Anda di halaman 1dari 22

Penerapan Whistleblowing System sebagai

Mekanisme Penerapan Good Public Governance di


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

Mochammad Arief Wicaksono


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Praktik korupsi yang marak terjadi di Indonesia membuat pemerintah harus melakukan tindakan
preventif, salah satunya dengan penerapan reformasi birokrasi di segala lini pemerintahan. Sebagai
salah satu lembaga negara, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah
melaksanakan reformasi birokrasi diantaranya melalui penerapan prinsip-prinsip Good Public
Governance. Langkah konkret yang diambil BPKP adalah dengan melaksanakan kebijakan
Whistleblowing System (WBS) pada Tahun 2013. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kebijakan dan penerapan WBS di BPKP melalui metode kualitatif dengan memanfaatkan data primer
(wawancara) dan data sekunder dari BPKP Pusat serta sumber lainnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hampir seluruh aspek kebijakan telah sesuai dengan pedoman
dan literatur. Pelaksanaannya berjalan cukup baik, tetapi beberapa kendala masih terjadi seperti
pemahaman atas Whistleblowing System yang belum merata dan kurang optimalnya sarana
pengaduan. Oleh karena itu sosialisasi kepada pegawai BPKP dan seluruh stakeholdernya serta
penanganan dan tindak lanjut yang nyata dan efektif menjadi kunci atas penyelesaian kendala
tersebut.

Kata Kunci: Kecurangan, Reformasi Birokrasi, Good Public Governance, Whistleblowing System,
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

The Use of Whistleblowing System as


a Mechanism of Implementation Good Public Governance
at Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

Abstract

Corruption practice that often occur in Indonesia, make The Government has to do some preventive
action, with bureaucracy reform practice in all of government line. As one of State Institution, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan have did bureaucracy reform, with the practicing the
principal of Good Public Governance. Real act that have been taken by BPKP is with practicing the
Whistleblowing System Policy in 2013. This research has been done to know how the practicing of
this Whistleblowing System policy in BPKP with qualitative method with primary and secondary data
from BPKP Headquarters in Jakarta and the others resources.
The result of this research have conclusion that almost all of aspect from whistleblowing system
policy have been suitable with the guidance and literature. That implementation is going well, but
some kind of obstacle still happen in practicing whistleblowing system policy, such as the
understanding of Whistleblowing System Policy is still unequally and whistleblowing tools are less
than optimal. Because of that, the socialization of this policy for all of BPKPs employees and all of
its stakeholders and also effective handling and follow-up have been a key to solve this obstacle.

Keyword: Fraud, Bureaucracy Reform, Good Public Governance, Whistleblowing System, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
PENDAHULUAN

