Anda di halaman 1dari 5

Harapan Itu Selalu Ada

Leave a reply

Oleh: Ahmad Nasikun

MASA KECIL (SAMPAI SD)

Diperlukan tempaan hebat untuk membentuk intan dari karbon, kerja keras dan ketegaran
menghadapi segala tantangan menjadi harga mati. Begitulah prinsip dasar hidupku. Nilai dasar
yang selalu menjadi acuanku untuk berpijak ketika aku mulai goyah dari tujuanku. Bagi orang
desa dari keluarga sederhana, seperti aku ini, tidak ada jalan lain selain kerja keras untuk
mencapai mimpi-mimpi masa depan ku.

Aku lahir dan menikmati masa kecilku di desa Plajan. Desa terpencil di kecamatan Pakis Aji,
Kabupatan Jepara, Bumi Ibu Kartini; sekitar dua setengah jam dari Semarang. Saat aku kecil,
listrik belum masuk desa kami, sehingga lampu senthir berbahan bakar minyak tanah lah yang
menerangi malam-malam di desa kami. Jalan pun masih bermotifkan batu-batu dan tanah, aspal
belum sampai ke desa yang berjarak 20 km dari kota Jepara tersebut. Tiap pagi, aku dan teman-
teman SD-ku harus berjalan menyusuri jalan tersebut dengan kaki telanjang, maklum belum ada
peraturan kewajiban mengenakan sepatu ke sekolah. Pun, kami juga tidak begitu mampu
membeli sepatu. Yang penting kami bisa sekolah.

Sekolah kami bukanlah seperti SD lain di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta; kami lebih banyak
bermain kelereng, gundu, dan kasti dibanding belajar, kecuali ketika kami sudah kelas 6. Waktu
istirahat kami pun sangat lama, dan banyak dari teman-teman saya memanfaatkannya untuk
menyelam menangkap ikan dengan tangan-tangan terampil mereka di bendungan (waduk) dekat
sekolah kami. Yah, beginilah nasib kami di salah satu sekolah tertinggal di desa Plajan.

Nasib mulai berubah ketika aku dan dua rekanku berhasil menjuarai lomba cerdas-cermat
tingkat desa. Kecil memang, tapi cukup untuk membuat kami bangga akan sekolah kami,
mengalahkan 4 SD lain yang lebih mapan dan 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah). Kemudian aku
diminta mengikuti seleksi olimpiade Matematika. Dari tingkat desa, kadin, sampai kecamatan
dengan rahmat Allah dan ketulusan dukungan serta bimbingan guru-guru SD ku, aku
melenggang mulus sebagai juara 1 tingkat kecamatan. Hal yang tak pernah diprediksikan oleh
Depdikbud kecamatan Mlonggo (ketika itu belum berubah menjadi kemendiknas), bahkan guru-
guru di SD ku. Kecamatan Mlonggo pun menempatkan ku pada unggulan pertama pada
kompetisi tingkat kabupaten karena hanya 1 wakil per-lomba yang berhak maju ke tingkat
provinsi. Alhamdulillah, siswa itu adalah aku, meskipun tidak bisa berbuat banyak
menghadapi kejeniusan anak-anak kota dengan pendidikan yang lebih matang di perkotaan. Air
mata kekalahan pun mengucur deras dari bocah lugu, di asrama haji Donoyudan, Boyolali.

Aku sungguh sangat beruntung mempunyai Bapak-Ibu yang selalu mencontohkan karakter
kegigihan dalam setiap kegiatan mereka serta tetap tabah menghadapi kesulitan hidup yang tak
henti-hentinya menjamahi kami, para wong cilik. Merekalah sumber inspirasiku. Merekalah yang
selalu kubayangkan ketika hati ini sedang butuh motivasi.

MASA SMP

Ketika lulus SD, yang ada dalam benakku hanyalah melanjutkan ke SMP Kosgoro di samping
rumah, SMP dengan kurang dari 30 siswa per-kelasnya. Bukan karena target mereka sebanyak
itu, tetapi karena anak kecil di tempat kami lebih memilih untuk langsung menjadi tukang kayu
dibandingkan dengan sekolah lagi. Saya pun sempat ditawari oleh seorang pedagang burung
Walet di desa ku untuk diangkat jadi anak asuh dan disekolahkan di kota lain, tetapi orang tuaku
menolak. Akhirnya, pilihan terbaik muncul dengan tawaran Pak Dhe (paman) saya untuk
mengizinkan saya tinggal di rumah beliau di Pecangaan, sehingga saya bisa sekolah di SMP N 1
Pecangaan, salah satu SMP favorit di Jepara, yang kini sudah bergelar RSBI (berstandar
Internasional). Kini aku harus hidup jauh dari orang tua dan dua minggu sekali baru bisa
menatap senyum mereka.

