Definisi
1
alveoli paru. Adanya cairan tersebut akan menyebabkan gangguan pertukaran
udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia. Edema paru terjadi
dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke ruang intersisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui
saluran limfatik 1,3.
Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari
cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi
paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru
dapat menyesuaikan bentuk edema dan yang mengatur perpindahan cairan dan
protein di paru menjadi masalah yang klasik 3.
Patofisiologi
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru.
Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-
kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana
oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida
dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli
normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran
udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
2
kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air di dalam paru ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien 3,4.
Klasifikasi
Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema
(edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai
non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak) 1,4.
3
Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak 1,4
4
Feokromositoma
Pankreatitis
Obstruksi saluran nafas
Penurunan tekanan onkotik kapiler
a. Edema Paru dan Hipertensi arteri. Dahulu edema paru jenis ini paling umum,
tetapi sekarang lebih jarang terlihat, sebagian besar karena jenis lain cenderung
mendominasi. Nefritis kronis dengan uremia sering disertai dengan episode
edema paru. Dalam kasus tertentu, retensi nitrogen moderat mungkin satu-
satunya bukti insufisiensi ginjal dan mungkin ada sedikit atau tidak adanya
asidosis. Semua bentuk lain hipertensi, termasuk hipertensi esensial dan
koarktasio aorta, dapat terjadi edema paru. Kasus hipertensi ganas memiliki
serangan-serangan paroksismal lebih sering daripada yang lain.
b. Edema Paru dan Penyakit Jantung Koroner. Pengamatan oklusi koroner berat
sering disertai dengan edema paru telah menyebabkan anggapan bahwa episode
koroner minor juga dapat berkontribusi pada serangan ini. Namun, tidak ada
bukti pasti, dan mekanisme produksi edema mungkin agak berbeda dari pasien
hipertensi. Syok kardiogenik lebih sering dikaitkan dengan edema paru daripada
syok jenis lain. Bentuk yang berlangsung lama/menahun/kronis umum
didapatkanpada pasien jantung koroner
5
c. Edema Paru pada Mitral Stenosis. Terjadinya edema paru pada kasus dengan
blok persisten proksimal ventrikel kiri bertentangan dengan teori yang
mengaitkan episode ini pada kegagalan ventrikel kiri akut. Dalam beberapa
tahun terakhir ini penjelasan yang cukup dinamis telah ditemukan. Pasien
dengan stenosis mitral terkadang batuk darah dalam jumlah besar. Sindrom ini,
disebut "apopleksi pulmonal," terkait erat dengan edema paru dan memiliki
mekanisme yang mirip tetapi tidak sama.
d. Edema paru dan Syok. Syok sering dikaitkan dengan edema paru. Tidak
diketahui apakah syok itu sendiri menyebabkan edema paru atau apakah syok
dan edema paru adalah akibat dari penyebab yang sama. Karena syok
kardiogenik sering dikaitkan dengan edema paru dan edema paru menghilang
ketika syok berkurang, mekanisme vaskular syok mungkin penting secara
fundamental/dasar.
Gambaran klinis
Gambaran klinis dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan
radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun
kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini 6.
6
Pada stadium 2 terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur. Garis-garis yang
memanjang dari hilus ke arah perifer (garis Kerley A), septa interlobularis (garis
Kerley B) dan garis-garis yang mirip sarang laba-laba pada bagian tengah paru
(garis Kerley C) menebal. Penumpukan cairan di jaringan intersisial, akan lebih
memperkecil saluran napas bagian kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja 6.
Efek dari sumbatan pembuluh darah dan edema pada fisiologi dan mekanis paru 1,6
Sumbatan vaskuler
Peningkatan kapasitas difusi
Peningkatan PO2 arteri
penurunan komplians paru
Bronkokonstriksi
Edema intersisial
Peningkatan volume akhir
Penurunan aliran ekspirasi maksimal
Peningkatan kesalahan ventilasi dan perfusi
Penurunan PO2 arteri
Edema alveolar
7
Peningkatan volume akhir (udara terjebak)
Peningkatan tahanan pembuluh darah
Penurunan volume paru (kapasitas vital dan inspirasi)
Penurunan komplians paru
Penurunan kapasitas difusi
Pemeriksaan penunjang
8
Rontgen dada, foto polos dada merupakan pemeriksaan laboratorium yang
praktis untuk mendeteksi edema paru. Kerugiannya adalah kurang sensitif dalam
mendeteksi perubahan kecil cairan paru dan hanya bersifat semikuantitatif 6,7.
9
peningkatan tekanan seperti itu, terjadinya edema alveolar juga mungkin terkait dengan
tekanan langsung akibat kerusakan epitel alveolar 13.