Perilaku kecurangan (fraud) telah menjadi budaya yang melekat pada pengelolaan
keuangan sektor publik di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari posisi Indonesia pada daftar
Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International setiap tahunnya.
Indonesia berada di peringkat ke 90 dari 176 negara dengan poin 37, meningkat tipis 1 poin
dari tahun sebelumnya.
Pencegahan perilaku kecurangan (fraud) dapat dilakukan melalui penerapaan Good
Public Governance (GPG) melalui pelaksanaan penegakan kepatuhan terhadap hukum yang
berlaku sebagai upaya pencegahan terjadinya perilaku kecurangan (fraud). Peran serta aktif
dari penyelenggara negara, pelaku usaha dan masyarakat dibutuhkan agar penyelanggaraan
GPG terlaksana maksimal. Dalam rangka penyelenggaraan GPG ini, Pemerintah Indonesia
telah mendorong dilaksanakannya suatu sistem pengaduan pencegahan perilaku kecurangan
(fraud) dalam pengelolaan keuangan di sektor publik melalui sistem Whistleblowing.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan Auditor Internal
Pemerintah Republik Indonesia yang memiliki visi untuk meningkatkan akuntabilitas dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan dan pembangunan nasional. Dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai auditor internal pemerintah, BPKP dihadapkan pada
pelaksanaan pengawasan keuangan negara dan daerah yang memiliki risiko besar dalam
penyelewengan, secara internal dan eksternal. Risiko secara internal memang secara etika
akan selalu tertutup dan jarang terekspos, khususnya untuk pelaku fraud dari pegawai di
lingkungan internal instansi.
Pembahasan mengenai whistleblowing di Indonesia menjadi perhatian publik setelah
terungkapnya kasus besar yang melibatkan seorang pengawai negeri sipil Direktorat Jendral
Pajak, yaitu Gayus Tambunan. Susno Djuaji menyatakan bahwa ada praktik mafia pajak
yang dilakukan Gayus melalui peristiwa korupsi dan pencucian uang senilai puluhan miliar
rupiah. Kasus whistleblowing di Indonesia yang dilakukan Susno Djuaji bukanlah satu-
satunya yang terjadi. Tuanakotta (2012) menjelaskan banyak kasus lain menunjukkan peran
whistleblower untuk mengungkap kasus korupsi di sektor swasta maupun di sektor
pemerintahan, misalnya Arifin Wardiyanto yang melaporkan dugaan terjadinya praktek
korupsi dalam kasus perizinan wartel di Yogyakarta pada tahun 1996; Maria Leonita
melaporkan adanya dugaan suap yang dilakukan oleh Zainal Agus Direktur Mahkamah
Agung pada tahun 2001; Khairiansyah Salman mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan
melaporkan kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum atas audit yang dilakukan BPK.
Dengan adanya kasus-kasus tersebut, BPKP merasa perlu diadakannya suatu sistem
pengaduan yang lebih terstruktur. Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Sistem Pengelolaan Pengaduan Di Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan Dan
Pembangunan dan Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 tahun 2016 tentang Mekanisme
Penanganan Pengaduan telah diterbitkan untuk mendukung terlaksananya WBS ini.
BPKP menerbitkan peraturan maupun website terkait WBS adalah dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Menyediakan ruang bagi pelapor untuk melaporkan dan/atau mengungkap fakta
terjadinya pelanggaran disiplin, pelanggaran peraturan undang-undang yang mengatur
masalah kepegawaian, pelanggaran pidana umum maupun khusus dan pelanggaran lain
yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum serta perbaikan sistem manajemen yang
dilakukan oleh pegawai.
2. Memberikan sanksi bagi pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin maupun
peraturan undang-undang yang mengatur masalah kepegawaian, serta memproses lebih
lanjut pelanggaran di bidang pidana umum dan pidana khusus, termasuk peraturan dan
ketentuan lain yang berlaku di organisasi.
3. Meningkatkan kualitas sistem manajemen pada organisasi menuju birokrasi yang bersih
serta menyelenggarakan sistem pelayanan publik yang sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah serta Kementerian/
Lembaga pada khususnya.
WBS adalah sistem yang menyediakan ruang untuk melaporkan maupun
pengungkapan fakta tindakan pelanggaran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
pegawai BPKP yang memungkinkan adanya peran aktif dari pegawai sendiri maupun pihak
eksternal organisasi untuk menyampaikan pengaduan mengenai tindakan pelanggaran dan.
Penelitian ini terinspirasi dari beberapa penelitian tentang whistleblowing system
terdahulu. Pricewaterhousecooper, salah satu the big 4 auditor di dunia dalam penelitiannya
yang berjudul Key Elements of Antifraud Programs and Controls, menjelaskan bahwa
whistleblowing system merupakan suatu program pencegahan kecurangan (fraud) dan
memiliki peranan penting dalam menemukan dugaan maupun peristiwa kecurangan (fraud).
Di Indonesia sendiri penelitian mengenai whistleblowing system sudah banyak
dilakukan. Gita Lastika dan Purwatiningsih (2013) menyatakan bahwa Whistleblowing
System merupakan salah satu bentuk implementasi dari asas-asas Good Public Governance,
terutama asas transparansi dan akuntabilitas. Selain itu sistem tersebut juga merupakan
pelaksanaan atas salah satu indikator Good Public Governance, yaitu daya tanggap
(responsiveness). Sharon Naomi (2015) dalam penelitiannya menarik kesimpulan bahwa
penerapan whistleblowing system yang dapat mendeteksi tingkat kecurangan dengan waktu
yang relatif singkat dibanding cara lain serta adanya penerapan whistleblowing system,
jumlah kerugian perusahaan dan jangka waktu pendeteksian fraud menjadi lebih kecil jika
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki aplikasi seperti whistleblowing system.
Febriyandi Doloksaribu (2014) dalam penelitiannya juga menghasilkan kesimpulan bahwa
penerapan whistleblowing system mendukung sistem pengendalian internal instansi serta
mendorong terwujudnya good public governance di Badan Pengawasan Keuangan Republik
Indonesia.
Jony Oktavian Haryanto et al. (2013) dalam penelitiannya menghasilkan kesimpulan
bahwa whistleblowing system sebagai sistem kontrol manajemen memberikan efek yang
positif terhadap kinerja dari organisasi. Selain itu, penerapan whistleblowing system
memerlukan komitmen organisasional yang baik dari pribadi masing-masing yang menjadi
bagian dari organisasi untuk melakukan pencegahan dan tindakan pembersihan terhadap
kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti akan melakukan penelitian yang
berjudul Penerapan Whistleblowing System sebagai Mekanisme Penerapan Good Public
Governance di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan tujuan dibuatnya WBS di BPKP, maka berikut merupakan rumusan
masalah dalam penelitian ini:
1. Bagaimana penerapan peraturan serta pelaksanaan WBS di BPKP?
2. Bagaimana peranan WBS dalam upaya BPKP untuk mencapai penerapan GPG?
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terkait dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penerapan peraturan dan pelaksanaan WBS di BPKP;
2. Untuk mengevaluasi kesesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan WBS di BPKP dengan
berbagai panduan Whistleblowing System dan Good Public Governance.

TINJAUAN TEORITIS
Kecurangan
Statement on Auditing Standards No. 99 (2002) mendefinisikan fraud sebagai an
intentional act that result in a material misstatement in financial statements that are the
subject of an audit, yang artinya suatu tindakan disengaja yang mengakibatkan salah saji
material dalam laporan keuangan yang merupakan subjek dari audit.
The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) (2006) dalam Rukmawati
(2011), mendefinisikan fraud sebagai perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru
terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk
mendapatkan keuntungan pibadi ataupun kelompok secara langsung atau tidak langsung
merugikan pihak lain.
Association of Certified Fraud Examinations (2000) mengklasifikasikan fraud ke
dalam tiga kelompok, antara lain :
1. Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial reporting)
2. Penyalahgunaan aset (missappropriation of assets)
3. Korupsi (corruption) termasuk di dalamnya adalah pertentangan kepentingan (conflict of
interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion).

