Anda di halaman 1dari 17

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK LAKI-LAKI 8 BULAN DENGAN MEGAKOLON


KONGENITAL

Disusun Oleh:
Nur Dwi Fajarini G99141030

Pembimbing

dr. Hj. Nunik Agustriani, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama : An. RP
Umur : 8 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Banjarsari, Surakarta
Nomor RM : 01-28-45-78
Tanggal Pemeriksaan: 10 September 2015

2. Keluhan Utama
Pasien ingin melanjutkan perawatan

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RS DR Moewardi karena akan melanjutkan
perawatan penutupan stoma. Menurut orang tua pasien, pasien sejak
umur 5 hari dioperasi sigmoidostomy dan pembuatan stoma, sehingga
pasien BAB melalui stoma hingga saat ini. BAB keluar dengan lancar
dari stoma, konsistensi lembek, dan berwarna kuning. Pasien sekarang
sudah tidak mengalami perut kembung setelah menjalani operasi
tersebut. Pasien tidak muntah dan tidak demam.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat operasi : (+) sigmoidostomy 8 bulan yang lalu a.i.
megacolon kongenital
Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

6. Status Nutrisi
Gizi kesan cukup. Pasien minum ASI dan makan makanan tambahan
berupa sayur dan buah yang dilunakkan.

2
7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada tanggal 25 Desember 2014 dari ibu berusia 24
tahun, P1A0, lahir spontan dibantu bidan dengan umur kehamilan 41
minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan (+), ketuban jernih, tidak
berbau, berat badan lahir 2700 gram.

8. Riwayat Kehamilan dan ANC


Riwayat periksa kehamilan : rutin ke bidan
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Compos mentis, menangis kuat, gerak aktif
2. Vital Sign
Temperature : 36,9 C Respiration Rate : 36 x/ menit
Heart Rate : 120 x/ menit Saturasi O2 : 98 %
3. Kepala : mesocephal
4. Mata : konjungtiva anemis (-/-), air mata (+/+), sklera
ikterik (+/+)
5. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
6. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-),
darah (-)
7. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
8. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)
9. Thoraks : bentuk normochest, retraksi (-)
10. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal reguler, bising
(-)
11. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/ sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
12. Abdomen
Lihat status lokalis
13. Genitourinaria : anus (+)

3
14. Ekstremitas
Capillary refill time kurang dari 2 detik
Akral dingin : - - Oedema : - -
- - - -

Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : perut distended (-),tampak luka bekas operasi,
tampak stoma dengan BAB (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)

C. Assesment I
Megacolon congenital post sigmoidostomy

D. Planning I
1. Infus D5% NS 18 cc/jam
2. Cek lab darah
3. Foto colon in loop

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah 4 September 2015 di RSUD Dr.
Moewardi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.9 g/dL 10.8 12.8
Hematokrit 33 % 35 43
Leukosit 12.8 ribu/l 5.5 17.0
Trombosit 464 ribu/l 150 450
Eritrosit 4.2 juta/l 3.90 5.30
Index Eritrosit
MCV 95.5 /m 80.0 96.0
MCH 30.4 Pg 28.0 33.0
MCHC 33 g/dl 33.0 36.0
RDW 11.8 % 11.6 14.6
MPV 7 Fl 7.2 11.1
PDW 27 % 25 65
GDS 102 Mg/dl 80-150
Kimia Klinik

4
Albumin 4.7 g/dl 3.8 5.0
Elektrolit
Natrium darah 149 mmol/L 129 147
Kalium darah 5.4 mmol/L 3.6 6.1
Calsium ion 1.06 mmol/L 1.17 1.50
Serologi Hepatitis
HBsAg nonreactive Nonreactive

2. Colon in loop di RS Moewardi (5 Agustus 2015)


Menyokong gambaran Hirschprungs disease pada segmen sigmoid
descendens junction sampai anal

