Anda di halaman 1dari 23

PORTOFOLIO

SEORANG PEREMPUAN USIA 35 TAHUN DENGAN BELLS PALSY

Disusun untuk memenuhi sebagian tugas Internship


RSI Muh Pekajangan Pekalongan

Diajukan kepada :
dr. M Aji Edo

Disusun oleh :
dr. Nur Dwi Fajarini

RSI PKU MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN


KABUPATEN PEKALONGAN
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nur Dwi Fajarini


Judul : Seorang Perempuan Usia 35 Tahun Dengan Bells Palsy
Wahana : RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan

Pekalongan, Mei 2017


Mengetahui dan Menyetujui
Pendamping Internship
RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan

Dokter Pendamping

dr. M Aji Edo

2
PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Borang portofolio
Nama Peserta : dr. Nur Dwi Fajarini
Nama Wahana : RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
Topik : Seorang Perempuan Usia 35 Tahun Dengan Bells Palsy
Tanggal Kasus : 30/4/2017
Pendamping : dr. M Aji Edo

Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Dewasa Lansia
Bumil

Deskripsi :
Seorang Perempuan Usia 35 Tahun Dengan Bells Palsy
Tujuan :
menegakan diagnosis, mengetahui penyebab dan mencegah timbul kembalinya serta
melakukan penatalaksanaan.
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi Email Pos

3
BAB I
DATA PASIEN

I. IDENTITAS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.M
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Wiradesa
Agama : Islam
No. RM : 27.73.XX
Tanggal masuk : 30 April 2017

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : mulut mencong ke kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh mulut mencong ke kiri sejak 3 hari SMRS. Keluhan
dirasakan setelah bangun tidur, sebelumnya pasien melakukan
perjalanan jogja-pekalongan dengan menggunakan motor tanpa
memakai masker. Keluhan disertai dengan rasa tebal dan kaku di
wajah sebelah kanan dan terasa berat ketika ingin bicara. Pasien masih
dapat makan dan minum. Keluhan kelemahan satu sisi pada anggota
gerak disangkal. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Pasien tidak ada
riwayat trauma kepala dan penyakit keganasan. Tidak ada keluhan
nyeri di sekitar telinga kiri. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri
tidak ada, tidak ada gangguan pendengaran. Keluhan pusing berputar,
gangguan pendengaran, rasa makanan berkurang, demam, batuk, pilek
tidak ada. Pasien sebelumnya sudah periksa ke dokter spesialis saraf
dan diberikan obat-obatan, namun setelah minum obat pasien
merasakan mual dan perut terasa perih.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat DM : disangkal

4
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat sakit serupa : disangkal

5. Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan Sekitar


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, yang sering melakukan
perjalanan dengan menggunakan motor tanpa memakai masker.

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berobat menggunakan umum

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan tanggal 30 April 2017
a. Kesan Umum : tampak sakit sedang, kesadaran CM E4V5M6
b. Tanda Vital
i. Tekanan darah: 120/80 mmHg
ii. Nadi : 80 x/menit, reguler, isi tegangan cukup
iii. Suhu : 36,7 0C
iv. Pernapasan : 20 x/menit

c. Kepala : mesocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
e. Leher : kaku kuduk (-)
f. Telinga : discharge (-/-)
g. Hidung : secret (-/-)
h. Mulut : lidah kotor (-)
i. Kulit : hipopogmentasi (-), hiperpigmentasi (-)
j. Leher : pembesaran KGB (-), JVP meningkat
k. Thorax
i. Jantung
Inspeksi : ictus codis tampak
Palpasi : ictus cordis teraba dengan 1 jari dari ICS 5 linea
midclavikula 2 cm ke medial, pulsus parasternal (-),
pulsus epigastrium (-)
Perkusi
Kanan jantung : ICS 5 linea sternalis dextra
Atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra

5
Pinggang jantung: ICS 3 linea parasternalis sinistra
Kiri jantung : ICS 5 linea midclavicula 2 cm ke
medial
Auskultasi : BJ I-II regular, bising (-)
Kesan: Normal
ii. Paru
Inspeksi : Pengembangan hemithoraks simetris
Palpasi : Sterm fremitus simetris
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+), Ronki (-), Wheezing (-)
Kesan: Normal
l. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Tymphani di semua regio abdomen
Palpasi : supel
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba (S0)
Kesan : normal
m. Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill time < 2/ < 2 < 2/ < 2
Kesan: Normal
Status Neurologi
Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6

