Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

Tinjauan Pustaka

A. Heroin
1. Definisi Heroin
Heroin (diasetilmorfin) atau yang dikenal putauw adalah obat yang termasuk
golongan opioid agonis dan merupakan derivat morfin yang terbuat dari morfin
yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Nama lain
dari heroin : smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed balling , dope,
brown , dog, negra, nod, white heroes, stuff.

2. Sejarah Heroin
Heroin setidaknya sudah dikenal oleh manusia sejak 6000 tahun yang lalu, dan
dikenal berasal dari pohon kebahagiaan. Pada abad ke-7 atau ke-8, diduga
pedagang arab membawanya ke Cina dan digunakan sebagai bahan pengobatan.
Setela itu, orang orang inggris dan portugis memasok Cina dengan opium dan
menempatkan Inggris Sebagai Heroin terbesar di dunia (Iskandar Japarti, 2002).
Baru pada tahun 1874 orang membuat heroin dan pohon opium. Ketika itu, heroin
dijual sebagai pengganti morfin yang aman dan tidak menimbulkan kecanduan,
Namun akhirnya disadari bahwa heroin juga menyebabkan ketergantungan yang
tinggi, kemudian di Inggris di larang pada tahun 1920 dengan undang undang ,
Dangerous Druct Act (Iskandar Japarti, 2002).

Penggunaan heroin mulai menginkat sejak awal 1990 dan mulai meledak sejak
1996 sebanyak 2,4 juta orang pernah menggunakan heroin. Di indonesia jumlah
penderita narkotika sejak 1995 adalah 130.000 orang (0,065%). Para pemakai
narkotika ini kebanyakan anak anak muda berusia <26 tahun. Angka kematian
akibat heroin di indonesia mencapai 17,6% (Iskandar Japarti, 2002).

3. Cara Pembuatan Heroin

Mengekstrak morfin dari candu mentah


Candu mentah dibungkus, dilumatkan dan dibagi menjadi dua bagian. Bahan
pembungkusnya tidak seluruhnya dilepas. Opium yang hancur dituangkan ke
dalam dua tong dan ditambahkan air panas. Komposisi diaduk sampai menjadi
suspensi homogen. Nilai pHnya adalah 8. Pembungkus plastik yang tersisa
melayang ke permukaan cairan dan dirampas. Kemudian kalsium oksida (anhidrat
kapur) ditambahkan, bersama dengan air yang lebih panas. Suspensi diaduk
dengan baik dari waktu ke waktu, yang berlangsung sekitar satu jam. Selama
periode itu, terkadang air panas dan terkadang larutan kalsium oksida (kapur
anhidrat) dan air panas digunakan untuk membilas opium apapun yang masih
menempel pada bahan pembungkusnya. Larutan pembilasan dituang ke tong yang
mengandung zat utama. kemudian diisi air panas dan dibiarkan semalam.
Keesokan paginya, residu busa yang kecoklatan dan sebuah film berminyak
muncul di permukaan larutan morfin. Nilai pH diukur pada antara 10 dan 12.
Selama proses ekstraksi, zat-zat yang larut dalam air lainnya diekstraksi bersama
dengan morfin.

Memisahkan larutan morfin dari komponen opium yang tidak larut air dengan
Selang digunakan untuk menyedot larutan morfin coklat tua yang bening ke dalam
dua bak.

Setelah itu, solusinya terbagi menjadi empat tong kosong. Sedimen itu diaduk,
keluar dari tong dengan ember dan disaring melalui karung yang telah direndam
dalam air. Seluruh filtrat kemudian dituangkan kembali ke dalam empat barel
yang mengandung larutan morfin.

Pengobatan konstituen opium yang tidak larut dalam air .


Karung-karung berisi residu opium ditempatkan dalam alat yang menekan, dan
cairan itu terjepit dari mereka.Cairan yang ditekan dari karung ditambahkan ke
tong yang mengandung larutan morfin. Kemudian dikeluarkan dari karung, dibagi
dalam dua bagian, dimasukkan ke dalam dua barel dan diolah dengan air panas
untuk melarutkan lebih banyak morfin. Setelah disaring dan ditekan, cairan
tambahan yang diekstrak dari karung juga ditambahkan ke larutan morfin utama.

Pengendapan, isolasi dan pengeringan morfin


Kemudian amonium klorida ditambahkan ke setiap laras sambil diaduk terus
menerus. Dasar morfin diendapkan. Barel ditutup dan dibiarkan semalam.
Keesokan paginya, dasar morfin disaring menggunakan dua keranjang
penyaringan yang dilapisi dengan kain yang telah direndam dalam air hangat.
Solusionya memiliki nilai pH 9. Bahan dasar morfin utama, yang ada dalam
sedimen, diaduk dengan menggunakan beberapa cairan yang tersisa, sehingga
menghasilkan suspensi. Suspensi kemudian disaring, dan filtratnya dibuang. Basis
morfin lembab tetap ada di keranjang penyaring berlapis kain.

Basis morfin dibungkus kain penyaringan dan dicap. Akhirnya, dasar morfin
terbentang di atas kain sampai kering. Kemudian, dasar morfin kering ditimbang.

