Anda di halaman 1dari 36

JAWABAN DK2 PEMICU 1

MODUL HEMATO DAN ONKOLOGI

THERESIA ALFIONITA SINULINGGA


FAA 113 043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
PALANGKA RAYA
2017
1. Interpretasi data
Sklera ikterik pada malaria

2. Perbedaan khas karakteristik plasmodium


a. Morfologi
Pada infeksi plasmodium falciparum bentuk atau fase yang ditemukan di
dalam darah tepi hanyalah bentuk cincin dan atau gametosit. Sizogoni terjadi di
dalam kapiler organ-organ dalam dan didalam jantung. Eritrosit yang diinfeksi
tidak bertambah besar. Sering ditemukan lebih dari satu bentuk cincin didalam
eritrosit (Mutipleinfection). Bentuk cincin yang menempel pada pinggir
membrane eritrosit merupakan tanda khas spesies ini. Adanya bentuk cincin yang
halus dan seragam dalam jumlah banyak sering dengan titik kromatin rangkap
(double dost).
Skizon berbentuk lonjong atau bulat, tidak ditemukan darah tepi, kecuali
pada infeksi yang berat. Skizon yang matang mengandung 16-20 merozoit yang
kecil. Gametosit yang masih muda berbentuk lonjong. Sesudah matang, bentuk
gametosit menjadi pisang atau sering disebut sabit(cresent)pada penanaman yang
kuat kadang dalam bentuk eritrosit di jumpai prespitat sitoplasma berbentuk titik-
titik yang tidak teratur, sebagai keping-kepingan atau batang-batang berwarna
merah,disebut titik-titik maure (maurer,s clefts).

b. Siklus hidup
Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama
yaitu mengalami stadium-stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia
dan kembali ke nyamuk lagi. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang
berlangsung pada nyamuk anopheles dan siklus aseksual yang berlangsung pada
manusia meliputi fase eritrosit (erythrocytic schizohoni) dan fase yang
berlangsung didalam parenkim sel hepar (exo-eritthrocyitic schizogony).
1) Stadium hati
Stdium ini dimulai ketika nyamuk anopheles betina menggigit manusia
dan memasukan sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke dalam darah
manusia sewaktu mengisap darah, melalui aliran darah dalam beberapa menit
kemudian (1/2- 1 jam) sporozoit menginfeksi sel hati dan menjalani fase
eksoeritrositer primer.
2) Fase eksoeritrositer primer.
Sporozoit menjalani fase skizogoni yang menghasilkan merozoit
eksoeritrosit yang disebut kriptozoit, sebagian dari kriptozoit masuk ke dalam sel
darah merah dan membentuk tropozoit. Tropozoit yang ada di dalam sel darah
merah lambat laun membesar dan gerakannya banyak. Jika besarnya sudah
mencapai separuh sel darah maka gerakannya akan berkurang selanjutnya
membentuk sizon. Sizon bertambah besar dan mengisi sebagian besar dari sel
darah merah pecah dan bagian-bagian dari sizon berada dalam plasma darah. Tiap
bagian disebut merozoit.
Merozoit akan menyerang sel darah merah dan mengulangi fase
gametogoni yaitu fase untuk pembentukan sel kelamin jantan dan betina. Hasil
dari fase gametosit adalah mikrogametosit dan makrogametosit. Apabila darah
diisap oleh nyamuk maka semua bentuk parasit malaria akan masuk ke dalam
lambung nyamuk. Tropozoit dan sizon akan hancur sedangkan gametosit akan
meneruskan lingkaran sporogoni.
3) Lingkaran sporogoni
Sebelum menjalani lingkaran ini , mikrogametosit dan makrogametosit
berubah menjadi mikrogamet dan makrogamet (mikrogametosit mengeluarkan 8
mikrogamet/spermatozoa sedangkan makrogametosit mengeluarkan 1 telur).
Mikrogametosit melepaskan diri dari sel darah merah dan membulatkan diri dan
melepaskan diri dari badannya dan tiap-tiap badan baru ini disebut mikrogamet
yang berenang kian kemarin dalam lambung nyamuk mencari makrogamet
sehingga terbentuk zigot.
Zigot berubah menjadi ookinet yang berenang menuju dinding lambung
nyamuk dan beristrhat sebagai ookista di bawah membrane disebelah luar
lambung nyamuk sambil membulatkan diri . apabila sudah tua , ookista pecah dan
keluarlah sporozoit yang masuk ke dalam cairan rongga tubuh nyamuk menuju
kelenjar liur dan siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia.

NO stadium Karakteristik
plasmodium
falciparum Sediaan apus darah
Tetes tebal
1 Tropozoit :
Inti Inti bulat,berwarna Berukuran kecil,inti
merah kecil,dan padat. merah,padat/kompak.
Sitoplasma
Sitoplasma biru,halus Sitoplasma biru,dan
berbentuk cincin,koma halus.
tanda seru,dan tanda
Eritrosit tanya.

Eritrosit yang tidak Ukuran eritrosit yang


terhemolisa terinfeksi sama dengan
sempurna,dapat eritrosit normal.
2. Skizon :
ditemukan zona
Inti merah(kecil).
Inti berwarna
sitoplasma merah,keci dan padat.
Inti warna merah,kecil
padat setiap inti di
kelilingi sitoplasma. Sitoplasma berwarna
eritrosit
kebiruan,melebar,belum
Sitoplasma berwarna membagi diri.
3. Gametosit : kebiruan,melebar,belum
Inti membagi diri. Ukuran eritrosit yang
terinfeksi sama dengan
Eritrosit yang tidak eritrosit normal.
Sitoplsma terhemolisa sempurna
dapat ditemukan zona
merah(kecil). Inti berwarna
Eritrosit merah,padat dan
kompak.
Inti berwarna
merah,dan padat.
Sitoplasma ujungnya
meruncing dan
berwarna biru.
Sitoplasma ujungnya
meruncing dan Eritrosit bentuknya
berwarna biru. utuh,parasit ditemukan
didalam eritrosit.
Eritrosit bentuknya
utuh,parasit d temukan
didalam eritrosit.

3. Mekanisme urin berwarna coklat kehitaman


Urine yang berwarna coklat tua dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti
obat malaria (primakuin dan klorokuin), nitrofurantoin, metronidazole,
methocarbamol (relaksan otot) dan obat pencahar (cascara atau senna). Beberapa
infeksi saluran kemih, ginjal dan gangguan hati (liver) juga dapat menyebabkan
urin berwarna coklat.