Meningeal Sign :-

Fungsi Luhur : dalam batas normal

Fungsi otonom : dalam batasnormal

Fungsi Sensorik : dalam batas normal

Fungsi Motorik dan Reflek :

Kekuatan 5 5

6
5 5

Tonus : N N

N N

Reflek fisiologis: +2 +2

+2 +2

Reflek patologis: - -

- -

Nervus Cranialis

N. III : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor (3 mm/3mm)

N. VII : parese dextra

N XII : t.a.k

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan darah rutin
Darah Rutin :

Hb : 10 g/dL 9.9 13,5

Leukosit : 8.700 5700 - 9400

Ht : 29% 30 - 40

Trombosit : 250.103/L 196 353.103

LED 1 jam : 83 mm/jam 0 20

LED 2 jam : 122 mm/jam 0 20

7
Diff Count

Eosinofil :3 24

Basofil :0 01

Netrofil Batang :0 26

Netrofil Segmen : 71 50 70

Limfosit : 25 25 40

Monosit :4 28

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


Subyektif:

Pasien mengalami mulut mencong ke kiri sejak 3 hari SMRS setelah bangun
tidur.
Wajah bagian kanan terasa tebal dan kaku
Terasa berat jika berbicara
Pasien masih bisa makan dan minum
Tidak ada kelemahan anggota gerak 1 sisi
BAB dan BAK tidak ada kelainan
Riwayat melakukan perjalanan malam jogja-pekalongan tanpa masker
Setelah minum obat-obatan yang diberikan dokter spesialis saraf, pasien mual
dan perut terasa perih

Objektif:
a. Kesan Umum : GCS E4V5M6, tampak sakit sedang,
b. Tanda Vital
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi tegangan cukup
Suhu : 36,7 0C
Pernapasan : 20 x/menit

8
c. Status Neurologi
Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
Meningeal sign :-
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi otonom : dalam batasnormal
Fungsi Sensorik : dalam batas normal
Fungsi Motorik dan Reflek :
Kekuatan 5 5
5 5
Tonus : N N
N N
Reflek fisiologis: +2 +2
+2 +2
Reflek patologis: - -
- -
Nervus Cranialis
N. III : reflek cahaya (+/+) ; pupil isokor (3 mm/3mm)
N. VII : parese dextra
N XII : t.a.k
Pemeriksaan N. VII
Pasif
Kerutan kulit dahi : asimetris, kanan kerutan dahi tidak tampak jelas
Lipatan nasolabial : asimetris, kanan lebih datar
Sudut mulut : asimetris kanan lebih rendah
Aktif
Mengerutkan dahi : (-) (+)
Mengerutkan alis : (-) (+)

9
Menutup mata : (+) (+)
Meringis : (+) tdk maksimal (+)
Menggembungkan pipi : (+) (+)
Daya pengecapan lidah 2/3 depan : tidak dilakukan
Hiperlakrimasi : tidak ditemukan
Lidah kering : tidak ditemukan

Assesment
Bell's palsy atau yang lebih sering disebut dengan Idiopathic Facial
Paralysis (IFP) adalah suatu paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang
disebabkan kerusakan saraf facialis yang menyebabkan kelemahan atau paralysis
satu sisi wajah yang timbul akut akibat lesi atau peradangan pada nervus fasialis
yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
Penyebab pasti kelumpuhan nervus fasialis perifer pada Bells palsy tidak
diketahui (idiopatik) tetapi diduga mekanisme inflamasi terjadi pada nervus
fasialis yang melewati kanalis fasialis sehingga menyebabkan kompresi dan
demielinisasi pada akson dan berkurangnya aliran darah pada neuron. Namun,
penelitian terbaru menyebutkan adanya infeksi virus diduga sebagai penyebab
Bells palsy berdasarkan bukti serologis, di mana ditemukan serologi positif
untuk virus herpes simpleks (HSV) pada 20-79% pasien Bells palsy.

