Abstrak
Praktik korupsi yang marak terjadi di Indonesia membuat pemerintah harus melakukan tindakan
preventif, salah satunya dengan penerapan reformasi birokrasi di segala lini pemerintahan. Sebagai
salah satu lembaga negara, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah
melaksanakan reformasi birokrasi diantaranya melalui penerapan prinsip-prinsip Good Public
Governance. Langkah konkret yang diambil BPKP adalah dengan melaksanakan kebijakan
Whistleblowing System (WBS) pada Tahun 2013. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kebijakan dan penerapan WBS di BPKP melalui metode kualitatif dengan memanfaatkan data primer
(wawancara) dan data sekunder dari BPKP Pusat serta sumber lainnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hampir seluruh aspek kebijakan telah sesuai dengan pedoman
dan literatur. Pelaksanaannya berjalan cukup baik, tetapi beberapa kendala masih terjadi seperti
pemahaman atas Whistleblowing System yang belum merata dan kurang optimalnya sarana
pengaduan. Oleh karena itu sosialisasi kepada pegawai BPKP dan seluruh stakeholdernya serta
penanganan dan tindak lanjut yang nyata dan efektif menjadi kunci atas penyelesaian kendala
tersebut.
Kata Kunci: Kecurangan, Reformasi Birokrasi, Good Public Governance, Whistleblowing System,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Abstract
Corruption practice that often occur in Indonesia, make The Government has to do some preventive
action, with bureaucracy reform practice in all of government line. As one of State Institution, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan have did bureaucracy reform, with the practicing the
principal of Good Public Governance. Real act that have been taken by BPKP is with practicing the
Whistleblowing System Policy in 2013. This research has been done to know how the practicing of
this Whistleblowing System policy in BPKP with qualitative method with primary and secondary data
from BPKP Headquarters in Jakarta and the others resources.
The result of this research have conclusion that almost all of aspect from whistleblowing system
policy have been suitable with the guidance and literature. That implementation is going well, but
some kind of obstacle still happen in practicing whistleblowing system policy, such as the
understanding of Whistleblowing System Policy is still unequally and whistleblowing tools are less
than optimal. Because of that, the socialization of this policy for all of BPKPs employees and all of
its stakeholders and also effective handling and follow-up have been a key to solve this obstacle.
Keyword: Fraud, Bureaucracy Reform, Good Public Governance, Whistleblowing System, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
PENDAHULUAN
Perilaku kecurangan (fraud) telah menjadi budaya yang melekat pada pengelolaan
keuangan sektor publik di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari posisi Indonesia pada daftar
Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International setiap tahunnya.
Indonesia berada di peringkat ke 90 dari 176 negara dengan poin 37, meningkat tipis 1 poin
dari tahun sebelumnya.
Pencegahan perilaku kecurangan (fraud) dapat dilakukan melalui penerapaan Good
Public Governance (GPG) melalui pelaksanaan penegakan kepatuhan terhadap hukum yang
berlaku sebagai upaya pencegahan terjadinya perilaku kecurangan (fraud). Peran serta aktif
dari penyelenggara negara, pelaku usaha dan masyarakat dibutuhkan agar penyelanggaraan
GPG terlaksana maksimal. Dalam rangka penyelenggaraan GPG ini, Pemerintah Indonesia
telah mendorong dilaksanakannya suatu sistem pengaduan pencegahan perilaku kecurangan
(fraud) dalam pengelolaan keuangan di sektor publik melalui sistem Whistleblowing.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan Auditor Internal
Pemerintah Republik Indonesia yang memiliki visi untuk meningkatkan akuntabilitas dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan dan pembangunan nasional. Dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai auditor internal pemerintah, BPKP dihadapkan pada
pelaksanaan pengawasan keuangan negara dan daerah yang memiliki risiko besar dalam
penyelewengan, secara internal dan eksternal. Risiko secara internal memang secara etika
akan selalu tertutup dan jarang terekspos, khususnya untuk pelaku fraud dari pegawai di
lingkungan internal instansi.
