Anda di halaman 1dari 10

Akhir-akhir ini istilah pemanasan global sangat populer, terutama di negara-negara maju.

Hal ini
sangat beralasan karena beberapa hasil riset menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan suhu bumi
yang terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca (terutama CO2 dan CH4). Hasil
riset juga menunjukkan adanya perubahan pola iklim, naiknya suhu permukaan laut dan kecenderungan
peningkatan paras laut (mean sea level rise). Dampak yang paling mengkhawatirkan dari meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca yaitu pemanasan global. Dua nampak yang sering dibicarakan karena
pengaruh pemanasan global, yaitu adanya peningkatan suhu udara atau permukaan bumi dan pencairan es di
daerah kutub (Herterich, 2001; Seiler dan Hahn, 2001; Hupfer, et al., 2001; Sterr, 2001a,b). Kedua dampak
yang ditimbulkan tersebut juga berpengaruh dalam lingkungan laut karena atmosfir dan lautan adalah dua
lingkungan yang saling berinteraksi dan mengontrol iklim di planet bumi.

Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi.
Dalam sejarahnya, planet bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar
tahun. Pada saat ini, bumi menghadapi pemanasan cepat, yang oleh para ilmuwan dianggap disebabkan
aktivitas manusia. Aaktivitas ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, minyak bumi, dan
gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke
atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca, menjadi insulator yang menahan lebih
banyak panas dari matahari yang dipantulkan dari bumi (Darsono, 1993). Pemanasan global, salah satu
perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai
wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global
sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan.
Mangrove

Sebagai ekosistem yang ada di daerah peralihan antara laut dan darat, mangrove merupakan tipe ekosistem
yang pertama terkena pengaruh berbagai dampak yang akan terjadi akibat perubahan iklim global (Kusmana,
2010). Mangrove memiliki peranan sebagai penyerap karbon, penahan abrasi, penyeimbang eksosistem di
wilayah pesisir dan peminimalisir ombak yang datang dari laut.

Ekosistem hutan mengalami ancaman kebakaran hutan yang terjadi akibat panjangnya musim kemarau. Jika
kebakaran hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak
sumber penghidupan masyarakat termasuk ekosistem hutan mangrove. Luas hutan mangrove berkurang dari
5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat
maraknya konversi mangrove menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001). Meski
mangrove mempunyai kemampuan bertahan terhadap kenaikan permukaan laut tingkat sedang, namun
hasil studi terbaru, diprediksikan hingga akhir abad ini, kelangsungan ekosistem mangrove terancam oleh
laju kenaikan permukaan laut. Hal ini menjadi peringatan bahwa sumber daya mangrove, yang nyata
berfungsi melindungi manusia akan dampak perubahan iklim (Sasmito, CIFOR). Dengan adanya kenaikan
permukaan laut tinggi, besar kemungkinan mangrove tepian hanya dapat mengikuti laju derap kenaikan air
laut sampai tahun 2055, dan mangrove cekungan di tahun 2070 arinya bahwa mangrove tepian lebih rentan
terhadap kenaikan permukaan laut dibandingkan mangrove cekungan (Sasmito). Hasil penelitian terbaru
menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon
dibanding hutan hujan tropis. Hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan
iklim. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan
dengan persoalan emisi gas rumah kaca. Respon mangrove terhadap naiknya muka air laut akan bervariasi
menurut lokasi dan akan bergantung pada laju kenaikan muka air laut dan ketersediaan sedimen sebagai
media tempat tumbuhnya mangrove (Woodroffe, 1999). Peningkatan muka air laut akan menyebabkan zona
mangrove pinggir laut (seaward mangrove) semakin lama dan dalam tergenang air pasang yang dapat
menyebabkan kematian mangrove. Faktor yang mengontrol sebaran hutan mangrove adalah tersedianya
habitat yang cocok untuk setiap jenis mangrove dan adanya pasang surut. Gerakan air tinggi, salinitas,
sedimentasi dan erosi merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari pasang surut air laut yang
memiliki peranan terhadap perkembangan hutan mangrove maupun perairan disekitarnya.

