Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

Penanganan Morbili pada Anak

Oleh :
IWA FATHI SYAHDIA
1102012133

Dokter Pembimbing:
dr. , SpA

KEPANITERAAN KLINIK
STASE ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan
kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul Penanganan Morbili pada
Anak ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Anak di RSUD Arjawinangun. Penulis menyadari
bahwa terselesaikannya referat ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Danny Kurnia, Sp.A, selaku dokter pembimbing penulisan referat.

2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Anak RSUD Arjawinangun

3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Arjawinangun

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih
baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.

Arjawinangun, Mei 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...........................................................................................................................1

Daftar Isi ....................................................................................................................................2

BAB I. Pendahuluan ..................................................................................................................3

BAB II. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................................4

MORBILI...................... 4

Definisi ..............................................................................................................4

Epidemiologi .................................................................................................4

Etiologi...............................................................................................................5

Patofisiologi...................................................................................................7

Patogenesis.........................................................................................................7

Manifestasi Klinis...............................................................................................9

Diagnosis..........................................................................10

Diagnosis Banding............................................................................................12

Tatalaksana...16

Komplikasi...18

Pencegahan...20

Imunisasi Campak21

Prognosis..........25

Simpulan ..................................................................................................................................26

Daftar Pustaka ..........................................................................................................................27

2
BAB I
PENDAHULUAN
Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3 stadium yaitu
stadium inkubasi, stadium prodromal, stadium erupsi. Transmisi campak terjadi melalui udara,
kontak langsung maupun melalui droplet dari penderita saat gejala yang ada minimal bahkan
tidak bergejala. (Soedarmo, 2012)
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari
atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia
dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173
kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-sekolah
dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur
5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383 kasus). Manifestasi klinik
yang paling sering muncul adalah muncul ruam ruam yang makin lama makan meluas hingga
ke seluruh tubuh. Pengobatan yang sering dilakukan adalah pemberian Vitamin A sesuai umur
masing masing penderita. Prognosis untuk morbili sendiri biasanya baik karena penyebab
utamanya adalah virus, dimana biasanya self limiting disease. Prognosis menjadi buruk bila
disertai dengan komplikasi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa Latin),
yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam bahasa Islandia
dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit
infeksi virus akut, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, inflamasi mukosa dan saluran
napas, yang diikuti erupsi makulopapular berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi
kulit. Campak adalah penyakit menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium
inkubasi, stadium prodormal (kataral), dan stadium erupsi yang bermanifestasi dengan demam,
konjungtivitis dan bercak koplik. Umur terbanyak penderita campak adalah < 12 bulan, diikuti
kelompok umur 1-4 dan 5-14 tahun. Nama lain penyakit ini adalah morbili, measles, dan
rubeola. (Nelson, 2012)

Epidemiologi
Lebih dari 20 juta penularan campak terjadi setiap tahunnya, dengan 139.300 kematian
pada tahun 2010. Sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan cakupan imunisasi
dengan vaksinasi virus campak yang dilemahkan, jadwal vaksinasi sebanyak dua kali, dan
tindakan preventif terhadap campak telah menurunkan angka kematian global akibat campak
hingga 74% dari 535.000 kematian pada tahun 2000. Mayoritas dari jumlah kematian karena
campak ini terjadi di Afrika dan Asia akibat terhambatnya program imunisasi dan kurangnya
pelayanan kesehatan yang memadai. (Haralambieva, Pankratz, dkk, 2013)
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam
urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Studi kasus campak yang dirawat inap di rumah sakit selama kurun waktu
lima tahun, memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret dan mencapai puncak pada
bulan Mei, Agustus, September dan Oktober.
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi campak di Indonesia timbul secara tidak
teratur. Di daerah perkotaan epidemi campak terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada
kelompok anak yang rentan terhadap campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak
mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak

4
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai ialah bronkopneumonia (75,2%),
gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%) dan lain-lain (7,9%). (Soedarmo, 2012)

Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari
atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. Berdasarkan
laporan DirJen PP&PL DepKes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia
dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173
kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-sekolah
dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur
5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383 kasus). (Halim, 2016)

Etiologi
Virus campak berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa
tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34 jam
pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu disimpan
dalam temperature 35C, dan beberapa hari pada suhu 0C. Virus tidak aktif pada pH rendah.
(Soedarmo,2012)

5
Campak disebabkan oleh Morbilivirus, salah satu virus RNA dari famili Paramyxoviridae.
1. Bentuk Virus
Virus berbentuk bulat dengan tepi kasar dan bergaris tengah 140 nm dan dibungkus oleh
selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang
bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA), merupakan
struktur heliks nukleoprotein dari myxovirus. Selubung luar sering menunjukkan tonjolan
pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai hemaglutinin
(Soedarmo,2012)

