MALARIA
Disusun oleh :
Shela Mita Rengganis 15710352
Pembimbing :
dr. Zainuddin Hamiddi, Sp.A
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis berjudul
Malaria ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Tentara TK. II Dr.
Soepraoen Malang. Dalam pembuatan karya tulis ini, saya mengambil referensi dari
saya, dr. Zainuddin Hamiddi, Sp.A yang telah memberikan bimbingannya dalam
proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril
maupun dalam mencari referensi yang lebih baik. Selain itu, saya juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman saya yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan
yang sama atas dukungan dan bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan
ini. Saya juga mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua saya
atas bantuan, dukungan baik secara moril maupun materil, dan kasihnya.
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang
merupakan golongan plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah
merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk
anopheles. Malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar di beberapa wilayah
di dunia. Umumnya tempat-tempat yang rawan malaria terdapat pada Negara-negara
berkembang dimana tidak memiliki tempat penampungan atau pembuangan air yang
cukup, sehingga menyebabkan air menggenang dan dapat dijadikan sebagai tempat
ideal nyamuk untuk bertelur.
Malaria disebabkan oleh parasit dari genus plasmodium. Ada empat jenis
plasmodium yang dapat menyebabkan malaria, yaitu plasmodium falciparum,
plasmodium vivax, plasmodium oval, dan plasmodium malaria. Parasit-parasit
tersebut ditularkan pada manusia melalui gigitan seekor nyamuk dari genus
anopheles. Gejala yang ditimbulkan antara lain adalah demam, anemia, panas dingin,
dan keringat dingin. Untuk mendiagnosa seseorang menderita malaria adalah dengan
memeriksa ada tidaknya plasmodium pada sampel darah. Namun yang seringkali
ditemui dalam kasus penyakit malaria adalah plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax.
Sebanyak lebih dari 1 juta orang termasuk anak-anak setiap tahun meninggal
akibat malaria dimana 80% kematian terjadi di Afrika, dan 15% di Asia (termasuk
Eropa Timur). Secara keseluruhan terdapat 3,2 Miliyar penderita malaria di dunia
yang terdapat di 107 negara. Malaria di dunia paling banyak terdapat di Afrika yaitu
di sebelah selatan Sahara dimana banyak anak-anak meninggal karena malaria dan
malaria muncul kembali di Asia Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Di
Indonesia, sebagai salah satu negara yang masih beresiko Malaria (Risk-Malaria),
pada tahun 2009 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis dan 350 ribu kasus di
antaranya dikonfirmasi positif. Sedangkan tahun 2010 menjadi 1,75 juta kasus dan
311 ribu di antaranya dikonfirmasi positif. Sampai tahun 2010 masih terjadi KLB dan
peningkatan kasus malaria di 8 Propinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan
jumlah penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian.
Diharapkan dengan penulisan laporan ini penulis ataupun pembaca dapat lebih
memahami mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penegakkan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari
malaria pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Anak-anak pada semua umur yang hidup di daerah non endemis malaria
memiliki kemungkinan sama besarnya untuk terkena malaria. Di daerah endemis,
anak yang berusia <5 tahun seringkali mengalami malaria berulang. Sisanya
mendapatkan imunitas parsial. Pada anak yang lebih dewasa seringkali terjadi
parasitemia yang asimtomatik. Kebanyakan kematian yang disebabkan oleh malaria
terjadi pada anak-anak yang berusia <5 tahun.
2.3 Etiologi
Seseorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal sebagai
infeksi campuran/majemuk (mixed infection). Pada umumnya dua jenis plasmodium
yang paling banyak dijumpai adalah campuran antara Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax atau Plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis
Plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran
biasanya terdapat di daerah dengan angka penularan tinggi. Akhir-akhir ini di
beberapa daerah dilaporkan kasus malaria yang telah resisten terhadap klorokuin,
bahkan juga resisten terhadap pirimetamin-sulfadoksin.