http://blog.cifor.org/40015/perubahan-iklim-mempengaruhi-fungsi-mangrove-menahan-
laju-kenaikan-permukaan-laut?fnl=id
Terumbu Karang

Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem matang di laut tropik, tentunya juga akan sangat terpengaruh
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh peristiwa pemanasan global. Pengaruh tersebut bermuara
pada terganggunya keseimbangan ekosistem. Anonim (2011) menyatakan bahwa dunia telah kehilangan
hampir 20% terumbu karang akibat emisi karbon dioksida. Laporan yang diliris Global Caral Reef Monitoring
Network ini merupakan upaya memberi tekanan atas peserta konferensi PBB mengenai iklim agar membuat
kemajuan dalam mengurangi kenaikan suhu global. Jika kecenderungan emisi karbon saat ini terus
berlangsung, banyak terumbu karang mungkin akan hilang dalam waktu 20 40 tahun mendatang dan akan
memiliki konsekuensi bahaya bagi sebanyak 500 juta orang yang bergantung atas terumbu karang untuk
memperoleh nafkah mereka. Jika tidak ada perubahan, kita akan menyaksikan berlipatnya karbon dioksida di
atmosfer dalam waktu kurang dari 50 tahun karena karbon ini diserap, samudera akan menjadi lebih asam,
yang secara serius merusak banyak biota laut dari terumbu karang hingga kumpulan plankton dan dari udang
besar hingga rumput laut. Saat ini perubahan iklim dipandang sebagai ancaman terbesar bagi terumbu
karang. Ancaman utama iklim, seperti naiknya suhu permukaan laut dan tingkatan keasaman air laut.
pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-3C. Dari sisi biologis,
kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di
perairan tropis. Dampak ini diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di
tahun 1997-1998. World Resource Institute tahun 2002 menyatakan suhu air laut yang meningkat 1-3C pada
saat itu telah memicu peristiwa pemutihan terumbu karang yang terbesar sepanjang sejarah. Hampir sekitar
18% terumbu karang di Asia Tenggara rusak dan hancur. Di Indonesia sendiri cakupannya mulai dari
perairan Sumatera, Jawa, Bali hingga Lombok. Terjadi kematian sebanyak 90-95% terumbu karang di wilayah
perairan Kepulauan Seribu dan 2 tahun setelah kejadian baru pulih 30%. El nino tahun itu juga telah
menyebabkan sekitar 90% terumbu karang di Kepulauan Mentawai mengalami kematian. Luas terumbu
karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam KLH, 2002) hingga 85.000
Km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik, diperkirakan
sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam
20-40 tahun. Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya
berkurangnya mata pencaharian nelayan kecil. Ada dua prediksi dampak dari peningkatan muka laut
terhadap ekosistem terumbu karang, yaitu: Pertama, jika peningkatan muka laut berada dalam batas
toleransi maka terumbu karang dapat bertahan atau tetap tumbuh dengan catatan bahwa sistem-sistem
terumbu karang tidak dirusak oleh manusia. Kedua, jika peningkatan muka laut melampaui batas toleransi
pertumbuhannya (40 cm per abad) maka akan banyak terumbu karang yang tenggelam. Dampak lainnya dari
pemanasan global yaitu meningkatknya kemasaman perairan akibat dari peningkatan konsentrasi CO2.
Fenomena ini berimplikasi kepada hewan karang dan hewan penghasil kapur lainnya, yaitu berupa rapuhnya
struktur rangka dan lambatnya pertumbuhan karang.
Lamun
Penyebab utama adalah meningkatnya suhu di beberapa habitat perairan dangkal. Peningkatan suhu
berpengaruh terhadap agihan/sebaran dan proses reproduksi lamun. Selain suhu, faktor lain yang
berpengaruh adalah peningkatan sedimentasi dan resuspensi sedimen akibat tingginya curah hujan dan
frekuensi banjir dari sungai.
Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan
metabolisme; serta faktor eksternal, seperti zat-zat hara dan tingkat kesuburan perairan. Suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan
penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat
mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Padang
lamun memiliki faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi serta tumbuh dan
berkembangnya. , faktor-faktor pembatas ekosistem padang lamun adalah: karbon (CO2 dan
HCO3- temperatur, salinitas, pergerakan air, dan nutrien. Kisaran temperatur optimal bagi
spesies lamun 28-30 kecepatan arus 0.5 m/detik.

Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan
lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan
hidup lamun. Walaupun padang lamun secara geografis tersebar luas yang diindikasikan oleh
adanya kisaran toleransi yang luas terhadap temperatur tapi pada kenyataannya spesies lamun di
daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperature. Pada kisaran
suhu 25 - 30C, fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga
respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas
yaitu 5-35C. pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Selain suhu, perubahan salinitas spesies lamun memiliki
kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Salah satu faktor yang menyebabkan
kerusakan ekosistem padang lamun adalah meningkatknya salinitas yang diakibatkan oleh berkurangnya
suplai air tawar dari sungai.
Seperti pada ekosistem daratan di wilayah pesisir, perubahan tata guna lahan telah
meningkatkan emisi CO . Pengeringan, perubahan ataupun perusakan ekosistem 2
pesisir untuk kegiatan yang lain dapat mengganggu fungsi penyimpanan karbon dan
xxii merubah ekosistem pesisir tersebut dari penyerap menjadi pelepas karbon

Pemanasan Global (Global Warming) yang membawa dampak seperti naiknya permukaan air laut,
perubahan pola pasang surut dan arus, radiasi sinar UV yang tinggi, peningkatan suhu air laut, serta
meningkatnya badai dan banjir merupakan ancaman tersebar terhadap keberadaan lamun saat ini.
Dampak Global Warming Terhadap Lamun :
Dampak Efek Terhadap Lamun Aksi Management
Pesisir terendam dan Habitat mangrove akan hilang Memelihara dan
dapat menyebabkan dan akan meningkatkan memulihkan kawasan
erosi pantai dan resuspensi sedimen dalam mangrove yang
hilangnya habitat kolom air yang dapat bertindak sebagai
mempengaruhi kualitas air untuk penyangga untuk
padang lamun di perairan sedimen dan limpasan
dangkal dan dalam nutrien

Proses erosi dan Erosi menyebabkan resuspensi Penyangga alami


hilangnya habitat dapat dan terkuburnya lamun di terhadap erosi pantai,
meningkatkan perairan dangkal, juga input meningkatkan
resuspensi sedimen nutrisi yang tinggi dapat pengelolaan daerah
Sea Level memicu blomming alga atau tangkapan aliran
Rise peningkatan penutupan epifit permukaan dan
pembuangan limbah

Kedalaman air yang Kemungkinan ketersediaan Mendorong iklim-


semakin dalam akan habitat bagi padang lamun, pintar pembangunan
membatasi ketersediaan membatasi rentang pesisir yang dapat
cahaya untuk padang pembangunan pesisir meminimalkan
lamun pada perairan dampak lingkungan
dangkal maupun dan mempertahankan
perairan dalam ketahanan pesisir

Pergerakan sedimen Erosi dapat menyebabkan Mengurangi habitat


(erosi dan resuspensi dan terbukurnya lamun yang dapat
pengendapan), lamun di perairan dangkal, juga meningkatkan
pergolakan air dan input nutrisi yang tinggi dapat kerentanan terhadap
gelombang badai memicu pencemaran nutrisi, proses erosi,
tutupan epifit, dll meningkatkan rencana
manajemen risiko
Peristiwa
Badai dan
Topan Banjir akan Fluktuasi salinitas dan input Meningkatkan proses
meningkatkan limpasan sedimen dan nutrisi pengelolaan daerah
dari daerah aliran tangkapan air dan
sungai dan lahan mengurangi
pertanian deforestasi untuk
mengurangi sedimen,
input nutrisi dan
limpasan pestisida