2. Ketahanan Virus
Pada temperatur kamar virus campak kehilangan 60% sifat infeksifitasnya selama 3-5 hari,
pada 37C waktu paruh umurnya 2 jam, pada 56C hanya satu jam. Pada media protein ia dapat
hidup dengan suhu -70C selama 5,5 tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu
4-6C dapat hidup selama 5 bulan. Virus tidak aktif pada PH asam. Oleh karena selubung
luarnya terdiri dari lemak maka ia termasuk mikroorganisme yang bersifat ether labile, pada
suhu kamar dapat mati dalam 20% ether selama 10 menit dan 50% aseton dalam 30 menit.
Dalam 1/4000 formalin menjadi tidak efektif selama 5 hari, tetapi tidak kehilangan
antigenitasnya. Tripsin mempercepat hilangnya potensi antigenik (Soedarmo,2012)

3. Struktur Antigenik
Infeksi dengan virus campak merangsang pembetukkan neutralizing antibody, complement
fixing antibody, dan haemagglutinine inhibition antibody. Imunoglobulin kelas IgM dan IgG
muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi sekitar
21 hari. Kemudian IgM menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan
jumlahnya terukur, sehingga IgG menunjukkan bahwa pernah terkena infeksi walaupun sudah
lama. Antibodi protektif dapat terbentuk dengan penyuntikkan antigen hemagglutinin murni.
(Soedarmo,2012)
Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang
kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan
protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian
protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) yang merupakan struktur helix nucleoprotein
dari myxovirus. Pada selubung luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang
berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin. (Soedarmo,2012)

6
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila berada
di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan kehilangan
60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37C waktu paruh usianya 2 jam,
sedangkan pada suhu 56C hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu berahan dalam
keadaan dingin, pada suhu -70C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5 tahun,
sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6C, dapat hidup selama 5 bulan. Tetapi bila
tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan
mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet. (Soedarmo,2012)

Patofisiologi
Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung
atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan berlangsung mulai dari hari
pertama sebelum munculnya gejala prodormal biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam,
minimal hari kedua setelah timbulnya ruam. Virus campak menempel dan berkembang biak
pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar
limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem
retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant
cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronkial paru.
Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan
penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3C : coryza, cough
and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin
lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan
sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga
pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik ensefalitis. Setelah masa konvelesen,
hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi
deskuamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat
perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit. (Swart, 2007; Sabella, 2010)

Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
sejak 1-2 hari setelah timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Infeksi virus
campak pertama kali terjadi pada epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi di daerah nasofaring
ini akan diikuti dengan penyebaran virus campak ke jaringan limfatik regional yang

7
menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi replikasi ekstensif dari
virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang lebih
jauh. Replikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi. (Soedarmo, 2012)
Setelah lima hingga tujuh hari setelah infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif
dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara generalisata. Kulit, konjungtiva, dan
saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya seperti kulit,
kandung kemih, dan usus.dapat terinfeksi pula. (Soedarmo, 2012)
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus dalam
jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis dari
system saluran nafas diawali dengan dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva
yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada system
saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit
berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat
tanda pasti untuk menegakkan diagnosis. (Soedarmo, 2012)
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed hypersensitivity
terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal infeksi dan
pada saat itu antibody humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus
yang mengalami defisit sel-T. (Soedarmo, 2012)
Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan
organ lain mencapai puncaknya dan kemudian titer virus akan menurun menurun secara cepat
dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama proses infeksi, virus campak akan bereplikasi di dalam
sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag. (Cherry JD, Feign Rd et al, 2008)
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan
lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada
kasus campak. (Swart D, 2007)

8
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran
nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
Tabel 1. Patogenesis campak tanpa penyulit. (Soedarmo, 2012)

Manifestasi Klinis
Sekitar 10 hari setelah infeksi akan muncul demam yang biasanya tinggi, diikuti dengan
koriza/pilek, batuk dan peradangan pada mata. Gejala penyakit campak dikategorikan dalam
tiga stadium:
Stadium inkubasi
Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 8-12 hari. Walaupun pada masa ini terjadi
viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.
Stadium prodromal
Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang
berlangsung selama 2 hingga 5 hari. Gejala utama yang muncul adalah demam yang terus
meningkat hingga mencapai puncaknya suhu 39,4 - 40,6C pada hari ke 4 atau 5 yaitu pada
saat ruam muncul. Selain itu biasanya terdapat batuk, pilek dan konjungtivitis. Inflamasi
konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis
melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis pada
stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah
terkena radang

9
Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari ke-
101 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola
tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada mukosa
bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari rongga
mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis. Muncul 1-
2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam
kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis
dan penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.
Stadium exantem
Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada saat
stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat suhu
berkisar 39,5C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di
lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi
makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada
24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha
dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki,
ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan
munculnya.
Saat awal ruam muncul akan tampak berwarna kemerahan yang akan tampak memutih
dengan penekanan. Saat ruam mulai menghilang akan tampak berwarna kecokelatan yang tidak
memudar bila ditekan. Seiring dengan masa penyembuhan maka muncullah deskuamasi
kecoklatan pada area konfluensi. Beratnya penyakit berbanding lurus dengan gambaran ruam
yang muncul. Pada infeksi campak yang berat, ruam dapat muncul hingga menutupi seluruh
bagian kulit, termasuk telapak tangan dan kaki. Wajah penderita juga menjadi bengkak
sehingga sulit dikenali. (Nelson, 2012; Soedarto, 2007)
Stadium eksantem: timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang
dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dada,
ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6-7
hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 400 C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya
ruam.1,5,7 Jika demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya
komplikasi. (Halim, 2016)