Konversi morfin menjadi heroin


Jumlah anhidrida asetat yang dibutuhkan untuk sintesis heroin ditimbang. (Untuk
jumlah bahan kimia yang digunakan, lihat bagian yang berjudul "Peralatan
laboratorium dan bahan kimia" di bawah ini.) Kemudian anhidrida asetat
ditambahkan ke dasar morfin, yang telah ditempatkan di dalam panci aluminium.
Sedikit kelebihan bahan kimia ditambahkan. Panci diaduk sampai dasar morfin
larut. Panci ditutupi, dan larutan reaksi dibiarkan berdiameter 45 menit. Kemudian
pot itu ditempatkan di atas api, dan larutan reaksi dipanaskan selama 30 menit
lagi.

Setelah itu, campuran reaksi dituangkan ke dalam mangkuk yang telah diisi
dengan air panas. Kemudian larutan itu disaring melalui kain, dan larutan yang
disaring dituangkan ke dalam tong kosong.

Pengendapan dan isolasi basis heroin coklat


Bagian larutan natrium karbonat dituangkan ke dalam laras sampai gas tidak lagi
dilepaskan dan dasar heroin diendapkan. Basis heroin yang diendapkan segera
disaring. Nilai pH larutan adalah 10. Basa heroin kemudian diaduk dalam air
panas dan disaring lagi. Proses pencucian diulang sekali lagi. Kemudian alas
heroin coklat dituangkan ke dalam mangkuk.
Pemurnian dasar heroin coklat
Besi heroin coklat dilarutkan dalam asam klorida encer. Solusinya memiliki nilai
pH 7-8. Karena tidak semua basis heroin telah larut, solusinya disaring melalui
kain. Karbon aktif kemudian diaduk ke dalam solusi, dan cairan itu dibiarkan
selama 30 menit. Kemudian karbon aktif disaring menggunakan kain. Karena
solusinya belum jelas, itu disaring untuk kedua kalinya, dengan menggunakan
filter kertas.

Pengendapan dan isolasi basis heroin putih


Kemudian, basis heroin diendapkan menggunakan larutan amonia yang
diencerkan. Nilai pHnya 12. Besi heroin putih disaring melalui kain.

Konversi basis heroin menjadi heroin hidroklorida


heroin putih dilarutkan dalam campuran yang mengandung asam hidroklorida dan
sejumlah kecil aseton. Larutan heroin kemudian disaring melalui filter kertas ke
dalam mangkuk logam dan diuapkan pada pemandian air. Hidroklorida heroin
putih diendapkan.

4. Cara Pemberian Heroin

a. Injeksi
Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular lebih praktis dan efisien
untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat menimbulkan efek
eforia dalam 7-8 deik, sedagkan secara intramuskuler efeknya lebih lambat
yaitu 5-8 menit. Kerugian injeksi dapat menyebabkan septikemi dan infeksi
lain seperti hepatitis atau HIV. Injeksi berulang dapat merusak venda dan
menyebabkan trombosis
b. Dihirup
Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api, kemudian
asapnya di hirup melalui hidung. Efek puncak dengan penggunaan secara di
hirup/dihisap biasanya dirasakan dalam 10 15 menit
c. Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok
d. Penggunaan heroin dengan kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau
dihisap. Penggunaan heroin secara di hisap atau dihirup saat ini meningkat
untuk menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan. Penggunaan
secara di hisap lebih aman di bandingkan di hirup, oeh karena masuk ke dalam
tubuh secara bertahan sehingga lebih mudah di kontrol

5. Farmakokinetik (Way EL, 1998)

Gambar 1.1 Rumus kimia heroin (diamorphine)

a. Absorpsi
Heroin diabsorpi dengan baik disubkutaneus, intramuskular dan permukaan
mukosa hidung atau mulut.

b. Distribusi
Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke dalam jaringan.
Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di
dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif
rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin
menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan
morfin atau golongan opioid lainnya
c. Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan
akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam
glukuronik menajdi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat
dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.

d. Ekskresi
Heroin /morfin terutama diekstresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan
dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam
heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekskresikan sebagai
morfin.
6. Farmakodinamik
a. Mekanisme kerja
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor
spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi
transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu
reseptor (mu), (delta) dan (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis
endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yitu enkephalin yang
berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor dandynorpin dengan
resptor . Reseptor merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis
reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan
adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
pelepasan neurotransmitter terhambat.

b. Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter


Pelepasan noradrenalin Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan
mengaktivasi reseptor yang berlokasi didaerah noradrenalin. Efek morfin
tidak terbatas dikorteks,tetapi juga di hipokampus,amigdala, serebelum,
daerah peraquadiktal dan locus cereleus.

c. Pelepasan asetikolin
Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor deltha,
didaerah amigdala dan hipokampus oleh reseptor . Pelepasan dopamin
Pelepasan dopamin diinhibisi oleh aktifitas reseptor kappa.

d. Tempat Kerja
Ada dua tempat kerja obat opiat yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan
visceral. Di dalam susunan saraf pusat opiat berefek di beberapa daerah
termasuk korteks, hipokampus, thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem
mesolimbik, locus coreleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan
medula spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opiat bekerja pada pleksus
myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi.

7. Efek Penggunaan
a. Susunan saraf pusat
- Analgesia
Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor yaitu : meningkatkan ambang
rasa nyeri, mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat
mengubah reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri ada waktu penderita
merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap
merasakan adanya nyeri. Ttetapi reaksi khawatir takut tidak lagi timbul.
Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif
dibandingkan sensirk. Memudahkan timbulnya tidur.

- Eforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan
menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan mengalami perasaan
nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar
bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati,
aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat.

- Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi.
Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti
hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam.

- Pernapasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang
disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak.
Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena
atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi
kembali ke normal dalam 2-3 jam

- Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis
terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III

- Mual dan muntah


Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger
zone di batang otak.

b. Efek Perifer
- Saluran cerna
Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas
lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus besar
akan mengurangi gerakan peristaltik , sehingga dapat menimbulkan
konstipasi

- Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi
maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder
terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi
disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi
sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamine.

- Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak
merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat,
kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit
akibat efek sentral danpelepasan histamin

- Traktur Urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter
meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.
Gambar 1.2 Grafik radar kecenderungan ketergantungan obat (Nutt D dkk, 2007)

B. Intoksikasi Heroin
1. Definisi Intoksikasi
Intoksikasi atau keracunan menurut World Health Organization (WHO) adalah
kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyenbabkan
gangguan kesadaran, Kognisi, Presepsi, afek, perlaku, fungsi, dan respon
psikofisiologis. Kondisi ini terkait dengan efek farmakologis akut, dan tanggapan
terhadap respon yang di dapat, substansi dan dapat diatasi seiring berjalannya
waktu kecuali bila terjadi kerusakan jaringan atau komplikasi lainnya. Intoksikasi
sangat tergantung pada jenis dan dosis obat dan dipengaruhi oleh tingkat toleransi
individu dan faktor lainnya. Seringkali obat diambil untuk mencapai tingkat
intoksikasi yang diinginkan. Ekspresi perilaku dari tingkat keracunan tertentu
sangat dipengaruhi oleh harapan budaya dan pribadi tentang efek obat tersebut.

2. Epidemiologi Intoksikasi Heroin


Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) sudah
menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global. Survei Badan
Narkotka Nasional (BNN) tahun 2011 menyatakan sekitar 3,8 juta penduduk
Indonesia adalah pengguna NAPZA. Bagi pengguna Napza, penyalahgunaannya
berdampak bagi fsik, mental, emosional serta sosial (Profil Kesehatan Indonesia,
2013).
Jenis narkoba yang pernah dipakai (ever used) paling banyak adalah ganja (57%),
diikuti oleh shabu (23%) dan ekstasi (15%). Jenis narkoba lainnya dengan kisaran
antara 5 sampai 10%, seperti heroin/putau, kelompok benzodiazepine,
dextrometorphan, trihexyphenidyl, dan rohypnol/mogadon. Empat jenis narkoba
yang disebut terakhir adalah jenis obat daftar G yang dapat dibeli bebas di apotik
dengan menggunakan resep dokter. Namun, fakta di lapangan, obat tersebut
ternyata dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter atau dengan resep
dokter yang dipalsukan (BNN, 2016).
Ada 4 tempat yang banyak dipilih untuk memakai narkoba, yaitu rumah teman
(45%), jalanan (21%), rumah sendiri (19%), dan taman/kebun (12%). Pemakaian
narkoba di rumah teman paling banyak ditemukan di Bali dan Bangka Belitung.
Mereka yang pakai narkoba di jalanan paling banyak ditemukan di DI Yogyakarta,
Sumatera Utara, dan Bangka Belitung. Sedangkan yang pakai di rumah responden
paling banyak ditemukan di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Utara. Para penyalahguna memakai narkoba kebanyakan bersama
teman (96%), diikuti oleh pakai seorang diri (13%) dan bandar/pengedar (5%).
Namun, di Kalimantan Utara mereka yang pakai narkoba bersama teman tinggal
separuhnya (BNN, 2016).
Jumlah pecandu Narkoba yang mendapatkan pelayanan Terapi dan Rehabilitasi di
seluruh Indonesia tahun 2013 menurut data Deputi Bidang Rehabilitasi BNN
adalah sebanyak 6.111 orang, dengan jumlah terbanyak pada kelompok usia 26
40 tahun yaitu sebanyak 3.916 orang. Jenis Narkoba yang paling banyak
digunakan oleh pecandu yang mendapatkan pelayanan terapi dan rehabilitasi
adalah heroin (1.695 orang), shabu (1.649 orang), selanjutnya secara berturutan
adalah jenis ganja (1.243 orang), ekstasi (282 orang) dan opiat (195 orang).Pada
kelompok opiad jenis yang paling banyak digunakan adalah heroin (putau) 1,6%,
morfin (1,1%), opium dan codein masing masing (0,7%) dan (0,6%).Jumlah
Penyalahgunaan Narkoba untuk jenis heroin berdasarkan jenis kelamin, laki-laki
lebih sering dibandingkan dengan perempuan dengan jumlah 1565 orang pada
laki-laki, dan 129 orang pada perempuan ( Jurnal Data P4GN, 2014).
Upaya penanggulangan penyalahgunaan Napza melalui 3 pilar yaitu reduksi
suplai, reduksi permintaan dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).
Salah satu komponen dari pengurangan dampak buruk adalah program terapi yaitu
program terapi substtusi yang di antaranya Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM). Tujuan PTRM yaitu untuk mengurangi risiko terkait penyakit infeksi
(HIV/AIDS, hepatitis), memperbaiki kesehatan fsik dan psikologis, mengurangi
perilaku kriminal, dan memperbaiki fungsi sosial pasien. Sampai dengan tahun
2012 terdapat 83 unit layanan rawat jalan terapi rumatan metadon di 17 provinsi,
yang terdiri atas 34 rumah sakit, 40 Puskesmas dan 9 Lapas/Rutan (Profil
Kesehatan Indonesia, 2013).
Di Indonesia, berdasarkan data dari profil kesehatan indonesia tahun 2012,
provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus kumulatif AIDS padaInjecting Drug
User(IDU)terbanyak adalah provinsi Jawa Barat dengan jumlah 2491, provinsi
Jawa Timur menempati posisi kedua dengan jumlah 1399, dan disusul dengan
provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah 575(Profil Kesehatan Indonesia, 2013).