Penyakit ini jarang ditemui pada bulan-bulan pertama kehidupan, tetapi pada
anak-anak yang berumur beberapa tahun dapat terjadi serangan malaria tropika yang
berat bahkan tertiana dan kuartana dan dapat menyebabkan kematian terutama pada
anak dengan gangguan gizi.
Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain
yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Pada malaria juga terjadi pembesaran hepar, sel Kupffer seperti sel dalam
sistem retikuloendotelial terlibat dalam respon fagositosis. Sebagai akibatnya hati
menjadi berwarna kecoklatan agak kelabu atau kehitaman. Pada malaria kronis terjadi
infiltrasi difus oleh sel mononukleus pada periportal yang meningkat sejalan dengan
berulangnya serangan malaria. Hepatomegali dengan infiltrasi sel mononukleus
merupakan bagian dari sindrom pembesaran hati di daerah tropis. Nekrosis
sentrilobulus terjadi pada syok.
Organ lain yang sering diserang oleh malaria adalah otak dan ginjal. Pada
malaria serebral, otak berwarna kelabu akibat pigmen malaria, sering disertai edema
dan hipermesi. Perdarahan berbentuk ptekie tersebar pada substansi putih otak dan
dapat menyebar sampai ke sumsum tulang belakang. Pada pemeriksaan mikroskopis,
sebagian besar dari pembuluh darah kecil dan menengah dapat terisi eritrosit yang
telah mengandung parasit dan dapat dijumpai bekuan febrin, dan terdapat reaksi
seluler pada ruang perivaskular yang luas. Terserangnya pembuluh darah oleh malaria
tidak saja terbatas pada otak tetapi juga dapat dijumpai pada jantung atau saluran
cerna atau di tempat lain di tubuh, yang berakibat pada berbagai manifestasi klinis.
Pada ginjal selain terjadi perwarnaan oleh pigmen malaria juga dijumpai salah
satu atau dua proses patologis yaitu nekrosis tubulus akut dan/atau
membranoproliverative glomerulonephritis. Nekrosis tubulus akut dapat terjadi
bersama dengan hemolisis masif atau hemoglobinuria pada black water fever tetapi
dapat juga terjadi tanpa hemolisis, akibat berkurangnya aliran darah karena
hipovolemia dan hiperviskositas darah. Plasmodium falciparum menyebabkan nefritis
sedangkan Plasmodium malariae menyebabkan glomerulonefritis kronik dan
sindroma nefrotik.
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala
yang paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen,
yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa
disebabkan oleh terjadinya peningkatan eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya
sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan
sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit
neutrofil. Terjadinya kongestif pada organ lain meningkatkan risiko terjadinya ruptur
limpa.
Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni (siklus seksual) yang
terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus aseksual) yang terdapat pada manusia.
Siklus ini dimulai dari siklus sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap darah manusia
yang terinfeksi malaria yang mengandung plasmodium pada stadium gametosit (8).
Setelah itu gametosit akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina) (9). Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan ookinet
(10). Ookinet masuk ke lambung nyamuk membentuk ookista (11). Ookista ini akan
membentuk ribuan sprozoit yang nantinya akan pecah (12) dan sprozoit keluar dari
ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, salah satunya di
kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini siklus sporogoni telah selesai.
Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik dan siklus eritrositik.
Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat. Sporozoit akan masuk kedalam tubuh
manusia melewati luka tusuk nyamuk (1). Sporozoit akan mengikuti aliran darah
menuju ke hati, sehingga menginfeksi sel hati (2) dan akan matang menjadi skizon (3).
Siklus ini disebut siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium falciparum dan Plasmodium
malariae hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik, sedangkan Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale mempunyai bentuk hipnozoit (fase dormant) sehingga siklus
eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya, skizon akan pecah (4) mengeluarkan
merozoit (5) yang akan masuk ke aliran darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di
mulailah siklus eritrositik. Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit
belum matang lalu matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan menjadi
merozoit lagi (6). Diantara bentuk tropozoit tersebut ada yang menjadi gametosit (7)
dan gametosit inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh nyamuk. Begitu seterusnya
akan berulang-ulang terus. Gametosit tidak menjadi penyebab terjadinya gangguan
klinik pada
12
penderita malaria, sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa
15,16
diketahui (karier malaria).