4. Hubungan lingkungan dengan penyakit malaria


Lingkungan adalah lingkungan manusia dan nyamuk berada.
Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk tidak sama tiap
jenis/spesies nyamuk.
Lingkungan fisik yang diperhatikan dalam kejadian malaria
adalah jarak rumah dari tempat istirahat dan tempat perindukan yang
disenangi nyamuk Anopheless seperti adanya semak yang rimbun akan
menghalangi sinar matahari menembus permukaan tanah, sehingga
adanya semak-semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh
serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat yang
disenangi nyamuk Anopheles, parit atau selokan yang digunakan untuk
pembuangan air merupakan tempat berkembang biak yang disenangi
nyamuk, dan kandang ternak sebagai tempat istirahat nyamuk sehingga
jumlah populasi nyamuk di sekitar rumah bertambah.

5. Klasifikasi anemia
Anemia adalah turunnya kadar sel darah merah atau hemoglobin dalam
darah. Adanya anemia akan menyebabkan transportasi oksigen terganggu
sehingga jaringan tubuh orang yang mengalami anemia akan mengalami
kekurangan oksigen, yang diperlukan untuk menghasilkan energi. Orang yang
menderita anemia akan merasa cepat lelah, lemas, pucat, gelisah dan terkadang
sesak.
Klafisikasi Anemia yang mengelompokkan berbagai macam anemia, secara garis
besar didasarkan pada penyebab dan mekanisme terjadinya anemia, yaitu:
Tubuh kehilangan terlalu banyak darah (seperti karena trauma, atau
menderita penyakit tertentu).
Tubuh memiliki masalah dalam memproduksi sel darah merah.
Sel darah merah memecah atau mati lebih cepat sementera belum
terbentuk sel sel darah merah yang baru sebagai penggantinya.
Berdasarkan klasifikasi diatas, macam-macam anemia (jenis anemia) yang paling
sering ditemui, yaitu :
Anemia Karena Produksi yang terganggu
Sel darah merah manusia diproduksi di sumsum tulang atas rangasangan
dari hormon eritropoitin yang dihasilkan ginjal. Untuk membentuk sel sel darah
merah dan hemoglobinnya dibutuhkan juga bahan baku (utama) berupa zat besi,
vitamin B12 dan Asam Folat, sehingga kekurangan zat zat tersebut akan
menyebabkan anemia.
Anemia Defisiensi Besi (anemia kekurangan zat besi)
Anemia defisiensi besi ini merupakan jenis anemia yang paling banyak.
Kekurangan zat besi akan menimbulkan anemia jenis ini, karena zat besi
diperlukan untuk membuat hemoglobin.
Pada anemia defisiensi besi sel darah merah ukurannya lebih kecil dari
normal (mikrositer) dan warnanya lebih pucat (hipokrom) sehingga disebut juga
anemia hipokrom mikrositer.
Kadar zat besi dalam tubuh bisa rendah karena kehilangan darah dan
asupan zat besi yang kurang. Pada wanita, sel darah merah dan besi hilang ketika
pendarahan menstruasi yang berlebihan dan ketika melahirkan. Anemia pada
kehamilan juga merupakan jenis anemia defisiensi besi ini, terutama apabila ibu
hamil kurang asupan zat besi.
Untuk mencegah dan mengobati anemia defisiensi besi, maka jangan
lewatkan menu harian dengan makanan yang kaya zat besi, seperti daging, daging
unggas, ikan, telur, produk susu, atau makanan yang diperkaya zat besi dan jika
diperlukan diberi tambahan suplemen zat besi (atas petunjuk dokter).
Anemia Defisiensi Vitamin B12 (Anemia pernisiosa)
Vitamin B12 diperlukan untuk membentuk sel darah merah dan menjaga
kenormalan fungsi saraf. Sehingga apabila seseorang mengalami anemia
pernisiosa ini biasanya disertai dengan gangguan saraf, seperti sering kesemutan,
rasa baal atau kebas pada tangan dan kaki, gangguan daya ingat, dan gangguan
penglihatan.
Tubuh bisa kekurangan vitamin B12 karena gangguan absorbsi (autoimun
dan gangguan usus) dan/atau karena kurangnya asupan makanan yang
mengandung vitamin B12.
Untuk mencegah dan mengobati anemia pernisiosa ini, jangan lewatkan
makanan yang kaya Vitamin B12 yaitu terdapat pada makanan produk hewani.
Bila diperlukan suplemen vitamin B (atas petunjuk dokter)
Anemia Defisiensi Asam Folat (anemia megaloblastik)
Anemia kekurangan asam folat disebut juga sebagai anemia
megaloblastik , karena apabila dilihat dibawah mikroskop sel-sel darah merah
ukurannya lebih besar dari normal.
Anemia Megaloblastik dapat terjadi jika Anda tidak cukup mengkonsumsi
asam folat atau jika Anda memiliki masalah penyerapan vitamin B9. Hal ini juga
dapat terjadi selama trimester ketiga kehamilan, ketika tubuh Anda membutuhkan
folat tambahan. Folat adalah vitamin B yang ditemukan dalam makanan seperti
sayuran berdaun hijau, buah-buahan, kacang kering dan kacang polong. Asam
folat juga ditemukan dalam roti yang diperkaya, pasta, dan sereal.
Anemia Aplastik
Terjadi ketika tubuh berhenti atau tidak cukup membuat sel darah baru.
Pada anemia aplastik ini tidak hanya kekurangan sel darah merah, tetapi juga sel
darah putih, dan trombosit. Rendahnya tingkat sel darah merah menyebabkan
anemia. Dengan rendahnya tingkat sel darah putih, tubuh kurang mampu melawan
infeksi. Dengan terlalu sedikitnya trombosit, darah tidak bisa membeku secara
normal.
Beberapa penyebab anemia aplastik, yaitu:
Pengobatan kanker (radiasi atau kemoterapi)
Paparan bahan kimia beracun (seperti yang digunakan dalam beberapa
insektisida, cat, dan pembersih rumah tangga)
Beberapa obat (contoh nya obat rheumatoid arthritis)
Penyakit autoimun (seperti penyakit lupus)
Infeksi virus
Penyakit keluarga yang diturunkan seperti pada anemia Fanconi
Anemia Pada Gagal Ginjal
Untuk membentuk sel darah merah tubuh memerlukan hormon
erotropoitin sebagai sinyal tubuh yang merangsang pembentukan eritrosit.
Hormon ini dihasilkan oleh ginjal, jadi apabila seseorang mengalami gangguan
pada ginjal dalam kurun waktu yang lama (gagal ginjal kronis) maka bisa
menimbulkan anemia.
Anemia karena sel darah merah Abnormal (mudah Rusak / mati)
Disebut juga anemia sel sabit karena memang Sel-sel darah merah
berbentuk seperti sabit yaitu memiliki tepi yang runcing dan tengahnya
melengkung seperti huruf C. Sel-sel darah merah yang berbentuk sabit ini lebih
rapuh sehingga berumur lebih pendek dibanding normal (usia normal sel darah
merah = 120 hari), sedangkan kecepatan produksi sel darah merah tidak dapat
mengimbanginya maka terjadilah anemia.
Sel-sel darah berbentuk sabit ini dapat berbahaya karena bisa terjebak
dalam pembuluh darah kecil, sehingga menghalangi aliran darah ke organ-organ
tubuh.
Talasemia (Thalasemia)
Orang dengan talasemia memproduksi hemoglobin dan sel darah merah
yang lebih sedikit dari biasanya. Hal ini menyebabkan anemia ringan atau berat.
Salah satu bentuk yang berat dari kondisi ini adalah Cooley Anemia.
Anemia karena kehilangan darah
Kehilangan darah yang banyak akan menurunkan jumlah darah dalam tubuh
sehingga akan terkena anemia.
Perdarahan yang banyak bisa terjadi karena:
Trauma = luka, atau kecelakaan.
Menstruasi yang berlebihan
Melahirkan dengan perdarahan hebat
Perdarahan tersembunyi, seperti perdarahan saluran cerna.
Klasifikasi Anemia akibat Gangguan Eritropoieses
Anemia jika diklasifikasikan berdasarkan akibat gangguan Eritropoieses yang
mereka miliki adalah:
Anemia defisiensi Besi: Tidak cukupnya suplai besi mengakibatkan defek
pada sintesis Hb, mengakibatkan timbulnya sel darah merah yang
hipokrom dan mikrositer.
Anemia Megaloblastik: Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan
gangguan pada sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA, efek yang
timbul adalah pembesaran prekursor sel darah (megaloblas) di sumsum
tulang, hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia
Anemia Aplastik: Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat
hiposelularitas, hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan racun,
radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan defek pada perbaikan DNA
serta gen.
Anemia Mieloptisik: Anemia ini terjadi akibat penggantian sumsum tulang
oleh infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma, yang menyebabkan
pelepasan eritroid pada tahap awal.
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel
Anemia jika diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel yang mereka miliki adalah:
Anemia mikrositik: penyebab utamanya yaitu defisiensi besi dan talasemia
(gangguan Hb)
Anemia normositik: contohnya yaitu anemia akibat penyakit kronis seperti
gangguan ginjal.
Anemia makrositik: penyebab utama yaitu anemia pernisiosa, anemia
akibat konsumsi alcohol, dan anemia megaloblastik.

