Anda di halaman 1dari 36

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

MALARIA

Disusun oleh :
Shela Mita Rengganis 15710352

Pembimbing :
dr. Zainuddin Hamiddi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RST. TK. II DR. SOEPRAOEN MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis berjudul

Malaria ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Tentara TK. II Dr.

Soepraoen Malang. Dalam pembuatan karya tulis ini, saya mengambil referensi dari

literatur dan internet.

Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing

saya, dr. Zainuddin Hamiddi, Sp.A yang telah memberikan bimbingannya dalam

proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril

maupun dalam mencari referensi yang lebih baik. Selain itu, saya juga mengucapkan

terimakasih kepada teman-teman saya yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan

yang sama atas dukungan dan bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan

ini. Saya juga mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua saya

atas bantuan, dukungan baik secara moril maupun materil, dan kasihnya.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Malang, Febuari 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang
merupakan golongan plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah
merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk
anopheles. Malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar di beberapa wilayah
di dunia. Umumnya tempat-tempat yang rawan malaria terdapat pada Negara-negara
berkembang dimana tidak memiliki tempat penampungan atau pembuangan air yang
cukup, sehingga menyebabkan air menggenang dan dapat dijadikan sebagai tempat
ideal nyamuk untuk bertelur.

Malaria disebabkan oleh parasit dari genus plasmodium. Ada empat jenis
plasmodium yang dapat menyebabkan malaria, yaitu plasmodium falciparum,
plasmodium vivax, plasmodium oval, dan plasmodium malaria. Parasit-parasit
tersebut ditularkan pada manusia melalui gigitan seekor nyamuk dari genus
anopheles. Gejala yang ditimbulkan antara lain adalah demam, anemia, panas dingin,
dan keringat dingin. Untuk mendiagnosa seseorang menderita malaria adalah dengan
memeriksa ada tidaknya plasmodium pada sampel darah. Namun yang seringkali
ditemui dalam kasus penyakit malaria adalah plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax.

Sebanyak lebih dari 1 juta orang termasuk anak-anak setiap tahun meninggal
akibat malaria dimana 80% kematian terjadi di Afrika, dan 15% di Asia (termasuk
Eropa Timur). Secara keseluruhan terdapat 3,2 Miliyar penderita malaria di dunia
yang terdapat di 107 negara. Malaria di dunia paling banyak terdapat di Afrika yaitu
di sebelah selatan Sahara dimana banyak anak-anak meninggal karena malaria dan
malaria muncul kembali di Asia Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Di
Indonesia, sebagai salah satu negara yang masih beresiko Malaria (Risk-Malaria),
pada tahun 2009 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis dan 350 ribu kasus di
antaranya dikonfirmasi positif. Sedangkan tahun 2010 menjadi 1,75 juta kasus dan
311 ribu di antaranya dikonfirmasi positif. Sampai tahun 2010 masih terjadi KLB dan
peningkatan kasus malaria di 8 Propinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan
jumlah penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian.

Di tahun 1950, WHO telah meluncurkan program ambisius bertujuan untuk


mengontrol atau mengeradikasi malaria. Setelah terjadi beberapa kesuksesan dalam
pelaksanaannya kini terdapat masalah baru, yakni daerah yang dulunya bebas malaria
kini kembali menjadi daerah dengan malaria. Hal tersebut terjadi karena terdapat
resistensi plasmodium dan nyamuk terhadap obat dan insektisida. Oleh karena itu
bahaya malaria semakin mengancam dan penyakit ini kini menjadi masalah global
yang besar.

1.2 Tujuan Penulisan

Diharapkan dengan penulisan laporan ini penulis ataupun pembaca dapat lebih
memahami mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penegakkan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari
malaria pada anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria


(Plasmodium) yang masuk ke dalam tubuh manusia yang ditularkan oleh nyamuk
malaria (Anopheles spp) betina. Defini malaria lainnya adalah suatu jenis penyakit
menular yang disebabkan oleh agen tertentu yang inefektif dengan perantara suatu
vektor dan dapat disebabkan dari suatu sumber infeksi kepada host.

2.2 Epidemiologi

Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah


tropis maupun subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat.
Kini malaria terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika
Tengah dan Selatan, Afrika Sub-sahara, Timur tengah, India, Asia
Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan. Diperkirakan
prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar antara 160-400 juta
kasus. Batas dari penyebaran malaria adalah 64 derajat lintang utara
(Rusia) dan 32 derajat lintang selatan (Argentina). Ketinggian yang
memungkinkan parasit hidup adalah 400 meter di bawah permukaan laut
(Laut Mati) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia).
Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari
daerah yang beriklim dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang
dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di
Afrika dan daerah-daerah tropis lainnya. Diperkirakan 300-500 juta kasus malaria
muncul tiap tahunnya, dan menyebabkan 1-2 juta kematian, kebanyakan pada anak.

Di Indonesia, malaria sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat. Angka kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di luar Jawa dan
Bali, oleh karena di daerah tersebut terdapat campuran penduduk yang berasal dari
daerah endemis dan non-endemis malaria. Pada daerah-daerah tersebut masih sering
terjadi letusan wabah malaria yang menimbulkan banyak kematian.

Di Indonesia, malaria tersebar di seluruh pulau dengan derajat endemisitas


yang berbeda-beda dan dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1800
meter di atas permukaan laut. Angka Annual Parasite Incidence (API) malaria di
pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah 0,120 per 1000 penduduk, sedangkan di
luar Pulau Jawa angka Parasite Rate (PR) tetap tinggi yaitu 4,78% pada tahun 1997,
tidak banyak berbeda dengan angka PR tahun 1900 (4,84%). Spesies yang terbanyak
dijumpai adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Plasmodium
malariae dijumpai di Indonesia bagian timur, Plasmodium ovale pernah ditemukan di
Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Angka kesakitan malaria untuk Jawa Bali diukur
dengan API dan untuk luar Jawa Bali diukur dengan PR. Air tergenang dan udara
panas masing-masing diperlukan untuk untuk pembiakan nyamuk menunjang
endemitas penyakit malaria. Pada 25 tahun terakhir ini dijumpai adanya endemis
malaria termasuk Indonesia. Resistensi ini mungkin karena munculnya gen yang telah
mengalami mutasi. Akhir-akhir ini juga dijumpai resistensi Plasmodium falciparum
terhadap primetamin-sulfadoksin meningkat di negara-negara Asia tenggara, Amerika
Selatan dan Afrika Sub-Sahara.

