Anda di halaman 1dari 17

Program Penanganan dan Pencegahan HIV dan AIDS di Puskesmas

Margaretha Himawan
102013003
Margaretha.2013fk003@civitas.ukrida..ac.id
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta 11510

Pendahuluan
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang sel
darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome atau AIDS sekumpulan gejalan penyakit yang timbul kerana turunya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunya kekebalan tubuh,
maka orang yang tersebut sangat mudah untuk terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi
opportunistik) yang sering berakibat fatal. Pengobatan dengan kombinasi tiga atau lebih obat
anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly active anti-retroviral therapy (HAART), telah
menyebabkan penurunan dramatis kesakitan dan peningkatan harapan hidup. Namun,
manfaat ini dibatasi untuk negara-negara yang mampu regimen obat ini dan memiliki
infrastruktur untuk membebaskan mereka dengan aman dan efektif.
Di Indonesia, kejadian HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada
tahun 1987. Hingga saat ini HIV AIDS sudah tersebar ke 386 kabupaten atau kota di seluruh
provinsi Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan yang sudah dilakukan oleh pemerintah
berkerjasama dengan berbabagai lembaga dalam negeri dan luar negeri.1

Definisi HIV dan AIDS


Pengertian HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV
adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia
dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam
melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan
defisiensi (kekurangan) sistem imun.
Definisi AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam
tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS.1,2

Epidemiologi
Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari pengetahuan Ilmu Kesehatan
Masyarakat (Public Health) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit
dan masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat. Keberadaan penyakit masyarakat itu
didekati oleh epidemiologi secara kuantitatif. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang distribusi, frekuensi, dan determinan penyakit pada populasi, yaitu: Distribusi yang
terdiri dari orang, tempat, waktu; Frekuensi yakni Insiden dan atau prevalen; Determinan
faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau faktor yang memberi risiko atas terjadinya
penyakit atau masalah kesehatan.
Epidemiologi deskriptif, di dalam epidemiologi deskriptif dipelajari bagaimana
frekuensi penyakit berubah menurut perubahan variabel-variabel epidemiologi yang terdiri
dari orang (person), tempat (place), dan waktu (time). Epidemiologi deskriptif tidak
menjawab pertanyaan kenapa (why) timbulnya masalah kesehatan tersebut.
Epidemiologi analitik, pendekatan atau studi ini dipergunakan untuk menguji data
serta informasi-informasi yang diperoleh dari studi epidemiologi deskriptif.
Factor host atau factor pejamu dari penyakit HIV/AIDS adalah manusia. Manusia
yang menjadi korban penyakit ini tidak menentu bisa laki-laki bisa juga perempuan. Namun
biasanya penyakit ini menyerang lebih banyak pada perempuan karena faktor anatomis
biologis dan faktor sosiologis gender. Dari segi umur remaja lebih rentan terjangkit virus HIV
dibandingkan dengan anak-anak ataupun orang dewasa, hal ini disebabkan karena pergaulan
bebas. Distribusi penderita AIDS di Amerika Serikat Eropa dan Afrika tidak jauh berbeda
kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun. Hal ini membuktikan bahwa transmisi
seksual baik homoseksual mapupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama.
Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi terbesar
terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20-30 tahun
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang mudah mengalami
mutasi sehingga sulit untuk membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya
penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya,
semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya
sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus
lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila
dipanaskan sampai temperatur 60 selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air.
Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang
dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan
peralatan medis atau peralatan lain. Faktor pembawa dari penyakit AIDS adalah virus HIV
(Immunodeficiency Virus). Virus ini dapat ditularkan melalui hubungan badan dengan
seorang yang telah positif terjangkit virus HIV sebelumnya, dapat pula ditularkan melalui
jarum suntik yang tidak steril dan melalui transfuse darah.
Lingkungan biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan
penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwata ulkus genitalis, Herpes Simpleks dan
STS (Serum Test for Sypphilis) yang positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-
luka ini menjadi tempat masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB.
Pada para WTS di Nairobi terbukti bahwa kelompok yang menggunakan obat KB
mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi. Lingkungan sosial yang buruk seperti pergaulan
bebas dapat meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS. Pergaulan bebas di pengaruhi oleh laju
budaya yang berpindah, yaitu budaya barat termasuk seks bebas yang masuk ke budaya
timuran termasuk Indonesia atau di sebut juga globalisasi

Transmisi Penyakit AIDS

Secara kontak seksual, ano-genital cara hubungan seksual ini merupakan perilaku
seksual dengan resiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi kaum mitra seksual yang
pasif menerima ejakulasi semen dari pengidap HIV; oro-genital,cara hubungan ini merupakan
tingkat resiko kedua, termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV; genito-
genital / Heteroseksual Penularan secara heteroseksual ini merupakan tingkat penularan
ketiga, hubungan suami istri yang mengidap HIV, resiko penularannya, berbeda-beda antara
satu peneliti dengan peneliti lainnya.