3. Patofisiologi Intoksikasi Heroin


4. Gejala Klinis Intoksikasi Heroin

Gejala obyektif dari gejala putus zat yang timbul pada pengguna pengguna heroin
adalah :
- mengantuk
- pilek sampai bersin
- lakrimasi
- dilatasi pupil
- vasodilatasi umum pembuluh darah sehingga pasien merasa panas dingin,

meriang dan berkeringat berlebihan

- piloereksi (merinding atau rambut halus pada tubuh yang berdiri)


- takikardia
- meningginya tekanan darah
- meningkatnya respirasi secara mencolok
- suhu badan meninggi tajam
- mual, muntah, diare
- insomnia.
Gejala subyektif dari gejala putus zat yang timbul pada pengguna heroin adalah
pasien mengeluh adanya sugesti (rasa keinginan atau hasrat yang sangat besar untuk
memperoleh dan menggunakan kembali opioid), cemas, gelisah, mudah tersinggung,
mialgia (rasa sakit dan pegal otot di punggung, kaki dan seluruh tubuh), artralgia (rasa
sakit dan ngilu pada tulang), sakit dan kram perut, tidak ada selera makan, gemetar atau
tremor, kejang-kejang kecil, lemas. Gejala putus zat dapat timbul dengan onset awal
gejala dalam enam sampai delapan jam dan puncaknya pada hari kedua atau ketiga.
Gejala putus zat dapat berlangsung selama tujuh sampai sepuluh hari (Sargo &
Subagyo, 2014; Sadock et al 2015).

Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik.
Gejala overdosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat. Gejala
intoksikasi akut (overdosis):

oKesadaran menurun, sopor - koma

o Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan


pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

o Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif

o Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

o Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernafasan memburuk danterjadi syok

o Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

o Bradikardi

o Edema paru

o Kejang

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian


meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang
menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer. Angka kematian heroin dengan
alkohol meningkatkan angka kematian sebesar 40%, sedangkan angka kematian untuk
heroin digabungkan dengan tranquilizer sebesar 30 % (Iskandar, 2002).
5. Pemeriksaan Fisik Intoksikasi Heroin
a. Kesan umum: Kurang sehat karena nafsu makan kurang dan tidak acuh
b. Kesadaran : Penurunan kesadaran bisa sampai koma
c. Vital sign : Nadi:bradikardi
d. Suhu : hipotermia
e. Tensi: hipotensi
f. Pernafasan : Bradipneu
g. Kepala : Anemis positif, Ikterus positif, cianosis positif, dypsneu Positif
h. Mata( pupil): pin point( Meosis)
i. Bicara menjadi kaku
j. Thorax : Depresi Pernafasan
k. Pulmo : Edema paru
l. Extremitas : Baik pada intoksikasi maupun abstinensia, pada kulit ditemukan
bekas suntikan (hiperpigmentasi) di sepanjang pembuluh vena lengan.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Urine (drug screening)

Untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Urine harus diperoleh
tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian zat terakhir. Metode pemeriksaan
antara lain dengan cara paper chromatography, Thin Layer Chromatography,
Enzym Immunoassay.

Cannabis/Ganja: 7-30 hari dalam urine, 90 hari di rambut, 14 hari dalam


darah.

Kokain: 3-4 hari dalam urine, 90 hari di rambut, 1-2 hari dalam darah.

Heroin: 3-4 hari dalam urine, 90 hari di rambut, sekitar setengah hari dalam
darah.

LSD: Kurang lebih 3 hari dalam urine, 3 hari di rambut, kurang dari lima jam
dalam darah.

MDMA: 3-4 hari dalam urine, 90 hari di rambut, 1-2 hari dalam darah.

Methamphetamine: 3-6 hari dalam urine, 90 hari di rambut, hingga tiga hari
dalam darah

b. Rambut

Dengan metode Liquid chromatography menggunakan ultravioletdapat


dideterminasi adanya opiat pada rambut pexcandu heroin (opiat). Seseorang
dikatakan pecandu heroin, bila pada rambutnya ditemukan kandungan 10 ng
heroin/mg rambut.

Cara ini dinilai lebih mantap dibandingkan tes urin untuk memastikan
seseorang pecandu narkoba atau tidak. Ada beberapa kelebihan dari analisis
rambut bila dibandingkan dengan tes urin. Salah satunya adalah narkoba dan
metabolism narkoba akan berada dalam rambut secara abadi dan mengikuti
pertumbuhan rambut yang berlangsung sekitar 1 inchi per 60 hari. Sedangkan,
kandungan narkoba dalam urin segera berkurang dan menghilang dalam waktu
singkat.