Figure 1a,b,c. Increased hydrostatic pressure edema in a 33-year-old man with acute myelocytic leukemia
who was admitted for fluid overload with renal and cardiac failure. Successive chest radiographs
demonstrate progressive lobar vessel enlargement, peribronchial cuffing (arrows in b), bilateral Kerley
lines (arrowheads in c), and late alveolar edema with nodular areas of increased opacity. The fluid overload
is confirmed by the increasing size of the azygos vein.
Bat Wing Edema
Bat edema sayap mengacu pada distribusi, pusat nongravitational edema alveolar. Hal ini
terlihat dalam waktu kurang dari 10% kasus edema paru dan umumnya terjadi dengan
cepat mengembangkan gagal jantung parah seperti terlihat pada insufisiensi mitral akut
(berhubungan dengan ruptur otot papilaris, infark miokard besar, dan katup leaflet
kehancuran akibat endokarditis septik ) atau gagal ginjal. Pada edema sayap kelelawar,
korteks paru bebas dari cairan alveolar atau interstisial. Kondisi patologis berkembang
begitu cepat bahwa itu awalnya diamati sebagai alveolar yang menyusup, dan fase
interstisial sebelumnya yang biasanya terlihat pada edema paru tidak terdeteksi
radiologis 12.
10
Figure 2a,b. Bat wing edema in a 71-year-old woman
with fluid overload and cardiac failure. Chest
radiograph (a)and high-resolution CT
scan(b) demonstrate bat wing alveolar edema with a
central distribution and sparing of the lung cortex. The
infiltrates resolved within 32 hours.
11
Figure 3. Asymmetric pulmonary edema in a 70-year-old man with end-stage fibrosis and bullous
emphysema due to asbestosis who was admitted for cardiac failure. On a chest radiograph, the pulmonary
edema infiltrates predominate at the lung bases because pulmonary blood flow is diverted to these regions
by the upper lobe bullae. The fibrotic interstitial changes from asbestosis facilitate the entry of edema into
the alveolar sp
b. Farmakologi terapi
12
Atropine
Hal yang harus segera dipastikan apabila menjumpai pasien dengan denyut nadi
kurang dari atau sama dengan 50 kali permenit adalah apakah bradikardia tersebut
menyebabkan hipotensi, penurunan kesadaran, tanda-tanda syok, nyeri dada iskemia atau
gagal jantung akut? Jika tidak, pasien cukup dimonitor dan diobservasi. Jika iya, pasien
perlu mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Atropin diberikan secara intravena dengan dosis 0.5 mg bolus. Jika belum didapatkan
denyut jantung target, pemberian atropin dapat diulang setiap 3-5 menit hingga 6 kali.
Total dosis atropin maksimal adalah 3 mg.
Morphine
Penggunaan empiris jenis opiate ini dikenal sebagai terapi tertua. Morfin
ditunjukkan dalam berbagai jenis eksperimen terhadap edema paru. Morfin dipakai
pada sebagian besar serangan klinis ringan dan beberapa serangan klinis yang parah.
Namun, hasil terbaik diperoleh pada kasus hipertensi, uremia atau mitral stenosis. Efek
samping morfin adalah kerusakan otak dan lesi kronis cor pulmonale, mungkin karena
efek samping tersebut pada kasus tersebut penggunaan morfin dibatasi. Efek merusak
morfin pada janin dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap penggunaan obat jenis ini
pada kasus edema paru yang terjadi pada masa kehamilan. Bahkan dalam kasus-kasus
oklusi koroner, dosis besar morfin dapat mendukung timbulnya shock.
Mekanisme kerja dari morfin secara pasti belum diketahui. obat ini menekan
pusat pernapasan dan mengurangi efek dyspnea (yang pada gilirannya dapat
menurunkan edema). Dalam dosis farmakologis, morfin tidak menyebabkan perubahan
jelas hemodinamik kardiovaskular dan pembuluh paru.
Morfin diberikan secara intravena dengan dosis 2-5 mg. Dapat diulangi tiap 15
menit. Sampai total dosis 15 mg biasanya cukup efektif.
Efek terapi : obat ini mengurangi kecemasan, mengurangi rangsang
vasokonstrikstor adrenergik terhadap pembuluh darah arteriole dan vena. Obat ini dapat
menyebabkan depresi pernapasan, sehingga nalokson harus tersedia.
Barbiturat-Chloral.
Barbiturat dan kloral hidrat telah terbukti dari berbagai experiment dalam terapi
edema paru.
13
pemberian intravena pada manusia di beberapa kasus edema paru telah terbukti sejak
tahun 1930. Namun, obat ini mungkin tidak efektif dan, dalam kasus tertentu, salah satu
efek dari pemberian obat ini adalah efek sedasi yang dalam (kuat) dan pada akhirnya
akan mempercepat kematian pasien. Aliran balik vena menurun oleh kloral dan
barbiturat, dan pada akhirnya pada pasien tertentu akan timbul bahaya shock.