Anak-anak pada semua umur yang hidup di daerah non endemis malaria
memiliki kemungkinan sama besarnya untuk terkena malaria. Di daerah endemis,
anak yang berusia <5 tahun seringkali mengalami malaria berulang. Sisanya
mendapatkan imunitas parsial. Pada anak yang lebih dewasa seringkali terjadi
parasitemia yang asimtomatik. Kebanyakan kematian yang disebabkan oleh malaria
terjadi pada anak-anak yang berusia <5 tahun.

2.3 Etiologi

Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium. Pada manusia


Plasmodium terdiri dari 4 spesies, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan
penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies
Plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu Plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana,
Plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan Plasmodium ovale
yang menyebabkan malaria ovale.

Seseorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai
infeksi campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis plasmodium
yang paling banyak dijumpai adalah campuran antara Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis
Plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran
biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir-akhir ini di
beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah resisten terhadap klorokuin,
bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin.

Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada
anak-anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang
berat bahkan tertiana dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada
anak dengan gangguan gizi.

Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah

1. Penularan secara alamiah, melalui gigitan nyamuk Anopheles

2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :

Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar


darah plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi
yang dikandungnya. Selain melalui plasenta penularan dari ibu kepada bayi
melalui tali pusat

Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum


suntik. Penularan melalui jarum suntik pada para pecandu obat bius yang
menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi
hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang
memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah

Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium


gallinasum), burung dara (Plasmodium relection) dan monyet (Plasmodium
knowlesi).

Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain
yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Dalam daur hidupnya Plasmodium mempunyai 2 hospes, yaitu vertebra dan


nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes vertebra dikenal sebagai skizogoni,
sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai
sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui
ludah nyamuk, kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai
skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak
tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit. Plasmodium falciparum
hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai
hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps.
Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk
ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh
sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit
membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah
proses pembelahan eritrosit akan hancur, merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar
dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang
dapat menghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi
stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai
dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium
seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik.
Gambar. Siklus Hidup Plasmodium

Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni).


Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, mikro dan
makrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk
zigot yang disebut ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk
membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan
dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa
tunas ekstrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria;
walaupun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:

Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS)


cukup tinggi, penduduknya lebih tahan terhadap infeksi Plasmodium
falciparum. Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa HbS menghambat
perkembangbiakan Plasmodium falciparum baik sewaktu invasi maupun
sewaktu berkembang biak.

Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (glucosa 6-


phosphat dehydrogenase) memberikan perlindungan terhadap infeksi
Plasmodium falciparum yang berat. Walaupun demikian, kurangnya enzim ini
merugikan ditinjau dari segi pengobatan dengan golongan sulfonamid dan
primakuin oleh karena dapat terjadi hemolisis darah. Defisiensi enzim ini
merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada perempuan
Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan
Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya.

Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk


samping parasit, seperti membran dan isi sel-sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik,
tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit
yang intensif. Makrofag dalam RES dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan
menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh.
Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung
jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah.

Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan


permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskular. Oleh karena
skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya
anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan
eitrosit selain yang mengandung parasit. Pada percobaan binatang dibuktikan adanya
gangguan transportasi natrium sehingga keluar dari eritrosit yang mengandung parasit
dan tanpa parasit malaria. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan
keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhdap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada
malaria adalah black water fever, yaitu bentuk malaria berat yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum, ditandai oleh hemolisis intravaskular berat, hemoglobinuria,
kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi.
Telah lama dicurigai bahwa kina dapat memprovokasi terjadinya black water fever.
Sebagai tambahan, kasus meninggal yang disebabkan malaria selalu menunjukkan
adanya perubahan yang menonjol dari sistem retikuloendotelial dan mungkin juga
melibatkan berbagai sitem organ.

Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan


pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam
makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang
tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasia dari retikulum disertai
peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa di daerah tropis atau penyakit
pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan
peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi terhadap malaria ini mungkin
menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis.

Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer seperti sel dalam
sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati
menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi
infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan
berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus
merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis
sentrilobulus terjadi pada syok.

Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada
malaria serebral, otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema
dan hipermesi. Perdarahan berbentuk ptekie tersebar pada substansi putih otak dan
dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopis,
sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang
telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan febrin, dan terdapat reaksi
seluler pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria
tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran
cerna atau di tempat lain di tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinis.

Pada ginjal selain terjadi perwarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah
satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan/atau
membranoproliverative glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi
bersama dengan hemolisis masif atau hemoglobinuria pada black water fever tetapi
dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah karena
hipovolemia dan hiperviskositas darah. Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis
sedangkan Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan
sindroma nefrotik.

Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala
yang paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen,
yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa
disebabkan oleh terjadinya peningkatan eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya
sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan
sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit
neutrofil. Terjadinya kongestif pada organ lain meningkatkan risiko terjadinya ruptur
limpa.

Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh


sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung jenis Plasmodium dan status
imunitas penjamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh
limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis.
Pada hemolisis berat dapat terjadi hemoglobuniuria dan hemoglobinemia.
Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan.

Kelainan patologis pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan


karena sel darah merah yang terinfeksi menjadi kaku dan lengket, sehingga
perjalanannya dalam kapiler terganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler
karena adanya penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi pengumpulan sel dan
bahan pecahan sel, maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi
gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan
perdarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis ini dapat
menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema, paru, ginjal dan
malabsorpsi usus.

Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang


diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan
terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat eritrosit yang relatif
resistensi terhadap masuknya parasit. Masuknya parasit tergantung pada interaksi
antara organel spesifik dan pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan
eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang mengandung glikoprotein A penting untuk
masuknya Plasmodium falciparum. Individu yang tidak mempunyai determinan
golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi
alamiah terhadap Plasmodium vivax, spesies ini mungkin memerlukan protein pada
permukaan sel yang spesifik untuk masuk ke dalam eritrosit. Resistensi relatif yang
diturunkan pada individu dengan HbS terhadap malaria telah lama diketahui dan pada
kenyataannya terbatas pada daerah endemis malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai
pada hemoglobinopati tipe lain, kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalasemia,
defisiensi enzim G6PD dan defisiensi pirufatkinase. Masing-masing kelainan ini
menyebabkan resistensi membran eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat
pertumbuhan parasit.
Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan infeksi
ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran klinis infeksi
ataupun dapat menyebabkan asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu
dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia poliklonal, yang merupakan
suatu antibodi spesifik yang diproduksi untuk melengkapi beberapa aktivitas opsonin
terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya bersifat
sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan. Tendensi malaria untuk
menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya respon
ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga merupakan salah
satu faktor. Monosit/makrofag merupakan partisipan seluler yang terpenting dalam
fagositosis eritrosit yang terinfeksi.

Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni (siklus seksual) yang
terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus aseksual) yang terdapat pada manusia.
Siklus ini dimulai dari siklus sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap darah manusia
yang terinfeksi malaria yang mengandung plasmodium pada stadium gametosit (8).
Setelah itu gametosit akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina) (9). Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan ookinet
(10). Ookinet masuk ke lambung nyamuk membentuk ookista (11). Ookista ini akan

membentuk ribuan sprozoit yang nantinya akan pecah (12) dan sprozoit keluar dari
ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, salah satunya di
kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini siklus sporogoni telah selesai.

Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik dan siklus eritrositik.
Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat. Sporozoit akan masuk kedalam tubuh
manusia melewati luka tusuk nyamuk (1). Sporozoit akan mengikuti aliran darah
menuju ke hati, sehingga menginfeksi sel hati (2) dan akan matang menjadi skizon (3).
Siklus ini disebut siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium falciparum dan Plasmodium
malariae hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik, sedangkan Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale mempunyai bentuk hipnozoit (fase dormant) sehingga siklus
eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya, skizon akan pecah (4) mengeluarkan
merozoit (5) yang akan masuk ke aliran darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di
mulailah siklus eritrositik. Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit
belum matang lalu matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan menjadi
merozoit lagi (6). Diantara bentuk tropozoit tersebut ada yang menjadi gametosit (7)
dan gametosit inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh nyamuk. Begitu seterusnya
akan berulang-ulang terus. Gametosit tidak menjadi penyebab terjadinya gangguan
klinik pada

12

penderita malaria, sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa
15,16
diketahui (karier malaria).

2.5 Manifestasi Klinis

Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh
suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa
lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan
infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau jenis Plasmodium
tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus
(tanpa interval), sedangkan pada penjamu yang imun gejala klinisnya minimal.

Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni
stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat
(sweating stage). Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa namun
jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin
seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului
oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung
pada spesies parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang
pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi,
pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas penjamu. Pada
malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari,
Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah
transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies
parasit, untuk Plasmodium fakciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale 13-17 hari, dan Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi,
pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga
stadium yaitu:

1. Stadium Dingin

Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat
dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam
pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau
sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak sering terjadi
kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.

2. Stadium Demam

Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering, dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali
terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus
dan suhu badan dapat meningkat sampai 41 derajat C atau lebih. Stadium ini
berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam
sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran
darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi
menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga
terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae demam
terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada
Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.

3. Stadium berkeringat

Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah,
kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah
normal. Gejala tersebut di atas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada
spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi
pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk
tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tertentu
seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah
organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan
fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria jenis ini. Black water
fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin
sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black
water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever
biasnya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium falciparum
berulang dengan infeksi yang cukup berat.

Di daerah yang tinggi tingkat endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada


orang dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya mengandung
parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada mereka karena
infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau
setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup lama. Dengan pengobatan yang
baik, limpa secara berangsur-angsur akan mengecil kembali.

2.5.1 Malaria tanpa Komplikasi

Pada daerah hiper atau holoendemik, kontrol malaria tidak efektif sehingga
serangan malaria akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara
bertahap menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat
imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada
anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum
obat pada saat masuk ke endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria, semua
usia dapat terserang malaria.

Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia pada
anak besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi
bervariasi. Muntah, nyeri perut dan diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati
sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut, pembesaran hati biasanya terjadi pada
awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih sering terjadi
daripada pembesaran limpa.

Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresifitas penyakit,
namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat
dijumpai pada beberapa anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar
transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.

Limpa yang membesar umumnya dapat diraba pada minggu kedua;


pembesaran limpa progresif sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah
mengalami serangan berulang, limpa dapat sangat besar dengan konsistensi keras.
Pada infeksi akut, beratnya anemia berhubungan langsung dengan derajat parasitemia.

Malaria ovale mempunyai gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertiana.
Pada hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak
besar mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodik tiap 48 jam tetapi stadium
dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam,
anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi
pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari
2%. Malaria tertiana dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya
membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat
tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk
waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada
minggu kedua. Kejang dapat terjadi pada saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai
5 tahun. Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai
berbagai penyakit lain yang berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertiana
dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati dan dapat
menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan
hanya dengan obat skizontosida saja.

Gambaran klinis malaria kuartana menyerupai malaria tertiana, hanya periode


demam terjadi tiap 72 jam. Sindroma nefrotik dapat terjadi pada umur 2 sampai 12
tahun dengan puncak pada usia 5-7 tahun. Dijumpai edema berat, proteinuria berat
yang menetap, hipoproteinemia berat, dan asites. Serum albumin kurang dari 2g/dl
bahkan pada 95% kurang dari 1 g/dl. Tekanan darah biasanya normal dan tidak jelas
adanya azotemia dan hematuria.