F. Assesment
Megakolon congenital pro Soave procedure

G. Planning II
Pro Soave procedure a.i. megacolon congenital post sigmoidostomy

5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Megakolon kongenital atau lebih dikenal dengan Hirschsprungs
disease mempunyai beberapa nama yang dikenal dalam literatur seperti
congenital aganglionosis, megacolon congenitum, pelvirectal achalasia, dan
dilatasi kolon kongenital. Megakolon kongenital merupakan penyakit bawaan
pada kolon yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada
pleksus submukosa meissneri dan pleksus mienterikus auerbach. Penyakit ini
biasanya dimulai dari sfingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang
bervariasi, akan tetapi selalu termasuk rektum.1,2
Megakolon kongenital pertama kali ditemukan oleh Herald
Hirschsprung tahun 1886. Namun, patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak
diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian
distal usus akibat defisiensi ganglion.Sel-sel ganglion parasimpatis
bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna
makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen menyebabkan
dilatasi hypertropic massive pada kolon proksimal yang normal sehingga
terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi.1,2,3

B. Epidemiologi
Megakolon kongenitalmempunyai prevalensi kejadian 1,65 dari 10.000
kelahiran hidup dan perbandingan laki-laki dengan perempuan
adalah2:1.Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko
terjadinya megakolon kongenital. Penyakit ini lebih sering terjadi diturunkan
oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Risiko tertinggi terjadinya
megakolon kongenital biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga yang sama dan pada penderita down syndrome.4,5,6

C. Patofisiologi
Megakolon kongenital adalah kelainan kongenital pada kolon yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus
submukosus meissneri dan pleksus mienterikus auerbachi. Hal ini diakibatkan
oleh karena terhentinya migrasi kraniokaudal dari sel krista neuralis di daerah
kolon distal pada minggu ke lima sampai minggu ke dua belas kehamilan
untuk membentuk sistem saraf usus. Aganglionik usus ini mulai dari sfingter
ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, dengan gejala
klinis berupa gangguan pasase usus fungsional.1,2

7
Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube yang
kemudian bermigrasi ke seluruh bagian embrio membentuk bermacam-
macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang kepala
dan wajah serta saluran pembuluh darah jantung. Sel-sel yang membentuk
sistem saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista neuralis yang kemudian
melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini berasal
dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel glial
pada kolon.1,2
Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan
melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh
saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk
agregasi badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun
atas sel-sel ganglion yang berhubungan dengan badan sel saraf dan sel-sel
glial. Ganglia ini kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum
sirkularis otot polos dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus
submukosus meissnerr dan bagian luar disebut pleksus mienterikus auerbach.
Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka
akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah
megakolon kongenital.1
Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu
terlibat dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi sekitar 4-
25 cm. Plexus mienterik auerbach dan submukosa meissner yang tidak
terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk
melakukan gerakan peristaltik sehingga terjadi obstruksi.5
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsik. Fungsi kolon tetap adekuat, meskipun inervasi ekstrinsik hilang.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos dengan
dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat
kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi dan serat
adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.Pada megakolon kongenital, sel-
sel ganglion tidak terbentuk sehingga terjadi peningkatan inervasi usus
ekstrinsik baik kolinergik maupun adrenergik yang berjalan 2-3 kali normal.
Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem
kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos.
Menghilangnyanerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang
meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan
kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi
fungsional.7

8
D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik megakolon kongenital dibagi menjadi:
1. Megakolon kongenital segmen pendek : apabila segmen aganglionik
meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang : apabila segmen aganglionik
lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total : apabila segmen aganglionik
mengenai seluruh kolon (5-11%).
4. Kolon aganglionik universal : apabila segmen aganglionik
1
meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)

E. Manifestasi Klinik
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yaitu pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Keterlambatan pengeluaran
mekonium sangat penting dimana hampir setengah kejadian megakolon
kongenital tidak dapat mengeluarkan mekonium dalam 36 jam sejak
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang
manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.1,2,8
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa. Dapat
pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Pada anak-anak sering
terjadi abdominal discomfort dan distensi abdomen karena efek dari
konstipasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan berat badan dan gizi
buruk.1,2