Aminofilin
obat ini adalah vasodilator ringan, bronkodilator, dan stimulant pusat pernapasan.
Tindakan pertama adalah berguna meskipun tidak memadai, yang kedua adalah dari
diragukan dalam penggunaan.untuk alasan ini, aminofilin tidak boleh digunakan dalam
pengobatan serangan darurat. Penggunaan rutin aminofilin, hanya boleh di rumah sakit
tertentu, tidak bias direkomendasikan pemakaiannnya.
Papaverine
injeksi intravena papaverine dalam hubungan dengan obat lain telah dianjurkan
oleh salah satu penulis (A.A.L.) sejak 1930. Papaverine adalah golongan obat relaksasi
otot polos dan vasodilator. Dosis biasanya adalah 10 mg. intravena. Kontraindikasi obat
ini adalah adalah: (1) jika pasien merupakan kelompok 1 (Output tinggi), papaverine
terlalu ringan vasodilator untuk menjadi efektif; (2) jika pasien milik kelompok 2 (output
rendah), bahkan moderat Penurunan aliran balik vena bisa berbahaya.
Amyl Nitrit
Obat ini digunakan empiris secara inhalasi di beberapa rumah sakit. Karena efek
vasodilator yang kuat mungkin berguna pada pasien hipertensi tertentu, terlepas dari
durasi yang sangat pendek dari tindakan. Namun, karena obat ini dapat melebarkan
pembuluh paru, penulis tidak merekomendasikan hal, bahkan dalam kasus kelompok 1.
Sejauh sebagai pasien dari kelompok 2 yang bersangkutan, penggunaan dari amil nitrit
menyebabkan bahaya yang sama seperti bahwa vasodilator lainnya.
Mercurial Diuretik
Diuretik Mercurial yang disuntikkan secara intravena pada kasus edema paru di
banyak rumah sakit. Penggunaan empiris agen ini tidak diragukan lagi bertumpu pada
harapan dehidrasi cepat pasien diperoleh melalui proses diuresis. Tindakan ini, Namun,
tidak akan cukup dan tepat waktu untuk meningkatkan sirkulasi selama serangan itu.
Kegunaan lain dari mercurial kemudian dijelaskan, ketika kateterisasi jantung
mengungkapkan bahwa Novurit menyebabkan penurunan dari tekanan di atrium kanan
dan ventrikel dalam 20 sampai 30 minutes. Penurunan tekanan masih dijelaskan dan
mungkin karena penyempitan vena penurunan aliran balik vena. Efek ini harus
dipertimbangkan berguna pada pasien kelompok 1 (Output tinggi) tetapi tidak diinginkan
dan mungkin berbahaya pada pasien kelompok 2 (output rendah)
14
KESIMPULAN
Edema paru terjadi akibat aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
melebihi aliran cairan kembali ke darah dan saluran limfe. Dari penjelasan diatas
dapat diketahui patogenesis, gambaran klinis, gambaran radiologis, diagnosis,
dan penatalaksanaan pada edema paru.
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru yaitu perbaiki jalan napas,
ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua
sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
15
DAFTAR PUSTAKA
2. Ruggie N. Congestive heart failure. Med. Clin. North Am. 70:829-851, 1986.
4. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one, United
States, 593-617, 2008.
7. Staub NC: The measurement of lung water content. J Microw Power 18:259-263,
1983.
10. Pistolesi M, Miniati M, Giuntini C. Pleural liquid and solute exchange: state of
the art. Am Rev Respir Dis 1989; 140:825-847.
16
14. Stalcup SA, Mellins RB. Mechanical forces producing pulmonary edema in
acute asthma. N Engl J Med 1977; 297:592-596.
15. Frazer RG, Par JAP, Par PD, Frazer RS, Genereux GP. Pulmonary
hypertension and edema. In: Frazer RG, Par JAP, Par PD, Frazer RS, Genereux
GP, eds. Diagnosis of diseases of the chest. 3rd ed. Philadelphia, Pa:
Saunders, 1990; 1823-1968.
17. Maltby JD, Gouverne ML. CT findings in pulmonary venoocclusive disease: case
report. J Comput Assist Tomogr 1984; 8:758-761.
18. Ingram RH, Jr, Braunwald E. Dyspnea and pulmonary edema. In: Fauci AS,
Braunwald E, Isselbacher KJ, et al., eds. Harrison's principles of internal
medicine. 14th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 1998; 190-194.
19. Snyder SH. Opiate receptors in the brain. N Engl J Med 1977;296:266-271.
17