Anda di halaman 1dari 9

Kemenangan Politik SARA di Jakarta Persempit

Ruang Demokrasi Rakyat


18/04/2017

Menyebalkan sekali untuk kembali mengulang pernyataan tidak ada


pilihan lagi! pada momen Pilkada DKI Jakarta kali ini. Momen ini
kembali membuka ingatan buruk pada saat Pilpres 2014, yang konon
berada situasi memilih fasis atau demokrasi.[1] Gagap menghadapi
realitas politik elektoral, gerakan rakyat terpaksa
menghadapi kegalauan di antara dua pilihan pada Pilpres saat itu. Jauh
sebelumnya bahkan, kegagapan sejak Pemilu 2004 ini telah diserukan
oleh Ken Ndaru dalam tulisannya Jokowow dan Komidi Putar Gerakan
Kiri.[2]
Dengan berat hati, tulisan ini akan kembali mengurai kegagapan yang
dihadapi gerakan rakyat pada momen Pilkada DKI Jakarta 2017,
khususnya di putaran kedua. Namun, untuk tidak mengulangi kesalahan
yang berujung pada salam gigit jari. Tulisan ini berupaya untuk
membaca situasi ekonomi-politik yang menjadi atmosfir Pilkada untuk
terhindar dari persoalan dukung-mendukungtentunya, juga untuk
menghindari argumen moralis yang naif. Terakhir, tulisan ini juga akan
mencoba menawarkan rekomendasi jangka panjang, sehingga kita tidak
lagi mengulangi kegagapan dan kegalauan di tiap momen elektoral.
Situasi Ekonomi-Politik: Jakarta Sebagai Situs Utama Operasi
Kapital Indonesia
Posisi ini dibuktikan dari perputaran uang yang masuk ke Jakarta.
Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, sekitar
70% perputaran uang di Indonesia berada di wilayah DKI Jakarta.
Perputaran uang tersebut merupakan konsekuensi dari penempatan
Jakarta sebagai pusat politik dan ekonomi nasional. Pemusatan tersebut
kemudian berdampak pada ketimpangan pembangunan antar wilayah
yang dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia. Pada tahun 2015,
skor IPM DKI Jakarta adalah 78,99, jauh di atas skor rata-rata Indonesia
69,55.
Sementara itu, dalam kurun waktu sejak tahun 1980, Jakarta tengah
mengalami tranformasi menjadi kota megapolitan global. Hal ini ditandai
oleh penguasaan investasi di sektor jasa keuangan dan teknologi, real
estate, shopping mall dan outlets bagi pasar transnasional. Antara tahun
2013-2014 misalnya, pertumbuhan real estate di Jakarta mencapai 20-30
persen per tahun, angka pertumbuhan yang paling tinggi di
dunia.[3] Data Bank Indonesia (BI), masih akan ada tambahan pasokan
dari beberapa ritel, misalnya Lippo Mall Puri, Mall Pantai Indah Kapuk,
One Bell Park, dan Central Park Extension.
1
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 2