Good Public Governance


United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisiksan Good
Public Governance sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani.
Good Public Governance merupakan suatu sistem terkait aturan perilaku mengenai
pengelolaan kewenangan oleh seluruh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya secara bertanggung jawab. Dengan terselenggaranya Good Public
Governance, diharapkan pemerintah, sebagai penyelenggara negara, dapat melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan publik dengan lebih baik sehingga kepercayaan
dari masyarakat dapat diperoleh oleh pemerintah.
Terdapat beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek Good Public
Governance. Antara lain sebagai berikut:
1. Praktek penyelenggaraan Good Public Governance harus memberi ruang kepada pihak
diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan
adanya sinergi diantara mereka.
2. Praktek penyelenggaraan Good Pubic Governance terkandung nilai-nilai yang membuat
penyelenggara negara, pelaku usaha maupun masyakarat pada umumnya dapat lebih
efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
3. Praktek penyelenggaraan Good Public Governance adalah praktek penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik.
Karena itu praktek penyelenggaraan negara dinilai baik jika mampu mewujudkan
transparansi, budaya hukum, dan akuntabilitas publik.
Untuk mencapai cita-cita terbentuknya masyarakat madani, maka dalam
pelaksanaannya perlu didasari pada asas-asas Good Public Governance (Komite Nasional
Kebijakan Governance, 2008) yaitu:
1. Demokrasi
Demokrasi mengandung tiga unsur pokok yaitu partisipasi, pengakuan adanya perbedaan
pendapat dan perwujudan kepentingan umum. Asas demokrasi harus diterapkan baik
dalam proses memilih dan dipilih sebagai penyelenggara negara maupun dalam proses
penyelenggaraan negara.
2. Transparansi
Tranparansi mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi
yang memadai dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan. Transparansi diperlukan
agar pengawasan oleh masyarakat dan dunia usaha terhadap penyelenggaraan negara
dapat dilakukan secara obyektif. Untuk itu, diperlukan penyediaan informasi melalui
sistem informasi dan dokumentasi yang dapat diakses dengan mudah tentang pola
perumusan dan isi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik serta
pelaksanaannya oleh masing-masing lembaga negara. Transparansi juga diperlukan
dalam rangka penyusunan dan penggunaan anggaran. Asas transparansi ini tidak
mengurangi kewajiban lembaga negara serta penyelenggara negara untuk merahasiakan
kepentingan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
harus menolak memberikan informasi yang berkaitan dengan keselamatan negara, hak-
hak pribadi dan rahasia jabatan.
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara
mempertanggungjawabkannya. Akuntabilitas diperlukan agar setiap lembaga negara dan
penyelenggara negara melaksanakan tugasnya secara bertanggungjawab. Untuk itu,
setiap penyelenggara negara harus melaksanakan tugasnya secara jujur dan terukur
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan publik yang berlaku serta
menghindarkan penyalahgunaan wewenang.
4. Budaya hukum
Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum (law inforcement) secara tegas
tanpa pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh masyarakat berdasarkan
kesadaran. Budaya hukum harus dibangun agar lembaga negara dan penyelenggara
negara dalam melaksanakan tugasnya selalu didasarkan pada keyakinan untuk berpegang
teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu, setiap
lembaga negara dan penyelenggara negara berkewajiban untuk membangun sistem dan
budaya hukum secara berkelanjutan baik dalam proses penyusunan dan penetapan
perundang-undangan serta kebijakan publik maupun dalam pelaksanaan dan
pertanggungjawabannya. Penetapan perundang-undangan dan kebijakan publik harus
dilakukan atas dasar kepentingan umum dan dilaksanakan secara konsekuen.
5. Kewajaran dan kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan mengandung unsur keadilan dan kejujuran sehingga dalam
pelaksanaannya dapat diwujudkan perlakuan setara terhadap pemangku kepentingan
secara bertanggungjawab. Kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk dapat
mewujudkan pola kerja lembaga negara dan penyelenggara negara yang lebih adil dan
bertanggungjawab. Kewajaran dan kesetaraan juga diperlukan agar pemangku
kepentingan dan masyarakat menjadi lebih mentaati hukum dan dihindari terjadinya
benturan kepentingan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam melaksanakan fungsi dan
tugasnya lembaga negara dan penyelenggara negara harus senantiasa memperhatikan
kepentingan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas kewajaran
dan kesetaraan..
Sementara menurut Bappenas (2007) indikator pelaksanaan Good Public Governance
terdiri dari 14 prinsip, yaitu : wawasan ke depan (visionary), keterbukaan dan transparansi
(openness and transparancy), partisipasi masyarakat (participation), akuntabilitas
(accountability), supremasi hukum (rule of law), demokrasi (democracy), profesionalisme
dan kompetensi (profesionalism and competency), daya tanggap (responsiveness), efisien dan
efektif (efficiency and effectiveness), desentralisasi (decentralization), kemitraan dengan
dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and civil society partnership), komitmen
pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce inequality), komitmen pada
lingkungan hidup (commitment to environmental protection), komitmen pada pasar yang fair,
yaitu tidak ada monopoli, berkembangnya masyarakat, dan kompetisi yang sehat
(commitment to fair market).

Whistleblower
LPSK (2011) menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang whistleblower, seseorang
harus memenuhi 2 kriteria utama. Kriteria pertama adalah seorang whistleblower harus
melaporkan atau menyampaikan pengaduan kepada otoritas yang berwenang menangani
whistleblowing atau media massa (publik). Dengan pelaporan ini diharapkan mampu
mengungkap serta menyelesaikan peristiwa fraud yang terjadi. Seorang whistleblower dapat
melaporkan dugaan peristiwa fraud kepada pihak berwenang dalam hal ini pihak internal
perusahaannya maupun ke pihak eksternal seperti LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Ombudsman Republik Indonesia, dan pihak berwenang lainnya.
Kriteria kedua adalah seorang whistleblower adalah orang dalam, yaitu orang yang
mengungkapkan dugaan fraud di lingkungan tempat dia bekerja. Peristiwa fraud biasanya
merupakan suatu proses kejahatan yang sistematis, maka tidak jarang seorang whistleblower
merupakan bagian dari kelompok pelaku fraud itu sendiri. Dengan kondisi tersebut di atas,
maka seorang whistleblower pasti benar-benar mengetahui dugaan peristiwa fraud dengan
jelas. Bukan sekedar informasi yang meragukan maupun hoax.

Whistleblowing
Komite Nasional Kebijakan Governance (2008) mendefinisikan
whistleblowing sebagai berikut:
Pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan
hukum, perbuatan tidak etis atau perbuatan tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat
merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau
pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil
tidakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia
(confidential).
Sedangkan menurut Srividyha dan Shelly (2012) whistleblowing yaitu:
Whistleblowing is an increasingly common element of regulatory enforcement
programs. Whistle blowing is basically an act of alerting the higher ups and the society
about endanger. Whistle blowing may be internal or external. Internal whistle blowing is
to report to the boss/higher-up, while external whistle blowing is to inform to mass media
and society about such.
Maksud dari kutipan di atas bahwa whistleblowing merupakan salah satu elemen
dalam program penegakan peraturan. Pada dasarnya whistleblowing adalah tindakan
memperingatkan petinggi (manajemen) dan masyarakat tentang tindakan yang
membahayakan. Whistleblowing dapat berasal baik dari dalam ataupun dari luar.
Mekanisme whistleblower adalah suatu sistem yang dapat dijadikan media bagi saksi
pelapor untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan penyimpangan yang diindikasi
terjadi di dalam suatu organisasi, di dalam perusahaan umumnya terdapat dua cara sistem
pelaporan agar dapat berjalan dengan efektif (Semendawai dkk, 2011:19), adapun dua cara
pelaporan tersebut yaitu:
1. Mekanisme Internal
Sistem pelaporan internal umumnya dilakukan melalui saluran komunikasi yang sudah
baku dalam perusahaan. Sistem pelaporan internal whistleblower perlu ditegaskan
kepada seluruh karyawan. Dengan demikian, karyawan dapat mengetahui otoritas yang
dapat menerima laporan. Bermacam bentuk pelanggaran yang dapat dilaporkan seorang
karyawan yang berperan sebagai whistleblower.
2. Mekanisme Eksternal
Dalam sistem pelaporan secara eksternal diperlukan lembaga di luar perusahaan yang
memiliki kewenangan untuk menerima laporan whistleblower. Lembaga tersebut
berdasarkan UU yang memiliki kewenangan untuk menangani kasus-kasus
whistleblowing, seperti LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman Republik
Indonesia, Komisi Yudisial, PPATK, Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi
Kejaksaan.

