Anda di halaman 1dari 9

Penyakit Populisme Hanya Menjangkiti Negara

Bima Satria Putra


2 Mei 2017
Kita tahu bahwa kelompok fundamentalis agama dan ultra-nasionalis
sedang ada pada posisi puncak dalam pertarungan politik di banyak
negara saat ini. Kekuatan ini bangkit di negara-negara Eropa, Amerika,
dan Asia, tidak terkecuali di Indonesia. Kemunculan kelompok tersebut di
Indonesia, sering kali diiringi dengan krisis finansial dan
ketidakpercayaan mereka terhadap para elit politik yang berkuasa.
Kebangkitan kelompok ini sekaligus juga menampar kita karena
penggunaan senjata politik lama oleh pemain baru berupa, populisme.
Donald Trump (Amerika Serikat), Beppe Grillo (Italia), Norbert Hofer
(Austria), Marine Le Pen (Perancis), Geert Wilders (Belanda), Frauke
Petry (Jerman), Nigel Farage (Inggris), Pablo Iglesias (Spanyol) dan
sederetan nama lain adalah tokoh-tokoh yang dianggap populis.
Doktrin politik populisme, meyakini bahwa para elit politik sering
memanfaatkan kehendak rakyat (populi), dan mereka hendak
menyelesaikan persoalan yang dialami oleh rakyat. Karena itu, jika
permasalahan tersebut hendak selesai, mereka harus berkuasa dan
mendapatkan dukungan rakyat. Dalam The Populist Persuasion (1998),
sejarawan Michael Kazin menjelaskan populisme sebagai sebuah bahasa
yang digunakan oleh pembicara untuk merebut keyakinan orang biasa
sebagai kumpulan orang mulia yang tidak untuk dijual; bahwa musuh elit
mereka itu terlalu mementingkan diri sendiri dan tidak demokratis; dan
berusaha memobilisasinya untuk melawan mereka. Kebangkitannya
menunjukan gejala kejatuhan status quo, sebab populisme menempatkan
rakyat melawan yang berkuasa dan karenanya ia berbahaya bagi sistem
dan elit politik yang telah mapan.
Sejarawan mencatat bahwa populisme telah menjadi fenomena politik
yang umum sepanjang sejarah. Dari fenomena populisme tersebut kita
bisa belajar dua hal, pertama, populisme didorong oleh kehendak besar
reformasi pada bidang ekonomi karena kegagalan otoritas yang sedang
berkuasa. Sayangnya, banyak pengamat politik kontemporer yang
melewatkan hal ini, karena mereka terlalu sibuk mengkaji kebangkitan
populisme di Eropa Abad 21. Padahal sangat penting untuk diperhatikan
bahwa motif pada masing-masing kasus populisme cenderung berbeda
dan sebaiknya tidak dipukul rata. Kebangkitan populisme di negara-
negara maju Eropa misalnya, adalah karena kondisi ekonomi yang
semakin memburuk. Krisis hutang Yunani membuatnya menjadi negara
maju pertama yang gagal membayar kembali pinjaman IMF serta
kreditur dari beberapa negara Eropa. Hal ini diperparah oleh dampak
buruk embargo ekonomi Uni Eropa terhadap Rusia akibat intervensi
militernya di Ukraina, serta krisis imigran yang mengungsi dari Timur
Tengah karena guncangan politik dan perang sipil. Krisis imigran
1
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 2

