b. Siklus hidup
Siklus hidup semua spesies parasit malaria pada manusia adalah sama
yaitu mengalami stadium-stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia
dan kembali ke nyamuk lagi. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang
berlangsung pada nyamuk anopheles dan siklus aseksual yang berlangsung pada
manusia meliputi fase eritrosit (erythrocytic schizohoni) dan fase yang
berlangsung didalam parenkim sel hepar (exo-eritthrocyitic schizogony).
1) Stadium hati
Stdium ini dimulai ketika nyamuk anopheles betina menggigit manusia
dan memasukan sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke dalam darah
manusia sewaktu mengisap darah, melalui aliran darah dalam beberapa menit
kemudian (1/2- 1 jam) sporozoit menginfeksi sel hati dan menjalani fase
eksoeritrositer primer.
2) Fase eksoeritrositer primer.
Sporozoit menjalani fase skizogoni yang menghasilkan merozoit
eksoeritrosit yang disebut kriptozoit, sebagian dari kriptozoit masuk ke dalam sel
darah merah dan membentuk tropozoit. Tropozoit yang ada di dalam sel darah
merah lambat laun membesar dan gerakannya banyak. Jika besarnya sudah
mencapai separuh sel darah maka gerakannya akan berkurang selanjutnya
membentuk sizon. Sizon bertambah besar dan mengisi sebagian besar dari sel
darah merah pecah dan bagian-bagian dari sizon berada dalam plasma darah. Tiap
bagian disebut merozoit.
Merozoit akan menyerang sel darah merah dan mengulangi fase
gametogoni yaitu fase untuk pembentukan sel kelamin jantan dan betina. Hasil
dari fase gametosit adalah mikrogametosit dan makrogametosit. Apabila darah
diisap oleh nyamuk maka semua bentuk parasit malaria akan masuk ke dalam
lambung nyamuk. Tropozoit dan sizon akan hancur sedangkan gametosit akan
meneruskan lingkaran sporogoni.
3) Lingkaran sporogoni
Sebelum menjalani lingkaran ini , mikrogametosit dan makrogametosit
berubah menjadi mikrogamet dan makrogamet (mikrogametosit mengeluarkan 8
mikrogamet/spermatozoa sedangkan makrogametosit mengeluarkan 1 telur).
Mikrogametosit melepaskan diri dari sel darah merah dan membulatkan diri dan
melepaskan diri dari badannya dan tiap-tiap badan baru ini disebut mikrogamet
yang berenang kian kemarin dalam lambung nyamuk mencari makrogamet
sehingga terbentuk zigot.
Zigot berubah menjadi ookinet yang berenang menuju dinding lambung
nyamuk dan beristrhat sebagai ookista di bawah membrane disebelah luar
lambung nyamuk sambil membulatkan diri . apabila sudah tua , ookista pecah dan
keluarlah sporozoit yang masuk ke dalam cairan rongga tubuh nyamuk menuju
kelenjar liur dan siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia.
NO stadium Karakteristik
plasmodium
falciparum Sediaan apus darah
Tetes tebal
1 Tropozoit :
Inti Inti bulat,berwarna Berukuran kecil,inti
merah kecil,dan padat. merah,padat/kompak.
Sitoplasma
Sitoplasma biru,halus Sitoplasma biru,dan
berbentuk cincin,koma halus.
tanda seru,dan tanda
Eritrosit tanya.
5. Klasifikasi anemia
Anemia adalah turunnya kadar sel darah merah atau hemoglobin dalam
darah. Adanya anemia akan menyebabkan transportasi oksigen terganggu
sehingga jaringan tubuh orang yang mengalami anemia akan mengalami
kekurangan oksigen, yang diperlukan untuk menghasilkan energi. Orang yang
menderita anemia akan merasa cepat lelah, lemas, pucat, gelisah dan terkadang
sesak.
Klafisikasi Anemia yang mengelompokkan berbagai macam anemia, secara garis
besar didasarkan pada penyebab dan mekanisme terjadinya anemia, yaitu:
Tubuh kehilangan terlalu banyak darah (seperti karena trauma, atau
menderita penyakit tertentu).
Tubuh memiliki masalah dalam memproduksi sel darah merah.
Sel darah merah memecah atau mati lebih cepat sementera belum
terbentuk sel sel darah merah yang baru sebagai penggantinya.