Secara non seksual, transmisi parental penggunaan jarum dan alat tusuk lain (alat
tindik, tatto) yang telah terkontaminasi, terutama pada penyalahgunaan narkotik dengan
mempergunakan jarum suntik yang telah tercemar secara bersama-sama. Penularan parental
lainnya, melalui transfusi darah atau pemakai produk dari donor dengan HIV positif,
mengandung resiko yang sangat tinggi.
Transmisi Transplasental Transmisi ini adalah penularan dari ibu yang mengandung HIV
positif ke anak, mempunyai resiko sebesar 50%.

Manajemen dan Administrasi Puskesmas


Dalam usaha melaksanankan program-program atau dimana saja pusat kesehatan
harus dimulai dengan manajemen atau administrasi. Manajemen adalah ilmu dan seni tentang
bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Tiga prinsip pokok penerapan
manajemen adalah; Efisien, dalam pemanfaatan sumberny; Efektif, dalam memilih alternatif
kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; Rasional, dalam pengambilan keputuan
manajerial
Proses manajemen dapat dikaji dari proses pemecahan masalah yang dikembangkan
oleh semua unit kerja di dalam organisasi. Langkah praktisnya terdiri dari identifikasi
(perumusan) masalah dan langkah langkah pemecahannya. Untuk itu diperlukan
penguasaan teknik-teknik identifikasi masalah dan pemilihan alternatif terbaik pemecahan
masalah (analisis situasi). Untuk menganalisis masalah kesehatan masyarakat seorang
manajemen puskesmas dapat menggunakan ;Pendekatan epidemiologi; Prinsip prinsip
public health; Kedokteran pencegahan; Paradigma hidup sehat; dan Analisis sistem.3
Sedangkan administrasi adalah proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan secara
bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Administrasi baik dalam
pengertian luas maupun sempit didalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-
fungsi manajemen, yang terdiri dari prencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan.
Masukan merupakan suatu struktur yang berupa sumber daya manusia (man), dana
(money), sarana fisik perlengkapa dan peralatan (material), organisasi dan manajemen
(method).Proses meliputi perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan, pencatatan, dan
pelaporan, serta pengawasan.
Perencanaan merupakan proses penyusunan rencana tahuan Puskesmas untuk
mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas. Perencana akan memberikan pola
pandang secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang akan dijalankan, siapa yang akan
melakukan dan kapan akan dilakukan. Puskesmas merupakan unit pelaksana pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat 1 yang dibina oleh DKK, yang bertanggung kawab untuk
melaksanakan identifikasi kondisi maslah kesehatan masyarakat dan lingkungan serta
fasilitas pelayanan kesehatan meliputi cakupan mutu pelayanan, identifikasi mutu sumber
daya manusia dan provider, serta menetapkan kegiatan untuk menyelesaikan masalah.
Perencanaan meliputi kegiatan program dan kegiatan rutin puskesmas yang berdasarkan visi
dan misi puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan primer dimana visi dan misi
digunakan sebagai acuan dalam melakukan setiap kegiatan pokok puskesmas.
Budgeting dalam perencanaan manajemen keuangan dikelola sendiri oleh puskesmas
sesuai tatacara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan. Adapun sumber biaya
didapatkan dari pemerintah daerah, retribusi puskesamas, swasta ataupun lembaga sosial
masyarakat dan pemerintah yang ditujukan untuk jenis pembiayaan layanan kesehatan yang
mempunyai ciri-ciri barang atau jasa publik seperti penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi,
dan pelayanan kesehatan.
Pengorganisasian, Dinas Kesehatan Kota mempunyai tugas untuk menentukan
menetapkan struktur organisasi puskesmas dengan pertimbangan sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat 1. Pada organisasi meliputi kepala, wakil kepala, unit tata
usaha, unit fungsional agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksaaan kegiatan yang
nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas program yang ditangani.Struktur organisasi
puskesmas: Unsur pimpinan yaitu kepala Puskesmas; Unsur pembantu pimpinan yaitu Tata
usaha; Unsur pelaksana yaitu Unit I, II, III, IV, VI, VII.4
Pelaksanaan merupakan fungsi penggerak semua kegiatan yang telah dituangkan
dalam fungsi pengorganisasian untuk mencapai tujuan organisasi yang telah dirumuskan pada
fungsi perencanaan. Fungsi manajemen ini lebih menekankan tentang bagaimana manajer
mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati. Dalam menggerakan dan mengarahkan sumber daya manusia dalam suatu
organisasi, peranan pemimpin, motivasi staf, kerjasama dan komunikasi antar staf merupakan
hal-hal pokok yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer.
Secara praktis fungsi pelaksanaan ini merupakan usaha untuk menciptakan iklim
kerjasama diatara staf pelaksana program sehingga tujuan organisasi tercapai secara efektif
dan efisien. Fungsi pelaksaan ini haruslah dimulai dari manajer, dimana manajer harus
menunjukan kepada stafnya bahwa ia mempunyai tekad untuk mencapai kemajuan dan peka
terhadap lingkungannya. Ia harus mempunyai kemampuan bekerjasama denga orang lain
secara harmonis.5
Pengawasan (controling) dalam manajemen puskesmas merupakan fungsi terakhir
yang berkait erat dengan fungsi manajemen yang lainnya. Melalui fungsi pengewasan dan
penegendalian, standar keberhasilan selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau
yang mampu dikerjakan. Jika ada penyimpangan maka diupayakan dapat terdeteksi sacara
dini, dicegah, dikendali atau dikurangi. Tindakan pengewasan ini bertujuan agar efisiensi
penggunaan sumber daya dapat lebih berkembang, dan efektifitas tugas-tugas staf untuk
mencapai tujuan program dapat lebih terjamin.
Tiga langkah untuk melakukan pengawasan: Mengukur hasil yang telah dicapai;
Membandingkan hasil yang dicapai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya;
Memperbaiki penyimpangan yang dijumpai berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya
penyimpangan. Jika ditemukan penyimpngan maka pimpinan lebih dulu berusaha untuk
mencari faktor penyebabnya dan mengatasinya.
Keluaran adalah hasil akhir dari kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional
terhadap pasien atau terhadap suatu program yang dilaksanakan.Sasaran merupakan golongan
yang menjadi tumpuan terhadap pelaksanaan suatu program yang direncanakan. Sasaran
dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Dampak adalah hasil dari pelaksaan yang dijadikan indikator apakah kebutuhan dan
tuntutan kelompok sasaran terpenuhi atau tidak. Dampak merupakan indikator yang sulit
untuk dinilai. Umpan balik, merupakan hasil dari keluaran yang menjadi masukan dari suatu
sistem. Lingkungan fisik (faktor kesulitan geografis, iklim, transport, dan lain-lain) dan non
fisik (sosial budaya, tingkat pendapatan ekonomi masyarakat, pendidikan masyarakat, dan
lain-lain).