Stadium penyembuhan (konvalesens)

10
Setelah 3-4 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya.
Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-10
hari. (Halim, 2016)

Diagnosis Kerja
Diagnosis campak biasanya dapat dibuat dengan berdasarkan kelompok gejala klinis
yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan demam tinggi dalam
beberapa hari diikuti timbulnya ruam yang memiliki ciri khas, yaitu diawali dari belakang
telinga kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki dalam waktu 3 hari atau
lebih bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh (demam 38,3 C (101F) dan selanjutnya
mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Pada stadium prodromal dapat ditemukan
eksantema di mukosa pipi yang merupakan tanda patognomonis campak (bercak Koplik).
(Soedarmo, 2012)
Tetapi gejala klinis pada penyakit campak sering mengalami modifikasi misalnya
penyakit campak dapat timbul tanpa disertai demam dan tanpa timbul ruam-ruam pada kulit.
Hal seperti ini sering terjadi pada anak atau bayi yang sangat muda, penderita dengan
immunokompresi, anak dengan malnutrisi atau bisa pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunisasi campak. Karena banyak penderita menunjukkan gejala yang tidak jelas,
maka untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. (Setiawan,
2008)
1. Pemeriksaan darah rutin
Biasanya ditemukan leukopenia.

2. Deteksi virus
a. Virus campak dapat ditemukan pada sel mononuclear darah tepi, sekresi saluran nafas,
usapan konjugtiva dan dalam urin. Tetapi virus campak sangat sulit ditemukan,
sehingga pemeriksaan untuk menemukan virus jarang digunakan untuk menegakkan
diagnosis penyakit campak.
b. Sel epitel yang berasal dari nasofaring, mukosa bukalis, konjungtiva atau urin dapat
digunakan untuk pemeriksaan sitologi secara langsung untuk melihat sel raksasa dan
mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi terhadap protein N virus. Protein ini
paling banyak ditemukan pada sel yang terinfeksi.
c. Pemeriksaan jaringan langsung pada penderita dengan immunocompromised karena
respon antibodinya tidak terbentuk.

11
RNA virus dapat dideteksi dengan reverse transcription dan diamplifikasi memakai
PCR, teknik ini belum digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis. (Setiawan, 2008)

3. Mendeteksi antibodi
Diagnosis penyakit campak paling sering ditegakkan dengan pemeriksaan serologi.
Menggunakan sampel saliva atau serum. Antibodi IgM muncul bersamaan dengan munculnya
ruam pada kulit dan sebagian besar dideteksi 3 hari sesudah munculnya ruam. Antibodi IgM
meningkat cepat dan kemudian menurun hingga tidak dapat dideteksi setelah 4-12 minggu. IgG
sebaiknya diperiksa pada sampel yang sama untuk mengetahui apakah sudah pernah terinfeksi
atau sudah pernah mendapat imunisasi.
Saat pengambilan serum yang tepat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium adalah:
a. Usapan tenggorokan dan saliva diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala
untuk pemeriksaan antibodi IgM spesifik campak dan mendeteksi RNA virus.
b. Sampel darah diambil dalam 6 minggu sesudah munculnya gejala untuk mendeteksi
antibodi IgM spesifik virus dan RNA virus
Sampel darah umumnya diambil pada fase akut (1-7 hari setelah munculnya rum pada
kulit) dan pada fase konvalesen untuk mendeteksi antibodi IgG spesifik campak. Positif jika
terjadi kenaikan titer antara fase akut dan konvalesen 4 kali lipat. (Setiawan, 2008)

Diagnosis Banding
1. Rubella
Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umumnya pada naka
dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar
getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2-3 hari.
Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disertai kelainan sendi dan purpura.
Tubella pada kehamilan mudadapat mengakibatkan abortus, bayi lahir mati, dan menimbulkan
kelainan kongenital yang berat pada janin
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan.
Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum
diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit.
Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih
lama. Selain dari secret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin,
cairan serebrospinal, ASI, cairan synovial, dan paru.

12
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya
erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan cepat,
dan berlangsung hingga menghilangya erupsi.
Manifestasi klinis:
Masa inkubasi: Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan lain
waktu inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17 sampai 21 hari.
Masa prodromal: Pada anak biasanya erupsi timbul tanpa keluhan sebelumnya, jarang
disertai gejala dan tanda pada masa prodromal. Namun pada remaja dan dewasa muda
masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari emam ringan, sakit kepala, nyeri
tenggoril, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk, dan limfadenopati. Gejala ini
segera menghilang pada waktu erupsi timbul. Gejala dan tanda prodromal biasanya
mendahului erupsi di kulit 1-5 hari sebelumnya. Pada beberapa penderita dewasa gejala
dan tanda tersebut dapat menetap lebih lama dan bersifat lebih berat. Pada 20%
penderita selama masa prodromal atau hari pertama erupsi, timbul enantemam
Forscheimer spot, yaitu macula atau petekia pada palatum molle, bias saling
merengkuh sampai seluruh permukaan faucia. Pembesaran kelenjar limfe bias timbul
5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai kelenjar suboksipital, postaurikular
dan servikal, dan disertai nyeri tekan.
Masa eksantema. Seperti pada campak, eksantema mulai retroaurikular atau pada muka
dan dengan cepat meluas secara kraniokaudal ke bagian lain dari tubuh, mula-mula
berupa macula yang berbatas tegas dan kadang-kadang dengan cepat meluas dan
menyatu, memberikan bentuk campakform. Pada hari kedua eksantema di muka
menghilang, diikuti hari ke-3 di tubuh dan hari ke-4 di anggota gerak. Pada 40% kasus
infeksi rubella terjadi tanpa eksantema. Meskipun sangat jarang, dapat terjadi
deskuamasi posteksantematik. (Soedarmo, 2012)