2.5.2 Malaria Berat

Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum


stadium aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan seperti tertera di
bawah ini merupakan malaria berat, antara lain:

A. Malaria Serebral

Kejang pada anak dengan malaria berat dapat merupakan permulaan serangan
malaria serebral. Walaupun demikian, harus diingat bahwa kejang demam sering
terjadi pada anak balita oleh sebab lain. Di Thailand, angka kejadian kejang pada
malaria tropika 9,6% pada anak kurang dari 5 tahun dan hanya 1,5% pada anak 5-12
tahun.

Pada penelitian di RSUP Manado selama 2 tahun (1997-1998) dari 133


penderita malaria usia 2 bulan sampai 13 tahun, ditemukan kejang sebanyak 13,53%
dan malaria serebral sebanyak 8,277%. Pada malaria serebral, kesadaran anak apatis
sampai koma. Pada penelitian tentang malaria serebral selama 3 tahun di RSU
Gunung Wenang Manado tahun 1978-1980, pada penderita dijumpai 15 dengan
somnolen sampai koma, 3 dengan disorientasi dan 2 dengan mengamuk. Pada
penelitian tersebut, dijumpai 10% penderita malaria serebral yang disertai anemia
berat, meninggal sebelum sempat diberi transfusi darah. Tanda neurologik yang
penting pada malaria serebral adalah gangguan upper motor neuron yang simetris dan
batang otak. Perdarahan dan eksudat pada retina dijumpai pada beberapa kasus namun
lebih jarang dibandingkan orang dewasa. Delirium, halusinasi atau mengamuk sangat
jarang dijumpai pada anak. Pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya dalam batas
normal. Pada kebanyakan kasus malaria serebral, dijumpai parasitemia berat disertai
anemia berat. Kadang-kadang jumlah parasitemia di dalam darah tepi rendah yang
mungkin disebabkan oleh pengobatan antimalaria yang tidak adekuat atau parasitnya
berada di dalam kapiler organ dalam. Hati dan limpa sering dapat diraba. Edema paru
dijumpai pada 10% kasus anak, sedangkan oliguria dan azotemia jarang ditemukan
pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Pemeriksaan EEG terdapat kelainan
yang tidak spesifik.

Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma,
tanpa penyebab lain dari koma. Gejala paling dini malaria serebral pada anak-anak
umumnya adalah demam (37,5-41 derajat C), selanjutnya tidak bisa makan atau
minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang
mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria serebral,
terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya koma
dapat dinilai sesuai dengan skala Glasgow atau modifikasi khusus pada anak yaitu
skala koma Blantyre, melalui pengamatan terhadap respon rangsangan bayi atau rasa
nyeri yang standar, ketukan iga pada dada anak dan jika tidak ada respon lakukan
tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan
dan atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali
untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum
atau sesudah timbul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas
dan gejala sisa. Sekelompok anak-anak yang dapat bertahan hidup setelah menderita
malaria serebral kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologik yang menetap.
Selama periode penyembuhan, gejala sisa dapat terbentuk hemiparesis, ataksia
serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang
menyeluruh atau afasia

B. Anemia

Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada
beberapa pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan anemia normokrom sebagai akibat perdarahan eritropoietik di dalam
sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, di dalam darah perifer sudah
tampak sel leukosit monosit berpigmen. Anemia dapat pula terjadi akibat
penghancuran eritosit yang mengandung parasit. Anemia turut berperan dalam (1)
gejala serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan perdarahan retina, (2) gejala
kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru.

C. Dehidrasi, Asidosis Metabolik dan Ganggua Elektrolit

Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer,
rasa haus, penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor
kulit, peningkatan kadar ureum darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dl), asidosis metabolik
pada pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan
tanda terjadinya dehidrasi bukan gangguan ginjal.

D. Hipoglikemia Berat

Hipoglikemia dapat terjaid pada malaria berat, terutama pada anak kecil
(dibawah 3 tahun) dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau
dengan gejala yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab,
serta napas yang tidak teratur. Hipoglikemia berhubungan dengan hiperinsulinemia
yang diinduksi oleh malaria dan kina. Hipoglikemia pada anak adalah keadaan
dimana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dl atau lebih rendah.

E. Gagal Ginjal

Gagal ginjal jarang terdapat pada anak dengan malaria. Kadar ureum sedikit
meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun, seringkali gagal ginjal
disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat.

F. Edema Paru Akut

Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia
berat. Frekuensi nafas meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar.
Gejala edema paru seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat
antimalaria, pada umumnya terjadi bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal,
hipoglikemia dan asidosis. Sebagai akibat edema paru dapat terjadi hipoksia yang
mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian.

G. Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)

Malaria algid adalah malaria falciparum yang disertai syok oleh karena adanya
septikemia kuman gram negatif. Penderita dapat jatuh pada keadaan kolaps dengan
tekanan darah sistolik kurang dari 50 mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba
dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena perifer, denyut nadi lemah dan cepat.
Dehidrasi dengan hipovolemia juga dapat menyebabkan hipotensi

H. Kecenderungan Terjadi Perdarahan

Perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan gusi, epistaksis, ptekia, dan
perdarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi koagulasi intravaskular diseminata akan
timbul perdarahan yang lebih hebat yaitu melena dan hematemesis. Kecenderungan
terjadi perdarahan ditandai dengan perpanjangan waktu perdarahan, trombositopenia
dan menurunnya faktor koagulasi.
I. Hiperpireksia

Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali
berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu
berkala sangat diajurkan. Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat
menjadi 42 derajat C atau lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologik yang
menetap.

J. Hemoglobinuria

Hal ini jarang terjadi pada anak. Hampir seluruh kasus ini berhubungan dengan
defisiensi G6PD pada pasien malaria. Pada kasus ini hemolisis akan berhenti setelah
pecahnya eritrosit tua.

K. Ikterus (Bilirubin > 3mg%)

Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan
pada anak prognosisnya jelek.

L. Hiperparasitemia

Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit >5% dan adanya
skizontae sering berhubungan dengan malaria berat.