Strategi dan Promosi Kesehatan


Promosi kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat agar mampu memelihara
dan meningkatkan kesehatannya. Proses pemberdayaan dilakukan dengan pembelajaran
yaitu upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam bidang
kesehatan Proses pemberdayaan dilakukan: dari, oleh dan untuk masyarakat, melalui
kelompok potensial, bahkan semua komponen masyarakat Proses pemberdayaan dilakukan
sesuai dengan sosial budaya setempat, artinya sesuai dengan keadaan, permasalahan dan
potensi setempat Proses pembelajaran dibarengi dengan upaya mempengaruhi lingkungan,
baik fisik, non fisik, maupun kebijakan.
Menurut Depkes RI (2005), kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan
3 strategi dasar promosi kesehatan, yaitu: Gerakan pemberdayaan adalah proses pemberian
informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran,
serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tahu menjadi tahu atau
sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mahu (aspek attitude), dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Sasaran utama
pemberdayaan adalah indivisu dan keluarga, serta kelompok masyarakat;
Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan social yang
mendorong individu anggota masyarakat mau melakukan perilaku yang diperkenalkan.
Seseorang akan terdorong untuk melakukan sesuatu apabila lingkungan social di mana pun
dia berada memiliki opini positif terhadap perilaku tersebut. Terdapat 3 pendekatan suasana :
Bina suasana individu ditujukan kepada individu-individu tokoh masyarakat; Bina suasana
kelompok ditujukan kepada kelompok masyarakat seperti Kepala Lingkungan, majelis
pengajian, organisasi pemuda dan lain-lain; Bina suasana masyarakat dilakukan terhadap
masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis atau terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Advokasi diarahkan
untuk mendapatkan dukungan yang berupa kebijakan, dana, sarana dan lain-lain.
Stakeholders yang dimaksudkan bisa berupa tokoh masyarakat formal yang umumnya
berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan penyandang dana pemerintah, tokoh
agama, tokoh adat dan lain-lain.
Kemitraan harus digalang dalam rangka pemberdayaan maupun bina suasana dan
advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan. Dengan demikian
kemitraan perlu digalang antar individu, keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang
terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka atau tokoh masyarakat, media massa
dan lain-lain.6