Memasuki lingkungan agak kota, jiwa desaku merasakan keminderan yang sangat. Ditambah
ada sekelompok orang yang tidak suka dengan kehadiranku, dan selalu menghardikku dengan
kata-kata kasar, cacian, dan larangan untuk berteman, membuat mentalku semakin jatuh. Rasa
percaya diriku pun hilang entah kemana, tak ada keberanian untuk bicara dan mencari teman,
jiwa dipenuhi ketakutan, kegagapan ku pun bermula disana. Sebagai pelarian, hanyalah belajar,
belajar, dan belajar yang menjadi pelarian. Dari pulang sekolah sampai malam sebelum tidur,
hari-hari ku hanya ditemani buku-buku sekolah atau buku bacaan dari perpustakaan sekolah,
novel Empat Sekawan merupakan favoritku pada saat itu. Akan tetapi, aku boleh sangat
bersyukur dari itu karena selama 9 kali pengambilan raport, aku selalu ranking 1, dan aku pun
bisa lulus dengan nilai tertinggi dan satu-satunya siswa dengan nilai UAN Matematika 10.00,
tiket yang membawaku untuk SMA.

Menjelang lulus SMP, pikiranku melayang kembali ke rumah ku di Plajan, untuk bekerja dan
meringankan beban orang tua dalam membiayai kehidupan kami. Namun, guru-guru SMP saya
sungguh mengagumkan. Empat orang guru rela menghabiskan 1 hari dengan naik bus,
angkudes, dan ojek untuk ke rumah saya hanya untuk menyakinkan kedua orang tua saya
bahwa mereka akan berusaha mencarikan sekolah yang terbaik untuk saya. Pikiran ku pun
mengarah ke STM/SMK. Sederhana, aku ingin segera bekerja. Tak ada impian-impian tinggi
laksana Ikal dan Arai yang mampu bermimpi untuk kuliah di Sorbonne, Paris. Aku mengikuti tes
masuk di SMA kerjasama Indonesia Turki yang berada di Gunungpati, Semarang, bernama SMA
Semesta Semarang. Sekolah yang mengajarkan pelajaran sains, matematika, dan komputer
dalam bahasa Inggris, oleh guru-guru dari Turki.

MASA SMA

Semasa SMA aku makin menjauh dari keluargaku, hanya bisa pulang sebulan atau bahkan dua
bulan sekali. Namun di sinilah aku mulai mengenal bule serta berkawan dengan siswa-siswa dari
berbagai penjuru nusantara. Aku pun mulai berani membuat teman, mencoba ekstra Karate,
bermain bola, dan mulai berdekatan dengan komputer. Meskipun aku belum bisa menghilangkan
rasa mudah minderku. Walau bagaimana pun aku mulai menikmati proses pertumbuhanku.

Pada saat kelas 2, aku mulai mencoba mengikuti beberapa perlombaan, akademis maupun non
akademis. Ada yang mengesankan, namun tidak sedikit yang terasa pahit. Aku pernah
memegang trofi kebanggaan juara 1 lomba Matematika tingkat Jateng serta tingkat kota
Semarang. Aku pun juga pernah dibantai telak 8-0 tanpa balas pada babak pertama Kejurnas
Kumite Karate di Pekalongan.

Namun, aku bukanlah remaja tanpa kenakalan. Beberapa kali aku dan kawan-kawanku
memanjat gerbang depan kompleks sekolah-asrama di tengah malam untuk sekadar mengisi
perut yang keroncongan. Terkadang, kami pun sore-sore memanjat pohon kelapa di dalam
kompleks sekolah, mencabut dan memasak singkong dari belakang sekolah, memanjat ruang
PS (PlayStation) di tengah malam ketika siswa lain sedang terlelap, serta berebut komputer di
lab Komputer ketika akhir pekan datang demi memuaskan hasrat bermain manajer bola virtual,
Championship Manager.