Selain eksantema, limfadenopati merupakan suatu gejala klinis yang penting pada
rubella. Biasanya pembengkakan kelenjar getah bening itu berlangsung selama 5-8 hari.
Pada penyakit rubella yang tidak mengalami penyulit sebagian besar penderita sudah
dapat bekerja seperti biasa pada hari ke-3. Sebagian kecil penderita masih terganggu dengan
nyeri kepala, sakit mata, rasa gatal selama 7-10 hari. (Soedarmo, 2012)

2. Eksantema subitum

13
Eksantema subitum adalah penyakit virus pada bayi dan anak kecil yang bersifat akut,
biasanya terjadi secara sporadic dan dapat menimbulkan epidemic. Hal yang unik dari
eksantema subitum adalah ruam dan perbaikan klinis yang terjadi hampir simultan. Eksantema
subitum sudah lama dikenal sebagai penyakit eksantematus yang sering terjadi pada anak.
Beberapa nama lain dari penyakit ini adalah roseola infantum, sixth disease, the rose rash of
infants, dan pseudorubella.
Eksantema subitum merupakan infeksi primer HHV-6B. Eksantema subitum
merupakan penyakit yang umum, disertai panas yang akut pada anak. Meskipun manifestasi
klinik dari bayi atau anak yang menderita eksantema subitum bervariasi, tetapi memiliki
karakteristik khas yang timbul 3-6 hari. Pada periode demam ini berhubungan dengan
terdapatnya virus dalam darah. Saat periode demam selama 3-6 hari, anak menjadi rewel, tetapi
bila demam sudah menurun, anak menjadi tampak normal. Umumnya terjadi limfadenopati
servikal, tetapi karakteristik yang paling utama adalah timbulnya limfadenopati di oksipital
posterior pada 3 hari pertama infeksi, disertai eksantema (Nagayanas spots) pada palatum
molle dan uvula.
Setelah panas turun, kemudian timbul ruam pada tubuh, menyebar kearah leher, wajah,
dan ekstremitas. Lesi yang timbul berbentuk campakform atau rubella-like dengan macular,
lesi berwarna merah muda, ukuran dengan diameter 1-3 mm. dapat ditemukan juga ubun-ubun
besar yang menonjol namun akan sembuh secara spontan. Infeksi primer ini dapat asimtomatik,
tetapi juga dapat menimbulkan manifestasi klinik yang lain dari eksantema subitum yang klasi.
Pada beberapa kasus, eksantema subitum dapat juga disertai gejala-gejala yang lain seperti
otitis media sampai infeksi saluran pernapasan atas dan gastroenteritis. (Soedarmo, 2012)

3. Scarlet fever
Scarlet fever atau demam skarlatina adalah penyakit infeksi saluran napas atas yang
disebabkan infeksi Grup A Streptokokus (GAS) yang memproduksi eksotoksin pyrogenic
(erythrogenic toxin) di faring. Pada scarlet fever dapat ditemukan ruam yang karateristik, di
mana ruam ini diakibatkan infeksi Grup A Streptokokkus. Saat ini scarlet fever lebih sulit
ditemui dan virulensi-nya telah menurun dibanding masa lampau, tetapi siklus insidensi masih
ada, tergantung pada prevalensi strain bakteri yang memproduksi toxin dan status imunitas
populasi.
Metode transmisi penyebaran GAS pada faring terjadi melalui udara (droplet nuclei,
debu) dan lingkungan yang tercemar (baju, tempat tidur) merupakan sebagian kecil dari poses
penyebaran streptokokus. Kontak erat dengan individu terinfeksi dibutuhkan untuk transmisi

