Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. LARISSA AMANDA

PENDAMPING :
dr. ALJUNED PRASETYO
dr. JAMALUDIN MALIK

DOKTER INTERNSIP WAHANA RSUD SALATIGA


PERIODE 15 SEPTEMBER 2016 15 SEPTEMBER 2017
KOTA SALATIGA
Borang Portofolio

Nama Peserta: dr. Larissa Amanda

Nama Wahana: RSUD Salatiga

Topik: Kejang Demam Sederhana dengan Bronkitis asmatis

Tanggal (kasus): 22 Januari 2017 Tanggal pemeriksaan : 24 Januari 2017

Nama Pasien: An. M.D.S. / 2 tahun 0 bulan 26 hari No. RM: 15-16-3203xx

Nama Dokter Penanggung Jawab Pasien : dr. Wahyu


Budianto, Sp.A
Tanggal Presentasi : 12 April 2017
Nama Pendamping: dr. Aljuned Prasetyo

dr. Jamaludin Malik

Tempat Presentasi: RSUD Salatiga

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil


Deskripsi:
Seorang anak, laki-laki, 2 tahun dengan keluhan kejang

Tujuan:
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal kegawatan pada kejang serta konsultasi dengan spesialis penyakit anak untuk
penanganan lebih lanjut terkait kasus kejang demam dan bronchitis asmatis serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan
keluarga.

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien: Nama: An. M.D.S. Nomor Registrasi: 15-16-3203xx

Nama klinik: RSUD Salatiga Telp:- Terdaftar sejak: 22 Januari 2017

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : kejang disertai dengan demam 1 jam SMRS.

2. Riwayat Kesehatan / Penyakit Sekarang


Pasien datang setelah kejang 1 jam SMRS. Kejang terjadi 1 kali selama 30 detik (<15 menit). Kejang terjadi pada seluruh tubuh,
pasien kelojotan pada tangan dan kaki, mata mendelik ke atas, dan gigi terkatup. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Kejang berhenti
setelah diberi stesolid melalui anus di rumah pasien. Setelah kejang berhenti pasien menangis lalu tertidur.
Pasien demam sejak 6 jam SMRS. Demam dimulai malam hari, terjadi mendadak (suhu terukur saat demam: 39 oC), naik-turun,
suhu menurun pada pagi hari.
Pasien juga batuk sejak 1 hari SMRS, batuk berdahak (+) tetapi pasien tidak dapat mengeluarkan dahak, batuk darah (-). Keluhan
pilek (-), sesak nafas (-), mengi (-), BAB mencret (-), muntah (-), nyeri BAK (-), ujung alat kelamin menggelembung (-), anyang-
anyangan (-). Pasien sulit makan (+) dan asupan lebih banyak dari susu formula.
3. Riwayat Pengobatan: Pasien sudah pernah dirawat di RSUD Salatiga dengan keluhan yang sama pada umur 19 bulan. Pasien minum
obat rutin asam valproat sirup 2 x 2.5 ml.

4. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat penyakit serupa : (+) pasien sudah mengalami kejang disertai demam sebanyak 5 kali, yaitu; kejang I:
umur 9 bulan, kejang II: umur 12 bulan berulang 2 kali, kejang III: umur 19 bulan berulang 2 kali
Riwayat trauma (+) pasien terjatuh dari tempat tidur dan terbentur pada kepala sebelah kanan 1 hari SMRS
Riwayat asma : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat keluar cairan dari telinga : disangkal
Riwayat alergi obat / makanan : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
5. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluhan serupa : (+) ayah dan ibu pasien mengalami kejang pada saat demam sewaktu kecil
Riwayat asma : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat penyakit keganasan : disangkal
6. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal:
Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu pasien di bidan setempat. Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 2 kali tiap
bulan, dan pada trimester III 4 kali tiap bulan. Tidak terdapat keluhan atau penyakit selama kehamilan. Riwayat minum
jamu selama hamil disangkal. Obat-obatan yang diminum adalah vitamin dan tablet penambah darah dari bidan.
Kesan : Tidak ditemukan kelainan pada riwayat kehamilan dan prenatal
7. Riwayat Kelahiran:
Pasien lahir spontan di bidan pada usia kehamilan 9 bulan. Pasien langsung menangis kuat segera setelah lahir. Berat waktu
lahir 3000 gram, panjang badan saat lahir 50 cm.
Kesan : Tidak ditemukan kelainan pada riwayat kelahiran
8. Riwayat Postnatal
Rutin ke Posyandu tiap bulan untuk menimbang berat badan dan mendapat imunisasi.
9. Riwayat Imunisasi
Status Imunisasi