dianggap memboros anggaran dan menjadi bibit kriminal dan terorisme


di Eropa, yang justru memperkuat konflik bersentimen politik identitas.
Para populis kanan mengkomodifikasi atribut-atribut nasionalisme dan
agama, serta merasa membawa kepentingan orang banyak dan merasa
memberikan perlindungan bagi mereka. Karena itu, populisme dan
populis sering digunakan secara peyoratif oleh lawan politik mereka.
Tipe solidaritas populisme kanan adalah solidaritas bangsa atau umat,
bahwa mereka, mencuri lapangan pekerjaan kita. Sebagian dari
penduduk AS saat ini punya ketakutan berlebihan akan kebangkitan
fundamentalis Islam, atas bayang-bayang teror akan peristiwa 11
September. Ketakutan ini dimanfaatkan oleh Donald Trump dalam
kampanyenya. Ketika ia terpilih, ia langsung memperketat hukum
imigrasi bagi pencari suaka dan pengungsi dari tujuh negara
berpenduduk mayoritas Muslim dan rencana pembangunan tembok di
sepanjang perbatasan AS-Meksiko.
Di Eropa, sentimen yang sama timbul pada imigran dari Timur Tengah,
yang lari mengamankan diri dari goncangan politik dan perang sipil di
negaranya. Uni Eropa dianggap tidak becus dalam mengatasi imigran,
yang dituduh, menjadi kriminal dan juga terorisme di Eropa. Kesempatan
ini digunakan oleh Marine Le Pen, dari Partai Front Nasional, yang
beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa dirinya akan maju dalam
Pilpres Perancis. Ia terus menyuarakan perlunya referendum bagi
masyarakat Perancis. Ia juga melakukan kampanye Frexit atau French
Exit. Kampanye ini digencarkan menyusul keluarnya Inggris dari Uni
Eropa, yang kemudian dikenal dengan Brexit atau British Exit. Hal yang
sama terjadi pula di Belanda, di mana Geert Wilders, pemimpin Partai
Kebebasan dari Belanda, menuduh bahwa UE merampas uang, identitas,
demokrasi dan kedaulatan Eropa. Kami ingin berkuasa di negeri
sendiri, menguasai uang sendiri, perbatasan sendiri dan kebijakan
imigrasi sendiri. Jika saya menjadi perdana menteri, akan ada
referendum bagi Belanda untuk meninggalkan Uni Eropa. Biarkan
rakyat Belanda yang memilih, kata Wilders dalam situs pribadinya. Hal
serupa juga terjadi di Jerman, Italia dan Austria.
Hal ini yang menyebabkan kenapa populisme menjadi berkonotasi
negatif. Ia dilabelkan pada sosok elit politik serta pendukungnya yang
dianggap rasis, seksis dan xenofobik, dan secara peyoratif digunakan oleh
lawan politiknya. Sentimen yang sama tapi dengan rupa yang berbeda
bisa kita temui di Indonesia soal konspirasi ekonomi etnis Tionghoa,
bahwa mereka, elit-elit politik dan ekonomi non-pribumi, mencoba
mengeksploitasi dan mengeruk kekayaan Indonesia. Mereka punya
afiliasi politik dengan negara asalnya dan mereka akan merugikan
perekonomian pribumi atau penduduk asli. Isu ini disebar dalam berita-
berita online dan propaganda hitam pada Pilpres 2014 lalu. Tabloid Obor
Rakyat misalnya menjelaskan bahwa dana kampanye pasangan calon
Jokowi-JK berasal dari cukong-cukong keturunan Cina. Sentimen ini
semakin menguat baru-baru ini dalam Pilkada DKI Jakarta, karena calon
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 3