7. Diagnosis Banding Intoksikasi Heroin


a. Putus Zat Kokain

Kokain adalah alkaloida yang berasal dari tanaman Erythroxylon coca


yang tumbuh di Bolivia dan Peru pada lereng-lereng pegunungan Andes di
Amerika Selatan. Kedua negara tersebut dianggap penghasil kokain dalm
bentuk pasta koka mentah terbesar di seluruh dunia, sedang Negara Kolombia
memurnikan pasta ini menjadi serbuk kokain murni. Dalam peredaran gelap
kokain diberi nama cake, snow, gold dust, dan lady serta dijual dalam bentuk
serbuk yang bervariasi kemurniannya (Kay, 2000)
Pertama sekali kokain digunakan sebagai anastesi local pada
pengobatan mata dan gigi. Berlainan dengan opium, morfin, dan heroin yang
memiliki sifat menenangkan terhadap jasmani dan rohani, kokain merupakan
suatu obat perangsang sama seperti psikostimulansia golongan amfetamin
tetapi lebih kuat. Zat-zat ini memacu jantung, meningkatkan tekanan darah dan
suhu badan, juga menghambat perasaan lapar serta menurunkan perasaan letih
dan kebutuhan tidur. (Kay, 2000)
Dalam larutan kadar rendah, kokain menghambat penyaluran impuls
dari SPP di otak sehingga digunakan untuk anastesi lokal, sedangkan dalm
konsentrasi tinggi kokain meransang penyaluran impuls-impuls listrik. Sifat
yang didambakan oleh pecandu adalah kemampuannya untuk meningkatkan
suasana jiwa (euphoria) dan kewaspadaan yang tinggi serta perasaan percaya
diri akan kapasitas mental dan fisik (Holstege,2005)
Dalam dosis kecil kokain yang dihisap melalui hidung menimbulkan
euphoria tetapi disusul segera oleh depresi berat yang menimbulkan keinginan
untuk menggunakannya lagi dalam dosis yang semakin besar dan
menyebabkan ketergantungan psikis yang kuat dan toleransi untuk efek
sentral. Pada keadaan kelebihan dosis timbul eksistasi, kesadaran yang
berkabut, pernafasan yang tidak teratur, tremor, pupil melebar, nadi bertambah
cepat, suhu badan naik, rasa cemas, dan ketakutan, serta kematian biasanya
disebabkan pernafasan berhenti (Holstege,2005)
Dengan cara menghambat pengembalian norepinefrin, serotonin, dan
dopamin kembali ke terminal presinapsis tempat transmitter tersebut
dilepaskan.Penghambatan ini memperkuat dan memperpanjang kerja
katekolamin pada SSP dan susunan saraf perifer. Sebagian, perpanjangan efek
dopamin paling banyak terjadi pada sistem yang membawa kenikmatan dalam
otak (sistem limbik), menghasilkan rasa gembira yang berlebihan akibat
pengaruh kokain. Penggunaan kronik akan menghabiskan dopamin.
Kekosongan ini akan menimbulkan siklus visius, ingin mendapatkan kokain
yang akan menghilangkan depresi berat untuk sementara. Efek Kokain pada
tingkah laku merupakan akibat dari rangsangan kuat pada korteks dan
sambungan otak ( Sadock, 2010)
Kokain digunakan sendiri dengan mengunyah, mengendus dengan
hidung, merokok dan suntikan Intra Vena. Efek puncak terjadi setelah 15-20
menit sehabis mengendus tepung kokain dan menurun setelah 1-1,5 jam. Efek
yang cepat tetapi berjangka waktu pendek diperoleh setelah suntikan intravena
kokain atau merokok bentuk basa bebas (crack). Karena terjadinya efek
sangat cepat, kemungkinan takar lajak dan ketergantungan paling besar dengan
suntuikan intravena dan mengisap crack. Absorpsi dilakukan dari segala
tempat termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak efektif
karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis. Sebagian besar
mengalami detoksikasi dihati dan sebagian kecil di ekskresi bersama urin
dalam bentuk utuh. Diperkirakan hati dapat melakukan detoksikasi kokain
sebanyak 1 dosis letal minimal dalam waktu satu jam. Detoksikasi kokain
tidak secepat detoksikasi anestesi local sintetik (Kay, 2000)
Gejala-gejala klinis keadaan putus kokain:
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan kokain yang telah berlangsung
lama dan berat
B. Mood disforik dan dua atau lebih perubahan fisiologis berikut, timbul
dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A:
- Kelelahan
- Bradikardia
- Insomnia atau hypersomnia
- Perasaan disforik yang menetap >24 jam
- Agitasi psikomotor
- Ide-ide bunuh diri dan paranoid
- Mudah tersinggung atau iritabel
- Perasaan depresif
- Craving
C. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderita atau hendaya yang secara
klinis signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting
lain.
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dantidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain (Sadock, 2010)