Whistleblowing System
Teen (2005) menjelaskan beberapa unsur dan isu penting dalam penerapan
Whistleblowing System, yaitu membangun budaya amanah dan keterbukaan, metode dan
saluran yang disediakan, pengaduan dengan atau tanpa identitas, ketidakwajaran atau
penyimpangan yang dapat dilaporkan, investigasi, tindaklanjut dan prosedur pelaporan, jenis
pembalasan yang dilarang dan kebijakan terkait imunitas Whistleblower dari penegakan
disiplin dan tuntutan hukum.
Komite Nasional Kebijakan Governance menyampaikan bahwa Whistleblowing
System yang ideal harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Definisi yang jelas mengenai pihak-pihak yang tercakup dalam sistem
2. Dilengkapi aturan yang tidak memungkinkan adanya pengaduan balas dendam
3. Kerahasiaan data pihak pengadu
4. Dilengkapi ketentuan yang jelas mengenai bagaimana proses pengaduan
5. Mengkomunikasikan dengan baik kepada seluruh pihak terkait mengenai sistem yang
diterapkan
LPSK (2011) juga menjelaskan unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah
Whistleblowing System adalah komitmen perusahaan dan karyawan serta komitmen
Perusahaan untuk melindungi dan menindaklanjuti laporan Whistleblower.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Jenis Penelitian


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk
mengetahui bagaimana penerapan WBS dalam kebijakan maupun pelaksanaannya serta
bagaiamana WBS dalam mendukung implementasi GPG di BPKP.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan studi kasus sebagai bagian dari penelitian
kualitatif. Pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan untuk mengetahui
tentang sesuatu hal secara mendalam. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan
metode studi kasus untuk mengevaluasi secara mendalam pelaksanaan WBS di dalam BPKP.
Subjek dan Objek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah Inspektorat BPKP di kantor BPKP Pusat Jakarta.
Sedangkan objek penelitian ini adalah penerapan WBS sebagai mekanisme penerapan GPG di
BPKP.
Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Sumber data dalam peneltian ini ialah para responden sebagai pemberi informasi yang
berkaitan langsung dengan penelitian. Pegawai BPKP yang dijadikan sampel adalah
pegawai yang berwenang dalam penerapan WBS di BPKP baik sebagai auditor maupun
sebagai administrator. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui
wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumentasi
adalah data primer.
2. Studi Literatur
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Whistleblowing System di BPKP


WBS merupakan isu yang menjadi perhatian kementerian/ lembaga pemerintah dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir. Hal ini terkait dengan terbitnya Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor: 08/M.PAN-RB/06/2012
tentang Sistem Penanganan Pengaduan (WBS) Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan
Kementerian/ Lembaga dan Pemerintahan Daerah.
Peraturan mengenai whistleblowing belum secara khusus diatur melalui undang-
undang di Indonesia. Whistleblowing baru sebatas dibahas melalui Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan
Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011). Surat
Edaran Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan dengan mendasarkan pengaturan Pasal 10
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
WBS di BPKP mulai diberlakukan pada tahun 2013 melalui Peraturan Kepala BPKP
nomor 32 Tahun 2013 tentang Sistem Pengelolaan Pengaduan di Lingkungan BPKP dan
diperbarui melalui Peraturan Kepala BPKP nomor 2 tahun 2016 tentang Mekanisme
Penanganan Pengaduan di Lingkungan BPKP. Peraturan tersebut mengatur hal-hal mengenai
tujuan dan prinsip-prinsip dasar mekanisme pengaduan, mekanisme penanganan pengaduan,
kewajiban seluruh pegawai yang terkait di dalam pengaduan pelanggaran, hak-hak pelapor,
serta pemberian penghargaan kepada pelapor atas laporan yang telah terbukti.
Sebagaimana diatur di dalam Peraturan Kepala BPKP nomor 2 Tahun 2016, pegawai
diberikan keleluasaan untuk melakukan pelaporan atas pelanggaran yang diketahuinya secara
lengkap dan jelas melalui saluran pelaporan yang tersedia. Pengaduan tersebut dapat
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, untuk kemudian dilakukan penanganan
oleh Inspektorat BPKP. Saluran pelaporan yang disediakan antara lain:
1. Pengaduan langsung kepada Pejabat Penerima Pengaduan
2. Surat pengaduan melalui pos atau faksimili
3. Kotak Pos (dihapus dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 Tahun 2016)
4. Pesan Singkat melalui nomor yang telah ditentukan (dihapus dalam Peraturan
Kepala BPKP Nomor 2 Tahun 2016)
5. Surat elektronik/ e-mail (termasuk melalui website wbs.bpkp.go.id, baru muncul
pada Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 Tahun 2016)
6. Telepon pada nomor yang ditentukan
7. Kotak saran dan pengaduan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Inspektorat BPKP, saluran pengaduan
penggunaan melelui surat pengaduan melalui pos maupun faksimili masih menjadi saluran
favorit yang digunakan untuk melaporkan pelanggaran pegawai yang terjadi.
Pengaduan Tahun 2014
Tidak dapat
No Saluran Aduan Jumlah Di-TL Di-TL/
Sumir
1 Surat Pengaduan 11 11 -
2 Surat elektronik 3 3 -
Pesan singkat kpd
3 - - -
nomor tertentu
Telepon kpd nomor
4 - - -
tertentu
5 Kotak pos - - -
Kotak saran dan
6 - - -
pengaduan
Pejabat penerima
7 - - -
pengaduan
8 Lain-lain 1 1 -
Jumlah 15 15 -
*data dari Inspektorat BPKP