6. Mekanisme anemia pada malaria


Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronik, pada keadan akut
terjadi penurunan yang cepat dari Hb. Penyebab anemia pada malaria adalah
pengrusakan eritrosit oleh parasit, penekanan eritropoesis dan mungkin sangat
penting adalah hemolisis oleh proses imunologis.

7. Jelaskan tentang mekanisme hepatomegali dan splenomegali


Splenomegali
Limpa merupakan organ RES yg berfungsi memfagositosis kuman pada
kasus ini eritrosit terinfeksi oleh plasmodium sehingga kerja limpa semakin berat
karena banyaknya infeksi dari plasmodium. Disebabkan oleh kongesti, kemuadian
limfa berubah warna menjadi hitam karena pigmen yang ditimbulkan dalam
eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid. Splenomegali
merupakan gejala khas malaria kronik. Limfa mengalami kongesti, menghitam
dan mejadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang
bertambah
Hepatomegali
Sebagai kompensasi hemolisis dan memperbanyak jumlah sel (hiperplasi)
dan adanya sporozoit yang masuk kedalam hepar banyak, maka hepar melakukan
kompensasi dengan memperbanyak jumlah sel.

8. Jelaskan hematopoiesis normal


Hematopoiesis merupakan proses pembentukan komponen sel darah, dimana
terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak.
Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau pelipatgandaan jumlah sel, dari satu
sel hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi
merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan
beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda.

Hematopoiesis pada manusia terdiri atas beberapa periode :


1. Mesoblastik
Dari embrio umur 2 10 minggu. Terjadi di dalam yolk sac. Yang
dihasilkan adalah HbG1, HbG2, dan Hb Portland.
2. Hepatik
Dimulai sejak embrio umur 6 minggu terjadi di hati Sedangkan pada limpa
terjadi pada umur 12 minggu dengan produksi yang lebih sedikit dari hati. Disini
menghasilkan Hb.
3. Mieloid
Dimulai pada usia kehamilan 20 minggu terjadi di dalam sumsum tulang,
kelenjar limfonodi, dan timus. Di sumsum tulang, hematopoiesis berlangsung
seumur hidup terutama menghasilkan HbA, granulosit, dan trombosit. Pada
kelenjar limfonodi terutama sel-sel limfosit, sedangkan pada timus yaitu limfosit,
terutama limfosit T.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sel darah di
antaranya adalah asam amino, vitamin, mineral, hormone, ketersediaan oksigen,
transfusi darah, dan faktor- faktor perangsang hematopoietik.

9. Mekanisme demam naik turun pada malaria


10. Jelaskan definisi malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles yang
terinfeksi. Penyakit ini dapat menyerang semua orang baik bayi, anak-anak
maupun orang dewasa (Depkes RI, 1991)

11. Jelaskan etiologi malaria


Agent penyebab malaria ialah makhluk hidup Genus Plasmodia, Famili
Plasmodiidae dari Ordo Coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal empat
spesies parasit malaria pada manusia, yaitu :
1. Plasmodium falciparum: penyebab penyakit tropika yang sering menyebabkan
malaria berat/malaria otak yang fatal, gejala seranganya timbul berselang setiap
dua hari (48 jam) sekali.
2. Plasmodium vivax: penyebab penyakit malaria tertiana yang gejala serangannya
timbul berselang setiap tiga hari.
3. Plasmodium malariae: penyebab penyakit malaria quartana yang gejala
serangannya timbul berselang setiap empat hari.
4. Plasmodium ovale: jenis ini jarang ditemui di Indonesia, banyak dijumpai di
Afrika dan Pasifik Barat. Seorang penderita dapat dihinggapi lebih dari satu jenis
plasmodium, infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Yang
terbanyak terdiri dari dua campuran, yaitu Plasmodium falciparum dengan
Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Infeksi campuran biasanya terjadi
di daerah yang angka penularannya tinggi (Depkes RI, 2006)