Fase baru dalam hidup pun harus aku hadapi lagi. Aku telah melaui tahap demi tahapan dalam
seleksi pertukaran pelajar Yasayan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan AFS Amerika
Serikat. Pada saat kenaikan kelas menuju kelas 3, aku harus berkemas meninggalkan ibu pertiwi
untuk mencicipi aroma kehidupan di negeri Paman Sam. Anak desa ini akhirnya bisa melihat
dunia! Tak pernah sebelumnya naik pesawat, dan sekarang harus terbang tinggi ke benua lain.

DI AMERIKA SERIKAT
Bulan Juli 2005, aku beserta 90-an siswa terpilih dari Indonesia, dan lebih dari 600-an siswa lain
dari berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim dikumpulkan di Hotel Hilton, Washington,
D.C., diberikan orientasi tentang kehidupan di Amerika Serikat serta bisa berjalan-jalan di Ibu
kota AS tersebut. Itulah pertama kalinya aku berfoto di depan White House, Capitol Building,
Lincoln Memorial, dan Washington Monument; bangunan-bangunan penting bagi
keberlangsungan negara dengan 50 negara bagian tersebut.

Setiap pagi aku berjalan 1.5 km menuju Gaithersburg High School, sekolahku selama di
Maryland, USA, sekolah yang menjadi simulasi kecil dari Amerika Serikat. Lebih dari 2000 siswa
bersekolah disana, dengan berbagai ras dan warna kulit. Aku terkaget melihat fakta bahwa di
daerahku jumlah orang kulit hitam, hispanik, dan kulit putih jumlahnya hampir berimbang. Juga
sangat susah untuk masuk sistem pertemanan mereka karena teman bagi mereka biasanya
orang yang sudah bersama sejak dari kecil. Berbeda dengan kita, mereka menganggap sangat
biasa orang asing yang masuk ke negara mereka. Toh, hampir semua dari mereka juga orang
asing.

Bulan-bulan pertama di AS, aku masih belum bisa berkomunikasi dengan lancar. Aku masih
susah mengikuti pelajaran di sekolah, berbicara dengan kawan-kawan sekelas, bingung dengan
jadwal sholat yang setiap hari selalu berubah, kesulitan mencari kawan muslim di sekolah, belum
bisa makan makanan mereka dengan nikmat (lidah Jawa ini memang susah diberi makanan
Amerika), dan belum juga bisa menghafal jadwal dan rute bus kota.

Aku mendapat single-mom host family keturunan kulit hitam yang telah mengalami masa kecil
yang tragis sehingga beliau diadopsi oleh guru Kimia-nya yang berkulit putih. Beliau menikah
dengan orang kulit putih dan dikaruniai satu putri yang manis, usianya hanya 1 tahun-an lebih
muda dari usiaku. Aku menjalani hidupku yang penuh liku-liku unik selama 1 tahun bersama
mereka berdua. Menyenangkan rasanya bisa mendapatkan kesempatan ini.

Tempat tinggal kami hanya sekitar 1 jam dari Washington, D.C. sehingga kakek-nenek angkat
saya sering mengajak berjalan-jalan ke Smithsonian Museum (lokasi shooting Night at the
Museum), University of Maryland College Park (UMCP), Kompleks pemerintahan di Washington
D.C., hingga Kedutaan Besar Republik Indonesia.

Waktu setahun dengan cepat berlalu dan pada bulan Juni 2006 pun aku harus kembali ke tanah
air. Sebagai kenang-kenangan, host-fam ku pun mengajakku ke Manhattan, New York. Akhirnya
kulihat dengan mata kepalaku sendiri Golden Bridge, Ground Zero, Time Square, hingga kami
naik kapal kecil ke hadapan Patung Liberti.

Untuk memenuhi misi kebudayaan, aku pun beberapa kali presentasi tentang Indonesia pada
siswa- siswa Amerika dengan memperkenalkan budaya-budaya kita seperti Batik, makanan, dan
mata uang kita. Pernah juga kami mengadakan pameran kebudayaan dengan mendirikan
booth/stand tentang Indonesia. Serta pada malam Internasional, aku membawakan Tari Piring
yang diajarkan guru tariku saat di Semarang dulu.

KEMBALI KE TANAH AIR

Juli 2006, kakiku kembali menginjak bumi nusantara. Aku harus terbangun dari mimpi indahku
dan kembali menghadapi segala liku kehidupan di tanah Indonesia. Karena tertunda 1 tahun,
sekolah ku harus bersama dengan adik kelas, artinya kawan-kawan baru. Menyenangkan,
meskipun juga agak sedih karena kawan-kawan lamaku sudah berada di bangku kuliah.