petahana Basuki Thahaja Purnama (Ahok), keturunan Cina yang


beragama Kristen. Sentimen ini berkembang dengan kedatangan buruh
migran dari Cina pasca diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA).[1] Omong kosong ini disebar dan seruan soal memilih pemimpin
beragama Islam berdasarkan kacamata fundamental atas ayat-ayat Al-
Quran ditekankan. Kesalahpahaman ini, bahwa populisme erat dengan
rasisme, coba diluruskan kembali oleh Mudhoggir (2017). Ia menekankan
bahwa yang patut dikhawatirkan di Indonesia bukanlah populisme Islam,
tetapi politik yang rasis yang kerap mengikutinya.
Populisme bukanlah suatu ideologi dengan dogma-dogma yang tetap,
karena itu, sentimen rasis tidak dapat kita jumpai pada kasus kebangkitan
populisme di negara berkembang, atau pada negara dengan tingkat
kemiskinan tinggi seperti di beberapa negara Amerika Latin. Di negara
macam ini, populisme dipicu karena tidak meratanya distribusi
kesejahteraan, sehingga populisme kiri lebih mudah terjadi dengan
retorika perjuangan kelas. Robert Samuel (2016) menjelaskan bahwa
populisme kiri tidak terletak pada tipe konflik dengan politik identitas,
sebagaimana dilakukan kelompok kanan, tetapi berdasarkan konflik
kelas. Tipe solidaritas yang mereka gunakan adalah solidaritas kelas,
bahwa mereka, kelas atas, mengeksploitasi kita, kelas bawah. Hal ini
kemudian menyebabkan gejala kedua, elit politik yang memanfaatkan hal
pertama tersebut mengklaim tahu kebutuhan rakyat. Seperti bisa
diperhatikan pada sosok Hugo Chvez di Venezuela, yang melakukan
pendekatan kepada massa miskin dengan menjanjikan kebijakan
redistributif dan kontrol negara atas sumber daya energi
nasional.[2] Sepanjang sejarah, populisme tidak hanya digunakan oleh
kelompok atasbeberapa orang menyebutnya sebagai kelompok ekstrem
kanan atau kanan jauh (far right), tapi ia juga digunakan oleh kelompok
kiri.
Populisme, Penyakit Genetik Demokrasi Negara (State Democracy)
Dari penjelasan di atas, maka tepat kiranya jika kita membenarkan
pernyataan Cas Mudde (2004) bahwa, banyak pengamat telah
mencatat bahwa populisme melekat pada demokrasi perwakilan.
Begitu pula Thomas Piketty (dalam Hazareesingh, 2015), saat
menyatakan bahwa kebangkitan populisme bisa disalahkan karena
semakin membesarnya kesenjangan dalam distribusi kesejahteraan.
Penting untuk diperhatikan, pada konteks sistem sosial-politik apa
populisme dapat tumbuh. Populisme, bukan penyakit bagi demokrasi,
tapi demokrasi itu sendirilah yang membawa bibit penyakit populis, atau
juga bisa dibilang, penyakit turunan. Dengan catatan, bahwa hanya
bentuk demokrasi perwakilan saja yang secara genetik memang
membawa populisme sebagai konsekuensi logisnya. Demokrasi negara
memang dirancang dan dilahirkan untuk berpenyakit sangat banyak,
bertubuh lemah, rentan, cacat dan seharusnya, mati muda, mengingat
organ-organ didalamnya sangat busuk dan rusak.
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 4

Populisme, ketimbang dipandang sebagai suatu perilaku politik tunggal


yang tidak bermoral dari para elit saja, sebenarnya ia adalah salah satu
proses sosial dan institusional biasa dimana kelompok elit ekonomi dan
politik berusaha mempengaruhi keputusan untuk mengalokasikan faktor
produksi untuk masa sekarang atau mendatang, dengan selubung untuk
kepentingan masyarakat luas, yang bisa saja diragukan kesungguhannya.
Ia tidak lain adalah salah satu metode ekonomi-politik yang hanya dapat
tumbuh pada organisme sosial yang tepat, dalam hal ini adalah negara
dengan demokrasi parlementer.
Elit politik populis, seperti saya jelaskan di atas, merendahkan harkat
demokrasi yang sesungguhnya. Sudahlah demokrasi yang sesungguhnya
rusak, ia memperburuk demokrasi negara yang sudah rusak, dengan
mengkooptasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox
dei), dan mereka merasa bertanggungjawab atas suara tersebut. Dengan
demikian, memenuhi kehendak kelompok tersebut, bisa mengarah
kepada kedikatoran oleh mayoritas (dictator by majority) atau justru
sebaliknya, yang pada kebanyakan kasus, berdasarkan kepada politik
identitas. Ini yang berbahaya.
Pertama-tama kita harus menyadari simptom penyakit populis, kemudian
memahami anatomi tubuh negara. Sebab, dengan memahami tubuh dan
penyakit yang tepat, kita bisa memberikan penyembuhan yang tepat pula.
Gejala penyakit populis oleh Marco Tarchi (dalam Hardiman, 2017),
ditandai dengan pertama, para pemimpinnya mengklaim tahu kebutuhan
rakyat; kedua, ketidaksabaran dengan prosedur formal
demokrasi; ketiga, acuan pada kehebatan orang biasa; keempat,
ketidaksukaan kepada para politikus partai. Tidak jauh berbeda, Perdana
(2017) menunjukan bahwa populisme ditandai dengan pertama, anti
kemapanan, dalam arti mewakili ekspresi kelompok yang merasa
termarjinalkan; kedua, adanya otoritas pemimpin, baik melalui kharisma
atau figur personal maupun pesan yang bersifat apokaliptik (Negara kita
bangkrut, kita sedang menuju neraka); serta ketiga, perasaan in-
group yang kuat, yang dalam hal ditunjukan dalam sentiman kita vs
merekagaris pembatas bisa berdasarkan kelas atau status ekonomi,
status kewarganegaraan, atau ras dan agama.
Dari berbagai gejala tersebut, kita dapat membedah lebih lanjut tubuh
negara demokrasi parlementer, untuk menunjukan bahwa negara
memang menyimpan populisme sebagai penyakit turunannya. Bagaimana
mungkin?
Negara adalah sistem pemerintahan yang menguasai wilayah yang sangat
luas dan tersentralisir, di mana kekuasaan hanya terakumulasi pada
segelintir kelompok yang mengaku mewakili kepentingan rakyat.
Mereka dipilih secara tahunan oleh rakyat, dan pemilihan ini, menjadi
lelucon bagi kita manakala disebut sebagai pesta demokrasi. Lucu sekali,
mengingat bahwa demokrasi yang sesungguhnya, adalah demokrasi
langsung, yang mana rakyat membawa urusan sendiri, bahwa kekuasaan
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 5