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh
suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa
lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan
infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau jenis Plasmodium
tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus menerus
(tanpa interval), sedangkan pada penjamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang berurutan yakni
stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot stage) dan stadium berkeringat
(sweating stage). Paroksisme ini biasanya jelas terlihat pada orang dewasa namun
jarang dijumpai pada usia muda. Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin
seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului
oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari tergantung
pada spesies parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum dan paling panjang
pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi,
pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat imunitas penjamu. Pada
malaria akibat transfusi darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari,
Plasmodium vivax 16 hari dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah
transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies
parasit, untuk Plasmodium fakciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale 13-17 hari, dan Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa inkubasi,
pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga
stadium yaitu:
1. Stadium Dingin
Stadium ini diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat
dingin. Gigi gemeretak dan pasien biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam
pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari pucat atau
sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin muntah dan pada anak sering terjadi
kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium Demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka
merah, kulit kering, dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali
terjadi mual dan muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus
dan suhu badan dapat meningkat sampai 41 derajat C atau lebih. Stadium ini
berlangsung antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam
sel darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran
darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi
menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga
terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae demam
terjadi pada 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana. Pada
Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam.
3. Stadium berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali, tempat tidurnya basah,
kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah
normal. Gejala tersebut di atas tidak selalu sama pada setiap pasien, tergantung pada
spesies parasit, berat infeksi dan usia pasien. Gejala klinis yang berat biasanya terjadi
pada malaria tropika yang disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk
tropozoit dan skizon) untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh tertentu
seperti otak, hati, dan ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah
organ-organ tubuh tersebut. Gejala mungkin berupa koma, kejang sampai gangguan
fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria jenis ini. Black water
fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin
sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black
water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti empedu. Black water fever
biasnya dijumpai pada mereka yang menderita infeksi Plasmodium falciparum
berulang dengan infeksi yang cukup berat.
Pada daerah hiper atau holoendemik, kontrol malaria tidak efektif sehingga
serangan malaria akut sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara
bertahap menginduksi imunitas secara aktif. Pada anak besar yang sudah mendapat
imunitas, maka gejala klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut dapat terjadi pada
anak besar yang mendapat kemoprofilaksis yang tidak sempurna atau lupa minum
obat pada saat masuk ke endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria, semua
usia dapat terserang malaria.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia pada
anak besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai tetapi
bervariasi. Muntah, nyeri perut dan diare agak jarang dijumpai. Pembesaran hati
sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut, pembesaran hati biasanya terjadi pada
awal perjalanan penyakit (pada akhir minggu pertama) dan lebih sering terjadi
daripada pembesaran limpa.
Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai dengan progresifitas penyakit,
namun fungsinya jarang terganggu dibandingkan dengan orang dewasa. Ikterus dapat
dijumpai pada beberapa anak, terutama berhubungan dengan hemolisis. Kadar
transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat.
Malaria ovale mempunyai gejala klinis lebih ringan daripada malaria tertiana.
Pada hari terakhir masa inkubasi, anak menjadi gelisah, anoreksia sedangkan anak
besar mengeluh nyeri kepala dan nausea. Demam periodik tiap 48 jam tetapi stadium
dingin dan menggigil jarang dijumpai pada bayi dan balita. Selama periode demam,
anak selalu merasa dingin dan menggigil dalam waktu singkat. Demam sering terjadi
pada sore hari. Pada anak jarang terjadi parasitemia berat, terdapat pada kurang dari
2%. Malaria tertiana dan ovale jarang disertai anemia berat. Hati pada umumnya
membesar dan teraba pada akhir minggu pertama. Bilirubin total dapat meningkat
tetapi jarang disertai ikterus, sedangkan kadar transaminase sedikit meningkat untuk
waktu singkat. Limpa bertambah besar selama serangan dan dapat teraba pada
minggu kedua. Kejang dapat terjadi pada saat demam tinggi pada usia 6 bulan sampai
5 tahun. Kematian pada anak sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi bila disertai
berbagai penyakit lain yang berat, gizi buruk, dan anemia berat. Pada malaria tertiana
dan ovale bentuk dormant dari parasit dapat tetap berada dalam hati dan dapat
menyebabkan relaps. Relaps dapat terjadi pada kasus yang mendapat pengobatan
hanya dengan obat skizontosida saja.