Pembahasan mengenai whistleblowing di Indonesia menjadi perhatian publik setelah
terungkapnya kasus besar yang melibatkan seorang pengawai negeri sipil Direktorat Jendral
Pajak, yaitu Gayus Tambunan. Susno Djuaji menyatakan bahwa ada praktik mafia pajak
yang dilakukan Gayus melalui peristiwa korupsi dan pencucian uang senilai puluhan miliar
rupiah. Kasus whistleblowing di Indonesia yang dilakukan Susno Djuaji bukanlah satu-
satunya yang terjadi. Tuanakotta (2012) menjelaskan banyak kasus lain menunjukkan peran
whistleblower untuk mengungkap kasus korupsi di sektor swasta maupun di sektor
pemerintahan, misalnya Arifin Wardiyanto yang melaporkan dugaan terjadinya praktek
korupsi dalam kasus perizinan wartel di Yogyakarta pada tahun 1996; Maria Leonita
melaporkan adanya dugaan suap yang dilakukan oleh Zainal Agus Direktur Mahkamah
Agung pada tahun 2001; Khairiansyah Salman mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan
melaporkan kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum atas audit yang dilakukan BPK.
Dengan adanya kasus-kasus tersebut, BPKP merasa perlu diadakannya suatu sistem
pengaduan yang lebih terstruktur. Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Sistem Pengelolaan Pengaduan Di Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan Dan
Pembangunan dan Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 tahun 2016 tentang Mekanisme
Penanganan Pengaduan telah diterbitkan untuk mendukung terlaksananya WBS ini.
BPKP menerbitkan peraturan maupun website terkait WBS adalah dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Menyediakan ruang bagi pelapor untuk melaporkan dan/atau mengungkap fakta
terjadinya pelanggaran disiplin, pelanggaran peraturan undang-undang yang mengatur
masalah kepegawaian, pelanggaran pidana umum maupun khusus dan pelanggaran lain
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum serta perbaikan sistem manajemen yang
dilakukan oleh pegawai.
2. Memberikan sanksi bagi pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin maupun
peraturan undang-undang yang mengatur masalah kepegawaian, serta memproses lebih
lanjut pelanggaran di bidang pidana umum dan pidana khusus, termasuk peraturan dan
ketentuan lain yang berlaku di organisasi.
3. Meningkatkan kualitas sistem manajemen pada organisasi menuju birokrasi yang bersih
serta menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah serta Kementerian/
Lembaga pada khususnya.
WBS adalah sistem yang menyediakan ruang untuk melaporkan maupun
pengungkapan fakta tindakan pelanggaran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
pegawai BPKP yang memungkinkan adanya peran aktif dari pegawai sendiri maupun pihak
eksternal organisasi untuk menyampaikan pengaduan mengenai tindakan pelanggaran dan.
Penelitian ini terinspirasi dari beberapa penelitian tentang whistleblowing system
terdahulu. Pricewaterhousecooper, salah satu the big 4 auditor di dunia dalam penelitiannya
yang berjudul Key Elements of Antifraud Programs and Controls, menjelaskan bahwa
whistleblowing system merupakan suatu program pencegahan kecurangan (fraud) dan
memiliki peranan penting dalam menemukan dugaan maupun peristiwa kecurangan (fraud).
Di Indonesia sendiri penelitian mengenai whistleblowing system sudah banyak
dilakukan. Gita Lastika dan Purwatiningsih (2013) menyatakan bahwa Whistleblowing
System merupakan salah satu bentuk implementasi dari asas-asas Good Public Governance,
terutama asas transparansi dan akuntabilitas. Selain itu sistem tersebut juga merupakan
pelaksanaan atas salah satu indikator Good Public Governance, yaitu daya tanggap
(responsiveness). Sharon Naomi (2015) dalam penelitiannya menarik kesimpulan bahwa
penerapan whistleblowing system yang dapat mendeteksi tingkat kecurangan dengan waktu
yang relatif singkat dibanding cara lain serta adanya penerapan whistleblowing system,
jumlah kerugian perusahaan dan jangka waktu pendeteksian fraud menjadi lebih kecil jika
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki aplikasi seperti whistleblowing system.
Febriyandi Doloksaribu (2014) dalam penelitiannya juga menghasilkan kesimpulan bahwa
penerapan whistleblowing system mendukung sistem pengendalian internal instansi serta
mendorong terwujudnya good public governance di Badan Pengawasan Keuangan Republik
Indonesia.