Berdasarkan klasifikasi diatas, macam-macam anemia (jenis anemia) yang paling
sering ditemui, yaitu :
Anemia Karena Produksi yang terganggu
Sel darah merah manusia diproduksi di sumsum tulang atas rangasangan
dari hormon eritropoitin yang dihasilkan ginjal. Untuk membentuk sel sel darah
merah dan hemoglobinnya dibutuhkan juga bahan baku (utama) berupa zat besi,
vitamin B12 dan Asam Folat, sehingga kekurangan zat zat tersebut akan
menyebabkan anemia.
Anemia Defisiensi Besi (anemia kekurangan zat besi)
Anemia defisiensi besi ini merupakan jenis anemia yang paling banyak.
Kekurangan zat besi akan menimbulkan anemia jenis ini, karena zat besi
diperlukan untuk membuat hemoglobin.
Pada anemia defisiensi besi sel darah merah ukurannya lebih kecil dari
normal (mikrositer) dan warnanya lebih pucat (hipokrom) sehingga disebut juga
anemia hipokrom mikrositer.
Kadar zat besi dalam tubuh bisa rendah karena kehilangan darah dan
asupan zat besi yang kurang. Pada wanita, sel darah merah dan besi hilang ketika
pendarahan menstruasi yang berlebihan dan ketika melahirkan. Anemia pada
kehamilan juga merupakan jenis anemia defisiensi besi ini, terutama apabila ibu
hamil kurang asupan zat besi.
Untuk mencegah dan mengobati anemia defisiensi besi, maka jangan
lewatkan menu harian dengan makanan yang kaya zat besi, seperti daging, daging
unggas, ikan, telur, produk susu, atau makanan yang diperkaya zat besi dan jika
diperlukan diberi tambahan suplemen zat besi (atas petunjuk dokter).
Anemia Defisiensi Vitamin B12 (Anemia pernisiosa)
Vitamin B12 diperlukan untuk membentuk sel darah merah dan menjaga
kenormalan fungsi saraf. Sehingga apabila seseorang mengalami anemia
pernisiosa ini biasanya disertai dengan gangguan saraf, seperti sering kesemutan,
rasa baal atau kebas pada tangan dan kaki, gangguan daya ingat, dan gangguan
penglihatan.
Tubuh bisa kekurangan vitamin B12 karena gangguan absorbsi (autoimun
dan gangguan usus) dan/atau karena kurangnya asupan makanan yang
mengandung vitamin B12.
Untuk mencegah dan mengobati anemia pernisiosa ini, jangan lewatkan
makanan yang kaya Vitamin B12 yaitu terdapat pada makanan produk hewani.
Bila diperlukan suplemen vitamin B (atas petunjuk dokter)
Anemia Defisiensi Asam Folat (anemia megaloblastik)
Anemia kekurangan asam folat disebut juga sebagai anemia
megaloblastik , karena apabila dilihat dibawah mikroskop sel-sel darah merah
ukurannya lebih besar dari normal.
Anemia Megaloblastik dapat terjadi jika Anda tidak cukup mengkonsumsi
asam folat atau jika Anda memiliki masalah penyerapan vitamin B9. Hal ini juga
dapat terjadi selama trimester ketiga kehamilan, ketika tubuh Anda membutuhkan
folat tambahan. Folat adalah vitamin B yang ditemukan dalam makanan seperti
sayuran berdaun hijau, buah-buahan, kacang kering dan kacang polong. Asam
folat juga ditemukan dalam roti yang diperkaya, pasta, dan sereal.
Anemia Aplastik
Terjadi ketika tubuh berhenti atau tidak cukup membuat sel darah baru.
Pada anemia aplastik ini tidak hanya kekurangan sel darah merah, tetapi juga sel
darah putih, dan trombosit. Rendahnya tingkat sel darah merah menyebabkan
anemia. Dengan rendahnya tingkat sel darah putih, tubuh kurang mampu melawan
infeksi. Dengan terlalu sedikitnya trombosit, darah tidak bisa membeku secara
normal.
Beberapa penyebab anemia aplastik, yaitu:
Pengobatan kanker (radiasi atau kemoterapi)
Paparan bahan kimia beracun (seperti yang digunakan dalam beberapa
insektisida, cat, dan pembersih rumah tangga)
Beberapa obat (contoh nya obat rheumatoid arthritis)
Penyakit autoimun (seperti penyakit lupus)
Infeksi virus
Penyakit keluarga yang diturunkan seperti pada anemia Fanconi
Anemia Pada Gagal Ginjal
Untuk membentuk sel darah merah tubuh memerlukan hormon
erotropoitin sebagai sinyal tubuh yang merangsang pembentukan eritrosit.