A. Malaria Serebral
Kejang pada anak dengan malaria berat dapat merupakan permulaan serangan
malaria serebral. Walaupun demikian, harus diingat bahwa kejang demam sering
terjadi pada anak balita oleh sebab lain. Di Thailand, angka kejadian kejang pada
malaria tropika 9,6% pada anak kurang dari 5 tahun dan hanya 1,5% pada anak 5-12
tahun.
Malaria serebral adalah malaria falciparum yang disertai kejang dan koma,
tanpa penyebab lain dari koma. Gejala paling dini malaria serebral pada anak-anak
umumnya adalah demam (37,5-41 derajat C), selanjutnya tidak bisa makan atau
minum, sering mengalami rasa mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang
mendahului koma dapat sangat singkat, umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering
kehilangan kesadaran setelah demam harus diperkirakan mengalami malaria serebral,
terutama jika koma menetap lebih dari setengah jam setelah kejang. Dalamnya koma
dapat dinilai sesuai dengan skala Glasgow atau modifikasi khusus pada anak yaitu
skala koma Blantyre, melalui pengamatan terhadap respon rangsangan bayi atau rasa
nyeri yang standar, ketukan iga pada dada anak dan jika tidak ada respon lakukan
tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan
dan atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan berulang kali
untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. Kejang biasanya terjadi pada sebelum
atau sesudah timbul koma. Hal ini secara bermakna berhubungan dengan morbiditas
dan gejala sisa. Sekelompok anak-anak yang dapat bertahan hidup setelah menderita
malaria serebral kurang lebih 10% mengalami gejala sisa neurologik yang menetap.
Selama periode penyembuhan, gejala sisa dapat terbentuk hemiparesis, ataksia
serebelar, kebutaan kortikal, hipotonia berat, retardasi mental, kekakuan yang
menyeluruh atau afasia
B. Anemia
Derajat anemia tergantung dari derajat dan lama parasitemia terjadi. Pada
beberapa pasien, serangan malaria berulang yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan anemia normokrom sebagai akibat perdarahan eritropoietik di dalam
sumsum tulang. Walaupun parasitemia tidak berat, di dalam darah perifer sudah
tampak sel leukosit monosit berpigmen. Anemia dapat pula terjadi akibat
penghancuran eritosit yang mengandung parasit. Anemia turut berperan dalam (1)
gejala serebral yaitu bingung, gelisah, koma dan perdarahan retina, (2) gejala
kardiopulmonal yaitu irama derap, gagal jantung, hepatomegali dan edema paru.
Gejala klinis dehidrasi sedang sampai berat adalah penurunan perfusi perifer,
rasa haus, penurunan berat badan 3-4%, nafas cepat dan dalam, penurunan turgor
kulit, peningkatan kadar ureum darah (6,5 mmol/L atau 40 mg/dl), asidosis metabolik
pada pemeriksaan urin, kadar natrium urin rendah dan sedimen normal, merupakan
tanda terjadinya dehidrasi bukan gangguan ginjal.
D. Hipoglikemia Berat
Hipoglikemia dapat terjaid pada malaria berat, terutama pada anak kecil
(dibawah 3 tahun) dengan gejala kejang, hiperparasitemia, penurunan kesadaran atau
dengan gejala yang lebih ringan seperti berkeringat, kulit teraba dingin dan lembab,
serta napas yang tidak teratur. Hipoglikemia berhubungan dengan hiperinsulinemia
yang diinduksi oleh malaria dan kina. Hipoglikemia pada anak adalah keadaan
dimana kadar glukosa darah turun menjadi 40 mg/dl atau lebih rendah.