Jony Oktavian Haryanto et al. (2013) dalam penelitiannya menghasilkan kesimpulan
bahwa whistleblowing system sebagai sistem kontrol manajemen memberikan efek yang
positif terhadap kinerja dari organisasi. Selain itu, penerapan whistleblowing system
memerlukan komitmen organisasional yang baik dari pribadi masing-masing yang menjadi
bagian dari organisasi untuk melakukan pencegahan dan tindakan pembersihan terhadap
kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti akan melakukan penelitian yang
berjudul Penerapan Whistleblowing System sebagai Mekanisme Penerapan Good Public
Governance di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan tujuan dibuatnya WBS di BPKP, maka berikut merupakan rumusan
masalah dalam penelitian ini:
1. Bagaimana penerapan peraturan serta pelaksanaan WBS di BPKP?
2. Bagaimana peranan WBS dalam upaya BPKP untuk mencapai penerapan GPG?
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terkait dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penerapan peraturan dan pelaksanaan WBS di BPKP;
2. Untuk mengevaluasi kesesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan WBS di BPKP dengan
berbagai panduan Whistleblowing System dan Good Public Governance.
TINJAUAN TEORITIS
Kecurangan
Statement on Auditing Standards No. 99 (2002) mendefinisikan fraud sebagai an
intentional act that result in a material misstatement in financial statements that are the
subject of an audit, yang artinya suatu tindakan disengaja yang mengakibatkan salah saji
material dalam laporan keuangan yang merupakan subjek dari audit.
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) (2006) dalam Rukmawati
(2011), mendefinisikan fraud sebagai perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru
terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk
mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung
merugikan pihak lain.
Association of Certified Fraud Examinations (2000) mengklasifikasikan fraud ke
dalam tiga kelompok, antara lain :
1. Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial reporting)
2. Penyalahgunaan aset (missappropriation of assets)
3. Korupsi (corruption) termasuk di dalamnya adalah pertentangan kepentingan (conflict of
interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion).
Whistleblower
LPSK (2011) menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang whistleblower, seseorang
harus memenuhi 2 kriteria utama. Kriteria pertama adalah seorang whistleblower harus
melaporkan atau menyampaikan pengaduan kepada otoritas yang berwenang menangani
whistleblowing atau media massa (publik). Dengan pelaporan ini diharapkan mampu
mengungkap serta menyelesaikan peristiwa fraud yang terjadi. Seorang whistleblower dapat
melaporkan dugaan peristiwa fraud kepada pihak berwenang dalam hal ini pihak internal
perusahaannya maupun ke pihak eksternal seperti LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Ombudsman Republik Indonesia, dan pihak berwenang lainnya.
Kriteria kedua adalah seorang whistleblower adalah orang dalam, yaitu orang yang
mengungkapkan dugaan fraud di lingkungan tempat dia bekerja. Peristiwa fraud biasanya
merupakan suatu proses kejahatan yang sistematis, maka tidak jarang seorang whistleblower
merupakan bagian dari kelompok pelaku fraud itu sendiri. Dengan kondisi tersebut di atas,
maka seorang whistleblower pasti benar-benar mengetahui dugaan peristiwa fraud dengan
jelas. Bukan sekedar informasi yang meragukan maupun hoax.
Whistleblowing
Komite Nasional Kebijakan Governance (2008) mendefinisikan
whistleblowing sebagai berikut:
Pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan
hukum, perbuatan tidak etis atau perbuatan tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat
merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau
pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil
tidakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia
(confidential).
Sedangkan menurut Srividyha dan Shelly (2012) whistleblowing yaitu:
Whistleblowing is an increasingly common element of regulatory enforcement
programs. Whistle blowing is basically an act of alerting the higher ups and the society
about endanger. Whistle blowing may be internal or external. Internal whistle blowing is
to report to the boss/higher-up, while external whistle blowing is to inform to mass media
and society about such.
Maksud dari kutipan di atas bahwa whistleblowing merupakan salah satu elemen
dalam program penegakan peraturan. Pada dasarnya whistleblowing adalah tindakan
memperingatkan petinggi (manajemen) dan masyarakat tentang tindakan yang
membahayakan. Whistleblowing dapat berasal baik dari dalam ataupun dari luar.