Hormon ini dihasilkan oleh ginjal, jadi apabila seseorang mengalami gangguan
pada ginjal dalam kurun waktu yang lama (gagal ginjal kronis) maka bisa
menimbulkan anemia.
Anemia karena sel darah merah Abnormal (mudah Rusak / mati)
Disebut juga anemia sel sabit karena memang Sel-sel darah merah
berbentuk seperti sabit yaitu memiliki tepi yang runcing dan tengahnya
melengkung seperti huruf C. Sel-sel darah merah yang berbentuk sabit ini lebih
rapuh sehingga berumur lebih pendek dibanding normal (usia normal sel darah
merah = 120 hari), sedangkan kecepatan produksi sel darah merah tidak dapat
mengimbanginya maka terjadilah anemia.
Sel-sel darah berbentuk sabit ini dapat berbahaya karena bisa terjebak
dalam pembuluh darah kecil, sehingga menghalangi aliran darah ke organ-organ
tubuh.
Talasemia (Thalasemia)
Orang dengan talasemia memproduksi hemoglobin dan sel darah merah
yang lebih sedikit dari biasanya. Hal ini menyebabkan anemia ringan atau berat.
Salah satu bentuk yang berat dari kondisi ini adalah Cooley Anemia.
Anemia karena kehilangan darah
Kehilangan darah yang banyak akan menurunkan jumlah darah dalam tubuh
sehingga akan terkena anemia.
Perdarahan yang banyak bisa terjadi karena:
Trauma = luka, atau kecelakaan.
Menstruasi yang berlebihan
Melahirkan dengan perdarahan hebat
Perdarahan tersembunyi, seperti perdarahan saluran cerna.
Klasifikasi Anemia akibat Gangguan Eritropoieses
Anemia jika diklasifikasikan berdasarkan akibat gangguan Eritropoieses yang
mereka miliki adalah:
Anemia defisiensi Besi: Tidak cukupnya suplai besi mengakibatkan defek
pada sintesis Hb, mengakibatkan timbulnya sel darah merah yang
hipokrom dan mikrositer.
Anemia Megaloblastik: Defisiensi folat atau vitamin B12 mengakibatkan
gangguan pada sintesis timidin dan defek pada replikasi DNA, efek yang
timbul adalah pembesaran prekursor sel darah (megaloblas) di sumsum
tulang, hematopoiesis yang tidak efektif, dan pansitopenia
Anemia Aplastik: Sumsum tulang gagal memproduksi sel darah akibat
hiposelularitas, hiposelularitas ini dapat terjadi akibat paparan racun,
radiasi, reaksi terhadap obat atau virus, dan defek pada perbaikan DNA
serta gen.
Anemia Mieloptisik: Anemia ini terjadi akibat penggantian sumsum tulang
oleh infiltrate sel-sel tumor, kelainan granuloma, yang menyebabkan
pelepasan eritroid pada tahap awal.
Klasifikasi anemia berdasarkan ukuran sel
Anemia jika diklasifikasikan berdasarkan ukuran sel yang mereka miliki adalah:
Anemia mikrositik: penyebab utamanya yaitu defisiensi besi dan talasemia
(gangguan Hb)
Anemia normositik: contohnya yaitu anemia akibat penyakit kronis seperti
gangguan ginjal.
Anemia makrositik: penyebab utama yaitu anemia pernisiosa, anemia
akibat konsumsi alcohol, dan anemia megaloblastik.
2. Host (Pejamu)
a. Manusia (host intermediate)
Penyakit malaria dapat menginfeksi setiap manusia, ada
beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi manusia sebagai
penjamu penyakit malaria antara lain: usia/umur, jenis kelamin,
suku/ras, sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit
sebelumnya, cara hidup, keturunan, status gizi, dan tingkat imunitas.
b. Nyamuk (host definitif)
Nyamuk Anopheles yang menghisap darah hanya nyamuk
Anopheles betina. Darah diperlukan untuk pertumbuhan telurnya.
Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria. Beberapa
sifat dan perilaku sangat penting adalah :
1) Tempat hinggap atau istirahat
a) Eksofilik: nyamuk hinggap dan istirahat di luar rumah.
b) Endofilik: nyamuk hinggap dan istirahat di dalam rumah.
2) Tempat menggigit
a) Eksofagik: lebih suka menggigit di luar rumah.
b) Endofagik: lebih suka menggigit di dalam rumah.