Penatalaksanaan keadaan putus zat kokain


- Pastikan apakan adaresiko bunuh diri : MRS
- Beri ketenangan dan penjelasan kepada klien bahwa gejala akn mereda
dalam 1-2 minggu
- Evaluasi pakah pasien mengalami gangguan psikosis
- Terapi psikofarmaka
Agitasi berat sampai prilaku maladaptif dapat diberikan golongan
benzodiazepin seperti estazolam 0,5- 1mg oral, oksazepam 10-30 mg oral
atau lorazepam 1-2 mg oral
Anti depresif dapat diberikan bila ada gejala depresi menetap yang
umumnya terjadi 2 minggu setelah penggunaan dihentikan
- Motivasi klien untuk ikut dalam program rehabilitasi (Depkes,2000)

b. Intoksikasi Barbiturat
Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf
pusat, dan mereka menghasilkan spektrum efek yang luas, mulai dari sedasi
ringan sampai anestesi total. Mereka juga efektif sebagai anxiolytics, sebagai
hipnotik, dan sebagai antikonvulsan. Mereka memiliki potensi kecanduan, baik
fisik dan psikologis (Tjay dan Rahardja ,2003)
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif
sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa
penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan
benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki
anti konvulsi yang masih banyak digunakan (Tjay dan Rahardja ,2003)
Seperti etanol, barbiturat memabukkan dan menghasilkan efek yang
sama selama intoksikasi. Gejala-gejala keracunan barbiturat termasuk depresi
pernapasan, menurunkan tekanan darah, kelelahan, demam, kegembiraan yang
tidak biasa, iritabilitas, pusing, konsentrasi yang buruk, sedasi, kebingungan,
gangguan koordinasi, gangguan penilaian, kecanduan, dan pernapasan yang
dapat menyebabkan kematian (Tjay dan Rahardja ,2003)
Pengguna melaporkan bahwa penggunaan barbiturat dalam dosis
tinggi memberi mereka perasaan puas, santai dan euforia. Risiko utama dari
penyalahgunaan barbiturat adalah depresi pernapasan akut. Ketergantungan
fisik dan psikologis juga dapat terjadi pada penggunaan berulang. Efek lain
dari keracunan barbiturat meliputi mengantuk, nistagmus lateral dan vertikal,
bicara cadel dan ataksia, kecemasan menurun, hilangnya hambatan. Barbiturat
juga digunakan untuk mengurangi efek samping atau penarikan dari
penyalahgunaan narkoba ( Katzung, 1998)
Pengguna narkoba cenderung memilih barbiturat short-acting dan
intermediate-acting. Yang paling sering disalahgunakan adalah amobarbital
(amytal), pentobarbital (Nembutal), dan secobarbital (Seconal). Kombinasi
amobarbital dan secobarbital (disebut Tuinal) juga sangat disalahgunakan.
Barbiturat short-acting dan intermediate-acting biasanya diresepkan sebagai
obat penenang dan pil tidur. Pil ini mulai bertindak 15-40 menit setelah mereka
tertelan, dan efek mereka berakhir sekitar lima sampai enam jam.
Penggunaan barbiturat dosis besar dapat terjadi pada percobaan bunuh
diri atau kecelakaan. Intoksikasi berat umumnya terjadi bila menelan sekaligus
barbiturat 10 kali dosis hipnotik. Barbiturat kerja singkat, kelarutannya dalam
lemak lebih tinggi dan lebih toksik dibandingkan dengan barbiturat kerja lama.
Dosis 6 - 10 gram fenobarbital dan dosis 2 - 3 gram amobarbital, sekobarbital
atau pentobarbital dapat menimbulkan kematian. Kadar fenobarbital terendah
dalam plasma yang pernah dilaporkan bersifat letal kira-kira 60 mikrogram/ml,
sedangkan untuk anobarbital dan pentobarbital kira-kira 10 mikrogram / ml.
(katzung,1998)
Gejala klinis Intoksikasi Barbiturat
A. Penggunaan baru-baru ini
B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptif yang secara klinis
signifikan (contoh perilaku seksual tidak pada tempatnya atau agresif,
labilitas mood,daya nilai terganggu, fungsi sosial dana okupasional
terganggu) yang timbul selama atau segera setelah penggunanaan,
C. Satu atau lebih tanda berikut, timbul selama atau segera setelah
penggunaan:
- Bicara cadel
- Nistagmus
- Konstriksi pupil
- Pernafasan lambat/ cepat tapi dangkal
- Kulit berkeringat dan teraba dingin
- Tekanan darah turun dan nadi lemah dan kecil
- Inkoordinasi
- Ataksia
- Hendaya atensi atau memori
- Stupor atau koma
- Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain (Sadock, 2010)

Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan


pengobatan simtomatik suportif yang umum.Dalamnya koma dan ventilasi
yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24 jam
sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan obat perlu
dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna.
Tindakan cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah
tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon
aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang
karbon (setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh
fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco2
dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila
diindikasikan.
Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman
utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi
berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu
tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine.