Jenis 0 I II III IV
Hepatitis 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
B
Polio 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
BCG 1 bulan
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Campak -
Kesan : Imunisasi belum lengkap berdasarkan jadwal Kemenkes maupun IDAI 2014

10. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir 3000 gram dan panjang badan lahir 50 cm. Pasien sekarang berumur 2 tahun, 0 bulan, 26 hari dengan berat badan 11
kg dan panjang badan 85 cm.
Kesan : pertumbuhan sesuai usia
Pasien mulai tengkurap pada usia 3 bulan, merangkak pada usia kurang lebih 9 bulan, berdiri pada usia 12 bulan, dan berjalan pada usia 18
bulan. Pasien mulai bisa berbicara satu kata pada usia 1 tahun.
Hasil Denver II : Tumbuh kembang sesuai usia
Kesan : perkembangan sesuai dengan usia
11. Riwayat Nutrisi
Usia 0 6 bulan : ASI eksklusif
Buah dan sayur : pisang sejak umur 6 bulan, sayur bayam, wortel, lauk ati ayam, tahu, tempe, telur, daging, udang sejak usia 9 bulan.
Makanan padat dan bubur :
a. Bubur susu : sejak usia 6 bulan
b. Nasi tim : sejak usia 9 bulan
Usia >12 bulan : 3 kali sehari (makanan pokok, lauk, buah-buahan, susu) dan snack
Kesan : kualitas dan kuantitas nutrisi cukup
12. Kondisi Lingkungan Sosial, Fisik, dan Kebiasaan : Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan kakaknya (perempuan usia 4 tahun) di daerah
Sidorejo, Salatiga. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.
13. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : tampak sakit sedang, lemah compos mentis, gizi kesan baik.
b. Perhitungan Status Gizi
1) Secara Klinis
Gizi kesan baik
2) Secara Antropometri
BB: 11 kg TB: 85 cm Usia: 2 tahun, 0 bulan, 26 hari
BB/U = 11/12,8 x 100 % = 85,9 % -2 SD < Z Score < 0 SD (normoweight)
TB/U = 85/89 x 100 % = 95,5% Z Score = -2 SD < Z Score < 0 SD (normoheight)
BB/TB = 11/11,5 x 100 % = 95,7 % -1 SD < Z Score <0 SD (gizi baik)
Kesimpulan: Gizi kesan baik dengan normoweight dan normoheight menurut Antropometri WHO 2007.
Kebutuhan kalori = 102 x 11,5= 1173 kkal
3) Vital Sign
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 132x/menit, reguler, isi, dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : kedalaman cukup, reguler; SpO2: 96%
Suhu : 37 oC (per aksiler)
Skor nyeri :-
4) Kulit : warna sawo matang, ikterik (-), ujud kelainan kulit (-)
5) Kepala : mesochepal, LK 46 cm (SD), UUB sudah menutup, rambut hitam, sukar dicabut
6) Mata : palpebra edema (-/-), mata cekung (-/-), air mata (+/+) normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)
7) Hidung : deformitas (-), napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
8) Telinga: bentuk aurikula kanan dan kiri normal, kelainan MAE (-), serumen (+/+) dalam batas normal, prosesus mastoideus tidak
nyeri tekan, tragus pain (-/-), sekret (-/-)
9) Mulut : mukosa basah, sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-)
10) Tenggorokan : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (+), tonsil T1-T1
11) Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar, JVP tidak meningkat
12) Thoraks : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar : SIC V kanan
Batas paru-lambung : SIC VI kiri
Redup relatif : SIC V kanan
Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronchi (+/+) di semua lapang paru, whezzing (+/+) minimal
Cor :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi :
Kiri atas : spatium intercostale II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : spatium intercostale IV linea medioklavicularis sinistra
Kanan atas : spatium intercostale II linea parasternalis dextra
Kanan bawah : spatium intercostale IV, linea parasternalis dextra
(Kesan: batas jantung kesan tidak melebar)
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular, bising (-), gallop (-)
l. Abdomen:
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit kembali cepat, pekak alih (-), undulasi (-)
m. Anorektal : hiperemis (-)

n. Ekstremitas :
Akral Dingin CRT < 2 Edema

- - + + - -

+ + - -
- -

Arteri dorsalis pedis teraba kuat

o. Status Neurologi
Kesadaran : compos mentis
Meningeal sign

Kaku kuduk :-

Brudzinsky I :-

Brudzinsky II :-

Laseque : >700 / >700

Kernig : >1350/ 1350

Nervus Cranialis

N. III, IV, VI : pupil bulat, isokor, 2mm/ 2mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
N. VII : plica nasolabialis kanan = kiri
+5 +5 N N
Fungsi Motorik : Fungsi Sensorik :