Mekanisme whistleblower adalah suatu sistem yang dapat dijadikan media bagi saksi
pelapor untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan penyimpangan yang diindikasi
terjadi di dalam suatu organisasi, di dalam perusahaan umumnya terdapat dua cara sistem
pelaporan agar dapat berjalan dengan efektif (Semendawai dkk, 2011:19), adapun dua cara
pelaporan tersebut yaitu:
1. Mekanisme Internal
Sistem pelaporan internal umumnya dilakukan melalui saluran komunikasi yang sudah
baku dalam perusahaan. Sistem pelaporan internal whistleblower perlu ditegaskan
kepada seluruh karyawan. Dengan demikian, karyawan dapat mengetahui otoritas yang
dapat menerima laporan. Bermacam bentuk pelanggaran yang dapat dilaporkan seorang
karyawan yang berperan sebagai whistleblower.
2. Mekanisme Eksternal
Dalam sistem pelaporan secara eksternal diperlukan lembaga di luar perusahaan yang
memiliki kewenangan untuk menerima laporan whistleblower. Lembaga tersebut
berdasarkan UU yang memiliki kewenangan untuk menangani kasus-kasus
whistleblowing, seperti LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman Republik
Indonesia, Komisi Yudisial, PPATK, Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi
Kejaksaan.
Whistleblowing System
Teen (2005) menjelaskan beberapa unsur dan isu penting dalam penerapan
Whistleblowing System, yaitu membangun budaya amanah dan keterbukaan, metode dan
saluran yang disediakan, pengaduan dengan atau tanpa identitas, ketidakwajaran atau
penyimpangan yang dapat dilaporkan, investigasi, tindaklanjut dan prosedur pelaporan, jenis
pembalasan yang dilarang dan kebijakan terkait imunitas Whistleblower dari penegakan
disiplin dan tuntutan hukum.
Komite Nasional Kebijakan Governance menyampaikan bahwa Whistleblowing
System yang ideal harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Definisi yang jelas mengenai pihak-pihak yang tercakup dalam sistem
2. Dilengkapi aturan yang tidak memungkinkan adanya pengaduan balas dendam
3. Kerahasiaan data pihak pengadu
4. Dilengkapi ketentuan yang jelas mengenai bagaimana proses pengaduan
5. Mengkomunikasikan dengan baik kepada seluruh pihak terkait mengenai sistem yang
diterapkan
LPSK (2011) juga menjelaskan unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah
Whistleblowing System adalah komitmen perusahaan dan karyawan serta komitmen
Perusahaan untuk melindungi dan menindaklanjuti laporan Whistleblower.
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun
2016, maka pelaksanaan WBS di BPKP telah mencapai ideal. Hal ini karena faktor-faktor
pendukung yang harus terpenuhi telah tersedia. Pihak-pihak yang terlibat di dalam WBS
BPKP antara lain Kepala BPKP, Inspektorat, Pejabat Penerima Pengaduan, Tim Penelaah,
Tim Audit Khusus, pelapor, maupun terlapor telah dijelaskan secara lengkap. Di dalam Perka
Nomor 32 Tahun 2013 tersebut juga mengatur mengenai perlindungan kepada pelapor dari
pembalasan yang merugikan pelapor. Menjaga kerahasiaan data pelapor merupakan prinsip
dasar dalam mekanisme penangana pengaduan. Kerahasiaan data pelapor telah dilindungi dan
dijamin. Proses penanganan pengaduan telah dijelaskan di dalam Perka Nomor 2 Tahun
2016.
Unsur-unsur yang harus ada dalam WBS menurut LPSK (2011) adalah sebagai
berikut:
1. Komitmen Perusahaan dengan karyawan.
Pelaksanaan WBS diperlukan adanya pernyataan komitmen kesediaan dari seluruh
karyawan untuk melaksanakan sistem pelaporan pelanggaran. Karyawan dituntut untuk
berpartisipasi aktif untuk melaporkan adanya pelanggaran. BPKP telah melaksanakan
pernyataan komitmen ini melalui penandatanganan pakta integritas setiap tahunnya.
Sementara itu, perusahaan juga harus memiliki komitmen untuk membuat kebakan
untuk melindungi pelapor. Kebakan ini harus dinyatakan secara tegas, sehingga para
karyawan atau pelapor dari luar dapat melaporkan tanpa dihantui rasa takut dipecat atau
diberi sanksi tertentu. Selain itu kebakan ini juga dapat menjelaskan maksud dari
perlindungan tersebut adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan
menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya. Peraturan Kepala BPKP nomor 2
tahun 2016 telah mengatur mengenai hal tersebut di atas.