yang sebenarnya ada di tangan mereka. Sekarang posisi rakyat menjadi


sangat rendah, dikerdilkan menjadi sekedar pembayar pajak, pemberi
suara dan konstituen. Setelah proses elektoral selesai, peran mereka
hilang dalam politik, digantikan oleh profesional yang mengaku memiliki
pengalaman dan keahlian di bidang kenegaraan untuk mengurusi rakyat.
Kenyataan sosial menunjukan bahwa para elit tidak bisa benar-benar
berkerja untuk rakyat. Jika disertai dengan krisis finansial dan konflik,
maka penyakit populisme semakin mudah untuk kambuh. Di saat itulah
elit politik memanfaatkan momen-momen kritis, rakyat kemudian
terpancing oleh pemimpin kharismatik yang mengartikulasikan
kegelisihan kolektif dari rakyat. Ketidaksukaan terhadap pemerintah yang
berkuasa semakin besar oleh kelompok masyarakat tertentu, dan
beberapa elit politik, yang punya pandangan yang sama dengan mereka
tersebut, atau yang opurtunistik, tampil untuk memanfaatkan
kesempatan ini.
Mereka benar dalam menyadari bahwa prosedur formal demokrasi
negara, yaitu pemilihan, terlalu membuang waktu dan tenaga. Karena itu
mereka sering meluapkan kegelisahannya dalam bentuk protes. Rakyat,
dengan perasaan bermusuhan yang besar, dimobilisasi untuk melawan
mereka yang berkuasa. Seperti nampak pada turunnya jutaan umat
muslim pada aksi Bela Islam 411 dan 212 yang menuntut supaya Polri
menangkap dan memenjarakan Ahok karena dugaan penistaan agama.
Padahal, belum tentu kegelisihan dan upaya menyelesaikan kegelisahan
tersebut tepat. Karena biasanya, ada perbedaan pandangan dalam
kehidupan berpolitik. Di Inggris dan Amerika misalnya, ada yang pro
kebijakan untuk menerima imigran. Jika dipikir, siapa yang
menyebabkan jutaan warga Timur Tengah menjadi pengungsi, jika bukan
negara-negara demokrasi liberal itu sendiri? Mereka menciptakan konflik
dengan intervensi militernya, mengacaukan kehidupan sipil, lalu tanpa
sengaja (atau sengaja?) menciptakan milisi fundamentalis Islam. Mereka
membom rumah-rumah, membuat mereka kelaparan dan kedinginan,
lalu para ultra-nasionalis memagari perbatasan mereka, seolah-olah
merasa tidak bersalah atas apa yang saudara liberal mereka ciptakan. Hal
ini menjadi semakin menyedihkan ketika kita mengingat bahwa
penduduk kulit putih Amerika, di mata para masyarakat adat Indian
sebenarnya juga imigran. Dan sekarang giliran imigran ini, yang justru
menolak imigran lain. Tepuk tangan untuk ini.
Tubuh Demokrasi Tanpa Negara: Kebal Populisme
Ada dua sistem yang kebal dari penyakit populisme. pertama, monarki
absolut. Jelas, populisme tidak akan bisa hidup dalam monarki absolut.
Alih-alih sebagai organisme, monarki absolut adalah robot, rakyat secara
otomatis harus wajib tunduk kepada pemimpinnya yang otoritarian,
mengingat pengambilan keputusan dimonopoli oleh satu orang. Tidak
akan ada partai, tidak akan ada pemilihan, karena itu, tidak ada pula elit
politik yang perlu menjadi populis. Berupaya menghindari populisme
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 6