Pengaduan Tahun 2015


Tidak dapat Di-
No Saluran Aduan Jumlah Di-TL
TL/ Sumir
1 Surat Pengaduan 15 13 2
2 Surat elektronik 2 2 -
3 Pesan singkat kpd nomor - - -
tertentu
Telepon kpd nomor
4 - - -
tertentu
5 Kotak pos - - -
Kotak saran dan
6 - - -
pengaduan
Pejabat penerima
7 - - -
pengaduan
8 Lain-lain 4 3 1
Jumlah 21 18 3
*data dari Inspektorat BPKP
WBS melalui website wbs.bpkp.go.id sebagai sarana pengaduan yang baru muncul
tahun 2016 sudah mulai mendapat respon yang baik dari pegawai dan stakeholder terkait.
Namun sistem baru ini belum dapat mem-filter siapa saja yang berhak melakukan pelaporan
dugaan pelanggaran. Selain itu banyak laporan yang masuk melalui saluran baru ini, tidak
dilengkapai data-data yang memadai. Sehingga hal tersebut mengakibatkan banyaknya
laporan sumir maupun tidak dapat ditindaklanjuti. Hal tersebut ditambah dengan tidak bias
diaksesnya laman wbs.bpkp.go.id pada semester kedua karena kendala teknis.
Pengaduan Tahun 2016
Tidak dapat Di-
No Saluran Aduan Jumlah Di-TL
TL/ Sumir
1 Website WBS BPKP 8 2 6
2 Surat Pengaduan 11 10 1
3 Surat elektronik - - -
Telepon kpd nomor
4 - - -
tertentu
Kotak saran dan
5 - - -
pengaduan
Pejabat penerima
6 - - -
pengaduan
7 Lain-lain - - -
Jumlah 19 12 7
*data dari Inspektorat BPKP

Berdasarkan wawancara dengan ketua Satgas Khusus Pengaduan Inspektorat BPKP,


Bapak Wefrizal, sosialisasi mengenai WBS telah dilakukan, baik di kantor pusat maupun di
Kantor Perwakilan BPKP di provinsi. Selain itu sosialisasi kepada stakeholder sebagai mitra
BPKP juga dilakukan, namun hanya sebatas mengenai pelanggaran tertentu seperti
gratifikasi. Namun untuk pelaporan hasil kegiatan sosialisasi tersebut tidak tersedia dalam
bentuk laporan, hanya sekedar informasi saja bahwa telah dilaksanakan sosialisasi. Untuk
banner, spanduk, maupun papan flow chart mengenai mekanisme pelaporan pengaduan juga
belum tersedia di Gedung Kantor Pusat maupun di unit kerja BPKP.

Budaya Whistleblower di BPKP


WBS merupakan bentuk saluran pegaduan yang membutuhkan peran aktif pegawai
yang bekerja di dalamnya. Persepsi pegawai terhadap WBS sangat penting untuk
diperhatikan. Namun tingkat mengenai pemahaman maupun resistensi pegawai terhadap WBS
di BPKP sendiri belum dapat diukur. Hal ini disebabkan belum pernah diadakan survei
khusus untuk mengukur sejauh mana pemahaman pegawai BPKP maupun stakeholder terkait
mengenai WBS di BPKP.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Junianto Umardi salah satu pengendali
teknis di Inspektorat BPKP, pegawai BPKP kadang tidak terlepas dari sifat masyarakat
Indonesia pada umumnya yang enggan untuk melakukan pelaporan adanya pelanggaran di
lingkungan kerjanya. Hal in disebabkan masih adanya stigma negatif di masyarakat Indonesia
apabila melakukan pelaporan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh rekan kerja sendiri
maka sang pelapor (whistleblower) akan dianggap sebagai pengkhianat, maupun dianggap
sebagai kyai di sarang penyamun.
Selain itu, adanya budaya tidak ingin mencemari nama baik instansi sendiri juga turut
membuat penegakkan WBS menjadi kurang optimal. Dengan adanya Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP), hasil penilaian kinerja instansi melalui indikator
kinerja utama akan menjadi kurang baik apabila terjadi pelanggaran aturan disiplin oleh
pegawai di BPKP. Bahkan apabila terjadi dugaan pelanggaran di bidang pidana, atasan akan
berusaha agar pelanggaran yang terbukti tersebut dapat diselesaikan melalui tim Baperjakat
(Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) di Biro Kepegawaian BPKP. Dengan
kondisi seperti ini, ada kecenderungan atasan di tingkat unit kerja maupun Pusat akan
berusaha sedapat mungkin bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai tidak
menurunkan kredibilitas BPKP di mata stakeholder maupun masyarakat secara umum serta
menurunkan hasil penilaian kinerja di LAKIP BPKP.
Bapak Wefrizal menambahkan, budaya permisif seperti diam, keenganan untuk
melaporkan, tidak peduli, acuh tak acuh terhadap pelanggaran, menjadi hambatan besar untuk
pengembangan WBS dimanapun, tidak terkecuali di BPKP. Budaya yang seharusnya
dimunculkan adalah budaya korektif. Namun dengan budaya permisif yang sangat melekat di
masyarakat Indonesia, hal ini akan membutuhkan upaya yang ekstra untuk menumbuhkan
kesadaran terhadap pentingnya budaya korektif untuk mendukung pelaksanaan WBS yang
efektif di masa yang akan datang. WBS yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab
diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi pegawai dan masyarakat dalam
melaporkan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai unit kerja ke pihak
yang dapat mengatasinya. Hal ini berarti WBS mampu untuk mengurangi budaya diam
menuju ke budaya jujur dan terbuka.