Tingkat pengeringan Spesies akan lebih cepat Mengurangi emisi


lebih tinggi dari udara mengering, stres tinggi dan bahan bakar fosil yang
panas, dan salinitas air potensi kematian lamun ;; bertanggung jawab
tinggi karena peningkatan respirasi akan atas pemanasan
Suhu Air penguapan lebih cepat, mengurangi pertumbuhan, global,, menjaga
Laut radiasi sinar matahari potensial photoinhibition ketahanan ekosistem
Meningkat yang lebih tinggi

Spesies akan Spesies menghilang di padang Meminimalkan


mengalami stres panas, lamun dangkal, lebih toleran, dampak manusia
hilangnya jasa spesies cepat tumbuh, potensi untuk mengurangi
ekosistem kompetisi dengan spesies invasif stres dan
meningkatkan
kapasitas lamun untuk
mengatasi perubahan
lingkungan,, kontrol
dan memantau spesies
invasif dan interaksi
dengan lamun

Komponen komponen yang memicu perubahan global (pemanasan global) dapat


mempengaruhi habitat lamun dibahas sebagai berikut :
1. Peningkatan CO2
Peningkatan CO2 pada batasan normal dapat meningkatkan produktivitas lamun (Green
dan Short, 2003), namun kenaikan secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan
nilai pH (pengasaman air laut) sehingga dapat mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan
lamun (Bjork et al, 2008).
2. Peningkatan Suhu
Peningkatan suhu akan berdampak terhadap pergeseran distribusi lamun, perubahan pola
reproduksi seksual, perubahan tingkat pertumbuhan dan metabolisme, dan perubahan
keseimbangan karbon (Short et al, 2001,. Short dan Neckles 1999). Suhu yang tinggi juga
dapat meningkatkan pertumbuhan alga dan epifit, yang tumbuh terlalu cepat lamun dan
dapat mengurangi ketersediaan sinar matahari bagi lamun yang butuhkan untuk bertahan
hidup. Tanggapan lamun terhadap meningkatnya suhu air akan tergantung pada toleransi
suhu setiap spesies yang berbeda-beda (Neckles dan Short, 1999). Zostera marina di sebelah
utara dan selatan pantai Atlantik dan Pasifik dapat tumbuh dan toleran dengan temperatur
yang tinggi dan rendah. Di Alaska pada daerah pasang-surut di tern ukan Zostera marina
yang memperlihatkan kenaikan fotosintesa pada temperatur 35C. Sedangkan di bawah
daerah pasang-surut, fotosintesa menurun pada 30C. Lebih lanjut Zieman (1975)
melaporkan bahwa fotosintesa pada lhalassia menurun jika dibawah atau di atas dari 28-
30C. Sedangkan pada penelitian Thqrhaug & Sterns (1972) pada temperatur yang tinggi,
Thalassia dapat berbunga tetapi tidak berbuah. Di samping itu akibat temperatur yang tinggi
akan mengakibatkan banyaknya daun yang hilang dan akan menaikkan temperatur sedimen
Kenaikan temperatur sedimen akan membuat tanaman mati (Wood & Zieman, 1969). Untuk
lamun tropis, fotosintesis menjadi rusak pada temperatur 40-45 C (Campbell et al. 2005).
Temperatur yang tinggi memiliki kemungkinan menyebabkan kematian skala besar
Amphibolis antarctica dan Zostera spp. di selatan Australia (Seddon et al. 2000).