dengan kembali pada sistem monarki absolut seperti kerajaan adalah


tindakan bodoh. Karena itu saya langsung saja kepada sistem kedua,
konfederalisme demokratik.[3]
Berbeda dengan negara, konfederasi[4] menerapkan demokrasi langsung.
Di dalamnya semua warga dalam komunitas-komunitas mengelola
urusan mereka sendiri melalui proses pertimbangan dan pengambilan
keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), yang berbeda
dengan yang dilakukan negara untuk mereka. Sebab politik kelewat
genting untuk diserahkan kepada profesional, tulis Janet Biehl (2016),
sehingga politik harus menjadi bidangnya para amatir atau rakyat biasa.
Konfederasi berorientasi kepada konsensus, artinya, semuanya sepakat
untuk sepakat. Berbeda dengan negara yang pengambilan keputusan
diletakan pada segelintir orang dan meminggirkan suara-suara lain yang
beragam.
Demokrasi langsung, jelas tidak dapat diterapkan pada wilayah yang luas
dan populasi yang banyak. Karena itu konfederasi juga menerapkan
desentralisasi. Pengambilan keputusan dilakukan pada skala lokal yang
sekecil mungkin, dalam bentuk komunitas yang dapat diidentifikasi
sesuai dengan kedekatan geografis, bukan berdasarkan unsur primordial.
Komunitas yang menerapkan demokrasi langsung ini harus dibagi
berdasarkan jumlah warga yang bisa dianggap rasional untuk melakukan
rapat-rapat, dan semua yang dianggap dewasa dapat dengan setara
menyampaikan suaranya. Komunitas-komunitas ini kemudiang
berjejaring, tanpa menghilangkan otonomi mutlak yang dimilikinya,
untuk berkoordinasi dan berkerjasama.
Komunitas-komunitas tidak mengirimkan perwakilan seperti pada sistem
parlementer negara, yang suara mereka dianggap mewakili suara
konstituennya. Delegasi pada sistem konfederasi adalah delegasi yang
ditunjuk langsung oleh komunitasnya, yang membawa mandat sesuai
hasil keputusan, dan karenanya bisa di-recall sewaktu-waktu. Pada
sistem politik yang sehat seperti ini, penyakit populisme tidak akan
mewabah. Konfederasi yang ditandai dengan demokrasi langsung,
konsensus dan jaringan komunitas yang otonom dan terdesentralisasi,
tidak memungkinkan populis untuk muncul.
Hal ini berbeda dengan negara demokrasi parlementer, yang mana elit
politik opurtunis secara lihai menangkap akumulasi keresahan sebagian
rakyat, dan memanfaatkannya sebagai bahan kampanye untuk
kepentingan praktis diri sendiri dan golongannya. Sebagaimana Marine
Le Pen, Donald Trump, dan Geerts Wilder yang populis itu. Sementara
dalam pengambilan keputusan negara, struktur dominasi didirikan
segelintir orang berkuasa atas mayoritas. Negara pada hakikatnya, secara
struktural dan profesional, terpisah dari khalayak umum. Ia menjalankan
kekuasaan atas rakyat dan membuat keputusan-keputusan atas rakyat
yang bisa mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuasaan pada akhirnya
bersandar pada kekerasan yang sifatnya memaksa. Sekeras apapun
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 7