Kendala dalam Pelaksanaan WBS di BPKP


Kurangnya Sumber Daya Manusia maupun fasilitas teknis yang mendukung
pelaksanaan WBS. Pimpinan Inspektorat kesulitan dalam membentuk tim penelaah maupun
tim audit dalam jumlah yang memadai apabila terdapat dugaan pelanggaran yang harus
ditindaklanjuti melalui penelaahan dan audit khusus. Untuk fasilitas teknis, membutuhkan
sumber daya yang lebih memadai. Untuk kriteria fasilitas minimal pendukung pelaksanaan
WBS memang tidak diatur secara jelas oleh peraturan. Namun terjadinya kendala dengan
tidak dapat diaksesnya web wbs.bpkp.go.id pada semester kedua tahun 2016 membuktikan
bahwa fasilitas pendukung teknis WBS di BPKP masih kurang memadai.
Kurangnya sosialisasi mengenai WBS baik di kantor pusat dan unit kerja BPKP,
maupun stakeholder yang terkait. Hal ini ditunjukkan dengan minimya sosialisasi mengenai
WBS melalui media cetak maupun media sosial elektronik lainnya. Selain itu, spanduk, leaflet
maupun flow chart mengenai mekanisme pelaksanaan penanganan pelangaran juga masih
sangat minim. Sejauh pengamatan di kantor pusat, hanya terdapat 1 banner mengenai
sosialisasi adanya WBS di BPKP. Menurut Bapak Junianto Umardi, kurangnya sosialisasi ini
juga dapat dilihat dari kondisi banyaknya laporan pengaduan yang bersifat sumir atau tidak
diketahui siapa pelakunya, dimana terjadinya, maupun kapan terjadinya. Hal ini
mengakibatkan laporan-laporan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti.
Selain itu, laman wbs.bpkp.go.id sebagai salah satu saluran pengaduan belum dapat
memfilter siapa saja pihak yang dapat melakukan pelaporan dugaan pelanggaran. Sehingga
masyarakat umum masih dapat melaporkan dugaan pelanggaran yang berada di luar tanggung
jawab BPKP. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya laporan yang masuk melalui web
wbs.bpkp.go.id, merupakan laporan pengaduan terhadap pelanggaran yang tidak ada sangkut
pautnya dengan tugas pokok dan fungsi BPKP.
Pergantian Pejabat Penerima Pengaduan di unit-unit kerja BPKP di perwakilan tidak
berjalan dengan baik. Kondisi ini dapat dilihat dari tidak adanya Pejabat Penerima Pengaduan
yang menjabat di perwakilan BPKP provinsi. Menurut Bapak Wefrizal, hal ini disebabkan
saat terjadi mutasi pegawai yang menjabat sebagai Pejabat Penerima Pengaduan sebelumnya,
tidak diikuti dengan Surat Pengangkatan Pejabat Penerima Pengaduan yang baru di kantor
unit kerja yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan tidak ada pegawai yang menjabat
sebagai Pejabat Penerima Pengaduan di unit kerja tersebut.
Kendala selanjutnya adalah masalah budaya di Indonesia. Budaya tidak mau mencampuri
urusan orang lain, tidak peduli dengan lingkungan sekitar, takut melaporkan pelanggaran
yang dilakukan oleh rekan kerja sendiri, merupakan budaya yang menghambat dalam
penyelenggaraan WBS. Selain itu, budaya tidak mau mencoreng nama baik instansi sendiri
juga turut membuat stigma negatif di masyarakat yaitu seorang whistleblower dipandang
sebagai pengkhianat.

Analisis Terhadap Pelaksanaan WBS di BPKP


Teen (2005) menjelaskan unsur dan isu penting dalam pelaksanaan WBS di suatu
organisasi, yaitu
1. Membangun budaya amanah dan keterbukaan
Budaya permisif yang masih ada di lingkungan BPKP diharapkan dapat berkurang
atau bahkan hilang dengan adanya pelaksanaan WBS di BPKP. WBS membutuhkan
peran aktif pegawai serta stakeholder terkait dalam usaha untuk pengungkaan dugaan
pelanggaran yang terjadi oleh pegawai BPKP. Sehingga dibutuhkan kejujuran dan
keterbukaan dari seluruh pegawai dan stakeholder terkait.
2. Metode dan saluran yang disediakan.
BPKP telah menyediakan beragam saluran pengaduan yang terdiri atas saluran
langsung maupun tidak langsung, yang berada di bawah pengelolaan Inspektorat
BPKP. Laporan pengaduan dalam bentuk surat masih menjadi saluran pengaduan
terbanyak yang digunakan oleh pelapor.
3. Pengaduan dengan atau tanpa identitas.
Pengaduan yang diterima Inspektorat BPKP melalui saluran pengaduan yang ada,
mengakomodasi seorang pelapor untuk menunjukkan identitasnya maupun tidak.
Sejauh laporan pengaduan yang disampaikan telah memenuhi persyaratan
kelengkapan, termasuk bukti, informasi dan indikasi yang jelas, maka pengaduan
tersebut tetap dapat ditindaklanjuti.
4. Ketidakwajaran atau penyimpangan yang dapat dilaporkan.
Pelanggaran yang dapat dilaporkan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai
BPKP termasuk pelanggaran disiplin pegawai, pelanggaran tindak pidana umum,
pelanggaran tindak pidana khusus (korupsi, gratifikasi, suap dan pencucian uang), dan
pelanggaran ketentuan dan peraturan lain yang berlaku di BPKP misalnya Undang-
undang ITE.
5. Investigasi, Tindaklanjut dan Prosedur Pelaporan.
Hal tersebut telah diatur di dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 dan
Nomor 2 Tahun 2016. Pengaduan yang diterima akan ditelaah terlebih dahulu, dan
menghasilkan simpulan serta rekomendasi, apakah pengaduan tersebut akan
diserahkan kepada unit kerja yang berwenang atau akan dilakukan audit khusus.
Investigasi dalam hal ini merupakan audit khusus yang dilakukan oleh tim audit yang
dibentuk oleh Inspektorat BPKP dan atau Kepala BPKP apabila laporan pengaduan
yang diterima oleh tim penelaah memberikan simpulan dan rekomendasi untuk
dilakukan audit khusus. Apabila pengaduan terbukti, maka laporan hasil audit khusus
akan diteruskan rekomendasinya kepada Kepala BPKP dan atau lembaga penegak
hukum.
6. Jenis pembalasan yang dilarang.
Sebagaimana diatur di dalam lampiran Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 Tahun 2016,
pelapor yang berstatus sebagai pegawai dan tidak sedang terlibat dalam pelanggaran
yang dilaporkannya, memperolah perlindungan dari pembalasan yang merugikan
Pelapor, seperti pemberhentian sebagai PNS, penurunan peringkat jabatan, penurunan
penilaian DP3, pemindahan tugas/mutasi, perlakuan diskriminatif, hambatan karir
lainnya, dan upaya pembalasan lainnya.