c. Intoksikasi Alkohol
Dalam ilmu kimia alkohol atau alkanol adalah istilah yang umum
untuk senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada
atom karbon dimana atom karbon itu sendiri juga terikat pada atom hidrogen
atau atom karbon yang lain. Etil alkohol juga disebut sebagai etanol
merupakan bentuk alkohol yang umum, sering kali disebut alkohol minuman.
Rumus kimia untuk etanol adalah CH3-CH2-OH. Dari semua jenis alkohol
yang diketahui dalam ilmu kimia, etanol merupakan satu-satunya yang
digunakan dalam batas tertentu oleh manusia untuk berbagai maksud dan
tujuan (sebagian besar alkohol lainnya terlalu toksik untuk diminum (Saddock,
2010)
Kriteria menekankan sejumlah cukup konsumsi alkohol, perubahan
prilaku maladaptif spesifik, tanda gangguan neurologis, dan tidak adanya
diagnosis atau kondisi lain yang membaur.
Intoksikasi alkohol bukan merupakan kondisi yang ringan. Intoksikasi
alkohol yang parah dapat menyebabkan koma, depresi pernapasan dan
kematian, baik karena henti pernapasan atau karena aspirasi muntah.
Pengobatan untuk intoksikasi berat berupa bantuan pernapasan mekanik diunit
perawatan intensif, dengan perhatian pada keseimbangan asam basa pasien,
elektrolit, dan temperatur. Beberapa penelitian aliran darah serebral selama
intoksikasi alkohol mengalami peningkatan tetapi akan menurun pada minum
alkohol selanjutnya.
Beratnya gejala intoksikasi alkohol berhubungan secara kasar dengan
konsentrasi alkohol dalam darah, yang mencerminkan intoksikasi alkohol
didalam otak. Pada onset intoksikasi, beberapa orang menjadi suka bicara dan
suka berkelompok, beberapa menjadi menarik diri dan cemberut, yang lainnya
menjadi suka berkelahi. Beberapa pasien menunjukkan labilitas mood, dengan
episode tertawa dan menangis yang saling bergantian (intermiten). Toleransi
jangka pendek terhadap alkohol dapat terjadi, orang tersebut tampak kurang
terintoksikasi setelah berjam-jam minum daripada setelah hanya beberapa jam.
Komplikasi medis intoksikasi alkohol sering disebabkan karena
terjatuh yang dapat menimbulkan hematoma subdural dan fraktur. Tanda yang
menggambarkan intoksikasi akibat sering bertanding minum adalah hematoma
wajah, khususnya disekitar mata, yang disebabkan terjatuh atau berkelahi saat
mabuk.

Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Alkohol

A. Baru saja menggunakan alkohol


B. Prilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
(misalnya, prilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood,
gangguan pertimbangan, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang
berkembang selama atau segera setelah ingesti alkohol
C. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang selama atau segera
setelah pemakaian alkohol
1) Bicara cadel dan meracau
2) Inkoordinasi
3) Gaya berjalan tidak stabil
4) Nistagmus
5) Gangguan atensi atau daya ingat
6) Stupor atau koma

Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain (Sadock, 2010)

Protap tatalaksana intoksikasi alcohol dari Kepmenkes RI 2010 yaitu:

Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 mg Dextrose 50%


Bila keadaan Koma :
o Posisi face down untuk cegah aspirasi
o Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit
o Injeksi Tiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy.lalu 50 ml Dekstrose 50% iv
Problem Perilaku (gaduh/gelisah):
o Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif
o Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau merasa
terancam
o Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
o Beri dosis rendah sedatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5 mg oral,
bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (I.m)

8. Terapi Intoksikasi Heroin


Terapi (pengobatan) penyalahgunaan zat haruslah rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik dan sosial(Japardi, 2012).
Terapi yang dimaksud tersebut adalah terdiri dari dua tahapan detoksifikasi dan
pasca detoksifikasi (pemantapan) yang mencakup komponen :
a. Terapi Medik Somatik
- Intoksikasi akut
o Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
o Oksigenasi yang adekuat
o Pasang infus dan berikan cairan (misalnya : RL atau NaC1 0.9 %)
dengan kecepatan rendah (10-12 tetes permenit) terlebih dahulu
sampai ada indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan
kecepatan sesuain kebutuhan,jika didapatkan tanda-tanda
kemungkinan dehidrasi.
o Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01
mg/kgBB) Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai
puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg
dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone
efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan,
ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek
naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang
pendek. Untuk mencegah rekulensi efek opiat dapat diberikan infus
naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala minimal (menghilang)
o Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang
berikan diazepam 10 mg melalui IV atau perinfus dan dapat
diulang sesudah 20 menit jika kejang belum teratasi (Japardi,
2012).

Pada kasus intoksikasi kronis pasien membutuhkan hospitalisasi, Dengan


masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat
prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui
apakah pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan
laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, dan jantung), juga
dilakukan foto thorak(Japardi, 2012).
Tujuan hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat
mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan
zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental,
hospitalisasi membatu mengendalikan suasana perasaannya seperti
depressi, paranoid, quilty feeling (Japardi, 2012).

- Terapi detoksifikasi
Terapi detoksifikasi adalah bentuk terapi untuk menghilangkan racun zat
dari tubuh pasien penyalahgunaan zat dengan cara menghentikan total
pemakaian semua zat atau dengan cara penurunan dosis obat. Beberapa
jenis cara mengatasi putus opioida :
o Cold turkey, terapi tanpa diberi terapi apapun, putus obat seketika
dan hanya di beri terapi simptomatik saja seperti bila nyeri diberi
analgetika kuat seperti tramadol, analgetik non narkotik, asam
mefenamat. Bila rhinore diberi dekongestan. Untuk mualbisa di
beri metopropamid. Untuk kolik abdomen di beri spasmolitik. Jika
gelisah di beri antiansietas. Bila terjadi insomnia di beri hipnotika
misalnya golongan benzodiazepin
o Terapi detoksifikasi bertahap
Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi
adiksi opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan
relaps sering terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu
lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid
antagonis maka harus menunggu gejala abstinensia selama 5-7
hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi detoksifikasi
heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3
hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-3 minggu.
Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x
seminggu) dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan
dibandingkan metadone(Tjah, 2002).