Selain itu juga akan ada tambahan pasokan apartemen sewa, seperti TBS
Linera Apartmen Service, Fraser Place Setia Budi Sky Garden, Pejaten
Park Residen, dan Fraser Suite Ciputra World.[4] Sementara, pasokan
lahan industri diperkirakan tidak bertambah, melainkan bergeser ke
wilayah periferi seperti Bodebek dan Banten.[5] Pergeseran ini
menunjukkan adanya tren deindustrialisasi di wilayah Jakarta dengan
memposisikan Jakarta sebagai pusat keuangan.
Di sisi lain, transformasi ini berdiri di atas penggusuran massal. Pada
tahap awalnya, penggusuran dilakukan dengan menyingkirkan becak dan
perkampungan kumuh di Jakartakondisi yang terus berjalan hingga
hari ini, seperti yang dialami oleh warga Bukit Duri.[6] Penyingkiran
rakyat miskin ini kemudian berdampak pada tingginya ketimpangan
pendapatan di kota Jakarta. Pada tahun 2016, indeks gini di Jakarta
mencapai 0.41, melebihi angka rata-rata ketimpangan di Indonesia
sebesar 0.40.
Ketimpangan ini juga dapat dilihat dari reorganisasi ruang di Jakarta
yang mana mengonsentrasikan orang kaya di pusat perkotaan, sementara
rakyat miskin terpinggirkan ke daerah-daerah pinggiran yang berbatasan
dengan Jakarta (Depok, Tangerang, dan Bekasi). Peminggiran ini
kemudian membentuk apa yang dikenal sebagai daerah penyangga. Hal
ini diperlihatkan pada masifnya pembangunan properti hunian di daerah
penyangga tersebut.
Menurut perkiraan BI, perkembangan pasokan apartemen di
Jabodetabek ke depan diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun
2018 terkait dengan banyaknya apartemen yang
memasarkan tower lanjutan. Kenyataan ini diperkuat oleh
terkonsentrainya penduduk Jakarta di wilayah perbatasan. Di wilayah
Selatan, Timur dan Barat Jakarta, konsentrasi penduduk berturut-turut
sebesar 21,48%, 27,94% dan 24,20%.
Di saat yang bersamaan, peminggiran rakyat miskin ini dibarengi oleh
arus urbanisasi penduduk desa ke kota. Hal ini dapat ditunjukkan
setidaknya lewat data komuter DKI Jakarta. Hasil survey BPS mengenai
komuter Jabodetabek 2014, seluruh komuter Jabodetabek sebagian besar
tinggal di Bodetabek (63 persen atau 2,26 juta orang sedangkan sisanya
(37 persen atau 1,30 juta orang) bertempat tinggal di DKI Jakarta. Data
lain menunjukkan adanya tren peningkatan urbanisasi, di mana jumlah
penduduk DKI Jakarta meningkat dari 9.640.406 penduduk tahun 2010
menjadi 10.177.924 penduduk di tahun 2015.
Pertumbuhan kota seperti di atas dapat menunjukan karakter aliansi
kekuasaan yang terbentuk melalui mesin pertumbuhan. Fakta-fakta di
atas dapat menunjukan bahwa kota, seperti Jakarta, tumbuh melalui
dukungan kapitalis developer yang difasilitasi oleh pemerintah kota.
Aliansi kekuasaan di antara mesin pertumbuhan ini terbentuk karena
adanya adanya tangible benefits berupa sumber daya material yang riil
yang ingin diperoleh bersama. Tangible benefits yang bisa didapatkan
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 3