Sesuai dengan Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun
2016, maka pelaksanaan WBS di BPKP telah mencapai ideal. Hal ini karena faktor-faktor
pendukung yang harus terpenuhi telah tersedia. Pihak-pihak yang terlibat di dalam WBS
BPKP antara lain Kepala BPKP, Inspektorat, Pejabat Penerima Pengaduan, Tim Penelaah,
Tim Audit Khusus, pelapor, maupun terlapor telah dijelaskan secara lengkap. Di dalam Perka
Nomor 32 Tahun 2013 tersebut juga mengatur mengenai perlindungan kepada pelapor dari
pembalasan yang merugikan pelapor. Menjaga kerahasiaan data pelapor merupakan prinsip
dasar dalam mekanisme penangana pengaduan. Kerahasiaan data pelapor telah dilindungi dan
dijamin. Proses penanganan pengaduan telah dijelaskan di dalam Perka Nomor 2 Tahun
2016.
Unsur-unsur yang harus ada dalam WBS menurut LPSK (2011) adalah sebagai
berikut:
1. Komitmen Perusahaan dengan karyawan.
Pelaksanaan WBS diperlukan adanya pernyataan komitmen kesediaan dari seluruh
karyawan untuk melaksanakan sistem pelaporan pelanggaran. Karyawan dituntut untuk
berpartisipasi aktif untuk melaporkan adanya pelanggaran. BPKP telah melaksanakan
pernyataan komitmen ini melalui penandatanganan pakta integritas setiap tahunnya.
Sementara itu, perusahaan juga harus memiliki komitmen untuk membuat kebakan
untuk melindungi pelapor. Kebakan ini harus dinyatakan secara tegas, sehingga para
karyawan atau pelapor dari luar dapat melaporkan tanpa dihantui rasa takut dipecat atau
diberi sanksi tertentu. Selain itu kebakan ini juga dapat menjelaskan maksud dari
perlindungan tersebut adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan
menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya. Peraturan Kepala BPKP nomor 2
tahun 2016 telah mengatur mengenai hal tersebut di atas.
2. Komitmen Perusahaan untuk melindungi serta melakukan tindak lanjut terhadap laporan
whistleblower.
Laporan-laporan dari para whistleblower ditindaklanjuti dengan penelaahan dan
investigasi melalui audit khusus. Bahkan dalam kondisi tertentu BPKP juga berkomitmen
untuk melindungi whistleblower jika mengancam jiwa, harta benda dan pekerjaannya.
Tindak lanjut pelaporan pengaduan serta perlindungan terhadap pelapor telah diatur di
dalam Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 Tahun 2016 pasal 22.
3. Mekanisme Penyampaian Laporan
Terkait mengenai infrastruktur dan mekanisme penyampaian pelaporan, kerahasiaan,
kekebalan administratif, komunikasi dengan pelapor, investigasi, dan mekanisme
pelaporan. BPKP telah menyediakan saluran-saluran khusus untuk melakukan pengaduan
pelanggaran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Informasi mengenai adanya
saluran ini beserta prosedur penggunaannya telah disosialisasikan, namun belum
maksimal. Begitu pula alur penanganan pelaporan pelanggaran.
Kerahasiaan identitas dari pelapor adalah sangat penting. Informasi dan identitas pelapor
pelanggaran dibatasi hanya pada petugas penerima pengaduan. Pelapor tanpa identitas
tetap dapat melakukan pengaduan pelanggaran sejauh informasi yang dimilikinya lengkap
dan jelas.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, WBS merupakan suatu sistem pelaporan


yang memiliki saluran komunikasi yang sudah baku di dalam instansi itu sendiri. Sehingga
WBS di BPKP merupakan suatu mekanisme whistleblower secara internal.