Masa teraskhir SMA kulalui dengan cukup mudah. Aku masih menjadi unggulan di kelas, bisa
diterima di UGM melalui jalur PBUTM, makin dekat dengan abi-abi (kakak-kakak) pembina dari
Turki, dan sudah mulai muncul keberanian diri untuk bermimpi. Setelah UN kami lewati, kami
pun diwisuda dan kembali aku dinobatkan sebagai lulusan terbaik .
TAHUN PERTAMA DI JOGJA

Merantau di lain kota bukanlah hal baru bagiku, bahkan orang tuaku pun tak tahu kalau aku
sudah di Yogyakarta. Bukan karena aku durhaka, tetapi aku tak ingin membuat mereka cemas
dengan segala tetek mbengek masalah finansial, biarlah untuk sementara kugunakan uang
tabunganku dahulu. Jogja? UGM? Dimana itu? Aku belum pernah menginjakkan kaki di bumi Sri
Sultan sebelumnya. Aku melalui dua bulan pertamaku bagai ikan yang baru dilepas ke lautan,
terpukau dengan segala keadaan serta masih harus menggali sendiri pengetahuan dari
lingkungan yang baru.

Masa kuliah, fase kehidupan baru dimana aku dituntut mandiri dan bertanggung jawa dalam
hampir segala hal. Aku harus cerdas dalam menentukan kegiatan-ku selama kuliah, pintar-pintar
dalam memilih organisasi, mencari kawan dengan visi yang sama, serta berjuang untuk
kehidupanku selama di kuliah. Tahun pertama aku bergabung di KMTE (Keluarga Mahasiswa
Teknik Elektro UGM), BEM KMFT (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas
Teknik), dan BEM KM UGM (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM) yang
menyedotku pada lika-liku politik kampus, walau aku pun tak begitu ahli disana. Hingga aku pun
pernah 3 bulan tidak nge-kos dan tinggal di sekretariat BEM KMFT. Namun, yang jelas ketiga
lembaga itu menumbuhkan kesadaran moral dan sosial padaku bahwa aku hidup tidak untuk
diriku saja, namun ada hak orang lain dan masyarakat pada diriku. Paling tidak setiah hari
Kamis, kami mengurus anak-anak jalanan di Ledhok, Timoho, mengajari mereka agama dan
berbagi tentang makna kehidupan.

Tantangan perekonomian memaksaku untuk harus pandai menyesuaikan diri dengan kenyataan.
Selain kuliah dan organisasi tersebut, aku pun mencoba berjualan, menjadi penerjemah
freelance Inggris- Indonesia, hingga menjadi tentor privat. Semuanya hanya untuk sekedar uang
penjamin hidup di Jogja dan berlatih lebih mandiri dari beasiswa orang tua. Aku yang dari kecil
sampai SMA sangat fokus pada akademis, kini pun lebih membuka mata dan mencoba
memaknai lidup lebih luas. Rajin mengikuti seminar kepemimpinan, kewirausahaan, TIK
(Teknologi Informasi dan Komunikasi), sosial, jurnalistik, dan ekonomi-politik. Beberapa kali juga
turut turun ke jalan menyuarakan aspirasi ketidaksetujuan pada pemerintah/rektorat; salah satu
yang paling ekstrim adalah pada 12 Mei 2008 bersama seluruh mahasiswa Indonesia berdemo
di depan Istana Merdeka di Jakarta serta dengan segelintir mahasiswa teknik berdemo keliling
jurusan mempublikasikan Tugu Rakyat yang kami usung ke Jakarta.

SEMESTER KE-3 DI UGM

Tahun pertamaku berjalan sangat nyaman. Dua kali mendapatkan IP 4.00, mulai berkontribusi di
lembaga, diterima di PPSDMS Nurul Fikri Regional III Yogyakarta, serta yang paling penting,
mulai nyaman dengan kehidupan kampus dan segala aktivitasku.

Hampir tidak pernah aku hidup sampai benar-benar nyaman di suatu tempat, ini pun terulang
kembali. Setelah aku menikmati masa 6 bulan dibina di PPSDMS Nurul Fikri, 3 semester kuliah,
serta berorganisasi di BEM dan KMTE, aku pun mendapat kesempatan untuk mewakili UGM
dalam pertukaran pelajar bidang TIK ke Korea Selatan selama 1 tahun di Daejeon University.