dalam aliansi kekuasaan ini setidaknya terdiri dari, pertama, dari ruang
yang disediakan untuk memfasilitasi pertumbuhan properti seperti di
atas dan kedua, dukungan anggaran yang tinggi dalam hal infrastruktur.
Rezim Ahok saat ini berdiri di atas topangan atau basis politik yang
didukung oleh kapitalis developer dalam membangun kotanya. Selain
fakta pertumbuhan properti seperti di atas, hal itu juga dapat dilihat dari
prioritas angggaran dalam APBD Jakarta. Prioritas anggaran itu bisa
dimaknai sebagai ekspresi dari hasil pertarungan antar kekuatan sosial
yang membentuk aliansi kekuasaan tertentu dalam suatu kota.
Upaya Ahok untuk membangun basis aliansi politik dengan kapitalis
developer itu dapat ditangkap dari meningkatnya angggaran infrastruktur
di Jakarta. Di saat bersamaan, ia meninggalkan basis dukungan politik
dari rezim sebelumnya (Foke) yang banyak menggunakan instrumen
bantuan sosial untuk meraih dukungan politik. Tentunya, kelompok yang
banyak menerima bantuan dan hibah sosial tersebut adalah kelompok-
kelompok penyokong suara di Jakarta. Oleh karena itu, anggaran bantuan
sosial dan juga pelayanan sosial (pendidikan dan kesehatan) mengalami
penurunan dalam APBD.
Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta (APBD DKI)
menunjukan bahwa sejak tahun 2009, anggaran untuk pembangunan
infrastruktur selalu menempati posisi dominan, meskipun sampai tahun
2012 selalu menunjukan tren yang menurun. Bahkan pada tahun 2013,
anggaran infrastruktur lebih kecil dari anggaran sosial.
Di saat yang bersamaan anggaran sosial, pendidikan dan kesehatan,
menunjukan tren yang meningkat tiap tahunnya (17,5% di bawah
anggaran pendidikan yang mencapai 18,38%). Namun, sejak APBD-P
2013, anggaran untuk infrastruktur mulai naik (18,55%) dan mengalami
lonjakan yang sangat signifikan pada tahun 2014 (23,8%). Kemudian,
anggaran untuk infrastruktur itu tetap menjadi prioritas pada tahun
anggaran 2016 dengan mendapatkan kucuran sebesar 30,5 %.
Anggaran PU atau infrastruktur menjadi salah satu sumber daya material
karena salah di sana tersedia anggaran publik yang bisa digunakan untuk
bagian dari akumulasi. Karena secara spesifik, karakter kapitalis
developer itu bermain dalam kerangka oligarkis, maka pencarian dana
publik atau proyek pemerintah menjadi salah satu sumber
pendapatannya. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga bisa
menopang pertumbuhan properti dalam suatu kawasan tertentu.[7]
Sehingga, disini anggaran publik menjadi salah satu sumber daya
material yang penting untuk diperebutkan diantara mereka. Lonjakan
anggaran APBD untuk pembangunan umum itu ternyata juga paralel
dengan pola penggusuran selama ini. Data LBHJ menunjukan bahwa
sebagian besar penggusuran di Jakarta pada 2015 ditujukan untuk
pembangunan infrastruktur, termasuk normalisasi perairan,
pembangunan waduk, penertiban dan pembangunan fasilittas
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 4

umum.[8] Selain itu, dana yang digunakan untuk menggusur itu juga
sebagian besar (85%) menggunakan dana APBD (96 kasus).[9]
Untuk memperumit situasi ekonomi-politik, lebih jauh agenda
pembangunan di kota juga melibatkan lembaga donor internasional.
Dalam skema pemberian utang, Bank Dunia dan Bank Investasi
Infrastruktur Asia (AIIB) mengucurkan dana kepada pemerintah
Indonesia masing-masing dengan jumlah sama sebesar Rp. 2,814 trilyun
untuk proyek National Slum Upgrading.[10] Oleh pemerintah
Indonesia, proyek itu dijalankan melalui program Kota Tanpa Kumuh
(KOTAKU).
Pelaksanaan program itu akan berjalan dengan pola penggusuran paksa
dan penyingkiran warga miskin. Dari 153 kota yang akan dibiayai oleh
utang Bank Dunia/AIIB melalui proyek National Slum Upgrading, Elsam
memprediksi 9,7 juta jiwa penghuni pemukiman kumuh di seluruh
indonesia akan mengalami dampak sosial dengan 4,85 juta jiwa
diantaranya merupakan perempuan. Kasus penggusuran paksa
warga sah Bukit Duri dan misalnya, diketahui berada dalam skema
pendanaan Bank Dunia. Berdasarkan data Bank Dunia, Bukit Duri
termasuk dari salah satu titik dari proyek Jakarta Urgent Flood
Mitigation Project/ Jakarta Emergency Dredging Initiative
Project (JUFMP/ JEDIP).
Apa artinya pembacaan atas situasi ekonomi-politik Jakarta di atas? Poin
penting yang mengemuka adalah tentang karakter rezim kota saat ini dan
yang akan berjalan ke depannya. Kepala daerah, atau dalam hal ini
Gubernur DKI Jakarta, berada dalam struktur ekonomi-politik yang
membatasinya. Keterbatasan ini menjadi jelas ketika Jakarta sebagai
wilayah geografis diposisikan tidak terisolir dengan agenda pembangunan
neoliberal. Lalu, apa konsekuensinya bagi Pilkada DKI Jakarta kali ini?
Kontestasi Borjuasi Merebutkan DKI Jakarta
Penguasaan atas posisi sentral DKI Jakarta sebagai situs utama operasi
kapital ini menjadi agenda utama kelompok-kelompok borjuasi yang
saling bersaing. Hal ini setidaknya terlihat dalam kasus kemenangan
Jokowi dalam Pilpres 2014 yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur
DKI Jakarta periode 2012-2017. Kontestasi ini dapat dilihat berdasarkan
pembacaan atas latar belakang kedua pasangan calon yang tengah
bersaing dalam Pilkada DKI 2017 pada putaran kedua.
Berdasarkan pembacaan situasi ekonomi-politik di atas, sulit untuk tidak
mengatakan bahwa siapapun pemenang Pilkada tidak akan meneruskan
rezim politik perkotaan yang melayani kepentingan kapital. Dalam
kampanyenya, paslon Ahok-Djarot menunjukkan komitmen akan
meneruskan pola pembangunan yang berjalan. Dalam program
pembangunannya, paslon tersebut akan meneruskan beberapa program
yang berorientasi pada infrastruktur. Program yang dimaksud seperti
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 5