Surveilans
Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk mengetahui tingkat masalah melalui
pengumpulan data yang sistematis dan terus menerus terhadap distribusi dan kecenderungan
infeksi HIV dan penyakit terkait lainnya. Tujuan surveilans HIV/AIDS adalah untuk
memperoleh gambaran epidemiologi tentang infeksi HIV/AIDS di Indonesia untuk keperluan
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.
Manfaat Surveilans HIV/AIDS: Melakukan pengamatan dini yaitu Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) HIV/AIDS di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya
dalam rangka mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) HIV/AIDS; Dapat menjelaskan pola
penyakit HIV/AIDS yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan tindakan
tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.
Contoh kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : Deteksi perubahan akut dari
penyakit HIV/AIDS yang terjadi dan distribusinya; Identifikasi dan perhitungan trend dan
pola penyakit HIV/AIDS; Identifikasi dan faktor risiko dan penyebab lainnya, seperi vektor
yang sebabkan HIV: Deteksi perubahan pelayanan kesehatan.

Konsep Surveilans HIV dan AIDS


Prosedur pemeriksaan darah untuk penderita AIDS adalah yang pertama harus
mengisi informed consent yang artinya ketersediaan subjek untuk diambil darahnya kemudian
diberikan konseling sebelum serta sesudah test terhadap subjek dan yang terpenting harus
rahasia agar subjek yag diambil darahnya merasa nyaman dan tidak timbul rasa khawatir
misalnya tidak di beri nama bisa langsung nama kota atau nama samara saja.
Cara pencatatan kasus surveilans AIDS yaitu yang pertama malakukan pemeriksaan
fisik terhadap penderita yang mencurigakan terkena AIDS seperti terdapat 2 tanda mayor
serta 1 tanda minor, kedua yaitu pemeriksaan laboratorium untuk menguatkan dugaan
terhadap penderita, selanjutnya pemeriksaan laboratorium akan menghasilkan data apakah
penderita positif AIDS atau tidak. Apabila penderita positif menderita AIDS maka wajib
mengisi formuir penderita AIDS agar semua kasus dapat dilaporkan baik yang sudah
meninggal atau yang masih hidup, untuk yang sudah meninggal meskipun sebelumnya sudah
lapor pada saat meninggal juga wajib lapor, karena penguburan mayat positif AIDS berbeda
dengan yang biasa.
Pelaporan kasus surveilans AIDS yaitu dengan menggunakan formulir dari laporan
penderita positif AIDS yang kemudian laporan kasus ini dikirim secepatnya tanpa menunggu
suatu periode waktu dan harus dilaporkan pada saat menemukan penderita positif AIDS bisa
melalui fax atau email untuk sementara tetapi kemudian disusul dengan data secara tertulis.

Program puskesmas untuk HIV/AIDS


Voluntary, Counseling and Test adalah proses konseling pra testing, konseling post
testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidental dan secara lebih dini
membantu orang mengetahui status HIV. Dalam tahapan VCT, konseling dilakukan dua kali
yaitu sebelum dan sesudah tes HIV. Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi
tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian
konselor melakukan penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan
yang beresiko HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba suntik,
pernah menerima produk darah atau organ, dan sebagainya. Konseling pra testing
memberikan pengetahuan tentang manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan
perencanaan atas issue HIV yang dihadapi.
Setelah tahap pre konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat melakukan tes,
darah akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara
setengah jam sampai satu minggu tergantung metode tes darahnya. Dalam tes HIV, diagnosis
didasarkan pada antibodi HIV yang ditemukan dalam darah. Tes antibodi HIV dapat
dilakukan dengan tes ELISA, Westren Blot ataupun Rapid. Setelah klien mengambil hasil
tesnya, maka klien akan menjalani tahapan post konseling.
Apabila hasil tes adalah negatif (tidak reaktif) klien belum tentu tidak memiliki HIV
karena bisa saja klien masih dalam periode jendela, yaitu periode dimana orang yang
bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan
terhadap HIV. Klien dengan periode jendela ini sudah bisa menularkan HIV. Kewaspadaan
akan periode jendela itu tergantung pada penilaian resiko pada pre konseling. Apabila klien
mempunyai faktor resiko terkena HIV maka dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga
bulan setelahnya. Selain itu, bersama dengan klien, konselor akan membantu merencanakan
program perubahan perilaku.
Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka dilakukan
pemeriksaan kedua dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas dan spesifisitas pada reagen
yang digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya dengan
konselor. Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan.
Misalnya, jika klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok sebaya.
Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan bagaimana
agar tidak menularkannya ke orang lain.
Pemeriksaan dini terhadap HIV/AIDS perlu dilakukan untuk segera mendapat
pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan bagi mereka yang diidentifikasi terinfeksi karena
HIV/AIDS belum ditemukan obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat. Memulai
menjalani VCT tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam VCT dijamin
kerahasiaannya dan tes ini merupakan suatu dialog antara klien dengan petugas kesehatan
yang bertujuan agar orang tersebut mampu untuk menghadapi stress dan membuat keputusan
sendiri sehubungan dengan HIV/AIDS.2

Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB)


Dalam rangka melaksanakan program pencegahan dan penangulangan HIV-AIDS,
Konsep Layanan yang komprehensif dan Berkesinambungan di gagas oleh Kementerian
Kesehatan melalui upaya-upaya promotif, preventif kuratif, dan rehabilitatif agar Masyarakat
yang belum terinfeksi tidak tertular HIV-AIDS. Bagi Masyarakat yang sudah terinfeksi dapat
meningkatkan kualitas hidupnya di masa yang akan datang. Secara teknis upaya-upaya
tersebut dilakukan dengan menyediakan layanan HIV yang komprehensif atau paripurna
sejak terjadi kasus HIV-AIDS di rumah/komunitas hingga ke layanan kesehatan seperti
Puskesmas/Rumah Sakit. Baik selama perjalanan infeksi HIV sampai dengan si pasien dapat
kembali lagi ke rumah.3,4
Dalam implementasinya LKB ini harus melibatkan seluruh pihak baik pemerintah,
swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, tokoh masyarakat
dan tokoh lainnya). Dari konsep-konsep tentang LKB diatas, dapat dipahami sebenarnya
program LKB ini merupakan suatu bentuk integrasi upaya penanggulangan HIV AIDS dalam
kerangka Sistem Kesehatan Nasional.
Konseling dan Tes HIV, layanan ini sebenarnya telah dilaksanakan sebelum program
Layanan Komprehensif Berkesinambungan. Puskesmas melalui klinik HIV IMS-nya
memberikan layanan Konseling dan Tes HIV secara sukarela (KTS) pada masyarakat yang
datang secara sukarela dan meminta untuk diberikan konseling tentang HIV/AIDS dan
melakukan pemeriksaan tes HIV. Dengan LKB ini, Puskesmas tidak hanya memberikan
layanan KTS tadi tetapi juga petugas kesehatan di Puskesmas dapat menawarkan konseling
dan tes HIV atas inisiatifnya bila mencurigai pasien tersebut, ini yang disebut KTIP
(Konseling dan Test HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan) yaitu petugas kesehatan yang ada
di poli-poli Puskesmas dapat menawarkan layanan ini ke pasien yang datang baik di Poli
Gigi, Poli Dewasa, Poli Lansia, Poli KIA-KB dan Poli Obgin yang ada di Puskesmas.
Anjuran tes HIV ini terutama ditujukan pada ibu hamil, pasien IMS, pasien TB, pasangan
ODHA, pasien hepatitis. Setelah mengetahui hasil tes, maka terhadap pasien tersebut
diberikan konseling pasca tes oleh konselor Puskesmas untuk mendapatkan layanan
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (PDP). Bagi populasi kunci yang hasil tes HIV-nya
masih negatif, maka dapat dilakukan tes ulang minimal setiap 6 bulan.
Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP), sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes
HIV pemberian ARV dapat langsung diberikan tanpa memandang jumlah CD4nya kepada
mereka yang HIV (+) yaitu pada ibu hamil, pasien koinfeksi TB, pasien koinfeksi Hepatitis B
dan C, ODHA yang pasangan tetapnya memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan
kondom secara konsisten. 3
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan Sebaya (KDS)
untuk memberikan layanan konseling, pendampingan, perawatan dan untuk memastikan
kepatuhan pasien dalam minum obat seumur hidup dengan memberikan pendampingan
terutama pada awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang tepat dari keluarga,
komunitas, kelompok dukungan sebaya dan layanan kesehatan.Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak (PPIA) layanan ini mencakup pelayanan ANC dan melakukan tes HIV bagi
ibu hamil
Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS), puskesmas bekerjasama dengan
LSM/KDS dalam memberikan layanan konseling untuk perubahan perilaku dan penyediaan
kondom dan pelicin. LSM yang terlibat antara lain GSM dengan kelompok dampingan pada
waria, LSL dan pelanggan, H2O dengan kelompok dampingan pada WPS dan pelanggan,
Medan Plus dengan kelompok dampingan waria dan ODHA.
Program Terapi Rumatan Metadon, layanan ini dilaksanakan dalam rangka
mengurangi risiko penularan HIV melalui penggunaan jarum suntik pada kelompok Penasun.
Pencandu obat opiat yang menggunakan jarum suntik akan beralih meminum obat dan secara
perlahan-lahan diharapkan dapat terlepas dari kecanduan obat.
Dukungan sosial dan ekonomi, layanan ini tersedia dengan baik, dimana kerjasama lintas
sektoral Dinas Kesehatan/Puskesmas dengan pihak swasta maupun SKPD terkait belum
terimplementasi dengan baik terutama dalam anggaran yang mendukung program
penanggulangan HIV AIDS. Dukungan pada kelompok ODHA dan keluarganya misalnya
dengan memberikan pelatihan ketrampilan, hibah untuk modal usaha, yang seyogyanya dapat
melibatkan Dinas Sosial dan CRS dari pihak swasta belum terealisasi. Demikian juga
kerjasama dengan SKPD lainnya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, dan Dinas
Perhubungan masih sebatas komitmen menyokong kegiatan Dinas Kegiatan.

Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas (SP2TP)


SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan
upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil
kegiatan Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas Pembantu,
Puskesmas keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan, serta
dilaporkannya data tersebut kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai kebutuhan secara
benar, berkala dan teratur, guna menunjang pengelolaan upaya kesehatan masyarakat. Tujuan
Sistem Informasi Manajemen di Puskesmas adalah untuk meningkatkan kualitas manajemen
Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya guna, melalui pemanfaatan secara optimal
data SP2TP dan informasi lain yang menunjang.
Pelaporan terpadu Puskesmas menggunakan tahun kalender yaitu dari bulan Januari
sampai dengan Desember dalam tahun yang sama. Adapun formulir Laporan yang digunakan
untuk kegiatan SP2TP adalah: 1) Laporan bulanan, yang mencakup: Data Kesakitan (LB.1),
Data Obat-Obatan (LB.2), Gizi, KIA, Imunisasi dan Pengamatan Penyakit menular (LB.3)
serta Data Kegiatan Puskesmas (LB.4); 2) laporan Sentinel, yang mencakup: Laporan
Bulanan Sentinel (LB1S) dan, Laporan Bulanan Sentinel (LB2S); 3) Laporan Tahunan, yang
mencakup: Data dasar Puskesmas (LT-1), Data Kepegawaian (LT-2) dan, Data Peralatan
(LT-3).
Ada juga jenis laporan lain seperti laporan triwulan, laporan semester dan laporan
tahunan yang mencakup data kegiatan progam yang sifatnya lebih komprehensif disertai
penjelasan secara naratif. Yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan semua jenis data
yang telah dibuat dalam laporan sebagai masukan atau input untuk menyusun perencanaan
puskesmas ( micro planning) dan lokakarya mini puskesmas (LKMP).
Analisis data hasil kegiatan progam puskesmas akan diolah dengan menggunakan
statistic sederhana dan distribusi masalah dianalisis menggunakan pendekatan epidemiologis
deskriptif. Data tersebut akan disusun dalam bentuk table dan grafik informasi kesehatan dan
digunakan sebagai masukkan untuk perencanaan pengembangan progam puskesmas. Data
yang digunakan dapat bersumber dari pencatatan masing-masing kegiatan progam kemudian
data dari pimpinan puskesmas yang merupakan hasil supervisi lapangan. Dinas kesehatan
kabupaten/kota mengolah kembali laporan puskesmas dan mengirimkan umpan baliknya ke
Dinkes Provinsi dan Depkes Pusat. Feed back terhadap laporan puskesmas harus dikirimkan
kembali secara rutin ke puskesmas untuk dapat dijadikan evaluasi keberhasilan program.
Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan, puskesmas tidak wajib lagi mengirimkan laporan
ke Depkes Pusat. Dinkes kabupaten/kotalah yang mempunyai kewajiban menyampaikan
laporan rutinnya ke Depkes Pusat