3) Obyek yang digigit
a) Antrofofilik: lebih suka menggigit manusia.
b) Zoofilik: lebih suka menggigit binatang.
4) Faktor lain yang penting adalah :
a) Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor malaria.
b) Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit.
c) Frekuensi menggigit manusia.
d) Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur.
3. Environment (lingkungan)
Lingkungan adalah lingkungan manusia dan nyamuk berada.
Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk tidak sama tiap
jenis/spesies nyamuk. Nyamuk Anopheles aconitus cocok pada daerah
perbukitan dengan sawah non teknis berteras, saluran air yang banyak
ditumbuhi rumput yang menghambat aliran air. Nyamuk Anopheles
balabacensis cocok pada daerah perbukitan yang banyak terdapat hutan
dan perkebunan. Jenis nyamuk Anopheles maculatus dan Anopheles
balabacensis sangat cocok berkembang biak pada tempat genangan air
seperti bekas jejak kaki, bekas jejak roda kendaraan dan bekas lubang
galian. Lingkungan yang mendukung kehidupan dan perkembangbiakkan
nyamuk dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam yaitu:
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang berkaitan dengan umur dan perkembangbiakkan nyamuk
Anopheles antara lain :
1) Suhu udara
Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni
atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu makin pendek masa inkubasi
ekstrinsik, dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi
ekstrinsik.
2) Kelembaban Udara
Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk.
Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit,
istirahat dan lain-lain dari nyamuk.
3) Hujan
Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva
nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis
hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat
perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan
berkembangbiaknya Anopheles.
4) Angin
Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan
saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah salah satu faktor
yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk. Jarak terbang
nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin.
5) Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-
beda. Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh. Sebaliknya Anopheles
hyrcanus lebih menyukai tempat yang terbuka. Anopheles barbirostris dapat
hidup baik di tempat yang teduh maupun tempat yang terang.
6) Arus air
Anopheles barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis
atau mengalir sedikit. Anopheles minimus menyukai tempat perindukan yang
aliran airnya cukup deras dan Anopheles letifer di tempat yang airnya tergenang.
b. Lingkungan Kimiawi
Lingkungan kimiawi sampai saat ini baru diketahui pengaruhnya adalah
kadar garam tempat perindukan, misalnya Anopheles sundaicus tumbuh pada air
payau dengan kadar garam 1,2- 2% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar
garam 4%.
c. Lingkungan Biologik
Lingkungan biologik tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan
berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva
nyamuk Anopheles karena dapat menghalangi sinar masuk atau
melindungi dari serangan makhluk hidup yang lain. Adanya berbagai jenis ikan
pemakan larva seperti ikan kepala timah, ikan gabus, ikan
nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk.
d. Lingkungan sosial budaya
Faktor ini besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor
lingkungan lain. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut
malam dimana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu,
pemasangan kawat kasa pada ventilasi, jendela yang tidak terbuka
sampai senja, dinding rumah yang rapat dan adanya langit-langit
rumah serta penggunaan zat penolak nyamuk yang intensitasnya
berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat, akan
mempengaruhi angka kesakitan malaria.
Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk hilangnya
eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan tetapi, hilangnya eritrosit
terinfeksi pada manusia dengan parasitemia kurang dari 1% nampaknya tidak
memberikan dampak yang signifikan pada derajat anemia. Oleh karena itu,
penghilangan ini, dapat membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada
individu yang menderita infeski akut, khususnya anak-anak dimana parasitemia
biasanya lebih besar dari 10%.
B.2. Kehilangan sel darah merah yang tidak terinfeksi
Selama infeksi malaria pada manusia, banyak sel darah merah yang tidak
terinfeksi hancur di limpa dan sangat mungkin di hati, dan kerusakan sel-sel darah
merah ini telah diidentifikasi sebagai penyumbang utama anemia pada malaria.
Model matematika dan observasi klinis menunjukkan bahwa sel darah merah yang
tidak terinfeksi 10 kali lebih banyak akan dihapus dari sirkulasi untuk setiap
eritrosit yang terinfeksi. Walaupun hanya sedikit pengukuran langsung sel darah
merah yang bertahan yang telah dilakukan untuk infeksi pada manusia,
pengurangan sebagian usia eritrosit normal dan meningkatkanya penghilangan
eritrosit karena panas telah dilakukan pada pasien malaria, dan konsisten dengan
observasi ini.