PATOFISIOLOGI
Nervus fasialis merupakan saraf motorik yang mengontrol gerakan
volunteer dari otot-otot wajah. Sarah ini juga terdiri dari komponenn sensorik.
Serat sensorik mensarafi sensari pengecapan dari dua pertiga depan liadah. Serat
lain mengantarkan sensasi dari kanalis auditorius eksternus. Serat autonon
mengontrol sekresi dari kelenjar mandibula, sublingual dan lakrimal.
Jalur sistem saraf pusat yang terlibat dalam pergerakan wajah mulai dari
korteks kedua hemisfer dan turun sepanjang serat piramidalis untuk membentuk
sinaps pada intik nucleus di batang otak. Nervus fasialis keluar dari nucleus pada

10
dasar pons di batang otak. Kemudian melewati meatus akustikus internus terus ke
kanalis fasialis tulang petrosus temporal bersama nervus akustikus. Saat
melewati tulang petrosus tempolal, nervus fasialis berbelok ke posterior untuk
memberi cabang yang mengontrol fungsi kelenjar lakrimal. Kemudian berjalan
ke belakang dan lateral mengelilingi vestibulum telinga tengah dan mengirim
cabang ke otot strapedius yang mengatur reflex stapedius. Kerusakan nervus
fasialis di proksimal cabang ini menyebabkan hiperakusis (hipersensitivitas yang
nyeri terhadap suara keras).
Nervus fasialis mempunyai cabang yang menyuplai chorda timpani, yang
mengontrol sekersi kelenjar submandibula dan sublingual dan sensasi rasa dua
pertiga depan lidah. Nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen
stilomastoideus dan kemudian berjalan melalui kelenjar parotis, dimana berakhir
di cabang temporal, zigomatikum, buccal, mandibula dan servikal untuk
mensuplai otot-otot ekspresi wajah dan penutupan kelopak mata.
Dahi menerima inervasi dari kedua hemisfer serebri. Lesi unilateral pada
sistem saraf pusat di atas inti nervus fasialis melibatkan badan sel atau serat saraf
yang berhubungan dengan inti fasial akan menyebabkan paralisis hanya pada
setengah bagian bawah wajah saja. Sebaliknya, lesi di inti fasial batang otak atau
pada saraf itu sendiri akan menyebabkan paralisis wajah bagian bawah dan juga
dahi.
Paralisis nervus fasial ada yang tipe sentral dan tipe perifer. Pada tipe
sentral melibatkan jaras kortikolbulbar yang mengahantarkan impuls dari korteks
serebri ke nukleus dari saraf fasial. Lesi tipe sentral menyebabkan paralisis pada
setengah otot-otot wajah bagian bawah pada sisi yang berlawanan dari sisi lesi
karena setengah otot-otot wajah bagian atas dipersarafi secara bilateral oleh jaras
kortikobulbar, sedangkan bagian bawahnya hanya dipersarafi oleh jaras
kortikobulbar kontralateral dari sisi wajah.
Bells palsy terjadi akibat adanya disfungsi dimanapun disepanjang bagian
perifer nervus facial dari level pons bagian distal. Terjadinya lesi perifer pada

11
nervus fasial menyebabkan terjadinya paralisis total pada daerah wajah sesisi lesi
nya.
Bell palsy disebabkan oleh edema dan iskhemia yang menghasilkan
tekanan saraf fasialis yang berjalan sampai saluran tulang. Penyebab edema dan
iskhemia masih diperdebatkan. Di masa lalu, pada keadaan dingin (misalnya
angin dingin, pengaruh keadaan udara dingin, atau mengemudi dengan jendela
yang terbuka) telah dipertimbangkan sebagai satu-satunya pemicu pada Bell
palsy. Bagaimanapun, kebanyakan penulis percaya bahwa herpes simpleks virus
(HSV) adalah penyebab yang hampir bisa dipastikan. Tapi hubungan antara HSV
dan Bell palsy sangat sulit karena HSV ada dimana mana.

ETIOLOGI
Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion
ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen
timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007). Secara klinis, Bells palsy telah
didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas.
Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain
iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi
penyebabnya.
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam
kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau
iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar belakang untuk
dekompresi bedah pada pengobatan Bells palsy (Kanerva 2008). Suatu hipotesa
imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan penelitian
eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi
limfosit pada pasien Bells palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bells
palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf

12
perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan
imunoterapi lainnya.
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak
fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada
seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva
2008). Suatu penelitian systematic review berdasarkan Cochrane database, yang
dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas tinggi telah
menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam
menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bells palsy. Karena tidak
efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bells palsy sehingga perlu
dipertimbangkan adanya penyebab Bells palsy yang lain.
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells
palsy, terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance (Garg
dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif
tentang dasar genetik dari BeIIs palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem
Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat
dengan berbagai penyakit autoimun

