Margaretha Himawan
102013003
Margaretha.2013fk003@civitas.ukrida..ac.id
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara, No 6, Jakarta 11510
Pendahuluan
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang sel
darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome atau AIDS sekumpulan gejalan penyakit yang timbul kerana turunya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunya kekebalan tubuh,
maka orang yang tersebut sangat mudah untuk terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi
opportunistik) yang sering berakibat fatal. Pengobatan dengan kombinasi tiga atau lebih obat
anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly active anti-retroviral therapy (HAART), telah
menyebabkan penurunan dramatis kesakitan dan peningkatan harapan hidup. Namun,
manfaat ini dibatasi untuk negara-negara yang mampu regimen obat ini dan memiliki
infrastruktur untuk membebaskan mereka dengan aman dan efektif.
Di Indonesia, kejadian HIV AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada
tahun 1987. Hingga saat ini HIV AIDS sudah tersebar ke 386 kabupaten atau kota di seluruh
provinsi Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan yang sudah dilakukan oleh pemerintah
berkerjasama dengan berbabagai lembaga dalam negeri dan luar negeri.1
Epidemiologi
Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari pengetahuan Ilmu Kesehatan
Masyarakat (Public Health) yang menekankan perhatiannya terhadap keberadaan penyakit
dan masalah kesehatan lainnya dalam masyarakat. Keberadaan penyakit masyarakat itu
didekati oleh epidemiologi secara kuantitatif. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang distribusi, frekuensi, dan determinan penyakit pada populasi, yaitu: Distribusi yang
terdiri dari orang, tempat, waktu; Frekuensi yakni Insiden dan atau prevalen; Determinan
faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau faktor yang memberi risiko atas terjadinya
penyakit atau masalah kesehatan.
Epidemiologi deskriptif, di dalam epidemiologi deskriptif dipelajari bagaimana
frekuensi penyakit berubah menurut perubahan variabel-variabel epidemiologi yang terdiri
dari orang (person), tempat (place), dan waktu (time). Epidemiologi deskriptif tidak
menjawab pertanyaan kenapa (why) timbulnya masalah kesehatan tersebut.
Epidemiologi analitik, pendekatan atau studi ini dipergunakan untuk menguji data
serta informasi-informasi yang diperoleh dari studi epidemiologi deskriptif.
Factor host atau factor pejamu dari penyakit HIV/AIDS adalah manusia. Manusia
yang menjadi korban penyakit ini tidak menentu bisa laki-laki bisa juga perempuan. Namun
biasanya penyakit ini menyerang lebih banyak pada perempuan karena faktor anatomis
biologis dan faktor sosiologis gender. Dari segi umur remaja lebih rentan terjangkit virus HIV
dibandingkan dengan anak-anak ataupun orang dewasa, hal ini disebabkan karena pergaulan
bebas. Distribusi penderita AIDS di Amerika Serikat Eropa dan Afrika tidak jauh berbeda
kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun. Hal ini membuktikan bahwa transmisi
seksual baik homoseksual mapupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama.
Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas maka infeksi terbesar
terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20-30 tahun
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang mudah mengalami
mutasi sehingga sulit untuk membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Daya
penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya,
semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya
sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus
lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila
dipanaskan sampai temperatur 60 selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air.
Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang
dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan
peralatan medis atau peralatan lain. Faktor pembawa dari penyakit AIDS adalah virus HIV
(Immunodeficiency Virus). Virus ini dapat ditularkan melalui hubungan badan dengan
seorang yang telah positif terjangkit virus HIV sebelumnya, dapat pula ditularkan melalui
jarum suntik yang tidak steril dan melalui transfuse darah.
Lingkungan biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan
penyebaran AIDS. Lingkungan biologis adanya riwata ulkus genitalis, Herpes Simpleks dan
STS (Serum Test for Sypphilis) yang positip akan meningkatkan prevalensi HIV karena luka-
luka ini menjadi tempat masuknya HIV. Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB.