12. Jelaskan epidemiologi malaria


Epidemiologi malaria adalah ilmu yang mempelajari tentang
penyebaran malaria dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam
masyarakat. Dalam epidemiologi selalu ada 3 faktor yang diselidiki: host
(manusia sebagai host intermediate dan nyamuk sebagai host definitif), agent
(penyebab penyakit malaria, plasmodium) dan environment (lingkungan).
Penyebaran malaria terjadi bila ketiga faktor tersebut saling mendukung.
1. Agent (parasit malaria)
Agent atau penyebab penyakit malaria adalah semua unsur atau
elemen hidup ataupun tidak hidup dalam kehadirannya bila diikuti dengan
kontak yang efektif dengan manusia yang rentan akan memudahkan
terjadinya suatu proses penyakit. Agent penyebab malaria adalah protozoa
dari genus plasmodium.

2. Host (Pejamu)
a. Manusia (host intermediate)
Penyakit malaria dapat menginfeksi setiap manusia, ada
beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi manusia sebagai
penjamu penyakit malaria antara lain: usia/umur, jenis kelamin,
suku/ras, sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit
sebelumnya, cara hidup, keturunan, status gizi, dan tingkat imunitas.
b. Nyamuk (host definitif)
Nyamuk Anopheles yang menghisap darah hanya nyamuk
Anopheles betina. Darah diperlukan untuk pertumbuhan telurnya.
Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. Beberapa
sifat dan perilaku sangat penting adalah :
1) Tempat hinggap atau istirahat
a) Eksofilik: nyamuk hinggap dan istirahat di luar rumah.
b) Endofilik: nyamuk hinggap dan istirahat di dalam rumah.
2) Tempat menggigit
a) Eksofagik: lebih suka menggigit di luar rumah.
b) Endofagik: lebih suka menggigit di dalam rumah.
3) Obyek yang digigit
a) Antrofofilik: lebih suka menggigit manusia.
b) Zoofilik: lebih suka menggigit binatang.
4) Faktor lain yang penting adalah :
a) Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor malaria.
b) Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit.
c) Frekuensi menggigit manusia.
d) Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur.

3. Environment (lingkungan)
Lingkungan adalah lingkungan manusia dan nyamuk berada.
Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk tidak sama tiap
jenis/spesies nyamuk. Nyamuk Anopheles aconitus cocok pada daerah
perbukitan dengan sawah non teknis berteras, saluran air yang banyak
ditumbuhi rumput yang menghambat aliran air. Nyamuk Anopheles
balabacensis cocok pada daerah perbukitan yang banyak terdapat hutan
dan perkebunan. Jenis nyamuk Anopheles maculatus dan Anopheles
balabacensis sangat cocok berkembang biak pada tempat genangan air
seperti bekas jejak kaki, bekas jejak roda kendaraan dan bekas lubang
galian. Lingkungan yang mendukung kehidupan dan perkembangbiakkan
nyamuk dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam yaitu:
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang berkaitan dengan umur dan perkembangbiakkan nyamuk
Anopheles antara lain :
1) Suhu udara
Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni
atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu makin pendek masa inkubasi
ekstrinsik, dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi
ekstrinsik.
2) Kelembaban Udara
Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk.
Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit,
istirahat dan lain-lain dari nyamuk.
3) Hujan
Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva
nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis
hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat
perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan
berkembangbiaknya Anopheles.
4) Angin
Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan
saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah salah satu faktor
yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk. Jarak terbang
nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin.
5) Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-
beda. Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh. Sebaliknya Anopheles
hyrcanus lebih menyukai tempat yang terbuka. Anopheles barbirostris dapat
hidup baik di tempat yang teduh maupun tempat yang terang.
6) Arus air
Anopheles barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis
atau mengalir sedikit. Anopheles minimus menyukai tempat perindukan yang
aliran airnya cukup deras dan Anopheles letifer di tempat yang airnya tergenang.
b. Lingkungan Kimiawi
Lingkungan kimiawi sampai saat ini baru diketahui pengaruhnya adalah
kadar garam tempat perindukan, misalnya Anopheles sundaicus tumbuh pada air
payau dengan kadar garam 1,2- 2% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar
garam 4%.
c. Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan
berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva
nyamuk Anopheles karena dapat menghalangi sinar masuk atau
melindungi dari serangan makhluk hidup yang lain. Adanya berbagai jenis ikan
pemakan larva seperti ikan kepala timah, ikan gabus, ikan
nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk.
d. Lingkungan sosial budaya
Faktor ini besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor
lingkungan lain. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut
malam dimana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu,
pemasangan kawat kasa pada ventilasi, jendela yang tidak terbuka
sampai senja, dinding rumah yang rapat dan adanya langit-langit
rumah serta penggunaan zat penolak nyamuk yang intensitasnya
berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat, akan
mempengaruhi angka kesakitan malaria.

13. Jelaskan tanda dan gejala malaria


Parasit malaria memerlukan dua macam siklus kehidupan untuk
kelangsungan hidupnya, yaitu siklus hidup dalam tubuh manusia terjadi
pertumbuhan bentuk aseksual dan siklus hidup dalam tubuh nyamuk
Anopheles terjadi fase reproduksi seksual. Gejala klinis malaria biasanya terdiri
dari 3 stadium yang berurutan yaitu stadium dingin,
stadium demam, dan stadium berkeringat.
a. Stadium dingin (cold stage)
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat
dingin. Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutupi tubuhnya dengan
segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah,
bibir dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, penderita
mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini
berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
b. Stadium demam ( hot stage)
Stadium ini penderita merasa kepanasan. Muka merah, kulit
kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala, mual serta
muntah seringkali terjadi. Nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita
menjadi sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 41C atau
lebih. Stadium ini berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan
karena pecahnya sizon darah yang telah matang dan masuknya merosoit
darah ke dalam aliran darah.
c. Stadium berkeringat (sweating stage)
Stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai-sampai
tempat tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat,
kadang-kadang sampai di bawah normal. Penderita dapat tidur dengan
nyenyak, badan terasa lemah setelah bangun. Stadium ini berlangsung 2-4
jam.
Gejala-gejala tersebut tidak selalu ditemukan pada setiap penderita,
dan ini tergantung pada spesies parasit, umur, dan tingkat imunitas
penderita.