normalisasi sungai yang disponsori JEDI, reklamasi pantai utara Jakarta,


atau pembangunan Giant Sea Wall di utara Jakarta.
Beberapa proyek tersebut akan mendorong adanya potensi penggusuran
yang akan lebih luas di Jakarta. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan
Ahok sendiri bahwa akan ada 131 titik penggusuran di Jakarta ke
depannya. Sedangkan untuk mengatasi problem penggusuran tersebut,
Ahok-Djarot akan tetap menjalankan strategi pemindahan orang ke
rumah susun sewa.
Model pembangunan dengan peminggiran orang miskin ini akan menjadi
bahan bakar atas mobilisasi massa berdasarkan agama dan etnik.
Keresahan rakyat miskin atas kondisi hidupnya yang semakin terpuruk,
menjadi sangat mudah tersalurkan dalam agenda politik Islam
fundamentalisme. Kemudian, meninjau mobilisasi umat Islam beberapa
bulan terakhir, terpilihnya Ahok kemungkinan besar akan memancing
kemarahan massa yang meluas dan masif di jalanan. Artinya,
pertentangan berdasarkan poitik identitas di Jakarta selama beberapa
tahun ke depan berpotensi semakin menajam.
Potensi ini semakin jelas melihat penyingkiran terhadap rakyat miskin
dalam agenda pembangunan neoliberal. Sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya tentang melebarnya ketimpangan, potensi jutaan warga
terpapar dampak sosial dari penggusuran, dan tingginya tingkat komuter,
kondisi ini menciptakan situasi kerentanan (precariousness) yang
semakin parah. Sementara itu, ekspresi kerentanan itu justru
berhasil dimobilisasi oleh kelompok-kelompok Islam
Fundamentalis dengan backup dari politisi oportunis yang membawa
nuansa Politik SARA.[11]
Pada pihak lain, meskipun paslon Anies-Sandi belum memiliki program
yang lebih spesifik dari petahana, dapat dipastikan paslon itu akan sulit
untuk melampaui kondisi dari dorongan mesin pertumbuhan kota seperti
di atas. Hal ini sebagaimana struktur ekonomi-politik yang ada akan
membatasinya. Asumsi tersebut dibuktikan dengan melihat dari visi
politik dari keduanya yang tidak mendorong adanya perubahan relasi
kuasa dalam kota dan membuka ruang partisipasi yang deliberatif untuk
membebaskan rakyat miskin. Artinya, meskipun secara retorika kedua
paslon banyak menggunakan agenda kerakyatan, tetapi struktur
ekonomi-politik dan relasi kuasa yang ada akan membatasinya.
Bagaimana Rakyat Membaca Kontestasi Borjuasi Pada Pilkada
DKI Jakarta
Meskipun demikian, kita perlu menguraikan bahaya laten yang terdapat
pada paslon Anies-Sandi. Perlu diakui, bahwa formasi yang mengorbit di
sekitar kedua paslon tersebut adalah kekuatan sosial yang berasal dari
jejaring oligarki. Di pihak Ahok-Djarot kita dapat menemukan faksi
kapitalis developer, seperti Podomoro (reklamasi Teluk Jakarta) dan
Sinar Mas (taman Kalijodo). Sementara di pihak Anies-Sandi, kita dapat
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 6