berusaha, perjuangan parlementer yang bergerak dalam konteks politik


kenegaraan adalah jalur yang menghabiskan tenaga, dan sering kali sia-
sia. Karena segelintir elit yang punya kuasa untuk mengambil keputusan
belum tentu mendengar aspirasi rakyat. Sekalipun keputusan tersebut
diambil sesuai dengan yang diharapkan rakyat, sesungguhnya itu adalah
keputusan yang selaras dengan kepentingan lain yang menguntungkan
dirinya.
Saat ini, sistem konfederalisme demokratik dikembangkan oleh Abdullah
Ocalan dan sekarang dipraktikan di Kurdistan. Ocalan terinspirasi dari
program politik munisipalisme libertarian yang digagas oleh teoritisi
sosialis libertarian, Murray Bookchin. Namun, kita tidak menyangka
sebelum melakukan penelusuran sejarah lebih lanjut, bahwa justru masa
ketika rakyat mengelola urusan publik ternyata lebih dekat ketimbang
yang kita pikirkan. Demokrasi langsung adalah unsur pokok tradisi
politik sehingga masyarakat Barat mengklaim sangat menghargai sistem
ini. Walau diartikulasikan dengan baik oleh Bookchin, munisipalisme
sebenarnya sudah tercipta pada abad ketujuh SM pada zaman Yunani
Kuno, hingga Liga Swabia pada Abad 18. Pada Abad 21, sistem ini juga
bisa kita lihat masih dipraktikkan di Swiss, dan sekarang digempur dan
kini menghilang dengan cepat di berbagai belahan dunia, termasuk
budaya musyawarah di pedesaan-pedesaan di Indonesia.
Padahal, seperti bisa kita baca karya-karya Aristoteles, demokrasi
langsung mencapai tingkat penerapan yang luar biasa di Yunani. Secara
etimologi, politik berasal dari kata polis, dari bahasa Yunani kuno
(umumnya disalahartikan sebagai negara-kota) yang berarti publik,
sebuah dimensi partisipatif, pengelolaan langsung oleh para warga atas
urusan-urusan komunitas melalui institusi demokrasi yang bersifat tatap
muka, terutama berupa majelis rakyat (ecclesia). Pada masa jayanya,
eklesia adalah rapat massa di tempat terbuka dengan ribuan warga pria
Athena yang menghadirinya. Semua orang (kecuali budak dan
perempuan, termasuk Aristoteles sendiri yang tidak diikutkan), bisa
berpartisipasi dalam debat yang terbuka dengan tertib, sesuai
prinsip isegonia, hak universal untuk berbicara di dalam majelis.
Karena itu menyematkan label politik pada sistem demokrasi
parlementer adalah kesalahan penamaan yang kasar, sistem ini mestinya
lebih tepat dinamai kenegaraan (statecraft), bukan politik, karena tidak
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan makna historisnya. Jika orang-
orang semakin bisa menanggalkan kepasifannya dan mulai berminat aktif
dalam kehidupan politik, mereka akan menciptakan masalah bagi negara
dengan mengusik-usik perkara ketidakcocokan antara realitas sosial
dengna retorika yang menyertainya. Jadi, penyebab utamanya justru ada
di dalam sistem demokrasi parlementer, manakala kegelisahan rakyat
tersumbat karena prosedur formal demokrasi melalui jalur-jalur dikuasai
oleh segelintir profesional, yang menjadi populis ketika mengangkap
gejala ini. Supaya populisme tidak tumbuh, kita harus membubarkan
negara dengan organ-organnya yang rusak itu. Memperbarui kekebalan
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 8

sistem politik kita dengan demokrasi yang lebih sehat, yaitu konfederasi,
yang dalam pengertian yang sangat radikal, yaitu membangkitkan
demokrasi langsung dan mengembangkannya, dengan nilai-nilai rasional
dan etis beserta praktik-praktik yang mendukungnya. Percayalah,
penyakit populisme tidak akan kambuh lagi.