2.6 Penegakkan Diagnosis

Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis


ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan
endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam
tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali dan anemia.
Adanya riwayat perjalanan atau imigrasi dari daerah endemis malaria. Bahkan hanya
beberapa jam saja berada di airport dari suatu daerah endemis malaria akan
berpengaruh signifikan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu yang sangat tinggi pada hari pertama.
Temperatur yang berkisar di 40 derajat C atau lebih seringkali didapatkan. Demam
seringkali terus menerus dan ireguler. Hepar seringkali teraba. Munculnya splenomegali
butuh waktu beberapa hari terutama pada anak yang baru terserang pertama kali. Pada
anak yang berada di daerah endemis malaria, splenomegali yang berat seringkali
didapatkan.

Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan
tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan
laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan darah seorang anak
penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak
selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak
berobat untuk penyakit lain. Di lain pihak, dapat saja tidak ditemukan parasit pada
pemeriksaan darah pada anak yang sedang sakit malaria. Maka untuk menemukan
parasit di dalam darah harus diperhatikan waktu pengambilan spesimen darah dan
apakah pasien sedang minum obat anti malaria (yang akan mengurangi kemungkinan
ditemukannya parasit).

Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal
merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan
darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum
kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5'-nukleotidase. Pada
penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar
bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium,
klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan
likuor serebrospinal juga meningkat.

Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect
fluorescence antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked
immunosorbence assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat
terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan
dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi
epidemiologi. Pada daerah endemia atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk :

(1) menentukan berapa lama endemisitas berlangsung


(2) menentukan perubahan derajat transmisi malaria
(3) menentukan daerah malaria dan fokus transmisi.
Sedangkan di daerah non endemis, tes serologi digunakan untuk

(1) skrining donor darah


(2) menyingkirkan diagnosis malaria pada kasus demam sedangkan pada
pemeriksaan darah tidak ditemukan parasit
(3) menentukan kasus dan mengidentifikasi spesies parasit malaria bila cara lain
tidak berhasil
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat),
dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di
bawah mikroskop fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini
menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen.

Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan
dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis,
gastroenteritis atau hepatitis. Malaria dengan manifestasi klinis yang lebih ringan harus
dibedakan dengan influenza atau penyakit virus lainnya.

Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronis; pada keadaan akut
penurunan hemoglobin dapat terjadi dengan cepat. Pada darah tepi dapat dijumpai
poikilositosis, polikromatosis dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia
pernisiosa. Dijumpai pula trombositopenia sehingga dapat mengganggu proses
koagulasi. Pada malaria tropika yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun
disebabkan peningkatan konsumsi fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravaskular.
Terjadi ikterus ringan dengan peningkatan bilirubin indirek dan tes fungsi hati yang
abnormal seperti meningkatnya transaminase, kadar glukosa dan fosfatase alkali
menurun.

Plasma protein menurun terutama albumin, walaupun globulin meningkat.


Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh demam semata melainkan juga karena
meningkatnya fungsi hati. Hipokolestrolemia juga dapat terjadi pada malaria. Glukosa
penting untuk respirasi plasmodia, yang berakibat penurunan glukosa darah dijumpai
pada malaria tropika dan tertiana; hal ini mungkin berhubungan dengan kelenjar
suprarenalis. Kalium dalam plasma meningkat saat demam, mungkin karena destruksi
dari sel-sel darah merah. Laju endap darah meningkat pada malaria namun kembali
normal setelah diberi pengobatan. Dapat juga terjadi asidosis walaupun sangat jarang.
Nefritis akut jarang dijumpai, oleh karena perubahan pada ginjal terutama akibat proses
degeneratif bukan karena peradangan. Sering dijumpai proteinuria dan gangguan ginjal
sehingga menyebabkan terjadinya nefrosis kronik dengan resistensi air, natrium dan
azotemia terutama pada malaria kuartana. Otak pasien yang meninggal karena malaria
serebral mengalami edematous dengan girus yang melebar dan pipih. Terlihat
pembendungan pada daerah girus dan pada substansi kelabu terlihat pembendungan
dan ptekia. Perdarahan di sekeliling kapiler dan arteriol terjadi sebagai akibat
penyumbatan eritrosit yang mengandung parasit.

Plasmodium falciparum menyerang semua bentuk eritrosit mulai dari retikulosit


sampai eritrosit yang telah matang. Pada pemeriksaan darah tepi baik hapusan maupun
tetes tebal terutama dijumpai parasit muda bentuk cincin. Juga dijumpai gametosit dan
pada kasus berat yang biasanya disertai komplikasi, dapat dijumpai bentuk skizon. Pada
kasus berat parasit dapat menyerang sampai 20% eritrosit. Bentuk seksual/ gametosit
muncul dalam waktu satu minggu dan dapat bertahan sampai beberapa bulan setelah
sembuh. Tanda-tanda parasit malaria yang khas pada sediaan tipis, gametositnya
berbentuk pisang dan terdapat bintik Maurer pada sel darah merah. Pada sediaan darah
tebal dapat dijumpai gametosit berbentuk pisang, banyak sekali bentuk cincin tanpa
bentuk lain yang dewasa, terdapat balon merah di sisi luar gametosit.

Gambar. Tahapan-tahapan Plasmodium falciparum Tampak pada Hapusan Darah

Plasmodium vivax terutama menyerang retikulosit. Pada pemeriksaan darah tepi


baik hapusan tipis maupun tetes tebal biasanya dijumpai semua bentuk parasit aseksual
dari bentuk ringan sampai skizon. Biasanya menyerang kurang dari 2% eritrosit. Tnda-
tanda parasit malaria yang khas pada sediaan darah tipis, dijumpai sel darah merah
membesar, terdapat titik Schiffner pada sel darah merah dan sitoplasma amuboid. Pada
sediaan darah tebal dijumpai sitoplasma amuboid (terutama pada tropozoit yang
sedang berkembang) dan bayangan merah di sisi luar gametosit.
Gambar. Tahapan-tahapan Plasmodium vivax Tampak pada Hapusan Darah

Plasmodium malariae terutama menyerang eritrosit yang telah matang. Pada


sediaan hapus darah perifer tipis maupun tetes tebal dapat dijumpai semua bentuk
parasit aseksual. Biasanya parasit menyerang kurang dari 1% dari jumlah eritrosit.
Parasit pada sediaan darah tepi tipis berbentuk khas seperti pita, skizon berbentuk
bunga ros (rossette form), tropozoit kecil bulat dan kompak berisi pigmen yang
menumpuk, kadnag-kadang menutupi sitoplasma/inti atau keduanya.

