak tiga hari SMRS, tinggi, terus-menerus
Riwayat trauma tidak ada
Pemeriksaan Fisik :

Tampak sisa darah di dinding faring


Diagnosis Kerja : Epistaksis posterior ec DHF gr. II-III

Diagnosis Tambahan : DHF grade II-III

Diagnosis Banding : Epistaksis anterior

Pemeriksaan Anjuran : - Pemeriksaan lab darah

Hasil : Hb 12 Leukosit 3.900 Trombosit 54.000

NS-1 (+)

Terapi :

- Observasi perdarahan

- Pasang tampon hidung

- IVFD RL guyur 1 kolf, lanjut 4 jam/kolf

Case Report : Epistaksis | 38


- Inj. Kalnex 1000 mg, lanjut 3 x 500 mg

- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.

- PCT 3 x 500 mg p.o

- Trolit 4 x 1 sach

Prognosis :

Quo ad Vitam : dubia ad bonam


Quo ad Sanam : dubia ad bonam

BAB V

Case Report : Epistaksis | 39


KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit,
yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa
bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak
hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis
dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam
posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.

Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah


komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi,
skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang
dilakukan pada epistaksis adalah:

a. Memencet hidung
b. Pemasangan tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
e. Embolisasi
Epsitaksis dapat dicegah antara lain dengan tidak memasukkan benda keras ke dalam
hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut,
menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti
merokok.

Case Report : Epistaksis | 40

Anda mungkin juga menyukai