E. Gagal Ginjal
Gagal ginjal jarang terdapat pada anak dengan malaria. Kadar ureum sedikit
meningkat kira-kira 10% pada anak lebih dari 5 tahun, seringkali gagal ginjal
disebabkan oleh dehidrasi yang tidak diobati adekuat.
Pada kasus malaria serebral dapat dijumpai anemia berat dan parasitemia
berat. Frekuensi nafas meningkat dan dijumpai krepitasi serta ronki yang menyebar.
Gejala edema paru seringkali timbul beberapa hari setelah pemberian obat
antimalaria, pada umumnya terjadi bersamaan dengan hiperparasitemia, gagal ginjal,
hipoglikemia dan asidosis. Sebagai akibat edema paru dapat terjadi hipoksia yang
mengakibatkan kejang dan penurunan kesadaran serta kematian.
Malaria algid adalah malaria falciparum yang disertai syok oleh karena adanya
septikemia kuman gram negatif. Penderita dapat jatuh pada keadaan kolaps dengan
tekanan darah sistolik kurang dari 50 mmHg pada posisi berbaring, kulit teraba
dingin, lembab, sianotik, konstriksi vena perifer, denyut nadi lemah dan cepat.
Dehidrasi dengan hipovolemia juga dapat menyebabkan hipotensi
Perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan gusi, epistaksis, ptekia, dan
perdarahan subkonjungtiva. Apabila terjadi koagulasi intravaskular diseminata akan
timbul perdarahan yang lebih hebat yaitu melena dan hematemesis. Kecenderungan
terjadi perdarahan ditandai dengan perpanjangan waktu perdarahan, trombositopenia
dan menurunnya faktor koagulasi.
I. Hiperpireksia
Hiperpireksia lebih banyak dijumpai pada anak daripada dewasa dan seringkali
berhubungan dengan kejang, delirium dan koma, maka pada malaria monitor suhu
berkala sangat diajurkan. Hiperpireksia adalah keadaan dimana suhu tubuh meningkat
menjadi 42 derajat C atau lebih dan dapat menyebabkan gejala sisa neurologik yang
menetap.
J. Hemoglobinuria
Hal ini jarang terjadi pada anak. Hampir seluruh kasus ini berhubungan dengan
defisiensi G6PD pada pasien malaria. Pada kasus ini hemolisis akan berhenti setelah
pecahnya eritrosit tua.
Manifestasi ikterus sering dijumpai pada orang dewasa namun bila ditemukan
pada anak prognosisnya jelek.
L. Hiperparasitemia
Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit >5% dan adanya
skizontae sering berhubungan dengan malaria berat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu yang sangat tinggi pada hari pertama.
Temperatur yang berkisar di 40 derajat C atau lebih seringkali didapatkan. Demam
seringkali terus menerus dan ireguler. Hepar seringkali teraba. Munculnya splenomegali
butuh waktu beberapa hari terutama pada anak yang baru terserang pertama kali. Pada
anak yang berada di daerah endemis malaria, splenomegali yang berat seringkali
didapatkan.
Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan
tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan
laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan darah seorang anak
penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak
selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak
berobat untuk penyakit lain. Di lain pihak, dapat saja tidak ditemukan parasit pada
pemeriksaan darah pada anak yang sedang sakit malaria. Maka untuk menemukan
parasit di dalam darah harus diperhatikan waktu pengambilan spesimen darah dan
apakah pasien sedang minum obat anti malaria (yang akan mengurangi kemungkinan
ditemukannya parasit).
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal
merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan
darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum
kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5'-nukleotidase. Pada
penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar
bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium,
klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan
likuor serebrospinal juga meningkat.