GEJALA KLINIK
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang
biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi, tergantung
lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan
tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot
stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular,
sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada du pertiga lidah melalui korda
timpani.
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang
terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk alis mata turun, dahi
tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola
mata berputar ke atas (Bell's phenomen), sudut nasolabial tidak tampak, dan

13
mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata,
hiperakusis, dan atau berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan
lidah. Beberapa literatur juga menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala
tambahan yang sering dijumpai pada pasien BeIls palsy. Nyeri postauricular
dapat ditemukan pada hampir 50% pasien Bells palsy. Nyeri ini dapat terjadi
bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi
sebelum onset paralisis
DIAGNOSIS
Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam
mendiagnosis Bells palsy
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit,
ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang
progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang.
keluhan khas pada pasien Bells palsy adalah kelemahan atau paralisis komplit
pada seluruh otot wajah sesisi wajah sehingga pasien merasa wajahnya perot.
Makanan dan air liur dapat terkumpul pada sisi yang mengalami gangguan
pada mulut dan dapat tumpah ke luar melalui sudut mulut.
Pemeriksaan fisik
a. Lipatan wajah dan lipatan nasolabial menghilang, lipatan dahi juga
menghilang sesisi, dan sudut mulut jatuh/ mulut mencong ke sisi yang
sehat.
b. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, jika pasien diminta untuk
menutup mata maka mata akan berputar-putar ke atas (fenomena Bells).
c. Produksi airmata berkurang, iritasi pada mata karena berkurangnya
lubrikasi dan paparan langsung.

14
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis
perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga
dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi
perifer, tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat
menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan
defisit neurologis lainnya, sekurangkurangnya kelumpuhan ekstremitas pada
sisi yang kontralateral.
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis
rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis
fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu
Bells palsy
Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang.
Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat
dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging
(MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan
paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf
kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan
sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau spasme yang
mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan
juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes
audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan
sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu
Kriteria Diagnosis
Menurut Taverner (1954 ):

15
A. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah
B. Onset yang tiba- tiba
C. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
D. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle.
Menurut Ronthal dkk (2012):
A. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang digambarkan
dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa kehilangan
pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau sekresi yang berubah dari
kelenjar saliva dan lakrimal.
B. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2 hari, perjalanan penyakit progresif,
mencapai kelumpuhan klinIs/ paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang
dari hari pertama kelemahan terlihat; dan penyembuhan yang dijumpai dalam
6 bulan.
Untuk menilai derajat paresis N. Facialis digunakan House Brackmann
Classification of Facial Function, yaitu :
a. Derajat 1 : fungsional normal
b. Derajat 2 : angkat alis baik, menutup mata komplit, mulut sedikit asimetris
c. Derajat 3 : angkat alis sedikit, menutup mata komplit dengan usaha, mulut
bergerak sedikit lemah dengan usaha maksimal
d. Derajat 4 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan
usaha, mulut bergerak asimetris dengan usaha maksimal
e. Derajat 5 : tidak dapat mengangkat alis, menutup mata inkomplit dengan
usaha, mulut sedikit bergerak
f. Derajat 6 : tidak bergerak sama sekali

TATALAKSANA

a. Non-Bedah / Konservatif
Non-Farmakologis
Tindakan fisioterapi yang direkomendasikan adalah terapi panas superfisial,
elektroterapi dengan menggunakan arus listrik, latihan dan pemijatan wajah
disertai kompres panas.

16
latihan otot wajah
Latihan wajah dapat bermanfaat pada pasien dengan Bell palsy. Mereka harus
dilakukan sambil berdiri di depan cermin dan termasuk mencoba mengangkat
alis, membuka dan menutup mata, meniup, dan bersiul. latihan ini dapat
dilakukan beberapa kali sehari. Efektivitas latihan belum telah dievaluasi secara
resmi.
Farmakologis
Dalam penatalaksanaan Bells palsy pada pasien ini kita berikan kortikosteroid
dan antiviral. Tiemstra dkk7 mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat
bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis,
meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis
sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus.
Dosis kortikosteroid 60 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Karena terdapat perbaikan
pada kontrol hari ketiga pengobatan, maka setelah hari kelima dosis
kortikosteroid kita turunkan menjadi 40 mg/hari dibagi dalam 4 dosis selama 5
hari berikutnya. Setelah 10 hari pemberian kortikosteroid, pada kontrol terdapat
perbaikan yang cukup besar, maka dosis kortikosteroid kita turunkan secara
bertahap setiap 3 hari sampai mencapai dosis minimal (1x5mg). Cara pemberian
kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi menurut Tiemstra dkk
Prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan
diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk
Prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10
mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total pemberian prednison 10 hari).
Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti
Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang
lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama
10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya
diduga virus herpes zoster, maka dosis Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5
kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari.11 Kombinasi penggunaan
kortikosteroid dan Antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada

17
penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan
dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau
intravena.
b. Bedah
Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi
dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit
atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menun jukan penurunan
amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat
pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle
fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen
mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.

KOMPLIKASI

- Iritasi dan ulserasi kornea karena pasien Bells palsy mengalami kesulitan
menutup salah satu mata yang mengalami lesi, sehingga harus selalu diberi
lubrikasi dengan airmata artificial.
- Kelemahan permanen pada kelopak mata mungkin memerlukan tarsorhaphy.
- Asimetri wajah dan kontraktur muskuler perlu dilakukan tindakan
pembedahan kosmetik atau pemberian injeksi toksin Botulinum.

PEMANTAUAN

- Fungsi motorik otot wajah


- Gangguan lakrimasi, gangguan hiperakusis, gangguan pengecapan
- Komplikasi

PROGNOSIS

Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan
derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang

18
lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang
dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells palsy dengan House-Brackmann kurang
dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih
dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen.15 Pada pasien
ini, hari ketiga pengobatan sudah terdapat perbaikan walaupun belum maksimal.
Pada hari kesepuluh, kelumpuhan saraf fasialisnya sudah mencapai House-
Brackmann derajat II, lokasinya setinggi infra khorda dan fungsi motorik yang
terbaik meningkat menjadi 76%, setelah 3 minggu terapi kelumpuhan saraf
fasialisnya sudah tidak terlihat lagi (HB I) dan fungsi motorik otot wajahnya sudah
normal.
Diperlukan pemeriksaan untuk menentukan prognosis penyakit ini.
Pemeriksaan tersebut direkomendasikan pada kelumpuhan komplit atau bila tidak
terdapat tanda-tanda penyembuhan dalam 3 minggu dari onset penyakit. Menurut
Yeo dkk ENoG merupakan alat yang dapat membantu memperkirakan prognosis
penyakit. Alat ini dapat mencatat compound action potential dari otot fasialis
setelah diberikan stimulasi elektrik supramaksimal pada saraf fasialis bagian distal
dari foramen stilomastoid.
Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-
anak. Chen dkk melaporkan terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami
rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau
aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi
yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes
Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bells palsy dalam
keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit

Plan
Diagnosis Utama
Bells Palsy
Pengobatan
Terapi IGD

19
Inf RL 20 tpm
Inj.ranitidine 1 amp
Inj ondancetron 1 amp
Obat-obat yang dibawa lanjut :
mecobalamin 3x1
asam mefenamat 3x1
metil prednisolon 2x1
acyclovir 3x400 mg
atorvastatin 2x1

Terapi bangsal oleh dr.Sutanto, Sp.S :


Inf RL 20 tpm
Inj. Ondancetron 1 amp/12 jam
PO : mecobalamin 3x1
asam mefenamat 3x1
metil prednisolon 2x1
acyclovir 3x400 mg
atorvastatin 2x1
magalat syr 3xC1

Fisioterapi

Pendidikan:
Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit,
penyebab penyakit, kondisi pasien, dan pengobatan yang akan diberikan.
Perlu juga dijelaskan mengenai komplikasi yang mungkin akan terjadi. Selain
itu juga dijelaskan rehabilitasi medis yang akan dilakukan selanjutnya.

Konsultasi:
Konsultasi ditujukan kepada dr. Sp. S untuk mendapatkan terapi lebih lanjut

Pekalongan, Mei 2017


Dokter Internship Dokter Pendamping

dr. Nur Dwi Fajarini dr. M Aji Edo


DAFTAR PUSTAKA

20
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, editor. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta : EGC ; 2009.

Duus P. Diagnostik Topik Neurologi. Jakarta: EGC. 1996; hal 112-18.

Harsono. Kapita selekta neurologi. Ed. 6. yogyakarta : Gadjah mada university press ;
2007.

21
22
23

Anda mungkin juga menyukai