2.7 Diagnosis Banding

Presentasi klinis pada malaria seringkali bervariasi dan dapat mengarah ke


kondisi/ penyakit lain seperti meningitis, ensefalitis atau epilepsi. Malaria serebral
dapat dipertimbangkan merupakan suatu diagnosis banding dari gangguan saraf
lainnya. Kondisi-kondisi yang bisa dipertimbangkan menjadi diagosis banding dari
malaria antara lain :

Kolangitis asendens
Encephalitis
Hepatitis
Pneumonia
Faringitis
Tonsilitis
Demam thyphoid
Sinusitis
Tetanus
Giardiasis
Meningitis aseptik
Meningitis bakterial
Otitis media
Yellow fever

2.8 Pengobatan

Pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan (tanpa komplikasi) dan malaria
berat (disertai komplikasi)

2.8.1 Malaria ringan tanpa komplikasi

Malaria ringan tanpa kompikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan
atau rawat inap sebagai berikut :

1. Klorokuin bisa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian


sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam
kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB
pada 24 jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10
mg/kgBB dan hari IIII 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin
0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan primakuin 0,25
mg/kgBB/hari, 14 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari ke IV masih demam atau hari
VIII masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan :
Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau
sulfadoksin 20-30 mg/kgBB single dose (usia di atas 6 bulan). Obat ini tidak
digunakan pada malaria tersiana
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII
masih dijumpai parasit maka diberikan :
Tetrasiklin Hcl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari +
fansidar/suldox bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau
:
Tetrasiklin Hcl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan
butir 2b. Dosis Kina dan Fansidar/Suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin
diberikan pada umur 8 tahun atau lebih)
Pada saat ini sudah lebih dari 25% provinsi di Indonesia telah terjadi
multiresistensi terhadap obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli
Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah
tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara global menggunakan obat
artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal sebagai
Artemisinin based Combination Therapy (ACT).

Derivat artemisinin :

1. Artesunat :
Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari
untuk hari pertama diberi 2 dosis
Suntikan im/iv; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari
selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis
2. Artemether:
Tablet/ kapsul 40 mg/50 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari;
untuk hari pertama diberi 2 dosis.
Suntikan : ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali sehari selama 6
hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis
3. Dehidroartemisinin:
Tablet /kapsul 20 mg/ 60 mg/ 80 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4
hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis

4. Artheeter:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk beta artheether (artenotil). Dosis
pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB
tiap hari selama 4 hari.

Obat kombinasi yang saat ini tersedia di Indonesia yaitu kombinasi artesunat +
amodiakuin dengan nama dagang Arttesdiaquine atau Artesumoon. Obat ini tersedia
untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi
(>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis arttesdiaquine
merupakan ganbungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari, untuk hari
pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5
mg/kgBB. Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif,
sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk dapat mendeteksi
pengobatan malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan
parasitologis. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu kriteria berikut:

1. Kegagalan pengobatan dini, bila:


Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3
Parasitemia hari ke 2 > hari 0
Parasitemia hari ke 3 (> 25% dari hari 0)
Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
2. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih
keadaan berikut :
a) Secara klinis dan parasitologis:

Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau


Parasitemia dan suhu aksila >37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria
gagal pengobatan dini
b) Secara patologis

Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21 dan 28


Suhu aksila <37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini
3. Respon klinis dan parasitologis memadai, apabila pasien sebelumnya tidak
berkembang menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.
2.8.2 Malaria Berat

Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan


secara cepat dan tepat sebagai berikut:

Tindakan umum/perawatan
Pemberian obat anti malaria/transfusi tukar
Pemberian cairan/nutrisi
Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif:

Pertahankan fungsi vital: sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi


Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap 1/2 jam. Awasi ikterus dan perdarahan
Posisi tidur sesuai kebutuhan
Perhatikan warna dan suhu kulit
Cegah hiperpireksi
Pemberian cairan: oral, sonde, infus
Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
Perhatikan kebersihan rambut
Perhatikan diuresis dan defekasi, aseptik kateterisasi
Kebersihan kulit: mandikan tiap hari dan keringkan
Perawatan mata: hindarkan trauma, tutup dengan kasa lembab
Perawatan: hati-hati aspirasi, hisap lendir sesering mungkin, letakkan kepala
sedikit rendah, posisi diubah cukup sering, pemberian cairan dan obat harus
hati-hati.
Pemberian obat anti malaria pada malaria berat berbeda dengan malaria biasa
karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan
bertahan cukup lama di dalam darah untuk segera menurunkan derajat parasitemia.
Oleh karenanya dipilih pemakaian obat secara suntikan (IV/per infus, IM yang berefek
cepat dan masih sensitif untuk membunuh parasit malaria).

1. Kina (kina Hcl/kinin antipiria)


Kina merupakan obat anti malaria yang sangat efektif untuk semua jenis
Plasmodium dan efektif sebagai skizontozid maupun gametosid. Dipilih sebagai
obat utama untuk malaria berat karena masih berefek kuat terhadap
Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan dapat diberikan
cepat per infus atau IM dan cukup aman.

Cara pemberian kina dihidroklorida melalui infus, dosis 10 mg/kgBB/kulit


dilarutkan dalam 100-200 ml infus garam fisiologis atau cairan 2a atau dextrose
5% dan diberikan selama 4 jam, 3 kali sehari selama pasien belum sadar
(maksimal 3 hari), tetapi apabila pasien telah sadar (walaupun belum 3 hari)
kina dilanjutkan per oral hingga total IV + oral selama 7 hari. Kalau tidak dapat
diberikan secara iv, maka dapat diberikan secara im berupa kina Hcl atau kina
antipirin dengan pengenceran 4x lipat pada paha kiri dan kanan.