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect
fluorescence antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked
immunosorbence assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat
terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan
dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi
epidemiologi. Pada daerah endemia atau pernah endemis, tes serologi berguna untuk :
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan
dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis,
gastroenteritis atau hepatitis. Malaria dengan manifestasi klinis yang lebih ringan harus
dibedakan dengan influenza atau penyakit virus lainnya.
Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronis; pada keadaan akut
penurunan hemoglobin dapat terjadi dengan cepat. Pada darah tepi dapat dijumpai
poikilositosis, polikromatosis dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia
pernisiosa. Dijumpai pula trombositopenia sehingga dapat mengganggu proses
koagulasi. Pada malaria tropika yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun
disebabkan peningkatan konsumsi fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravaskular.
Terjadi ikterus ringan dengan peningkatan bilirubin indirek dan tes fungsi hati yang
abnormal seperti meningkatnya transaminase, kadar glukosa dan fosfatase alkali
menurun.
Kolangitis asendens
Encephalitis
Hepatitis
Pneumonia
Faringitis
Tonsilitis
Demam thyphoid
Sinusitis
Tetanus
Giardiasis
Meningitis aseptik
Meningitis bakterial
Otitis media
Yellow fever
2.8 Pengobatan
Pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan (tanpa komplikasi) dan malaria
berat (disertai komplikasi)
Malaria ringan tanpa kompikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan
atau rawat inap sebagai berikut :
Derivat artemisinin :
1. Artesunat :
Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari
untuk hari pertama diberi 2 dosis
Suntikan im/iv; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari
selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis
2. Artemether:
Tablet/ kapsul 40 mg/50 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari;
untuk hari pertama diberi 2 dosis.
Suntikan : ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali sehari selama 6
hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis
3. Dehidroartemisinin:
Tablet /kapsul 20 mg/ 60 mg/ 80 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4
hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis
4. Artheeter:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk beta artheether (artenotil). Dosis
pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB
tiap hari selama 4 hari.
Obat kombinasi yang saat ini tersedia di Indonesia yaitu kombinasi artesunat +
amodiakuin dengan nama dagang Arttesdiaquine atau Artesumoon. Obat ini tersedia
untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi
(>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis arttesdiaquine
merupakan ganbungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari, untuk hari
pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5
mg/kgBB. Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif,
sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk dapat mendeteksi
pengobatan malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan
parasitologis. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu kriteria berikut:
Tindakan umum/perawatan
Pemberian obat anti malaria/transfusi tukar
Pemberian cairan/nutrisi
Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif:
2. Kinidin
Kinidin diberikan bila tidak tersedia kina, dengan cara pemberian sama dengan
kina tetapi dosisnya adalah 7,5 mg basa/kgBB/kali
3. Derivat artemisinin
Derivat artemisinin merupakan obat baru dengan efektifitas tinggi terhadap
strain malaria yang multiresisten terhadap obat malaria.
a) Artesunat
b) Artemeter
Artemeter dalam larutan minyak diberi im. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali sehari
selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
A. Malaria Serebral
E. Gagal Ginjal
Pada semua penderita malaria berat sebaiknya kadar ureum dan kreatinin
diperiksa 2-3 kali/ minggu. Apabila pemeriksaan ureum dan kreatinin serum tidak
memungkinkan, maka dapat dipakai cara sederhana dengan mengukur produksi urin.
Bila terjadi oliguria (produksi urin <1 ml/kgBB/ jam) yang disertai dengan tanda klinik
dehidrasi, maka diberi cairan untuk rehidrasi dengan pengawasan yang ketat untuk
mencegah overload. Observasi tanda-tanda vital, balans cairan, pemeriksaan auskultasi
paru, jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) dipertahankan
pada tekanan 0-5 cm H20. Bila terjadi anuria, yaitu tidak ada produksi urin dalam 8 jam,
diberi furosemid 1 mg/ kgBB/ kali. Bila tidak ada respon dapat diulang setelah 8 jam
dengan dosis 3 mg/kgBB dan dapat diulang.