2. Komitmen Perusahaan untuk melindungi serta melakukan tindak lanjut terhadap laporan
whistleblower.
Laporan-laporan dari para whistleblower ditindaklanjuti dengan penelaahan dan
investigasi melalui audit khusus. Bahkan dalam kondisi tertentu BPKP juga berkomitmen
untuk melindungi whistleblower jika mengancam jiwa, harta benda dan pekerjaannya.
Tindak lanjut pelaporan pengaduan serta perlindungan terhadap pelapor telah diatur di
dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 Tahun 2016 pasal 22.
3. Mekanisme Penyampaian Laporan
Terkait mengenai infrastruktur dan mekanisme penyampaian pelaporan, kerahasiaan,
kekebalan administratif, komunikasi dengan pelapor, investigasi, dan mekanisme
pelaporan. BPKP telah menyediakan saluran-saluran khusus untuk melakukan pengaduan
pelanggaran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Informasi mengenai adanya
saluran ini beserta prosedur penggunaannya telah disosialisasikan, namun belum
maksimal. Begitu pula alur penanganan pelaporan pelanggaran.
Kerahasiaan identitas dari pelapor adalah sangat penting. Informasi dan identitas pelapor
pelanggaran dibatasi hanya pada petugas penerima pengaduan. Pelapor tanpa identitas
tetap dapat melakukan pengaduan pelanggaran sejauh informasi yang dimilikinya lengkap
dan jelas.
KESIMPULAN
1. Whistleblowing System yang telah diselenggarakan oleh BPKP hampir memenuhi
semua unsur yang tercantum di dalam pedoman maupun literatur Whistleblowing
System yang disampaikan oleh Teen (2005), KNKG (2008) dan LPSK (2011). Selain
pedoman dan literatur di atas, unsur-unsur tersebut juga terpenuhi dalam sisi regulasi
melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun 2016
serta lampirannya. Namun dalam pelaksanaannya, Whistleblowing System BPKP
masih terdapat beberapa kendala-kendala yang harus diperhatikan untuk mencapai
Whistleblowing System yang efektif, transparan dan bertanggung jawab.
2. Whistleblowing System yang dilaksanakan oleh BPKP merupakan salah satu wujud
terselenggaranya Good Public Governance di BPKP. Hal ini dapat dilihat dari
terwujudnya asas-asas Good Public Governance. Selain itu, terpenuhinya indikator-
indikator yang digunakan untuk mengukur sejauh mana pelaksanaan Good Public
Governance yang dijelaskan oleh Bappenas (2007), antara lain partisipasi masyarakat
dan daya tanggap.
Saran
Saran yang penulis dapat usulkan terkait simpulan yang telah dijelaskan di atas adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia dan fasilitas teknis yang
mendukung pelaksanaan Whistleblowing System di BPKP.
2. Meningkatkan frekuensi pelaksanaan sosialisasi mengenai penyelenggaraan
Whistleblowing System di kantor Pusat maupun di unit-unit kerja BPKP.
3. Melakukan pengangkatan kembali Pejabat Penerima Pengaduan di unit-unit kerja BPKP.
Sehingga pelaporan pengaduan oleh pegawai maupun stakeholder di unit-unit kerja
BPKP menjadi lebih mudah.
4. Menumbuhkan kesadaran dari seluruh lapisan BPKP baik atasan, pegawai maupun
stakeholder terkait untuk lebih berperan aktif dalam usaha pelaporan pelanggaran oleh
pegawai BPKP.
Daftar Referensi
Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik. (2007).
Indikator Good Public Governance Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik.
Bappenas: 1-29
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Coorporate
Governance. KNKG.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2009). Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran
(SPP) Whistleblowing System. Pedoman Umum Good Public Governance. KNKG.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (2011). Buku Whistleblower. Memahami
Whistleblower. LPSK.
Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Sistem Pengelolaan Pengaduan Di
Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan
Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 tahun 2016 tentang Mekanisme Penanganan Pengaduan
Teen, Mak Yuan. (2005) Whistleblowing: recent Development and Implementation Issues.
International Financial Corporation World Bank Group: 3-17
www.bpkp.go.id
wbs.bpkp.go.id