WBS sebagai Implementasi GPG di BPKP


Terkait dengan usaha penerapan GPG dan termasuk di dalamnya pemberantasan
korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified
Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa
salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan
dengan GPG adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (WBS).
BPKP telah melakukan langkah nyata dalam upaya menyelenggarakan tata kelola
pemerintahan yang baik melalui penerapan asas-asas GPG dalam pelaksanaan tugas pokok
dan fungsinya. Salah satu langkah nyata yang dilakukan BPKP adalah dengan
mengembangkan WBS untuk menyelenggarakan sistem kepatuhan internal yang baik melalui
penerbitan Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun 2016.
WBS merupakan salah satu perwujudan asas GPG sebagaimana dijelaskan oleh
Komite Nasional Kebijakan Governance (2009) sebagai berikut:
1. Demokrasi
Penyelenggaraan WBS merupakan salah satu bentuk terselenggaranya unsur-unsur pokok
demokrasi. Pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib untuk mendengar,
menampung, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam WBS peran aktif dari pegawai
dalam mengungkapkan adanya potensi pelanggaran yang terjadi di instansinya, sangat
penting posisinya. Pemerintah, dalam hal ini BPKP, juga wajib menindaklanjuti serta
menyelesaikan pelanggaran yang telah dilaporkan tersebut sebagai bentuk
penyelenggaraan pelayanan masyarakat.
2. Transparansi
WBS BPKP melalui laman (website) www.bpkp.go.id telah menyediakan media yang
informasi penanganan pengaduan yang setiap bulan dimuat untuk memantau pelaksanaan
penanganan pengaduan. Hal tersebut akan memberikan kemudahan bagi masyarakat
maupun stakeholder dalam melakukan pengawasan secara objektif. Selain memalui
laman (website) BPKP, masyarakat maupun stakeholder juga dapat mengetahui mengenai
pelaksanaan penanganan pengaduan melalui Peraturan Kepala BPKP nomor 2 tahun 2016
yang dapat pula diunduh di laman (website) BPKP. Namun, asas ini tidak mengurangi
kewajiban BPKP sebagai penyelenggara negara untuk tetap menjaga kerahasiaan
informasi yang berhubungan dengan kepentingan negara maupun keselamatan pelapor.
3. Akuntabilitas
Asas akuntabilitas memegang peranan penting agar setiap penyelenggara negara
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara bertanggung jawab. Sebagai salah satu
sarana penerima pengaduan oleh stakeholder, WBS BPKP telah menerima, menganalisa
serta menindaklanjuti seluruh pengaduan sesuai tugas pokok dan fungsi BPKP.
4. Budaya Hukum
Prinsip dasar asas ini mengandung unsur penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang
bulu, serta ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarakan
kesadaran diri sendiri. Budaya hukum harus dibangun dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui WBS BPKP diharapkan mampu untuk mengubah budaya permisif yang menjadi
akar permasalahan dalam proses penegakan hukum melalui whistleblowing dapat diubah
menjadi budaya korektif yang membangun untuk terwujudnya penyelenggaraan negara
yang bersih dan patuh hukum.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Keadilan dan kejujuran dalam mewujudkan perlakuan yang setara kepada seluruh
stakeholder dengan bertanggung jawab. Penyelenggaraan pelayanan publik yang
berkualitas diharapkan mampu dilaksanakan oleh penyelanggara negara dengan lebih
bertanggung jawab dengan pengawasan oleh stakeholder melalui lembaga pengawasan
maupun sarana pengaduan yang tersedia, salah satunya melalui WBS.
Dengan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa penyelenggaraan WBS di BPKP telah
sejalan dengan asas-asas GPG dan telah memenuhi karakteristik yang diperlukan dalam
penyelenggaraan GPG yang baik.
Berdasarkan indikator-indikator yang dikeluarkan oleh Bappenas (2007) untuk
mengukur sejauh mana pelaksanaan GPG di suatu instansi pemerintahan, dapat dijelaskan
peranan WBS sebagai implementasi GPG adalah sebagai berikut:
1. Keterbukaan dan transparansi, tanggung gugat, supremasi hukum, demokrasi, serta
komitmen pasar yang fair. Sebagaimana asas-asas GPG yang telah dijelaskan
sebelumnya.
2. Partisipasi Masyarakat (participation)
WBS BPKP sebagai salah satu saluran pengaduan pelanggaran yang mendorong
masyarakat untuk mendorong peran aktif stakeholder dalam pengungkapan dan
penyelesaian pelanggaran yang terjadi oleh pegawai BPKP. Diharapkan dengan peran
aktif masyarakat yang semakin meningkat dapat merubah budaya permisif di masyarakat
Indonesia menjadi budaya korektif yang lebih baik.
3. Daya Tanggap (responsiveness)
Mekanisme pengaduan di BPKP menyediakan beberapa saluran pengaduan yang bisa
digunakan oleh stakeholder untuk melakukan pelaporan adanya dugaan pelanggaran yang
terjadi. Saluran pengaduan terdiri dari saluran pengaduan langsung dan tidak langsung.

KESIMPULAN
1. Whistleblowing System yang telah diselenggarakan oleh BPKP hampir memenuhi
semua unsur yang tercantum di dalam pedoman maupun literatur Whistleblowing
System yang disampaikan oleh Teen (2005), KNKG (2008) dan LPSK (2011). Selain
pedoman dan literatur di atas, unsur-unsur tersebut juga terpenuhi dalam sisi regulasi
melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 dan Nomor 2 Tahun 2016
serta lampirannya. Namun dalam pelaksanaannya, Whistleblowing System BPKP
masih terdapat beberapa kendala-kendala yang harus diperhatikan untuk mencapai
Whistleblowing System yang efektif, transparan dan bertanggung jawab.
2. Whistleblowing System yang dilaksanakan oleh BPKP merupakan salah satu wujud
terselenggaranya Good Public Governance di BPKP. Hal ini dapat dilihat dari
terwujudnya asas-asas Good Public Governance. Selain itu, terpenuhinya indikator-
indikator yang digunakan untuk mengukur sejauh mana pelaksanaan Good Public
Governance yang dijelaskan oleh Bappenas (2007), antara lain partisipasi masyarakat
dan daya tanggap.

Saran

Saran yang penulis dapat usulkan terkait simpulan yang telah dijelaskan di atas adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas serta kuantitas sumber daya manusia dan fasilitas teknis yang
mendukung pelaksanaan Whistleblowing System di BPKP.
2. Meningkatkan frekuensi pelaksanaan sosialisasi mengenai penyelenggaraan
Whistleblowing System di kantor Pusat maupun di unit-unit kerja BPKP.
3. Melakukan pengangkatan kembali Pejabat Penerima Pengaduan di unit-unit kerja BPKP.
Sehingga pelaporan pengaduan oleh pegawai maupun stakeholder di unit-unit kerja
BPKP menjadi lebih mudah.
4. Menumbuhkan kesadaran dari seluruh lapisan BPKP baik atasan, pegawai maupun
stakeholder terkait untuk lebih berperan aktif dalam usaha pelaporan pelanggaran oleh
pegawai BPKP.

Daftar Referensi
Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik. (2007).
Indikator Good Public Governance Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik.
Bappenas: 1-29
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Coorporate
Governance. KNKG.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2009). Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran
(SPP) Whistleblowing System. Pedoman Umum Good Public Governance. KNKG.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (2011). Buku Whistleblower. Memahami
Whistleblower. LPSK.
Peraturan Kepala BPKP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Sistem Pengelolaan Pengaduan Di
Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan
Peraturan Kepala BPKP Nomor 2 tahun 2016 tentang Mekanisme Penanganan Pengaduan
Teen, Mak Yuan. (2005) Whistleblowing: recent Development and Implementation Issues.
International Financial Corporation World Bank Group: 3-17
www.bpkp.go.id
wbs.bpkp.go.id

Anda mungkin juga menyukai