14
Streptokokus faring langsung secara droplet atau transfer fisik dari secret respirasi yang berisi
bakteri infeksi. Penyebaran di dalam keluarga dan sekolah sering terjadi. Pasien infeksi aktif
maupun infeksi subklinis mungkin bisa menyebarkan infeksi. Pada umumnya penyebaran
kedua (oleh penderita karier) terjadi 2 minggu pertama setelah bebas saki, karier karena infeksi
Streptokokus pada saluran nafas dan sering menimbulkan penularan organisme. Makanan atau
susu yang terkontaminasi mungkin bias menimbulkan infeksi Streptokokus pada faring.
Ruam timbul pada 24-48 jam setelah onset simptom. Ruam sering dimulai dari area
sekitar leher dan menyebar ke perut dan dada serta ekstremitas. Ruam yang timbul difus,
popular berbatas tegas, dan erupsi eritme menghasilkan warna merah pucat pada kulit yang
menghilang dengan penekanan. Ruam sering ditemukan pada lipatan siku, axilla, dan
selangkangan. Saat diraba kulit terasa kasar dan teraba adanya bintik-bintik seperti pada kulit
angsa. Pada pipi sering terlihat kemerahan dengan mulut yang terlihat pucat. Setelah 3-4 hari
ruam mulai menghilang, diikuti dengan deskuamasi yang dimulai dari wajah kemudian meluas
ke bawah sehingga kulit terlihat seperti terbakar matahari ringan. Terkadang, deskuamasi juga
dapat terlihat pada ujung jari, telapak tangan, dan tumit. Selain itu, lidah terlihat seperti terlapis
dengan papilla yang membesar. Setelah deskuamasi, pada pasien scarlet fever dapat ditemukan
strawberry tongue. (Nelson, 2012)

4. Erupsi Obat Alergi


Erupsi obat alergi adalah reaksi alergi pada kulit atau mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Ada dua macam mekanisme pathogenesis erupsi
obat alergi. Pertama adalah reaksi mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non-
imunologis. Umumnya erupsi obat alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
reaksi imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non-imunologis yang
disebabkan oleh toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat, dan perubahan dalam
metabolisme.
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-oabatan
yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya
obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris. Selain itu, dilihat
juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyerluruh dan simetris serta bentuk
kelainan yang timbul.
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan
distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis
obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat

15
serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut
dikumpulkan. Akan tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita
yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat
alergi yang bersifat persisten. (Nababan, 2014)
Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan mengkonfirmasi
marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan aktivasi jalur imunopatologi
reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah:
Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.
Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi
dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm 3 menunjukkan erupsi obat alergi
yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun
alasan mediko legalnya. (Nababan, 2014)

Pada erupsi obat alergi, dapat timbul erupsi makulopapular atau morbiliformis. Erupsi
makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh
hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas
eritema dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi.
Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering
disebabkan oleh ampisilin, OAINS, sulfonamid, dan tetrasiklin. (Nababan, 2014)

16
Penatalaksanaan
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak harus diberikan cukup cairan dan
kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik, antitusif,
ekspektoran dan antikonvulsan bila diperlukan.
Pasien morbili diupayakan untuk memperbaiki keadaan umum dengan pemberian
cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang dibutuhkan adalah cairan maintenance yang
fungsinya adalah untuk menggantikan air yang hilang lewat urine, tinja, paru, dan kulit. Karena
cairan yang keluar sedikit sekali mengandung elektrolit, maka cairan pengganti terbaik adalah
cairan hipotonik seperti N4D5. Pemberian antibiotik dapat dilakukan jika ada indikasi infeksi
sekunder. Selain itu pemberian antibiotik sebagai profilaksis dari infeksi sekunder tidak
bermanfaat dan tidak dianjurkan. Pemberian antibiotik golongan cephalosporin berupa
ceftriaxone dapat digunakan pada infeksi saluran nafas dan dengan dosis 50-75mg/kgBB/x
sehari atau dibagi mejadi 2 dosis. Pengobatan simtomatik seperti pemberian antipiretik berupa
paracetamol pada pasien ini dikarenakan pasien mengeluhkan demam. Dosis paracetamol pada
anak yaitu 10- 15mg/kgBB/dosis.
Terapi Vitamin A terbukti menurunkan angka morbiditas dan mortalitas sehingga
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemberian vitamin A kepada semua anak
dengan campak, dimana elemen nutrisi utama yang menyebabkan kegawatan morbili bukanlah
protein dan kalori melainkan vitamin A. Ketika terjadi defisiensi vitamin A pada kasus morbili
maka akan menyebabkan kebutaan dan kematian. Oleh karena itu vitamin A diberikan dalam
dosis yang tinggi. American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian
dosis tunggal vitamin A dengan dosis 200.000 IU untuk anak usia > 12 bulan dan 100.000 IU
untuk usia < 12 bulan. Delapan penelitian meliputi 2.574 pasien morbili menemukan bahwa
vitamin A megadosis 200.000 IU per hari selama dua hari dapat menurunkan jumlah kematian
akibat morbili pada anak usia di bawah dua tahun. Pada pasien ini diberikan vitamin A 200.000
IU di hari pertama perawatan. Pemberian vitamin A pada anak dengan morbili adalah 100.000
IU per oral satu kali dan apabila terdapat malnutrisi maka dilanjutkan 1500 IU tiap hari. Morbili
tanpa komplikasi umumnya akan sembuh sendiri dalam waktu sepuluh hari. Komplikasi yang
dapat terjadi meliputi ensefalitis, trombositopenia, otitis media, pneumonia, miokarditis dan
subacute sclerosing panencephalitis. Prognosis baik apabila pada anak dengan keadaan umum
yang baik, tetapi menjadi buruk pada anak dengan keadaan menderita penyakit kronis atau bila
ada komplikasi. Pada pasien ini tidak didapatkan gejala dan tanda terjadinya komplikasi
sehingga memiliki prognosis baik. (Mariz DR, 2012)