Sistem Rujukan Difusi


Sistem rujukan di Indonesia dibedakan atas 2 jenis yaitu rujukan medis dan rujukan
kesehatan. Rujukan medis adalah upaya rujukan kesehatan yang dapat bersifat vertikal,
horizontal atau timbal balik yang terutama berkaitan dengan upaya penyembuhan dan
rehabilitasi serta upaya yang bertujuan mendukungnya. Rujukan kesehatan adalah rujukan
upaya kesehatan yang bersifat vertikal dan horisontal yang terutama berkaitan dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta upaya yang mendukungnya. Sistem rujukan medis di
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mencakup 3 (tiga) aspek pelayanan medis yaitu
rujukan pasien, rujukan spesimen/penunjang diagnostik lainnya dan rujukan pengetahuan.
Sistem rujukan di puskesmas dapat dilaksanakan secara horisontal, vertikal atau kedua-
duanya dari tingkat bawah ke tingkat yang lebih tinggi.1
Pelayanan kesehatan telah tersedia pada semua tingkatan mulai dari tingkat dasar
seperti klinik pratama / klinik utama, puskesmas pembantu, puskesmas dan dokter praktek
swasta / bidan praktek swasta sampai ke tingkat yang lebih tinggi seperti rumah sakit.
Apabila klinik pratama / klinik utama, puskesmas Kelurahan, puskesmas, atau dokter praktek
swasta/bidan praktek swasta menerima atau merawat kasus gawat darurat atau non gawat
darurat (penyakit kronis) dan tidak berwenang atau tidak mampu memberikan penanganan
medis tertentu atau pelayanan kesehatan penunjang, maka harus merujuk pasien tersebut
kepada fasilitas kesehatan yang lebih mampu, misalnya rumah sakit pemerintah/swasta atau
fasilitas kesehatan terdekat dan merupakan fasilitas kesehatan rujukan.

Kerja sama Pemerintah Puskesmas


Pengembangan kemitraan di bidang kesehatan secara konsep terdiri 3 tahap yaitu:
Tahap pertama adalah kemitraan lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri;
Tahap kedua kemitraan lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah dan; Tahap ketiga
adalah membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sector.6

Kerja Sama Lintas Program


Kerja sama lintas program merupakan kerja sama yang dilakukan antara beberapa
program dalam bidang yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Kerja sama lintas
program yang diterapkan di puskesmas berarti melibatkan beberapa program terkait yang ada
di puskesmas. Tujuan khusus kerja sama lintas program adalah untuk menggalang kerja sama
dalam tim dan selanjutnya menggalang kerja sama lintas sektoral.
Contoh keterpaduan lintasprogram antara lain: Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS): keterpaduan KIA dengan P2M, gizi, promosi kesehatan, pengobatan;Upaya
Kesehatan Sekolah (UKS); keterpaduan kesehatan lingkungan dengan promosi kesehatan,
pengobatan, kesehatan gigi, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan jiwa

Kerja Sama Lintas Sektor


Kerja sama lintas sektor melibatkan dinas dan orang-orang di luar sektor kesehatan
yang merupakan usaha bersama mempengaruhi faktor yang secara langsung atau tidak
langsung terhadap kesehatan manusia. Prinsip kerja sama lintas sektor melalui pertalian
dengan program di dalam dan di luar sektor kesehatan untuk mencapai kesadaran yang lebih
besar terhadap konsekuensi kesehatan dari keputusan kebijakan dan praktek organisasi
sektor-sektor yang berbeda.1
Kerja sama lintas sektor harus dilakukan sejak perencanaan dan penganggaran,
pelaksanaan dan pengendalian, sampai pada pengawasan dan penilaiannya. Terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi kerjsasama lintas sektor penganggulangan yang meliputi
anggaran, peraturan, komunikasi, komitmen, peran, dan tanggung jawab. Masalah anggaran
sering membuat beberapa institusi membentu kerja sama. Pengendalian melalui manajemen
lingkungan memerlukan kejelasan yang efektif antara sektor klinis, kesehatan lingkungan,
perencanaan pemukiman, institusi akademis, dan masyarakat setempat.6
Dalam pengembangan kemitraan di bidang kesehatan terdapat tiga institusi kunci
organisasi atau unsur pokok yang terlibat di dalamnya, yaitu: Unsur pemerintah, yang terdiri
dari berbagai sektor pemerintah yang terkait dengan kesehatan, antara lain; kesehatan sebagai
sektor kunci, pendidikan, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, industri dan perdagangan,
agama, dan sebagainya.
Unsur swasta atau dunia usaha (private sector) atau kalangan bisnis, yaitu dari
kalangan pengusaha, industriawan, dan para pemimpin berbagai perusahaan. Unsur
organisasi non-pemerintah atau non-government organization (NGO), meliputi dua unsur
penting yaitu Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (ORMAS)
termasuk yayasan di bidang kesehatan.
Contoh keterpaduan lintas sektor antara lain;Upaya Kesehatan Sekolah: keterpaduan
sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama; Upaya promosi
kesehatan: keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan,
agama, pertanian.6