Pada para WTS di Nairobi terbukti bahwa kelompok yang menggunakan obat KB
mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi. Lingkungan sosial yang buruk seperti pergaulan
bebas dapat meningkatkan resiko terkena HIV/AIDS. Pergaulan bebas di pengaruhi oleh laju
budaya yang berpindah, yaitu budaya barat termasuk seks bebas yang masuk ke budaya
timuran termasuk Indonesia atau di sebut juga globalisasi
Secara kontak seksual, ano-genital cara hubungan seksual ini merupakan perilaku
seksual dengan resiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi kaum mitra seksual yang
pasif menerima ejakulasi semen dari pengidap HIV; oro-genital,cara hubungan ini merupakan
tingkat resiko kedua, termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV; genito-
genital / Heteroseksual Penularan secara heteroseksual ini merupakan tingkat penularan
ketiga, hubungan suami istri yang mengidap HIV, resiko penularannya, berbeda-beda antara
satu peneliti dengan peneliti lainnya.
Secara non seksual, transmisi parental penggunaan jarum dan alat tusuk lain (alat
tindik, tatto) yang telah terkontaminasi, terutama pada penyalahgunaan narkotik dengan
mempergunakan jarum suntik yang telah tercemar secara bersama-sama. Penularan parental
lainnya, melalui transfusi darah atau pemakai produk dari donor dengan HIV positif,
mengandung resiko yang sangat tinggi.
Transmisi Transplasental Transmisi ini adalah penularan dari ibu yang mengandung HIV
positif ke anak, mempunyai resiko sebesar 50%.
Surveilans
Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk mengetahui tingkat masalah melalui
pengumpulan data yang sistematis dan terus menerus terhadap distribusi dan kecenderungan
infeksi HIV dan penyakit terkait lainnya. Tujuan surveilans HIV/AIDS adalah untuk
memperoleh gambaran epidemiologi tentang infeksi HIV/AIDS di Indonesia untuk keperluan
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.
Manfaat Surveilans HIV/AIDS: Melakukan pengamatan dini yaitu Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) HIV/AIDS di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya
dalam rangka mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) HIV/AIDS; Dapat menjelaskan pola
penyakit HIV/AIDS yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan tindakan
tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.
Contoh kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : Deteksi perubahan akut dari
penyakit HIV/AIDS yang terjadi dan distribusinya; Identifikasi dan perhitungan trend dan
pola penyakit HIV/AIDS; Identifikasi dan faktor risiko dan penyebab lainnya, seperi vektor
yang sebabkan HIV: Deteksi perubahan pelayanan kesehatan.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan
pada seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat terapeutik;
tidak menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan identifikasi gejala
penyakit. Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu; peningkatan kesehatan, misalnya: dengan
pendidikan kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks
bebas; secreening, dan sebagainya. Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan
pribadi; atau pemakaian kondom.5
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi
keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya.
Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang ditimbulkan
dari perkembangan penyakit; atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit lain. 4,5
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS
dan mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini
terdiri dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang
bertujuan mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan tersier
ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan tindakan
penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai tingkat
fungsi setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.5
Kesimpulan
Untuk mengatasi masalah dipuskesmas kita perlu memilih prioritas masalah terlebih
dahulu, kemudian menganalisanya, menentukan kesenjangan yang terjadi (input, proses,
keluaran, dan sebagainya) kemudian mencari solusi yang tepat sehingga masalah cakupan
program puskesmas yang tidak terpenuhi dapat terselesaikan. Diperlukan penanganan secara
keseluruhan dalam seluruh lapisan masyarakat karena HIV AIDS bukan hanya masalah
nasional tetapi merupakan masalah global. Dalam hal ini diperlukan kerja sama berbagai
sector terutama dari pendidikan dan agama.
Daftar Pustaka
1. Muninjaya, Gde. Ebook Masalah AIDS di Indonesia : Masalah dan Kebijakan
Penanggulangannya. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.
2. Anastasya G. Penelitian HIV/AIDS (Frekuensi dan Distribusi). Fakultas Kedokteran:
Universitas Sumatera Utara, 2010. Melalui
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16364/4/Chapter%20II.pdf diakses 05 Juli 2015.
3. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.h.265-9,274-7.
4. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.74-90.
5. https://akuproperty.files.wordpress.com/2011/01/alur_pengolahan_data.jpg?w=450. Diunduh
pada 05 Juli 2015.
6. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta. 2005.h.61-70.