17
Penderita campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Anak harus diberikan cukup
cairan dan kalori, sedangkan pengobatan bersifat simtomatik, dengan pemberian antipiretik,
antitusif, ekspektoran, dan antikonvulsan bila diperlukan, diperlukan perbaikan keadaan umum
dengan memperbaiki kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
Pemberian vitamin A pada pasien campak untuk usia <6 bulan sebanyak 50.000 IU,
usia 6 bulan 1 tahun sebanyak 100.000 IU, anak >1 tahun sebanyak 200.000 IU sebanyak
satu kali. Apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari. (Soedarmo, 2012)
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5C), dehidrasi, kejang, asupan oral
sulit atau adanya penyulit. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi system
pernapasan. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit yang timbul.

Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada anak resiko tinggi, yaitu: (Halim, 2016)
Usia muda, terutama dibawah 1 tahun
Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV, malnutrisi atau
keganasan
Anak dengan defisiensi vitamin.

Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain: (Halim, 2016)
Saluran pernapasan: Bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup)
Saluran pencernaan: Diare yang dapat diikuti oleh dehidrasi
Telinga : Otitis media
Susunan saraf pusat:
- Ensefalitis akut
- Subacute Sclerosing Panencephalitis
Mata: keratitis
Sistemik : Septikemia karena infeksi bakteri sekunder

1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan virus Campak sendiri atau oleh Pneumococcus,
Streptococcus, dan Staphylococcus yang menyerang epitel pada saluran pernafasan. Ditandai
dengan batuk, meningkatnya frekuensi nafas, dan adanya ronki basah halus. Pada saat suhu
turun, apabila disebabkan oleh virus gejala pneumonia akan menghilang, kecuali batuk yang
masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada saat yang

18
diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga adanya pneumonia
karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang telah dirusak oleh virus.
Gambaran infiltrate pada foto toraks dan adanya leukositosis dapat mempertegas diagnosis. Di
Negara sedang berkembang dimasa malnutrisi masih menjadi masalah, penyulit pneumonia
bakteri biasa terjadi dan dapat menjadi fatal bila tidak diberi antibiotik.
Untuk pengobatan diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis,
sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral. Antibiotic diberikan
sampai tiga hari demam reda. Apabila dicurigai infeksi spesifik, maka uji tuberculin dilakukan
setelah anak sehat kembali (3-4 minggu kemudian) oleh karena uji tuberkulin biasanya
negative (anergi) pada saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed hypersensitivity
disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu fungsinya. (Soedarmo, 2012)

2. Otitis Media Akut


Invasi virus ke dalam linga telinga tengah umumnya terjadi pada campak. Gendang
telinga biasanya hipertemis pada fase prodromal dan stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri
pada lapisan sel mukosa yang rusak karena invasi virus akan terjadi otitis media purulenta.
Dapat pula terjadi mastoiditis.
Otitis media seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan antibiotic kotrimoksazol-sulfametokzasol (TMP 4mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis) (Soedarmo, 2012)

3. Ensefalitis
Merupakan penyakit neurologic yang paling sering terjadi, biasanya terjadi pada hari
ke-4-7 setelah timbulnya ruam. Kejadian ensefalitis sekitr 1 dalam 1000 kasus campak, dengan
mortalitas antara 30-40%. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun
melalui invasi langsung virus campak ke dalam otak. Gejala ensefalitis dapat berupa kejang,
letargi, koma dan iritabel. Keluhan nyeri kepala, frekuensi nafas meningkat, twitching,
disorientasi juga dapat ditemukan. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis
ringan, dengan predominan sel mononuclear, peningkatan protein ringan, sedangkan kadar
glukosa dalam batas normal.
Pada ensefalopati perlu diberikan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari. Deksametason juga
diberikan dengan dosis awal 1 mg/kgBB/hari, dilanjutkan 0,5 gr/kgBB/hari dibagi dalam 3

19
dosis sampai kesadaran membaik. Pemberian deksametason yang melebihi 5 hari dilakukan
tapering-off saat menghentikan terapi. Selain itu, perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga
kebutuhan untuk mengurangi edema otak dan perlu dilakukan koreksi elektrolit dan
gangguan gas darah. (Soedarmo, 2012)

4. SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis)


Subacute sclerosing encephalitis merupakan kelainan degenerative susunan saraf pusat
yang jarang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten. Kemungkinan untuk
menderita SSPE pada anak yang sebelumnya pernah menderita campak adalah 0,6-2,2 per
100.000 infeksi campak. Risiko terjadi SSPE lebih besar pada usia yang lebih muda, dengan
masa inkubasi rata-rata 7 tahun. Gejala SSPE didahului dengan gangguan tingkah laku dan
intelektual yang progresif, diikuti olehinkoordinasi motoric, kejang umumnya bersifat
mioklonik. Laboratorium menunjukkan peningkatan globulin dalam cairan serebrospinal,
antibody terhadap campak dalam serum (CF dan HAI) meningkat (1:1280). Tida ada terapi
untuk SSPE. Rata-rata jangka waktu timbulnya gejala sampai meninggal antara 6-9 bulan.
(Soedarmo, 2012)