Upaya Kesehatan dalam Penyakit HIV AIDS


Promosi Kesehatan, memberikan pendidikan kesehatan tentang HIV AIDS yang
meliputi pengertian HIV AIDS, tanda gejala HIV AIDS, bagaimana cara penularannya virus
HIV dari satu orang ke orang lain. Dengan begitu masyarakat terutama kalangan remaja jelas
dan dapat memahami tentang semua hal tentang HIV AIDS.
Perlindungan Khusus: Penggunaan kondom untuk mencegah penyakit HIV/AIDS;
Semua alat yang menembus kulit dan darah (seperti jarum suntik, jarum tattoo, atau pisau
cukur) harus disterilisasi dengan cara yang benar; Tidak memakai jarum suntik atau alat yang
menembus kulit bergantian dengan orang lain; jangan memberikan ASI kepada bayi bila ibu
positif mengidap HIV AIDS; Setia dengan pasangan2
Diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat; Tes reaksi berantai polimerase
(PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat
mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula
dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT).
Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak
awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru
lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan
tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes
lainnya.
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV
yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk
melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di
darah, saliva (liur), dan urin.3
Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk
mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel
dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat
uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita
berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua
hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain
yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon
antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat
ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara
berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini
jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum
antibodi terhadap HIV terbentuk.3
Pembatasan Kecacatan, perawatan untuk menghentikan penyakit, pencegahan
komplikasi lebih lanjut, dan memberikan fasilitas yang terbaik untuk mengatasi cacat dan
mencegah kematian
Sementara ini pengobatan untuk AIDS masih bersifat memperpanjang hidup dan
memperbaiki kualitas hidupnya. Sampai saat ini belum ada obat yang dapat membasmi HIV.
Walaupun demikian, akhir-akhir ini terdapat racikan baru yang dapat mengurangi kecepatan
pertumbuhan HIV dan dianggap potensial untuk mengatasi AIDS.
Pemulihan Kesehatan, Kita tahu bahwa HIV AIDS belum ditemukan obatnya, dan
HIV AIDS bisa tertular dengan cara kita berhubungan seksual, memakai jarum bersama, dan
lain sebagainya. Kita dapat memutus rantai virus HIV salah satunya dengan memakai
kondom saat berhubungan, tidak menggunakan jarum suntik bersama. Namun untuk
meningkatkan kualitas hidup ODHA dia harus meminum obat untuk menekan virus
HIVdisepanjang hidupnya. Oleh karena itu kita tidak perlu khawatir tertular bila hanya
melakukan kontak biasa dan tidak perlu menjauhi ODHA dan selalu memberi dukungan dan
semangat kepada ODHA bahwa penyakit tersebut bisa disembuhkan dan berusaha untuk
mencoba sembuh dan memberi semangat bahwa mereka selalu dibutuhkan dikeluarga dan
dimasyarakat.

Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan
pada seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat terapeutik;
tidak menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan identifikasi gejala
penyakit. Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu; peningkatan kesehatan, misalnya: dengan
pendidikan kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks
bebas; secreening, dan sebagainya. Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan
pribadi; atau pemakaian kondom.5

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi
keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya.
Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang ditimbulkan
dari perkembangan penyakit; atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit lain. 4,5

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS
dan mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini
terdiri dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang
bertujuan mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan tersier
ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan tindakan
penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai tingkat
fungsi setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.5

Kesimpulan
Untuk mengatasi masalah dipuskesmas kita perlu memilih prioritas masalah terlebih
dahulu, kemudian menganalisanya, menentukan kesenjangan yang terjadi (input, proses,
keluaran, dan sebagainya) kemudian mencari solusi yang tepat sehingga masalah cakupan
program puskesmas yang tidak terpenuhi dapat terselesaikan. Diperlukan penanganan secara
keseluruhan dalam seluruh lapisan masyarakat karena HIV AIDS bukan hanya masalah
nasional tetapi merupakan masalah global. Dalam hal ini diperlukan kerja sama berbagai
sector terutama dari pendidikan dan agama.

Daftar Pustaka
1. Muninjaya, Gde. Ebook Masalah AIDS di Indonesia : Masalah dan Kebijakan
Penanggulangannya. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.
2. Anastasya G. Penelitian HIV/AIDS (Frekuensi dan Distribusi). Fakultas Kedokteran:
Universitas Sumatera Utara, 2010. Melalui
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364/4/Chapter%20II.pdf diakses 05 Juli 2015.
3. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.h.265-9,274-7.
4. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.74-90.
5. https://akuproperty.files.wordpress.com/2011/01/alur_pengolahan_data.jpg?w=450. Diunduh
pada 05 Juli 2015.
6. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta. 2005.h.61-70.

Anda mungkin juga menyukai