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Pada neonatus :
a. Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jam
b. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
c. Terdapat distensi abdomen
d. Muntah

9
Pada anak :
a. Konstipasi kronis
b. Mungkin terdapat distensi abdomen
c. Berat badan tidak bertambah
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan perut
lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang. Pada
pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang
sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot
keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut
menghilang untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:
Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses.
Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang membaur dengan
feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan
megakolon namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium
terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.9
b. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan pleksus
submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan serabut saraf
parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika
menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterasedibandingkan dengan pengecatan konvensional
dengan haematoxylin eosin. Hanya saja pengecatan

10
immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan
(Kartono, 2004).Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3,
dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap
meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk
menilai pleksus auerbach.9
c. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan
objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang
melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya, manometri
anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis,
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2
komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti
balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti
poligraph atau komputer.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan
pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi
umum.Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonatus.Beberapa hasil manometri
anorektal yang spesifik untuk megakolon kongenital:
Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;
Sampling refleks tidak berkembang;
Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi spontan.1,5

G. Penatalaksanaan
1. Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.
Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam
basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari
terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-
tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan infus,
pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian
antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta
penjagaan nutrisi.1

11
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri atas
tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah
sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal
bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya enterokolitis yang
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita
megakolon kongenital.
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan dikerjakan
pada saat penderita masih neonatus.1
a. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megakolon
kongenital dengan metode pull-through. Segmen yang aganglionik
direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi
sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk
mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial
posterior.
Prosedur Swenson dimulai dengan pendekatan ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke
bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke
dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan
melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang
tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar
melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2
cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomosis dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah
anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvis. Selanjutnya
dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1,10
b. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvis pada prosedur Swenson. Prinsip
dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik

12
ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan
dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan
fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel, diantaranya :
1. Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan
pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-
2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
2. Modifikasi Talbert dan Ravitch : Modifikasi berupa
pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side
yang panjang;
3. Modifikasi Ikeda : Ikeda membuat klem khusus
untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari
kemudian;
4. Modifikasi Adang : Pada modifikasi ini, kolon
yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose
dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca
bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2
buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan
klem disini lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasis.1,2
c. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak
tinggi. Namun, oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan
bedah definitif megakolon kongenital.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon
proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah
dikupas tersebut.2
d. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.2

13
H. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah pada megakolon kongenital dapat
digolongkan menjadi kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi
terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi,
kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan,
keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian
antibiotik serta perawatan pasca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang
tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses
sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi
yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono mendapatkan
angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan
prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur
Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun
mengalami kebocoran.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda
dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur
Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis,
mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian
akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5%

14
dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan
Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur
Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur
operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi
posterior untuk spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang
stenosis. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat
sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur
Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah
pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan
pemotongan ulang yang lebih panjang.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil
pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan
penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital,
mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena
obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis
anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik.
Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair
dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling
parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada
megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau
kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu
untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal
tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces
lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-
sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca
operasi sangatlah menentukan. Swenson memperoleh angka 13,3%
terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2%

15
dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk
prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%.Pembedahan
dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.
I. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,
90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang
masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka mortalitas megakolon kongenital
pada neonatus yang tidak ditangani masih sangat tinggi yaitu mencapai 80%,
sedang kematian pada kasus-kasus yang telah ditangani 30% disebabkan oleh
karena enterokolitis.Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka mortalitas operasi yang
didapatkan setelah beberapa prosedur operasi antara lain prosedur Swenson
2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur Duhamel 6,2%.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan


Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
2. Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
3. Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprungs disease:
congenital megacolon. In: Sleisenger & Fordtrans Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.:
Saunders, 2002:2131-5.
4. Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North
ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res
AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.
5. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114.
6. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
7. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.
8. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprungs disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swensons pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77.
9. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
10. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

17

Anda mungkin juga menyukai