5. Enteritis
Beberapa anak yang menderita campak mengalami muntah dan mencret pada fase
prodromal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus. Dapat pula timbul
enteropati yang menyebabkan kehilangan protein (protein losing enteropaty). Pada keadaan
berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi sehingga pemberian cairan intravena dapat
dipertimbangkan apabila terdapat enteritis + dehidrasi. (Soedarmo, 2012)

Pencegahan
a. Pencegahan tingkat awal
Pencegahan tingkat awal dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi
atau resiko terhadap penyakit campak. Sasaran dari pencegahan primordial adalah anak-anak
yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko yang
tinggi untuk penyakit campak. Edukasi kepada orang tua anak sangat penting peranannya
dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan
mengenai pendidikan kesehatan, konselling nutrisi dan penataan rumah yang baik.
b. Pencegahan tingkat pertama

20
Sasaran dan pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok berisiko,
yakni anak yang belum terkena campak, tetapi berpotensi untuk terkena penyakit campak.
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang terkena penyakit
campak, yaitu:
Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan
Program Imunisasi Nasional (vaksinasi campak) untuk semua bayi.
Vaksinasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan. Vaksin ini diberikan
secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Vaksin campak tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, anak dengan TBC yang tidak diobati, dan penderita leukemia. Vaksin
campak dapat diberikan sebagai vaksin monovalent (measles-containing vaccine;
MCV) atau polivalen (measles-mumps-rubella; MMR).

c. Pencegahan tingkat kedua


Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya
komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang ditujukan untuk
pendeteksian dini campak serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-
kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orang-orang tanpa gejala yang
telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah
penyakit. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Edukasi dan pengelolaan campak memegang
peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.

d. Pencegahan tingkat ketiga


Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi.
Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan
tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan.
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter. Penyuluhan juga
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit
campak. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antara disiplin terkait juga sangat
diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu.
(Swart, 2007)

Imunisasi campak

21
Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi
penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan aktif
dan kekebalan pasif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan
oleh individu itu sendiri. Sedangkan kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh
sendiri akibat terpajan oleh antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah.
Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.
(Setiawan, 2008)
Kekebalan aktif terhadap campak didapatkan melalui program imunisasi. Kekebalan
pasif terhadap campak didapat dari transfer antibodi IgG maternal melalui plasenta pada masa-
masa akhir kehamilan. Setelah dilahirkan, konsentrasi antibodi terhadap campak ini menurun
sehingga lamanya durasi imunitas pasif ini bergantung pada jumlah konsentrasi awal antibodi
saat dilahirkan. (Borras, 2012)
Bayi menerima kekebalan transplasental dari ibu yang pernah terkena campak.
Antibodi akan terbentuk lengkap saat bayi berusia 4 6 bulan dan kadarnya akan menurun
dalam jangka waktu yang bervariasi. Level antibodi maternal tidak dapat terdeteksi pada bayi
usia 9 bulan, namun antibodi tersebut masih tetap ada. Janin dalam kandungan ibu yang sedang
menderita campak tidak akan mendapat kekebalan maternal dan justru akan tertular baik
selama kehamilan maupun sesudah kelahiran (Phillips, 1983).

Saat ini ada beberapa macam vaksin campak:


Monovalen
Kombinasi vaksin campak dengan vaksin rubella (MR)
Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)
Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV). (Ranuh, 2014)

Vaksin monovalen diberikan pada bayi usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen
diberikan pada anak usia 15 bulan. Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi vaksin
harus pada temperature antara 2C - 8C atau 4C serta vaksin tersebut harus dihindarkan dari
sinar matahari.

a. Vaksin campak monovalen


Telah dikeluarkan Permenkes no 42 tahun 2013 mengenai pemberian imunisasi untuk
campak diberikan 2 kali, yaitu pada umur 9 bulan sebagai imunisasi dasar dan pada umur 2

22
tahun sebagai imunisasi lanjutan. Kemudian pada anak usia sekolah dasar, diberikan imunisasi
campak yang ketiga pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien
TB yang tidak diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mereka yang mendapat
pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromais yang terinfeksi HIV.
Anak yang terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap
campak, bisa mendapat imunisasi campak. (Ranuh, 2014)

Dosis dan cara pemberian:


Dosis vaksin campak 0,5 ml.
Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun dapat diberikan
secara intramuscular.
Imunisasi campak diberikan lagi pada umur 2 tahun dan saat masuk sekolah SD
(Program BIAS) (Ranuh, 2014)