4. Radiasi Sinar UV
Perubahan iklim global dapat membawa perubahan dalam radiasi. Di satu sisi, pola cuaca
yang berubah dapat menyebabkan lebih banyak awan untuk membentuk, sehingga mengurangi
radiasi photosynthetically aktif (PAR) dari gelombang cahaya tampak. Hal ini kemudian dapat
merugikan lamun. Apabila tren radiasi UV meningkat terus, maka lamun yang tumbuh di
perairan dangkal akan menderita efek yang merugikan. Respon dari lamun untuk radiasi UV-B
akan bervariasi menurut spesies (Short). Percobaan laboratorium menunjukkan bahwa Zostera
capricorni, Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium toleran terhadap radiasi UV dan
mampu beradaptasi dengan UV yang meningkat yaitu dengan memproduksi pigmen (Dawson
dan Dennison 1996). Penelitian lain menunjukkan bahwa fotosintesis Halodule wrightii memiliki
toleransi yang tinggi terhadap UV-B, Syringodium filiforme memiliki toleransi moderat,
sedangkan Halophila engelmanni, Halophila ovalis dan Halodule uninervis memiliki toleransi
yang sangat rendah (Dawson dan Dennison 1996, Pendek dan Neckles 1999). Hader (1993) juga
mengamati beberapa bukti bahwa pertumbuhan epifit pada lamun dapat melindungi lamun dari
UV-B

5. Peristiwa Badai
Badai di wilayah pesisir dapat menyebabkan pergerakan sedimen yang besar dan
memiliki efek buruk pada padang lamun seperti tercabutnya atau terbenamnya lamun (Short et
al. 2006). Peningkatan curah hujan dan debit dari sungai dapat meningkatkan luapan sedimen,
yang juga dapat mengakibatkan penurunan tingkat cahaya atau mencekik ekosistem lamun.
Sekitar 1.000 km2 lamun di Queensland, Australia, yang hilang oleh gangguan pencabutan dan /
atau sedimen setelah dua banjir besar dan satu topan dalam waktu 3 minggu (Preen et al. 1995).

6. Peristiwa Banjir
Perubahan ekstrim dari pola cuaca juga dapat menyebabkan banjir, yang menyebabkan
peningkatan kekeruhan perairan dan laju sedimentasi. Misalnya, kekayaan jenis lamun dan
biomassa daun di Filipina dan Thailand menurun tajam bila menerima masukan lumpur dan
sedimen tanah liat lebih dari 15% (Terrados et al. 1998). Peristiwa banjir yang ekstrim di Afrika
Timur, telah terbukti menyebabkan kerugian dalam skala besar habitat lamun (Bandeira dan Gell
2003). Demikian pula, lamun di Queensland, Australia, yang hilang dalam peristiwa banjir, dan
butuh waktu tiga tahun bagi lamun untuk pulih (Campbell dan McKenzie 2004). Hujan lebat
juga dapat mempengaruhi lamun dengan mengencerkan air laut ke salinitas rendah. Dampak dari
peristiwa hujan ekstrem juga menyebabkan proses pemulihan yang lambat dari Thalassia
testudinum di Venezuela (Chollett et al. 2007). Sedimen hipoksia dan anoksia: Anoxia
merupakan gangguan besar di perairan pesisir yang dapat menyebabkan kematian dalam skala
besar terhadap kehidupan bentik (Kemp et al 1992, Viaroli et al 2001), lamun lebih sensitif
terhadap sedimen yang anoxia, misalnya makroalga pertumbuhannya tergantung pada sistem
akar yang sehat yang luas dalam sedimen. Kebanyakan sedimen alami bersifat hipoksia, dan
padang lamun memiliki kemampuan untuk mentransfer O2 dari tunas ke akar sehingga melawan
efek negatif hipoksia. Di sisi lain, gangguan akibat badai dan banjir kemungkinan akan
mengurangi cahaya untuk fotosintesis dan karenanya produksi O2 berkurang dan distribusi ke
akar semakin berkurang. Kasus berkepanjangan anoxia seringkali mengarah pada pembentukan
sulfida dalam sedimen, yang beracun bagi lamun (misalnya Borum et al. 2005) dan dapat
menyebabkan kematian tanaman.