menemukan sejumlah pengusaha cum politisi partai borjuasi, mulai dari


Gerindra Prabowo dan Fadli Zon, PKS Fahri Hamzah, politisi PAN dan
PPP,[12] hingga Perindo Hari Tanoe. Dalam kata lain, formasi kelas yang
ada di sekitar kedua paslon terdiri dari kekuatan sosial yang anti terhadap
rakyat miskin.
Secara lebih spesifik, formasi kelas di sekitar paslon Anies-Sandiaga
ditopang oleh kekuatan Islam fundamentalis. Ekspresi ini dapat
ditemukan dari mobilisasi penolakan terhadap Gubernur Kafir yang
meluas sejak aksi Bela Islam jilid pertama hingga sekarang. Ancaman dari
menguatnya tendensi Islam Fundamentalis itu sendiri telah dibahas
dibanyak kesempatan[13] Singkatnya, kemenangan Islam
Fundamentalisatau secara lebih umum Politik SARAdapat mengilusi
kontradiksi kelas dan memicu konflik horizontal antar kelas tertindas.
Masalah politik identitas atau menguatnya fundamentalisme Islam
sebetulnya telah dipetakan pada konteks Pilpres 2014 yang lalu. Pihak
Prabowo dinilai merepresentasikan ancaman Fasisme Relijius dengan
memberikan ruang kepada kelompok yang melakukan kekerasan
sektarian. Pada konteks Pilpres 2014, argumentasi yang digunakan bagi
kelompok yang menolak Prabowo adalah bahwa Fasisme Relijius
mengancam ruang demokrasi yang mulai terbuka pasca Orde Baru.
Pembacaan yang serupa kiranya dapat ditempatkan pada konteks Pilkada
DKI Jakarta 2017. Dengan diberikannya ruang politik dan
diakomodasinya kepentingan kelompok Islam Fundamentalis, maka
gerakan rakyat akan kesulitan dalam melakukan manuver perlawanan.
Kebijakan penggusuran ke depan misalnya, berpotensi akan diselubungi
oleh kredo-kredo relijius yang melegitimasi penggusuran. Selain itu,
akomodasi terhadap kelompok Islam Fundamentalis berpotensi dijadikan
sebagai alat pukul bagi rakyat yang melawan penggusuran maupun
sebagai barisan martir yang mendiskreditkan perlawanan dengan
tuduhan-tuduhan PKI atau Komunis. Maka, konflik horizontal antar
kelas tertindas menjadi tidak terelakkan.
Patut diakui pula, bahwa kubu Ahok-Djarot juga melakukan kontrol
dengan cara-cara yang menyempitkan ruang demokrasi bagi gerakan
rakyat. Tahun 2015 misalnya, Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur
(Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan
Penyampaian di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Ahok juga diketahui
membuat kesepakatan (MoU) dengan TNI untuk jasa pengamanan
kawasan industri di DKI Jakarta, kesepakatan yang bertendensi
mengembalikan politik perburuhan Orde Baru yang sarat dengan represi
aparat. Demikian pula dengan mobilisir aparat saat penggusuran di
Kampung Pulo misalnya.
Namun demikian, realitas politik elektoral hari ini memaksa adanya
pemenang di antara kedua paslon yang masih berkontestasi di putaran
kedua Pilkada. Realitas ini juga nantinya akan menentukan batasan-
batasan serta ruang strategi dan taktik bagi gerakan rakyat sepanjang,
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 7