DI KOREA SELATAN

Barangkali inilah puncak dari segala keberhasilanku di kampus, buah dari perjuangan selama 3
semester pertama di UGM, bisa belajar 1 tahun di salah satu pusat teknologi Asia, di Sillicon
Valley-nya Korea, Kota Daejeon. Aku bisa kuliah di Korea Selatan selama 2 semester bersama
20 mahasiswa terbaik dari ASEAN, serta 2 bulan magang di UN-APCICT, lembaga training ICT
milik PBB, selain juga jalan-jalan mengeksplorasi bumi Korea Selatan. Aku juga bisa mengikuti
beberapa seminar internasional, berkunjung ke Kedutaan besar Indonesia dan Malaysia,
mengikuti Taekwondo di Daejeon Univ, wisata budaya tradisional Korea, hingga homestay di
rumah salah satu mahasiswa Daejeon University. Salah satu puncak kegiatan akademis selama
di Korea terjadi ketika aku berhasil meraih Bronze Medal essay competition oleh Korea Times
dan lulus ujian sertifikasi Java Programming.

Kurikulum kuliah kami didesain secara spesial untuk kami sehingga kami tidak hanya belajar
ICT, tetapi juga belajar kisah sukses kemajuan teknologi Korea Selatan, belajar budaya Korea
melalui bahasanya, serta field studi ke perusahaan-perusahaan sukses di Korea Selatan. Adalah
sangat menakjubkan belajar kisah sukses pembangunan teknologi salah satu negara termiskin
di dunia pada tahun 1950-an, hingga menjadi satu dari beberapa negara termaju di Asia.

Hal lain yang sangat berkesan bagiku adalah interaksi dengan para pekerja dan pelajar
Indonesia lain di Korea Selatan. Para pekerja disana termasuk TKI dengan kehidupan yang
mapan dan perlindungan tingkat tinggi. Kita (pekerja dan pelajar) bekerjasama melalui IMNIDA
(Ikatan Muslimin Indonesia di Daejeon) untuk mengadakan bimbingan kelas komputer, bahasa
Inggris, dan bahasa Korea bagi para pekerja. Kombinasi yang hangat.

APA ARTI UGM?

Sungguh kuliah di UGM memberikan warna khas pada karakter pribadiku. Sebagai kampus
kerakyatan, UGM mempunyai ciri khas jiwa kepedulian sosial yang tinggi, selain kompetensi
pribadi yang unggul. Nilai inilah yang kupegang teguh selama belajar di kampus Bulaksumur ini.
Dari ketika mengajar di panti asuhan semasa di BEM KMFT, atau pun belajar bersama anak-
anak jalanan ketika di BEM KM UGM, hingga hidup mendalami perjuangan para pekerja di
Korea Selatan. Hidup kampus kerakyatan Gadjah Mada!!!

TENTANG PENULIS

AHMAD NASIKUN adalah mahasiswa Teknologi Informasi, Teknik Elektro Universitas Gadjah
Mada. Pada tahun 2009, Nasikun menjabat sebagai Kepala Departemen Pengembangan
Sumber Daya Manusia BEM KM Fakultas Teknik UGM sebelum selanjutnya mendapatkan
kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh ASEAN
University Network (AUN) di Daejeon University, Korea Selatan selama satu tahun akademis.
Program pertukaran pelaja ini Nasikun jalankan dengan tekun dan serius yang mana kemudian
memberikan hasil akademis yang sempurna dan sangat memuaskan.

Selama masa studinya di Korea Selatan tersebut, Nasikun berhasil menorehkan tinta prestasi
dengan meraih juara 3 pada lomba English Essay Writing yang diselenggarakan oleh Korea
Times pada tahun 2010. Selain itu, Nasikun juga memperoleh kesempatan untuk malaksanakan
magang selama dua bulan (Juli agustus 2009) di United Nations-Asia and Pacific Training
Center for Information and Communication Technology for Development. Sebagai aktivitas
kegiatan non-akademis, Nasikun juga menjadi sukarelawan pengajar computer bagi pegawai
Indonesia di Daejeon, Korea Selatan serta menjabat sebagai Dewan Pembina IMNIDA (Ikatan
Muslimin Indonesia di Daejeon). Pengalaman serta pencapaian yang telah diperolehnya
membuat Nasikun berhasil memperoleh Peringkat I pada Kompetisi Pemilihan Mahasiswa
Berprestasi Tingkat Universitas tahun 2010.

Anda mungkin juga menyukai