Rujukan Lebih Lanjut


Argandoa, Antonio. 2017. Why Populism Is Rising And How To Combat
It. Diakses dari Forbes.com pada Senin, 27 Februari 2017.
Aspinall, Edward. 2014. Prabowo dan Bahaya Terhadap Demokrasi
Indonesia. Diakses dari Indoprogress.com pada Selasa, 28 Februari 2017.
Biehl, Janet. 2016. Politik Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian.
Daun Malam. Yogyakarta.
Bremmer, Ian. 2015. These 5 Facts Explain the Worrying Rise of
Europes Far-Right. Diakses dari Time.com, pada Jumat, 4 Maret 2017.
Hardiman, F. Budi. 2017. Populisme Kanan dalam Negara Hukum
Demokratis. Makalah dalam Seminar Indonesia dan Bangkitnya
Populisme dalam Politik Global di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
pada Sabtu, 25 Februari 2017 di Jakarta.
Kazin, Michael. 1998. The Populist Persuasion: An American History.
Cornell University. New York.
Mudde, Cas. 2006. The Populist Zeitgeist. Dalam Government and
Opposition. Blackwell Publishing. Oxford.
Mudhoggir, Abdil Mughis. 2017. Yang Patut Dikhawatirkan adalah
Politik yang Rasis, bukan Populisme Islam. Diakses dari
Indoprogress.com pada Selasa, 28 Februari 2017.
Perdana, Ari A. 2017. Menguatnya Populisme: Trump, Brexit hingga
FPI. Diakses dari Indoprogress.com pada Selasa, 28 Februari 2017.
Pribadi, Airlangga. 2016. Jalan Sosialisme Hugo Chavez Melalui
Proyeksi Politik Populisme. Diakses dari Indoprogress.com pada Senin,
27 Februari 2017.
Samuels, Robert. 2016. Psychoanalyzing the Left and Right after Donald
Trump: Conservatism, Liberalism and Neoliberal Populism. Palgrabe
Macmillan. California.
Penyakit Populisme Bima Satria Putra Halaman 9

Catatan Akhir
Walau demikian, klaim banyak pengamat politik Indonesia bahwa
[1]

Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto adalah seorang populis, patut


diperdebatkan. Beberapa sarjana yang menilai bahwa Prabowo seorang
populis misalnya Edward Aspinall (2014) dan Arie A. Perdana (2017).
Memang, Prabowo bisa diuntungkan karena calon yang diajukannya,
pasangan Anies-Sandiaga, bisa mendulang suara dengan sentimen ini
dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun Prabowo berbeda dengan
kebanyakan populis di Eropa dan Amerika. Ia tidak pernah secara
terbuka menyampaikan sentimen anti-tionghoa dan kewajiban untuk
memilih pemimpin Islam. Apalagi mengingat Prabowo juga mengajukan
Ahok mendampingi Joko Widodo dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2012.
Karena itu saya mencabut pernyataan saya dalam tulisan Kebangkitan
Global Fundamentalis dan Ultra-Nasionalis: Bukan Akhir dari
Sejarah (2017) yang terbit di anarkis.org, bahwa Prabowo adalah seorang
populis. Berbeda misalnya dengan Ketua FPI Habib Rizieq Shihab yang
aktivitas politik diuntungan dengan sentimen anti-pemimpin Kristen. Ia
juga secara terbuka mendukung dua pasangan lain dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017.
Ulasan yang baik soal populisme kiri bisa kita baca pada karya
[2]

Airlangga Pribadi (2016) dengan judul Jalan Sosialisme Hugo Chavez


Melalui Proyeksi Populisme Kiri.
Bacaan lebih lanjut soal ini bisa dilihat pada karya Janet Biehl, Politik
[3]

Ekologi Sosial: Munisipalisme Libertarian (2016).


Konfederasi harap tidak disamakan
[4] dengan federalisme yang
dikembangkan di Amerika Serikat.

Anda mungkin juga menyukai