minimal lima (5) tahun mendatangjika pada kesempatan mendatang


gerakan rakyat mampu untuk mengusung pemimpinnya sendiri dan
merebut kekuasaan.
Dengan segala konsekuensinya, tampaknya kemenangan Politik SARA
yang direpresentasikan oleh kubu Anies-Sandiaga akan semakin
mempersempit ruang gerak pengorganisiran rakyat. Untuk itu, kami
memandang gerakan rakyat di Jakarta hari ini perlu berusaha
semaksimal mungkin agar Politik SARA tidak memenangi Pilkada 2017
dan menguasai pemerintahan selama lima (5) tahun ke depan.
Agar Tidak Menyesal, Belajar Dari Kesalahan (Lagi)
Kegagapan yang dihadapi pada konteks Pilkada DKI Jakarta saat ini tidak
lain adalah buah dari kegagalan gerakan rakyat membangun persatuan.
Gerakan rakyat ibaratnya (masih) asyik bermain, meminjam istilah Ken
Ndaru, Komidi Putar: bahwa di satu sisi pilihan Golput tidak
memberikan kontribusi apapun pada kemajuan gerakan, sementara
pilihan dukung-mendukung akan terjatuh pada oportunisme. Sudah
berapa kali kita mengulangi kesalahan yang sama?
Meskipun tampak mengulang ajakan dan refleksi yang telah dilakukan
pada setiap momen kegagapan ini, namun jalan keluar untuk berhenti
bermain-main Komidi Putar adalah dengan kembali membangun
persatuan gerakan rakyat pekerja. Jika kegagapan saat ini terjadi akibat
kegagalan gerakan rakyat mengusung pemimpinnya sendiri, maka mulai
persiapkanlah untuk momen elektoral selanjutnya. Jika kegagapan terjadi
akibat kegagalan merumuskan program minimum, maka segerakanlah
upaya membangun konsolidasi. Sekiranya waktu yang tersedia masih
sangat panjang menantikan momen elektoral selanjutnya.
Agar tidak betul-betul mengulang ajakan pada situasi sebelumnya,
setidaknya terdapat beberapa situasi konkret yang perlu ditindaklanjuti
segera. Pertama, merebut basis rakyat dari pengaruh kelompok Islam
Fundamentalis. Baik kekalahan atau kemenangan Politik SARA,
keduanya belum tentu melemahkan tendensi menguatnya
fundamentalisme. Kekalahan Politik SARA misalnya, berpotensi
meningkatkan eskalasi penolakan terhadap Gubernur Kafir.
Dengan demikian, maka upaya untuk merebut basis rakyat dari pengaruh
kelompok Islam Fundamentalis menjadi penting. Urgensinya adalah
melihat latar belakang kelas anggota kelompok Islam Fundamentalis itu
sendiri yang juga berasal dari kantung-kantung miskin perkotaan. Upaya
ini juga berarti mencegah upaya pengarahan kelompok-kelompok yang
melegitimasi politik yang meminggirkan warga miskin dengan ilusi-ilusi
relijius. Dalam kata lain, upaya ini dilakukan dalam rangka
mengembalikan ekspresi perlawanan rakyat berbasiskan analisa kelas,
bukan politik identitas.
Upaya melawan pengaruh kelompok Islam Fundamentalis ini juga dapat
dibarengi dengan konsolidasi gerakan rakyat dengan mendorong
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 8