14. Jelaskan patogenesis dan patofisiologi malaria


Ada dua perubahan yang mendasar terjadi pada malaria falciparum:
1) Perubahan vaskuler
Hancurnya sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria secara
berurutan diikuti oleh respons humoral dan seluler. Respon seluler merangsang
proses fagositosis terhadap sel-sel darah merah yang mengandung parasit,pigmen
dan sisa-sisa yang rusak oleh sel-sel histiosit.sel-sel makrofag tetap dalam system
retikuluendotel, khususnya dalam limpa, sehingga limpa membengkak.
Hemoglobin bebas yang tidak diubah menjadi hematin atau hemazoin
(pigmen malaria) dengan segera diubah menjadi bilirubin lalu diambil oleh hati
untuk ditambah ke kantong empedu. Pada malaria falciparum penghancuran
eritrosit lebih banyak.
2) Anoksia atau hipoksia jaringan
Anoksia pada jaringan terjadi karena jumlah eritrosit menurun trombosit
pada kapiler pembuluh darah dan volume darah yang berkurang karena
permeabilitas pembuluh darah meningkat terhadap cairan dan protein disebabkan
oleh kerusakan edotel. Gangguan vaskuler yang parah terlihat jelas pada
malaria falciparum dengan tersumbatnya pembuluh kapiler karena
mengumpulkan sel-sel eritrosit yang infeksi sel fagosit, plasma yang mengental
dank arena aliran darah yang menjadi lambat.
Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1). Infeksi
plasmodium Falciparum memiliki laju multiplikasi yang lebih tinggi yang juga
secara konal mengekspresikan varian antigen pada permukaan eritrosit yang
terinfeksi (pf-EMP-1). Pf-EMP-1 berikatan dengan ligan pada permukaan sel-sel
endotel dan memediasi keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena
postcapillary. Kedua karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk
menghindar dari sistem imun host, yang menyebabkan terjadinya parasitemia
yang tinggi dengan infeksi berulang yang berkontribusi terhadap keadaaan kronis
dari penyakit ini. Pada malaria P. vivax dan P. ovale, parasitemia yang tinggi
jarang terjadi karena invasi terhadap eritrosit terbatas pada retikulosit. Akan tetapi,
P. vivax kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit yang berat termasuk anemia
melalui hemolisis berat).

Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria


Spektrum gejala klinis dan tingkat keparahan P. falciparum cukup luas.
Pada daerah endemic, banyak infeksi pada anak-anak dan orang dewasa yang
semi-imun dan imun muncul karena penyakit febrile yang tidak sempurna. Pada
sebagian besar penyakit berat, individu non-imun dapat memiliki sejumlah
sindrom termasuk anemia, koma, distress pernapasan, dan hipoglikemia, serta
memiliki frekuensi bakterimia yang tinggi. Banyak anak yang menderita anemia
ringan, sedang, dan bahkan berat tanpa sindrom penyakit berat yang lain. Akan
tetapi, anemia berat dapat diikuti oleh sindrom penyakit berat yang lain. Sebagai
contoh, anak yang menderita anemia dapat juga memunculkan gejala malaise,
kelelahan, dyspnoea, atau distress pernapasan karena metabolic acidosis
supervenes.
Distribusi umur pada sindrom penyakit berat ini cukup menarik, tapi
sangat sedikit dipahami. Anak yang lahir di daerah endemic malaria cukup besar
terlindungi dari malaria berat pada 6 bulan pertama kehidupan melalui transfer
pasif immunoglobulin ibu dan haemoglobin semasa janin. Penampakan penyakit
berubah dari anemia berat pada anak usia 1 sampai 3 tahun di daerah transmisi
tinggi menjadi malaria cerebral pada orang yang lebih tua di daerah transmisi
rendah. Seiring penurunan intensitas transmisi, malaria berat lebih sering
ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua.
Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan
normochromic, dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun
microcytosis dan hypocromia dapat muncul disebabkan karena sifat talasemia
alpha dan beta dengan frekuensi sangat tinggi dan/atau defisiensi besi pada daerah
endemic malaria perbedaan yang jelas pada patofisiologi anemia dalam berbagai
kondisi klinis, usia dan area geografis hanya sedikit dipahami dan tentunya
memerlukan lebih banyak penelitian lagi. Bentuk anemia yang kurang umum pada
malaria aalah blackwater fever yang ditandai dengan secara tibab-tiba
munculnya kemoglobin pada urin yang terkait dengan penggunaan kina yang
tidak beraturan.
Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi dan komplks:
infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau malaria cerebral,
distress pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi kronis, infeksi berulang dapat
menyebabkan anemia berat. Di samping itu, kemungkinan ada pula background
Hb normal atau rendah. Dengan demikian, pemahaman mengenai proses
patofisiologi utamanya telah dikaitkan dengan konteks klinis yang berbeda-beda.
A. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria
Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia dapat
mencakup satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1) penghilangan
dan / atau penghancuran sel darah merah yang terinfeksi, (2) penghilangan Sel
darah merah yang tidak terinfeksi, (3) penekanan erythropoietic dan
dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah terlibat dalam anemia malaria
pada manusia.
B.1. Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi
Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit yang terinfeksi
untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan makrofag. Jalur fagositik
untuk manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel
Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada manusia
dan tikus

Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk hilangnya
eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan tetapi, hilangnya eritrosit
terinfeksi pada manusia dengan parasitemia kurang dari 1% nampaknya tidak
memberikan dampak yang signifikan pada derajat anemia. Oleh karena itu,
penghilangan ini, dapat membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada
individu yang menderita infeski akut, khususnya anak-anak dimana parasitemia
biasanya lebih besar dari 10%.
B.2. Kehilangan sel darah merah yang tidak terinfeksi
Selama infeksi malaria pada manusia, banyak sel darah merah yang tidak
terinfeksi hancur di limpa dan sangat mungkin di hati, dan kerusakan sel-sel darah
merah ini telah diidentifikasi sebagai penyumbang utama anemia pada malaria.
Model matematika dan observasi klinis menunjukkan bahwa sel darah merah yang
tidak terinfeksi 10 kali lebih banyak akan dihapus dari sirkulasi untuk setiap
eritrosit yang terinfeksi. Walaupun hanya sedikit pengukuran langsung sel darah
merah yang bertahan yang telah dilakukan untuk infeksi pada manusia,
pengurangan sebagian usia eritrosit normal dan meningkatkanya penghilangan
eritrosit karena panas telah dilakukan pada pasien malaria, dan konsisten dengan
observasi ini.
Kegiatan dan jumlah makrofag juga meningkat selama infeksi malaria
pada manusia, dan karena itu dapat menyebabkan peningkatan penghilangan sel
yang tidak terinfeksi. Peningkatan penghlangan eritrosit yang tidak terinfeksi ini
tidak hanya disebabkan aktivasi makrofag limpa tetapi juga untuk perubahan
ekstrinsik dan intrinsik pada sel darah merah yang meningkatkan keberadaannya
dan fagositosis. Pertama, sel darah merah yang tidak terinfeksi mengalami
penurunan deformabilitas yang menyebabkan peningkatan penghilangan sel darah
merah dalam limpa. Mekanisme yang bertanggung jawab atas hilangnya
deformabilitas ini belum sepenuhnya dipahami. Peningkatan oksidasi dalam
membrane eritrosit terinfeksi telah terbukti pada anak-anak dengan malaria
falciparum P berat, dan inflamasi yang sedang berlangsung yang terkait dengan
malaria akut (proinflamasi cytokines), atau efek langsung produk parasit telah
terbukti menyebabkan hilangnya pembentukan sel darah merah. Menariknya,
penurunan deformabilitas sel darah merah yang parah juga merupakan prediktor
yang kuat untuk kematian diukur pada awal masuk rumah sakit, baik pada orang
dewasa maupun anak-anak dengan malaria berat. Kedua, pengendapan
immunoglobulin dan komplemen pada sel darah merah yang tidak terinfeksi dapat
meningkatkan serapan dengan mediasi reseptor oleh makrofag (Tabel 1).
Produk parasit yang mungkin menjadi bagian dari imunoglobulin-antigen
kompleks diendapkan pada sel darah merah yang tidak terinfeksi termasuk protein
permukaan cincin P falciparum 2 (RSP-2). Protein ini, yang dieksprsesikan secara
singkat setelah invasi merozoit sel darah merah, memediasi adhesi iRBCs ke sel
endotel. RSP-2 juga disimpan pada sel darah merah yang tidak terinfeksi dan
opsonisasi dari bantalan RSP- 2- sel darah merah yang tidak terinfeksi ini
menyediakan mekanisme untuk menghilangkan sel darah merah yang tidak
terinfeksi. Memang tingginya tingkat antibodi yang memfasilitasi fagositosis yang
dimediasi pelengkap dari sel yang mengekspresikan RSP-2 ditemukan dalam
serum kekebalan tubuh dari orang dewasa dan anak-anak dengan anemia berat.
Antigen ini juga ada pada permukaan erythroblasts dalam sumsum tulang dari
pasien yang terinfeksi P falciparum, menunjukkan bahwa penghilangan atau
kerusakan beredar atau mengembangkan sel erythroid melalui RSP-2 dan anti-
RSP-2 dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan anemia malaria berat.
B.3. Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan yang
paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia yang menderita
malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun yang lalu di mana reticulocytopenia
diamati dalam infeksi malaria P vivax dan P falciparum yang diikuti oleh
retikulositosis setelah penghilangan parasit. Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah
reticulocyte yang rendah pada pasien dengan malaria di Thailand diikuti dengan
penekanan eritropoiesis.
Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia dengan
anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan cellularity tidak
berbeda secara signifikan untuk jumlah total erythroblasts yang diamati ketika
dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk
respon erythroid yang ditekan. Anak-anak yang mengalami anemia kronis
(parasitemia < 1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan dyserythropoiesis
yang lebih tinggi. Dyserythropoiesis atau secara morfologi dan / atau secara
fungsional produksi sel darah merah abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi
sitoplasma, stippling, fragmentasi, jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti,
dan multinuclearitas. Hal ini bertepatan dengan berkurangnya retikulositosis yang
mengindikasikan gangguan fungsional produksi sel darah merah dari sumsum
tulang (Gambar 2). Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit
kronis, sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik diamati di fase G2
pembelahan. Pengobatan pasien dengan obat antimalaria meningkatkan jumlah
retikulosit, yang menunjukkan bahwa P. falciparum sebagai penyebab
dyserythropoiesis dan eritropoiesis tidak efektif.

Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan


anemia malaria
Sebuah produk sampingan parasit dari pencernaan hemoglobin, hemozoin,
mungkin memiliki peran dalam terjadinya gangguan erythroid melalui pengaruh
pada fungsi monosit manusia. Hemozoin mengurangi aktivitas oksidatif yang
berlebihan pada manusia, mencegah up-regulasi penanda aktivasi, (Schwarzer,
1998) dan juga merangsang sekresi endoperoxides yang aktif secara biologis dari
monosit, seperti 15 (S)-hydroxyeicosatetraenoic (HETE) dan 4-hidroksi-nonenal
(4-HNE) melalui oksidasi lipid membran, yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan erythroid. Disfungsi Makrofag juga bisa mengganggu fungsi pulau
erythroblastic dimana makrofag mendukung diferensiasi terminal erythroblasts di
sumsum tulang. Hemozoin dan TNF-juga memiliki efek aditif pada eritropoiesis
in vitro, dan dalam studi klinis makrofag yang mengandung hemozoin dan
hemozoin plasma dikaitkan dengan anemia dan penekanan retikulosit. Selain itu,
bagian sumsum tulang dari anak-anak yang meninggal karena malaria berat
menunjukkan hubungan yang signifikan antara jumlah hemozoin (terletak di
prekursor erythroid dan makrofag) dan proporsi sel erythroid yang abnormal.
Temuan ini konsisten dengan efek penghambatan langsung hemozoin pada
eritropoiesis dan karena itu memerlukan penyelidikan lebih lanjut
Penekanan cytokine dalam erythropoiesis
Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang
menghasilkan peningkatan TNF dan IFN (Yap, 1994). TNF menghambat
semua tahapan eritropoiesis, dan IFN bekerja dengan TNF untuk menghambat
pertumbuhan dan diferensiasi erythroid dengan up-regulasi ekspresi TRAIL,
TWEAK, dan CD95L dalam perkembangan erythroblasts. Sedangkan penyakit
berat pada anak dikaitkan dengan peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan
anti-inflamasi, tingkat keparahan anemia nampaknya tergantung pada tingkat
TNF yang relatif terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang
potensial. Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang rendah dari
plasma IL-10/ TNF terkait dengan anemia malaria berat pada anak-anak.
Selanjutnya, sejumlah polimorfisme dalam TNF-promotor manusia
menunjukkan hubungan yang lebih besar dengan anemia dibandingkan dengan
malaria serebral. Oleh karena itu dikemukakan bahwa pada manusia IL-10 dapat
melindungi terhadap penekanan sumsum tulang dan aktivitas erythrophagocytic
yang diinduksi oleh TNF dan/atau mengurangi rangsangan proinflamasi lainnya.
Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan migrasi faktor
penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis anemia pada malaria.
Pada manusia, sekresi IL-12 dan IL-18 dari makrofag menginduksi produksi IFN
dari pembunuh alami (NK), sel B, dan sel T, sementara MIF diproduksi melalui
sel T dan makrofag yang diaktifkan dan menghambat aktivitas anti-inflamasi
glukokortikoid.
IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan non-lethal,
dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat menjadi stimulator
eritropoiesis (Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan peningkatan kadar yang
ditemukan selama infeksi, MIF telah terlihat menekan hematopoiesis.
Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih kurang jelas.
Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan IL-18 pada pasien dengan
anemia berat, yang lain melaporkan penurunan IL-12 pada pasien dengan malaria
berat (Hb <75 g / L [7,5 g / dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak sempurna
(Hb> 100 g / L [10 g / dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan pada
pasien dengan penyakit berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi.
Dalam 2 contoh terakhir di atas, anti-inflamasi sitokin seperti TGF atau IL-10 juga
berkurang pada pasien dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien dengan
penyakit akut dan peningkatan kadar IL-12 telah menandai peningkatan IL-10.
Karena sebagian besar pasien dengan anemia dalam studi terakhir memiliki rata-
rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL) adalah mungkin bahwa, peningkatan IL-12
berhubungan dengan penurunan tingkat keparahan anemia malaria berat.
Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama terjadi infeksi yang
mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi pada anemia malaria berat
adalah jangkar glycophosphatidylinositol (GPI) dari protein merozoit, MSP-1,
MSP-2, dan MSP-4. GPIs cenderung untuk memberikan kontribusi untuk anemia
malaria karena dapat menginduksi pelepasan TNF-dari makrofag manusia, yang
dapat berkontribusi terhadap patologi dari anemia malaria berat. Lebih khusus,
baru-baru ini telah diperlihatkan bahwa respon proinflamasi dari monosit manusia
adalah melalui interaksi dengan GPIs TLR2, dan untuk TLR4 yang lebih rendah.
Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin, juga dapat
lebih erat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan demikian terkait pula
dengan pelepasan proinflamasi sitokin. Pada manusia, pigmen sintetik
menginduksi ekspresi TNF, yang telah dikaitkan dengan kemampuan hemozoin
untuk menginduksi metaloproteinase MMP-9.
Erythropoietin.
Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan oksigen harus
merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo) pada pasien dengan anemia
malaria yang berat. Bukti klinis untuk peningkatan kadar Epo yang tepat pada
malaria agak kontradiktif. Studi pada orang dewasa dari Thailand dan Sudan telah
menunjukkan bahwa konsentrasi Epo, meskipun dinaikkan, kurang tepat untuk
derajat anemia. Namun, beberapa penelitian malaria pada anak-anak Afrika yang
menderita anemia malaria telah menunjukkan peningkatan konsentrasi Epo
dengan tepat. Bahkan, tingkat Epo pada anemia malaria lebih dari 3 kali lipat
lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak anemia tanpa malaria. (72) Ada
kemungkinan bahwa sintesis Epo yang tidak efektif atau tidak memadai
berkontribusi terhadap anemia malaria di beberapa tempat, kemungkinan
berhubungan dengan usia, asal etnis, atau presentasi pasien. Akan tetapi, pada
anak-anak Afrika dengan malaria, sintesis Epo memang meningkat lebih dari yang
diharapkan dan itu lebih mungkin bahwa berkurangnya respon terhadap Epo,
bukan tingkat Epo rendah yang tidak tepat, merupakan kontribusi yang lebih
signifikan untuk patologi.
Defisiensi Hematinin.
Meskipun kekurangan makanan tersebar luas di daerah endemik malaria,
pengaruh kadar folat dan zat besi yang kurang tidak dianggap sebagai kontributor
utama dyserythropoiesis selama terjadinya anemia berat pada malaria. Namun
disregulasi metabolisme besi dapat berkontribusi pada keparahan penyakit pada
anak-anak yang mengalami anemia malaria berat. Hepcidin hormon peptida telah
terlibat dalam mediasi anemia penyakit kronis atau inflamasi dengan mengurangi
cadangan besi untuk eritropoiesis

15. Jelaskan diagnosis malaria


Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang
asal penderita apakah dari daerah endemic malaria, riwayat bepergian ke daerah
malaria, riawayat pengobatan kuratip maupun preventip.
a. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit
malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan
hasil negative tidak mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi
tiga kali dan hasil negative maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Adapun
pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :
a. Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan
parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah
tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam
membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan
parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan
pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negative bila setelah diperiksa 200 lapang
pandangan dengan pembesaran 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung
parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per
200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit
dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
b. Tetesan preparat darah tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium,
bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan
sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit
yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit >
100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk
menentukan prognosa penderita malaria. Pengecatan dilakukan dengan pewarnaan
Giemsa, atau Leishmans, atau Fields dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa
yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang
mudah dengan hasil yang cukup baik.

b. Tes Antigen : p-f test


Yaitu mendeteksi antigen dari P.falciparum (Histidine Rich Protein II).
Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus,
sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks
sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan
mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan
cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.
Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan
apakah infeksi P.falciparum atau P.vivax. Sensitivitas sampai 95 % dan hasil
positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai
tes cepat (Rapid test).
c. Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai
tekhnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya
antibody specific terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat
minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibody baru
terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk
penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap
sebagai infeksi baru ; dan test > 1:20 dinyatakan positif . Metode-metode tes
serologi antara lain indirect haemagglutination test, immunoprecipitation
techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
d. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan tekhnologi amplifikasi
DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi.
Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan
hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk
pemeriksaan rutin.
16. Jelaskan penatalaksanaan malaria
Meskipun dapat berisiko kematian jika diobati dengan cepat dan tepat
maka malaria dapat sembuh sempurna. Pemilihan obat malaria yang tepat
tergantung kepada beberapa hal yaitu :
1.Parasit penyebab malaria
2.Berat ringannya gejala malaria
3.Ada kehamilan atau tidak
Obat antimalaria dapat dibagi dalam 9 golongan yaitu :
1.kuinin (kina)
2.mepakrin
3.klorokuin, amodiakuin
4.proguanil, klorproguanil
5.Primakuin
6.pirimetamin
7.sulfon dan sulfonamide
8.kuinolin methanol
9.antibiotic
Berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria
terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5
golongan yaitu :
1 Skizontisida jaringan primer yang dapat membunuh parasit stadium
praeritrositik dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi
digunakan sebagai obat profilaksis kausal. Obatnya adalah proguanil,
pirimetamin.
2 Skizontisida jaringan sekunder dapat membunuh parasit siklus eksoeritrositik P.
vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti
relaps, obatnya adala primakuin.
3 Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrositik, yang
berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik. Obat ini digunakan
untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat
membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak
efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau
amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4 Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk
gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk
keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida
untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5 Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah
untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat obat
yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.