7. Kenaikan permukaan laut dan perubahan arus


Pemanasan global di masa depan diperkirakan akan menaikan muka air laut 1-5 m pada
tahun 2100 (Overpeck et al 2006, Hansen. 2007, Rahmstorf 2007). Kenaikan permukaan laut
dapat mempengaruhi lamun akibat peningkatan kedalaman air (sehingga mengurangi cahaya).
Perubahan arus dapat menyebabkan erosi dan peningkatan kekeruhan air dan intrusi air laut
yang lebih tinggi ke darat atau ke muara sungai (et al Short 2001). Perubahan pola arus dapat
mengikis padang lamun atau membuat daerah baru bagi kolonisasi lamun. Di lain sisi,
peningkatan kecepatan arus dalam batas tertentu dapat menyebabkan peningkatan produktivitas
tercermin yang dalam biomassa daun, lebar daun, dan tinggi tajuk (Conover 1968; Fonseca dan
Kenworthy 1987, Short 1987).
Berdasarkan uraian diatas, umumnya lamun sangat rentan terhadap dampak pemanasan
global seperti peningkatan suhu laut, kenaikan muka laut dan peningkatan frekuensi dan
intensitas badai dan banjir.

DISTRIBUSI SPASIAL DAN PENGELOLAAN LAMUN


(SEAGRASS) DI TELUK BAKAU, KEPULAUAN RIAU
PRESLI NAINGGOLAN
C24062080
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

EKOSISTEM LAMUN DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN KEI


BESAR SELATAN, KABUPATEN MALUKU TENGGARA, PROPINSI
MALUKU, INDONESIA

Marsya J. Rugebregt

UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual LIPI Maluku Tenggara


Jl. Merdeka Watdek Maluku Tenggara 97611
pos-el: marsya_rugebregt@yahoo.co.id
Widyariset, Vol. 1 No. 1, Desember 2015: 7986
Rugebregt. 2015. Ekosistem Lamun di Kawasan Pesisir Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi
Maluku, Indonesia. E-Journal: Widyariset, Vol 1. No. 1.

PERUBAHAN IKLIM: KAITANNYA DENGAN TERUMBU KARANG


Chair Rani1
1Jurusan Ilmu Kelautan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan, Km 10 Tamalanrea, Makassar-90245
Tel.:0411-587000; e-mail: erickch_rani@yahoo.com
Rani, Chair. Perubahan Iklim: Kaitannya dengan Terumbu Karang. Universitas Hasanuddin Fakultas Kelautan dan Perikanan.

Kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka air laut (Studi Kasus: Surabaya dan daerahh sekitarnya)
Sayidah Sulma
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Juli 2012

Peranan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim


Author : Hery Purnobasuki, Drs., M.Si., Ph.D.
Abstract :
Hery Purnobasuki
Dept. Biologi FST Universitas Airlangga

PROSIDING SEMINAR NASIONAL RAJA AMPAT WAISAI 12 13 AGUSTUS 2014 RAJA AMPAT
AND FUTURE OF HUMANITY (AS A WORLD HERITAGE) KAJIAN MANFAAT, GIZI, DAN NUTRISI

PROGRAMSTUDIMAGISTERBIOLOGIUNIVERSITASKRISTENSATYAWA
C A N A D I N A S P E N D I D I K A N K A B U P A T E N R A J A A M P A T B - 32

PERANAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MENGURANGI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL


(GLOBAL WARMING)
Abdul Manaf Wihel1*, Soenarto Notosudarmo1, Martanto Martosupono1
1Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana
2Fakultas Sains & Matematika, Program Studi Fisika, Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro No. 52 60, Salatiga 50711
Telp.: +62 (0)298-321212, Fax.: +62 (0)298-321443
*E-mail: manafwihel@yahoo.co.id

Wihel, dkk. 2014. Peranan Ekosistem Mangrove Dalam Mengurangi Dampak Pemanasan Global (Global
Warming). Prosiding Seminar Nasional Raja Ampat: Salatiga, Universitas Kristen Satya Wacana.

Anda mungkin juga menyukai