o Terapi rumatan (maintenance)


Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk
menggantikan heroin yang dapat diberikan secara oral
sehingga mengurangi komplikasi medik. Metadon dan Levo
alfa acetyl methadol (LAAM) merupakan standar terapi
rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari,
sedangkan LAAM hanya 3 kali seminggu. Pemberian
metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat membantu
menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis
metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari).
Untuk menjaga pasien tetap tenang dan diturunkan secara
perlahan-lahan(Japardi, 2012).
Proram Antagonis Opiat (Naltrexon)
Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik)
terhadap opioid (heroin/putauw) penderita sering
mengalami keadaan rindu yang sangat kuat (craving,
kangen,sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat
(Naltrexon HCI,) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi
datangnya perasaan rindu itu. Apabila pasien menggunakan
opieat lagi,ia tidak merasakan efek euforiknya sehingga
dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan
psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat
sebelum memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiat
diberikan dalam dosis tunggal 50 mg sekali sehari secara
oral, selama 3- 6 bulan. Karena hepatotoksik, perlu tes
fungsi hati secara berkala (Japardi, 2012).
Parsial Agonis Opiat
Buprenorphine adalah parsial agonis opioid yang memiliki
masa kerja 24-36 jam dapat pula digunakan sebagai terapi
ruwatan dengan dosis antara 2 mg-20 mg/hari (Japardi,
2012).
b. Terapi Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani
Rehabilitasi. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai
menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan
menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA
yang selalu terjadi (Hawari,2002). Rehabilitasi pengguna NAPZA diharapkan
dapat mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi;
Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA; Pulih kepercacayaan
dirinya, hilang rasa rendah dirinya; Mampu mengelola waktu dan berubah
perilaku sehari hari dengan baik; dapat berkonsentrasi untuk belajar atau
bekerja; dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan
di lingkunganya.

Beberapa bentuk Program / Pendekatan rehabilitasi antara lain :


- Program yang berorientasi psikososial
Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik
(kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi
individu, desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang
bertujuan mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa,
serta meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal
(Astuti, 2007).
- Therapeutic Community
Program ini berupa program terstruktur yang diikutu oleh mereka yang
tinggal dalam sutu tempat. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang
dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor,setelah melalui pendidikan
dan latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja.Disini
penderita dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara
efektif serta kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan
memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap. Dalam
komonitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri perbedaan anggota
dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak
membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap
perbuatannya,ganjaran bagi yang berbuat positif dan hukuman bagi yang
berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri (Hawari, 2002).

- Program yang beroirentasi sosial


Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga
mereka dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang
normal,termasuk mampu bekerja.

c. Psikososial
Yang dimaksud dengan terapi psikososial adalah upaya untuk memulihkan
kembali kemampuan adaptasi penyalahgunaan zat ke dalam kehidupan sehari-
hari. Meliputi upaya pemantafan dalam bidang fisik, mental, keagamaan,
komunikasi-interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi
prilaku yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan
penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan.
9. Prognosis
Prognosis pada ketergantungan obat dipengaruhi oleh predisposisi (pengaruh
faktor kepribadian, sosiobudaya dan fisik), mudah sukarnya mendapatkan obat itu
dan sering jarangnya kesempatan memakai obat itu serta bergantung pula pada
lamanya ketergantungan. Bila faktor-faktor tersebut mudah untuk diselesaikan
maka makin baik prognosinya (Maramis, 2009).

Ketergantungan obat perlu ditanggulangi karena ketergantungan itu dapat


mengakibatkan penderitaan dan kerugian pada penderita sendiri, keluarga,
lingkungan disekitarnya dan bangsa. Sebagian yang lain tetap residivis atau
meninggal karena dosis yang berlebihan, kecelakaan dibawah pengaruh obat atau
karena infeksi sekunder (Maramis,2009).

10. Terapi Setelah Perawatan


Meliputi upaya pemantafan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasi
interaksi sosial, edukosional, bertujuan untuk mencapai kondisi prilaku yang lebih
baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan
kelarga pada saat ini sangat diperlukan (Japardi, 2002)

Daftar Pustaka

Dirjen Yanmed Depkes RI: 2000: Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan Zat
Adiktif Lainnya. Bakti Husada.

Holstege, christopher P,MD. 2005. Cocaine- Related Psychiatric Disorder.


http://www.emedicine.

Katzung. Farmakologi dasar dan klinis, staf dosen farmakologi fakultas kedokterang
universitas sriwijaya. EGC : Jakarta
Kay Jerald MD Tasman AllanMD. Cocaine use disorders in Psychiatry : behavioral science
and clinical essentials. Wb Saunders company. Philadelphia. 2000 Hal 248-57.

Sadock BJ dan sadock VA. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis . Edisi ke 2. EGC: Jakarta. Hal
95- 140.

Tjay dan Rahardja, obat-obat penting.Jakarta : PT Elex Media komputindo kelompok


Gramedia, 2003

Anda mungkin juga menyukai