2. Kinidin
Kinidin diberikan bila tidak tersedia kina, dengan cara pemberian sama dengan
kina tetapi dosisnya adalah 7,5 mg basa/kgBB/kali

3. Derivat artemisinin
Derivat artemisinin merupakan obat baru dengan efektifitas tinggi terhadap
strain malaria yang multiresisten terhadap obat malaria.
a) Artesunat

Artesunat diberikan iv atau im dengan dosis 2,4 mg/kgBB/kali selama 3 hari;


untuk hari pertama diberi 2 dosis, dan selanjutnya diberi oral 2
mg/kgBB/hari sekali sehari sampai total 7 hari untuk seluruh pengobatan.
Dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin/ doksisiklin selama 7 hari untuk
anak >7 tahun atau dengan klindamisin 5 mg/ kgBB selama 7 hari

b) Artemeter

Artemeter dalam larutan minyak diberi im. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali sehari
selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.

2.8.3 Penatalaksanaan Tambahan pada Malaria Berat

A. Malaria Serebral

Sebagai penatalaksanaan umum untuk malaria berat maka pada malaria


serebral, petalaksanaan/ pencegahan kejang sangat penting dilaksanakan dan dapat
diberi:

Diazepam iv 0,3-0,5 mg/kgBB atau 0,5-1 mg/kgBB rektal 5 mg dengan dosis


optimal 10 mg/ kali dan dapat diulangi tiap 5-15 menit
Paraldehid 0,1 mg/kgBB
Klormetiazol 0,8% diinfus sampai kejang berhenti
Fenitoin 5 mg/kgBB iv selama 20 menit
Fenobarbital im 30-75 mg dilanjutkan oral 8 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 2
dosis, selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis rumat 4 mg/ kgBB/ hari dibagi 2
dosis
B. Anemia Berat (Hb <5 g/dl)

Kebutuhan transfusi bukan hanya berdasarkan kadar hemoglobin saja tetapi


harus dilihat pula densitas parasitemia dan keadaan klinis. WHO menganjurkan kadar
hematokrit sebagai patokan anemia; kadar hematokrit 15% atau lebih rendah
merupakan indikasi pemberian transfusi darah (10 ml/ kgBB packed red cell atau 20
ml/kgBB whole blood), disertai pemberian furosemid 1-2 mg/kgBB sampai maksimal 20
mg, dapat diberikan secara iv untuk mengurangi beban jantung.

C. Dehidrasi, Gangguan Asam-Basa (Asidosis Metabolik) dan Gangguan Elektrolit


Lactic acidosis sering terjadi sebagai komplikasi malaria berat, ditandai dengan
peningkatan kadar asam laktat darah atau dalam likuor serebrospinal. Larutan garam
fisiologis isotonis atau glukosa 5% segera diberikan secara hati-hati dan awasi tekanan
darah. Apabila telah terjadi rehidrasi, tetapi jumlah urin tetap < 1ml/kgBB/ jam maka
dapat diberikan furosemid 3 mg/kgBB (diberikan dalam waktu 15 menit). Untuk
memperbaiki oksigenasi, bersihkan jalan napas, beri oksigen 2-4 liter/ menit, dan
apabila diperlukan dapat dipasang ventilator mekanik sebagai penunjang.

D. Hipoglikemia (gula darah <40 mg/ dl)

Dalam menghadapi malaria berat, terutama pada anak yang mengalami


penurunan kesadaran perlu diberikan glukosa rumatan untuk mencegah hipoglikemia
yang disebabkan karena anak tidak bisa makan. Diberikan larutan rumatan glukosa 5%
atau glukosa konsentrasi tinggi secara intermitten. Apabila terjadi hipoglikemia berikan
glukosa 20% (2-4 ml/ kgBB) dilanjutkan dengan cairan rumatan glukosa 10% sambil
dilakukan pemeriksaan kadar gula darah berkala atau mempergunakan dextrostick.

E. Gagal Ginjal

Pada semua penderita malaria berat sebaiknya kadar ureum dan kreatinin
diperiksa 2-3 kali/ minggu. Apabila pemeriksaan ureum dan kreatinin serum tidak
memungkinkan, maka dapat dipakai cara sederhana dengan mengukur produksi urin.
Bila terjadi oliguria (produksi urin <1 ml/kgBB/ jam) yang disertai dengan tanda klinik
dehidrasi, maka diberi cairan untuk rehidrasi dengan pengawasan yang ketat untuk
mencegah overload. Observasi tanda-tanda vital, balans cairan, pemeriksaan auskultasi
paru, jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) dipertahankan
pada tekanan 0-5 cm H20. Bila terjadi anuria, yaitu tidak ada produksi urin dalam 8 jam,
diberi furosemid 1 mg/ kgBB/ kali. Bila tidak ada respon dapat diulang setelah 8 jam
dengan dosis 3 mg/kgBB dan dapat diulang.

F. Edema Paru Akut

Anak ditidurkan setengah duduk, diberikan oksigen konsentrasi tinggi dan


diuretik intravena. Pemberian ventilator mekanik dapat dipertimbangkan bila terjadi
gagal napas dan fasilitas memungkinkan. Apabila edema paru disebabkan oleh cairan
intravena berlebihan, segera hentikan pemberian cairan intravena, berikan furosemid 1
mg/ kgBB/ kali dan diulangi bila perlu.

G. Kegagalan Sirkulasi (Algid Malaria)


Hipovolemia dikoreksi dengan pemberian cairan yang tepat. Rehidrasi dengan
cairan RL sebanyak 10-20 ml/ kgBB secepatnya sampai nadi teraba. Bila nadi belum
teraba selama 20 menit, ulangi loading dose. Bila sesudah 2 kali loading dose nadi belum
teraba, berikan loading dose dengan plasma expander 20 ml/kgBB secepatnya. Bila syok
belum teratasi, berikan dopamin 3-5 mcg/ kgBB/ menit.

Bila nadi sudah teraba, dilanjutkan dengan pemberian rehidrasi dengan cairan
RL sesuai dengan keadaan pasien. Periksa nadi, tekanan darah dan pernapasan setiap 20
menit. Bila memungkinkan monitor dengan CVP, tekanan dipertahankan antara 5-8 cm
H2O. Kadar gula darah diperiksa periodik. Bila ada kecurigaan septikemia, lakukan
biakan darah dan uji sensitivitas dan segera berikan antibiotika spektrum luas.