terbentuknya Blok Politik. Blok Politik yang dimaksud adalah sebagai


unifikasi upaya perlawanan terhadap politik pro-kapital. Dengan
terkonsolidasinya perlawanan rakyat, maka kita dapat menyiapkan
benteng pertahanan terhadap upaya pemerintah mengarusutamakan
agenda pembangunan neoliberal.
Sebagai wadah konsolidasi gerakan, Blok Politik juga dapat ditempatkan
sebagai upaya untuk mempertemukan kelompok-kelompok gerakan dan
merumuskan program minimum yang dapat diusung pada momen
elektoral mendatang. Dengan memanfaatkan rentang waktu yang
panjang, Blok Politik dapat menjadi proses pembelajaran bagi gerakan
untuk dapat merumuskan satu titik temu yang dapat diperjuangkan
bersama. Sebagai tujuan jangka panjang, tentunya Blok Politik dapat
didesain sebagai sarana pengusungan pemimpin dari gerakan rakyat
untuk momen Pilkada selanjutnya.
Penutup
Tulisan ini berupaya untuk menyoal kegagapan yang selalu dialami oleh
gerakan rakyat pada setiap momen elektoral, sebagai realitas politik yang
tidak terhindarkan. Tulisan ini juga tidak ditujukan untuk memberikan
legitimasi atau delegitimasi terhadap paslon tertentu seperti yang
diupayakan pada konteks Pilpres 2014. Siapapun pasangan calonnya,
sulit untuk mengatakan bahwa agenda pembangunan neoliberalisme yang
meminggirkan rakyat dapat dihentikan, melihat struktur ekonomi-politik
dan relasi kuasa yang beroperasi.
Meskipun demikian, Partai Rakyat Pekerja memandang bahwa
kemenangan Politik SARA perlu dicegah dalam realitas politik elektoral
yang terhindarkan. Namun, agar tidak terjebak pada kebiasaan dukung-
mendukung, Partai Rakyat Pekerja mendorong kembali unifikasi
kelompok-kelompok gerakan untuk menyiapkan benteng pertahanan
sepanjang masa rezim politik pro-kapital lima tahun ke depan. Tidak
hanya itu, agar tidak terus asyik bermain Komidi Putar, maka kita perlu
menyiapkan amunisi perlawanan untuk mendudukkan kedaulatan rakyat
atas kekuasaan politik pada momen elektoral mendatang di Jakarta.***

Rizal Assalam
Sekretaris Kota Partai Rakyat Pekerja
Komite Kota Khusus Jakarta Raya
Kemenangan Politik SARA Rizal Assalam Halaman 9

[1] Coen Husain Pontoh, 50 Hari Menuju Pilpres: Demokrasi vs Fasisme-


Religius, Indoprogress 22 May 2014, <https://indoprogress.com/2014/05/50-
hari-menuju-pilpres-demokrasi-vs-fasisme-religius/>.
[2] Ken Buddha Kusumandaru, Jokowow dan Komidit Putar Gerakan
Kiri, Partai Rakyat Pekerja 5 Mei 2014, <http://www.prp-
indonesia.org/2014/jokowow-dan-komidi-putar-gerakan-kiri>.
[3] Jakarta Jadi Kota dengan Perkembangan Investasi Properti Tertinggi,
diunduh
dari http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/11/11/nevd38-
jakarta-jadi-kota-dengan-perkembangan-investasi-properti-tertinggi diakses
pada 03 September 2015 pukul 22.00 WIB
[4] Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Properti Komersial Triwulan II
2015, dapat diunduh di http://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/properti-
komersial/Documents/Laporan_PPKom_Q2_2015.pdf, hlm.2
[5] Ibid. hlm. 4
[6] Rizal Assalam, Seandainya Warga Miskin Diberi Kesempatan, Partai
Rakyat Pekerja 4 Oktober 2016, <http://www.prp-
indonesia.org/2016/seandainya-warga-miskin-diberi-kesempatan>.
[7] Jabotabek Surga Investasi Properti diunduh
dari http://lipsus.kontan.co.id/v2/proyeksi2015/read/221/Jabodetabek-surga-
investasi-properti diakses pada 04 September 2015 pukul 01.46 WIB
[8] Aldo Fellix Januardy, op.cit. hlm. 10-11
[9] Ibid. hlm. 14
[10] Elsam, Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat 14 Oktober 2016,
<http://elsam.or.id/2016/10/bahaya-hutang-bank-dunia-dalam-proyek-
kotaku/>.
[11] Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati, Aksi Massa Dalam Perspektif
Islam Progresif, Islam Bergerak 10 November 2016,
<http://islambergerak.com/2016/11/aksi-massa-dalam-perspektif-islam-
progresif/>
[12] Dieqy Hasbi Widhana, Para Politikus yang Mencari Panggung di Demo 4
November, Tirto.id 7 November 2016, <https://tirto.id/para-politikus-yang-
mencari-panggung-di-demo-4-november-b2By>.
[13] Lihat misalnya Iqra Anugrah dan Fathimah Fildzah Izzati, op. cit., atau Coen
Husain Pontoh, Politik Kelas vs Politik Identitas, Indoprogress 10 Oktober
2016, <https://indoprogress.com/2016/10/politik-kelas-vs-politik-identitas/>/

Anda mungkin juga menyukai