Reaksi KIPI
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada
seorang yang telah memiliki imunitas. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun
dengan digunakannya vaksin campak hidup yang dilemahkan.
Gejala KIPI yang berupa demam yang lebih dari 39,5C yang terjadi pada 5-15 % kasus,
demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 5
hari.
Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan
suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi
dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi jika
seseorang memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami.
Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti
ensefalopati pasca imunisasi. Diperkirakan risiko terjadinya efek samping tersebut 30
hari sesudah imunisasi 1 di antara 1 milyar dosis vaksin. (Ranuh, 2014)

b. Kombinasi vaksin campak, mumps, dan rubella

23
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan, dan rubella merupakan vaksin kombinasi
yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 05 ml. Vaksin MMR
merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada temperature 2-
8C atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam
setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari cahaya, karena setelah
dicampur vaksin sangat tidak stabl dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar.
Pada temperature 22-25C, akan kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperature >37C
vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intramuscular
atau subkutan. Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap ketiga virus ini >90% kasus
dan diberikan pada umur 12-18 bulan.
Sesuai dengan Jadwal Pemberian Imunisasi anak umur 6-18 tahun rekomendasi IDAI
tahun 2017, vaksin MMR diberikan pada umur 15 bulan. Namun apabila belum mendapat
imunisasi campak, maka pemberian MMR dapat diberikan pada kesempatan pertama anak
datang ke tempat pelayanan kesehatan (rumah sakit atau dokter / dokter spesialis anak).
Pemberian imunisasi MMR kedua diberikan pada umur 5 tahun.
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan
rubella atau imunisasi campak. Tidak ada dampak imunisasi yang terjadi pada anak yang
sebelumnya telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.
Berikut reaksi KIPI yang dapat terjadi pasca imunisasi MMR:
Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah
vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setekah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari.
Laporan dari CDC menyatakan bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan efek samping
demam, komponen campak yang paling sering menyebabkan efek samping ini. Kurang
lebih 5% anak akan mengalami demam >39,4C setelah imunisasi MMR. Reaksi
demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi dan umumnya
berlangsung 1-2 hari.
Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak,
ensefalitis pasca imunisasi <1/1.000.000, dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1%
anak berusia sampai 4 tahun, pada umumnya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-
kadang lebih lama.

24
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira
1/1.000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil
apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.
Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan
komponen rubella dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang kemungkinan
gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi demam, teramsuk
pengguanan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi. (Ranuh, 2014)

Kontra indikasi vaksin MMR:


Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, mereka
yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat
steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg / kgbb / hari prednisolon).
Anak dengan alergi berat terhadap gelatin atau neomisin.
Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain. Imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1
bulan setelah imunisasi yang terakhir.
Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2
bulan, seperti pada vaksin rubella.
Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
immunoglobulin atau transfuse darah (whole blood).
Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk HIV). (Ranuh, 2014)

Prognosis
Campak merupakan self limited disease, namun sangat infeksius. Mortalitas dan
morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya
komplikasi. Di negara berkembang, kematian mencapai 1-3%, dapat meningkat sampai 5-15%
saat terjadi KLB campak. (Halim, 2016)
Pada penyakit campak yang tidak disertai dengan komplikasi maka prognosisnya baik.
Sedangkan pada campak yang disertai komplikasi (misal ensefalitis dan pneumonia) maka
prognosisnya buruk karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup meskipun jarang
ditemukan. Penyakit campak juga merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
penting pada anak-anak yang mengalami malnutrisi sehingga harus diwaspadai.

25
SIMPULAN

Campak merupakan penyakit yang sangat infeksius yang disebabkan oleh virus campak
yang ditularkan melalui perantara droplet. Manifestasi klinis berupa demam, batuk, pilek,
konjungtivitis, dan ruam seluruh tubuh. Tatalaksana umumnya suportif disertai pemberian
vitamin A sesuai usia penderita. Pencegahan dilakukan dengan imunisasi vaksin campak
ataupun vaksin MMR.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Borras E, Urbiztondo L, Costa J, Batalla J, Torner N, Plasencia A, et al. Measles
antibodies and response to vaccination in children aged less than 14 months:
implications for age of vaccination. Epidemiol Infect 2012;140(9):1599-606.
2. Cherry J.D. Feign R.D. Textbook of pediatric infectious disease. Edisi ke-4. Philadepia:
WB Saunders; 2008.h.1889-91.
3. Halim, Ricky. 2016. Campak pada Anak. CDK-238/ vol.43 no.3. Jakarta. CDK
4. Haralambieva IH, Ovsyannikova IG, Pankratz VS, Kennedy RB, Jacobson RM, Poland
GA. The genetic basis for interindividual immune response variation to measles
vaccine: new understanding and new vaccine approaches. Expert Review of Vaccines
2013 01;12(1):57-70.
5. Mariz, DR. 2012. Diagnosis dan tatalaksana Morbili. Universitas Lampung.
6. Nababan KA. Profil erupsi obat di satuan medis fungsional ilmu kesehatan kulit dan
kelamin RSUP Haji Adam Malik tahun 2010 2013. Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2014.
7. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
8. Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson Textbook
of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders. p.743
9. Ranuh, IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedianto,
Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
10. Sabella C. 'Measles: Not just a childhood rash', Cleveland Clinic Journal of Medicine
2010;77(3):207-13.
11. Setiawan IM. Penyakit Campak. Jakarta: Sagung Seto; 2008.
12. Soedarmo, SSP. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi Kedua. 2012.h.109-18.
13. Soedarto. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.
14. Swart D, Rik L. 'The Pathogenesis of Measles Revisited'. Pediatric Infectious Disease
Journal 2007; 27(10).

27

Anda mungkin juga menyukai