H. Perdarahan (Kecenderungan terjadi Perdarahan)

Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat dengan manifestasi perdarahan


pada kulit berupa ptekia, purpura, hematom atau perdarahan hidung, gusi dan saluran
pencernaan. Pasien dapat diberi darah segar, fresh frozen plasma (berisi faktor
pembekuan), dan suspensi trombosit. Bila terdapat perpanjangan waktu protrombin
dan partial thromboplastin, dianjurkan pemberian vitamin K 10 mg perlahan-lahan.

I. Hiperpireksia

Bila suhu >40 C segera beri kompres hangat dan antipiretik Parasetamol dosis
awal 20 mg/ kgBB per oral, melalui sonde lambung, atau rektal, diikuti 15 mg/ kgBB
tiap 4-6 jam. Bila kejang diberi :

Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/ kgBB perlahan-lahan (1 mg/ menit) atau rektal
5 mg untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg. Bila kejang belum teratasi
setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan Fenitoin dengan dosis awal 10-15
mg/ kgBB dalam NaCl 0,9% sama banyak diberi bolus intravena perlahan-lahan,
kemudian diikuti dosis rumat fenitoin 5 mg/ kgBB dibagi dalam 2-3 dosis
Fenobarbital, bila tidak ada pilihan lain sebagai alternatif, diberikan
intramuskular. 30 mg untuk usia < 1 bulan, 50 mg untuk usia 1 bulan-1 tahun, 75
mg untuk usia > 1 tahun. Setelah 4 jam pemberian dosis awal dilanjutkan dengan
fenobarbital 8 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari,
dilanjutkan dengan dosis rumat 4 mg/ kgBB/ hari dibagi 2 dosis sampai 3 hari
bebas panas.
J. Hemoglobinuria/ Black water fever
Pada hemoglobinuria malaria, jika terdapat parasitemia maka pengobatan anti
malaria yang sesuai harus diteruskan. Transfusikan darah segar untuk
mempertahankan nilai hematokrit di atas 20%. Pantau tekanan vena jugularis atau
sentralis untuk menghindari kelebihan cairan dan hipervolemia. Berikan furosemid 1
mg/ kgBB secara intravena. Jika timbul oliguria disertai kadar ureum darah dan
kreatinin serum yang meningkat, mungkin perlu dilakukan dialisis peritoneal atau
hemodialisa.

K. Ikterus

Tidak ada terapi khusus untuk ikterus. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb
sangat turun, maka diberikan transfusi darah. Kadar bilirubin akan kembali normal
dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan antimalaria. Pada ikterus berat, dosis
obat antimalaria sebaiknya diberi setengah dosis dengan waktu pemberian dua kali
lebih lama.

L. Hiperparasitemia

Segera beri obat anti malaria. Respons pengobatan dievaluasi dengan


memeriksa ulang parasitemianya. Indikasi transfusi tukar bila :

Parasitemia > 30%

Parasitemia > 10% disertai komplikasi berat lainnya seperti malaria serebral,
GGA, ARDS, ikterus dan anemia berat

Parasitemia > 10% dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian anti
malaria yang optimal

Parasitemia > 10% disertai adanya skizon pada darah perifer

2.9 Prognosis

Malaria tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium vivax , Plasmodium


malariae, dan Plasmodium ovale memiliki prognosis yang baik. Prognosis malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian,
walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau
lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps, sedangkan Plasmodium malariae dapat
berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30-
50 tahun. Infeksi Plasmodium falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk,
apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama
pada gizi buruk. WHO mengemukanan indikator prognosis buruk apabila :

a) Indikator Klinis

Umur 3 tahun atau kurang


Koma yang berat
Kejang berulang
Refleks kornea negatif
Deserebrasi
Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
Terdapat perdarahan retina
b) Indikator laboratorium

Hiperparasitemia (> 250.000/ ml atau >5%)


Skizontemia dalam darah perifer
Leukositosis
PCV (packed cell volume) < 15%
Hemoglobin <5g/dl
Glukosa darah <40 mg/ dl
Ureum >60 mg/dl
Glukosa LCS rendah
Kreatinin >3,0 mg/dl
Laktat dalam LCS meningkat
SGOT meningkat >3 kali normal
Antitrombin rendah
Peningkatan kadar plasma 5'-nukleotidase
Malaria yang terjadi pada anak berusia <5 tahun memiliki prognosis paling
buruk di daerah endemis. Di daerah dengan populasi non imun, prognosis malaria
bersifat mematikan di seluruh umur.
2.10 Pencegahan

1. Pemakaian obat anti malaria

Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik


malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar dari
daerah endemik malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.

a) Klorokuin basa 5 mg/ kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 mg basa sekali
seminggu atau
b) Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/ kgBB atau
sulfadoksin 10-15 mg/ kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau
lebih).
2. Menghindar dari gigitan nyamuk

a) Memakai kelambu atau kasa anti nyamuk


b) Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Vaksin Malaria

Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu


mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam stadium pada perjalanan penyakit
malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria
ditujukan pada dua jenis vaksin, yaitu:

Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: (a) Sporozoit yang berkembang dalam
nyamuk dan menginfeksi manusia, (b) Merozoit yang menyerang eritrosit, dan
(c) Gametosit yang menginfeksi nyamuk
Rekayasa genetik atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan
pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit
Plasmodium falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan
apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria
tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba
vaksin dengan rekayasa genetik.
DAFTAR PUSTAKA

Dit Jen P2M & PLP Dep Kes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria, Jakarta,
2003

Ezeamama AE, Spiegelman D, Hertzmark E, Bosch RJ, Manji KP, Duggan C, et al.
HIV Infection and the Incidence of Malaria Among HIV-Exposed Children
from Tanzania. J Infect Dis. May 2012

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Philadelphia: Elsevier. 2007

Metha PN. Pediatric Malaria. Emedicine medscape. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/998942-overview. 2015

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari EI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010

World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman


Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. World
Health Organization. Jakarta. 2009

World Health Organization. WHO Fact Sheet on Malaria. Fact Sheet No 94.
World Health Organization. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs094/en/print.html. 2015

Anda mungkin juga menyukai