17. Jelaskan komplikasi malaria


Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P.falciparum dan sering
disebut pernicious manifestasions. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala
sebeumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang
pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5-10 % pada seluruh penderita yang
dirawat di RS dan 20 % diantaranya merupakan kasus yang fatal.
Penderita malaria dengan kompikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat
yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau
lebih komplikasi sebagai berikut :
1. Malaria serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau
lebih dari 30 menit setelah serangan kejang ; derajat penurunan kesadaran
harus dilakukan penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale) ialah
dibawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous.
2. Acidemia/acidosis ; PH darah <>respiratory distress.
3. Anemia berat (Hb <> 10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau
miktositik harus dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi,
talasemia/hemoglobinopati lainnya.
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa
atau 12 ml/kg BB pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai
kreatinin > 3 mg/dl.
5. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (adult respiratory distress syndrome).
6. Hipoglikemi : gula darah <>
7. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <> 10C:8).
8. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna dan disertai
kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler
9. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan
karena obat anti malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD)
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh kapiler pada jaringan otak.

18. Jelaskan prognosis malaria


Infeksi Plasmodium falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun.
Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila
tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada
gizi buruk. WHO mengemukakan indicator prognosis buruk apabila:
Indikator klinis
o Umur 3 tahun atau kurang
o Koma yang berat
o Kejang berulang
o Refleks kornea negative
o Deserebrasi
o Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
o Terdapat pendarahan retina
Indikator Laboratorium
o Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
o Schizontemia dalam darah perifer
o Leukositosis
o PCV (packed cell volume) <15%

o Hemoglobin <5g/dL
o Glukosa darah <40 mg/dL
o Ureum >60 mg/dL
o Glukosa liquour serebrospinalis rendah
o Kreatinin>3,o mg/dL
o Lactat dalam liquor serebrospinalis meningkat
o SGOT meningkat >3 kali normal
o Antitrombin rendah
o Peningkatan kadar plasma 5-nukleotidase

19. Edukasi pada pasien pemicu


Pencegahan penyakit malaria secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kegiatan :
1. Pencegahan terhadap parasit yaitu dengan pengobatan profilaksis atau
pengobatan pencegahan.
a. Orang yang akan berpergian ke daerah-daerah endemis malaria harus minum
obat antimalaria sekurang-kurangnya seminggu sebelum keberangkatan sampai
empat minggu setelah orang tersebut meninggalkan daerah endemis malaria.
b. Wanita hamil yang akan berpergian ke daerah endemis malaria diperingatkan
tentang risiko yang mengancam kehamilannya. Sebelum berpergian, ibu hamil
disarankan untuk berkonsultasi ke klinik atau rumah sakit dan mendapatkan obat
antimalaria.
c. Bayi dan anak-anak berusia di bawah empat tahun dan hidup di daerah endemis
malaria harus mendapat obat anti malaria karena tingkat kematian bayi/anak
akibat infeksi malaria cukup tinggi.
2. Pencegahan terhadap vektor/gigitan nyamuk.
Daerah yang jumlah penderitanya sangat banyak, tindakan untuk
menghindari gigitan nyamuk sangat penting. Maka dari itu disarankan
untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah
terutama pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi
rumah, serta menggunakan kelambu saat tidur. Masyarakat juga dapat
memakai minyak anti nyamuk saat tidur dimalam hari untuk mencegah gigitan
nyamuk malaria, karena biasanya vektor malaria menggigit pada
malam hari.

20. Pencegahan dari kasus dipemicu


Pencegahan penyakit malaria secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kegiatan :
1. Pencegahan terhadap parasit yaitu dengan pengobatan profilaksis atau
pengobatan pencegahan.
a. Orang yang akan berpergian ke daerah-daerah endemis malaria harus minum
obat antimalaria sekurang-kurangnya seminggu sebelum keberangkatan sampai
empat minggu setelah orang tersebut meninggalkan daerah endemis malaria.
b. Wanita hamil yang akan berpergian ke daerah endemis malaria diperingatkan
tentang risiko yang mengancam kehamilannya. Sebelum berpergian, ibu hamil
disarankan untuk berkonsultasi ke klinik atau rumah sakit dan mendapatkan obat
antimalaria.
c. Bayi dan anak-anak berusia di bawah empat tahun dan hidup di daerah endemis
malaria harus mendapat obat anti malaria karena tingkat kematian bayi/anak
akibat infeksi malaria cukup tinggi.
2. Pencegahan terhadap vektor/gigitan nyamuk.
Daerah yang jumlah penderitanya sangat banyak, tindakan untuk
menghindari gigitan nyamuk sangat penting. Maka dari itu disarankan
untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah
terutama pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi
rumah, serta menggunakan kelambu saat tidur. Masyarakat juga dapat
memakai minyak anti nyamuk saat tidur dimalam hari untuk mencegah gigitan
nyamuk malaria, karena biasanya vektor malaria menggigit pada
malam hari.
21. Jelaskan tentang eritropoiesis
1. Definisi Eritropoesis
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
pada sumsum tulang.
2. Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum
tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal
sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat
meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan
monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai
dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan
banyak sel darah merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali
mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi
Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit
masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang
dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prabowo A. 2004. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta: Puspa


Swara.
2. Sutisna P. 2004. Malaria Secara Ringkas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
3. Rosdiana Safar, Hj. Parasitologi Kedokteran.Editor; Nunung Nurhayati;Cet. I.
Bandung; Yrama widya, 2009.
4. Nugroho, A., Tumewu, W.M. Siklus Plasmodium Malaria. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2003.
5. http://www.scribd.com/doc/74894788/Sk-Anemia-a7 diakses pada 1 Juni 2017
6. http://ripanimusyaffalab.blogspot.com/2010/02/sel-seri-eritropoesis.html
diakses pada 1 Juni 2017

Anda mungkin juga menyukai