Bila nadi sudah teraba, dilanjutkan dengan pemberian rehidrasi dengan cairan
RL sesuai dengan keadaan pasien. Periksa nadi, tekanan darah dan pernapasan setiap 20
menit. Bila memungkinkan monitor dengan CVP, tekanan dipertahankan antara 5-8 cm
H2O. Kadar gula darah diperiksa periodik. Bila ada kecurigaan septikemia, lakukan
biakan darah dan uji sensitivitas dan segera berikan antibiotika spektrum luas.
I. Hiperpireksia
Bila suhu >40 C segera beri kompres hangat dan antipiretik Parasetamol dosis
awal 20 mg/ kgBB per oral, melalui sonde lambung, atau rektal, diikuti 15 mg/ kgBB
tiap 4-6 jam. Bila kejang diberi :
Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/ kgBB perlahan-lahan (1 mg/ menit) atau rektal
5 mg untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg. Bila kejang belum teratasi
setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan Fenitoin dengan dosis awal 10-15
mg/ kgBB dalam NaCl 0,9% sama banyak diberi bolus intravena perlahan-lahan,
kemudian diikuti dosis rumat fenitoin 5 mg/ kgBB dibagi dalam 2-3 dosis
Fenobarbital, bila tidak ada pilihan lain sebagai alternatif, diberikan
intramuskular. 30 mg untuk usia < 1 bulan, 50 mg untuk usia 1 bulan-1 tahun, 75
mg untuk usia > 1 tahun. Setelah 4 jam pemberian dosis awal dilanjutkan dengan
fenobarbital 8 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari,
dilanjutkan dengan dosis rumat 4 mg/ kgBB/ hari dibagi 2 dosis sampai 3 hari
bebas panas.
J. Hemoglobinuria/ Black water fever
Pada hemoglobinuria malaria, jika terdapat parasitemia maka pengobatan anti
malaria yang sesuai harus diteruskan. Transfusikan darah segar untuk
mempertahankan nilai hematokrit di atas 20%. Pantau tekanan vena jugularis atau
sentralis untuk menghindari kelebihan cairan dan hipervolemia. Berikan furosemid 1
mg/ kgBB secara intravena. Jika timbul oliguria disertai kadar ureum darah dan
kreatinin serum yang meningkat, mungkin perlu dilakukan dialisis peritoneal atau
hemodialisa.
K. Ikterus
Tidak ada terapi khusus untuk ikterus. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb
sangat turun, maka diberikan transfusi darah. Kadar bilirubin akan kembali normal
dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan antimalaria. Pada ikterus berat, dosis
obat antimalaria sebaiknya diberi setengah dosis dengan waktu pemberian dua kali
lebih lama.
L. Hiperparasitemia
Parasitemia > 10% disertai komplikasi berat lainnya seperti malaria serebral,
GGA, ARDS, ikterus dan anemia berat
Parasitemia > 10% dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian anti
malaria yang optimal
2.9 Prognosis
a) Indikator Klinis
a) Klorokuin basa 5 mg/ kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 mg basa sekali
seminggu atau
b) Fansidar atau Suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/ kgBB atau
sulfadoksin 10-15 mg/ kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau
lebih).
2. Menghindar dari gigitan nyamuk
Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: (a) Sporozoit yang berkembang dalam
nyamuk dan menginfeksi manusia, (b) Merozoit yang menyerang eritrosit, dan
(c) Gametosit yang menginfeksi nyamuk
Rekayasa genetik atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan
pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit
Plasmodium falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan
apabila telah berhasil, dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria
tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba
vaksin dengan rekayasa genetik.
DAFTAR PUSTAKA
Dit Jen P2M & PLP Dep Kes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria, Jakarta,
2003
Ezeamama AE, Spiegelman D, Hertzmark E, Bosch RJ, Manji KP, Duggan C, et al.
HIV Infection and the Incidence of Malaria Among HIV-Exposed Children
from Tanzania. J Infect Dis. May 2012
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
Philadelphia: Elsevier. 2007
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari EI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010
World Health Organization. WHO Fact Sheet on Malaria. Fact Sheet No 94.
World Health Organization. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs094/en/print.html. 2015