Kegiatan dan jumlah makrofag juga meningkat selama infeksi malaria
pada manusia, dan karena itu dapat menyebabkan peningkatan penghilangan sel
yang tidak terinfeksi. Peningkatan penghlangan eritrosit yang tidak terinfeksi ini
tidak hanya disebabkan aktivasi makrofag limpa tetapi juga untuk perubahan
ekstrinsik dan intrinsik pada sel darah merah yang meningkatkan keberadaannya
dan fagositosis. Pertama, sel darah merah yang tidak terinfeksi mengalami
penurunan deformabilitas yang menyebabkan peningkatan penghilangan sel darah
merah dalam limpa. Mekanisme yang bertanggung jawab atas hilangnya
deformabilitas ini belum sepenuhnya dipahami. Peningkatan oksidasi dalam
membrane eritrosit terinfeksi telah terbukti pada anak-anak dengan malaria
falciparum P berat, dan inflamasi yang sedang berlangsung yang terkait dengan
malaria akut (proinflamasi cytokines), atau efek langsung produk parasit telah
terbukti menyebabkan hilangnya pembentukan sel darah merah. Menariknya,
penurunan deformabilitas sel darah merah yang parah juga merupakan prediktor
yang kuat untuk kematian diukur pada awal masuk rumah sakit, baik pada orang
dewasa maupun anak-anak dengan malaria berat. Kedua, pengendapan
immunoglobulin dan komplemen pada sel darah merah yang tidak terinfeksi dapat
meningkatkan serapan dengan mediasi reseptor oleh makrofag (Tabel 1).
Produk parasit yang mungkin menjadi bagian dari imunoglobulin-antigen
kompleks diendapkan pada sel darah merah yang tidak terinfeksi termasuk protein
permukaan cincin P falciparum 2 (RSP-2). Protein ini, yang dieksprsesikan secara
singkat setelah invasi merozoit sel darah merah, memediasi adhesi iRBCs ke sel
endotel. RSP-2 juga disimpan pada sel darah merah yang tidak terinfeksi dan
opsonisasi dari bantalan RSP- 2- sel darah merah yang tidak terinfeksi ini
menyediakan mekanisme untuk menghilangkan sel darah merah yang tidak
terinfeksi. Memang tingginya tingkat antibodi yang memfasilitasi fagositosis yang
dimediasi pelengkap dari sel yang mengekspresikan RSP-2 ditemukan dalam
serum kekebalan tubuh dari orang dewasa dan anak-anak dengan anemia berat.
Antigen ini juga ada pada permukaan erythroblasts dalam sumsum tulang dari
pasien yang terinfeksi P falciparum, menunjukkan bahwa penghilangan atau
kerusakan beredar atau mengembangkan sel erythroid melalui RSP-2 dan anti-
RSP-2 dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan anemia malaria berat.
B.3. Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan yang
paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia yang menderita
malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun yang lalu di mana reticulocytopenia
diamati dalam infeksi malaria P vivax dan P falciparum yang diikuti oleh
retikulositosis setelah penghilangan parasit. Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah
reticulocyte yang rendah pada pasien dengan malaria di Thailand diikuti dengan
penekanan eritropoiesis.
Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia dengan
anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan cellularity tidak
berbeda secara signifikan untuk jumlah total erythroblasts yang diamati ketika
dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk
respon erythroid yang ditekan. Anak-anak yang mengalami anemia kronis
(parasitemia < 1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan dyserythropoiesis
yang lebih tinggi. Dyserythropoiesis atau secara morfologi dan / atau secara
fungsional produksi sel darah merah abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi
sitoplasma, stippling, fragmentasi, jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti,
dan multinuclearitas. Hal ini bertepatan dengan berkurangnya retikulositosis yang
mengindikasikan gangguan fungsional produksi sel darah merah dari sumsum
tulang (Gambar 2). Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit
kronis, sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik diamati di fase G2
pembelahan. Pengobatan pasien dengan obat antimalaria meningkatkan jumlah
retikulosit, yang menunjukkan bahwa P. falciparum sebagai penyebab
dyserythropoiesis dan eritropoiesis tidak efektif.
o Hemoglobin <5g/dL
o Glukosa darah <40 mg/dL
o Ureum >60 mg/dL
o Glukosa liquour serebrospinalis rendah
o Kreatinin>3,o mg/dL
o Lactat dalam liquor serebrospinalis meningkat
o SGOT meningkat >3 kali normal
o Antitrombin rendah
o Peningkatan kadar plasma 5-nukleotidase