+5 +5 N N
Gerakan Involunter: (-/-)

Trofi : hipotrofik (-/-)

Tonus : hipertonus (-/-)

Fungsi Otonom: baik

Reflek Fisiologis
R. Biceps : +/+
R. Triceps : +/+
R. Pattela : +/+
R. Achilles : +/+

Refleks Patologis

R. Babinsky : -/-
R. Oppenheim : -/-
R. Chaddock : -/-
R. Gordon : -/-

14. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium darah

Tanggal : 22 Januari 2017

Pemeriksaan Hasil Satuan Standart Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 12.9 gr/dL 10,5-12,9

Leukosit 9.89 rb/ul 5.0-10.0

Trombosit 184 rb/ul 150-400

Hematokrit 38.6 vol% 33.0-41.0


Eritrosit 5.09 jt/ul 4.10-5.30

MCV 75.9 fl 85-100


MCH 25.3 Pg 28.0 31.0
MCHC 33.4 g/dl 30 35
Laju Endap
Darah I 15 mm 6-11

Laju Endap 39 mm 6-20


Darah II
Golongan 0
darah ABO
HITUNG JENIS
Eosinofil 2.2 % 1.00 6.00
Basofil 0.30 % 0.00 1.00
Neutrofil 55.90 % 40.00 75.00
Limfosit 39.6 % 20.00 45.00
Monosit 2,00 % 2.00 8.00

17. Resume
Pasien anak laki-laki, umur 2 tahun datang setelah kejang (+). Kejang terjadi 1 kali selama 30 detik, pada seluruh tubuh,
kelojotan, mata mendelik ke atas, dan gigi terkatup. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Kejang berhenti setelah diberi stesolid melalui
anus di rumah pasien. Setelah kejang berhenti pasien menangis lalu tertidur. Pasien demam sejak 6 jam SMRS, dimulai malam hari,
naik-turun, menurun pada pagi hari. Suhu terukur saat demam: 39 oC. Pasien juga batuk sejak 1 hari SMRS, batuk berdahak (+)
tetapi pasien tidak dapat mengeluarkan dahak.
Riwayat imunisasi dasar pasien belum imunisasi campak. Riwayat perkembangan dan pertumbuhan baik. Riwayat pemeliharaan
prenatal baik. Riwayat kelahiran, lahir secara spontan dengan usia kehamilan 9 bulan, pemeliharaan postnatal baik
Saat dilakukan pemeriksaan pasien tampak sakit sedang dan rewel. Gizi pasien kesan baik, Tekanan darah 100/60 mmHg,
frekuensi nadi 132x/menit, frekuensi nafas 28x/menit, SpO2 96%, suhu 37 oC (per aksiler). Pemeriksaan tenggorokkan didapatkan
faring hiperemis. Hasil pemeriksaan auskultasi paru menunjukkan adanya suara dasar vesikuler (+/+), ronchi (+/+) di semua lap ang
paru, dan wheezing (+/+) minimal. Pemeriksaan neurologi dalam batas normal. Status gizi secara antropometri: gizi baik. Hasil
pemeriksaan penunjang laboratorium dalam batas normal.
18. Diagnosis
Kejang demam simpleks
Bronkitis asmatis
19. Penatalaksanaan
Tatalaksana awal di IGD
a. O2 2 lpm nasal canule
b. IUFD KA-EN 3B 10 tpm
c. Parasetamol sirup 3 x 1 cth
d. Stesolid suppositoria 5 mg per rectal prn kejang

Konsul TS. Spesialis Anak :


a. O2 2 lpm nasal canule
b. IUFD KA-EN 3B 10 tpm
c. Nebulisasi Salbutamol : NaCl 0.9% = 2.5 mg : 2.5 ml
d. Parasetamol sirup 3 x 1 cth
e. Asam valproat sirup 2 x 2.5 ml
f. Oxoryl sirup 3x3/4 cth prn batuk
g. Monitoring: Keadaan umum dan vital sign setiap 6 jam
Awasi tanda-tanda kejang
h. Bila kejang: O2 1 lpm
Stesolid 5 mg per rectal
i. Bila demam >38 C: berikan diazepam pulv 3 x 1 mg
j. Cek laboratorium Widal

Pemeriksaan Laboratorium Darah

Tanggal: 24 Januari 2017

Pemeriksaan Hasil Standart normal

IMUNO/SEROLOGI

Salmonella
Typhi O negatif negatif

Salmonella
Paratyphi AO negatif negatif

Salmonella
Paratyphi BO negatif negatif
Salmonella
Paratyphi CO negatif negatif

Salmonella
Typhi H negatif negatif

Salmonella
Paratyphi AH 1/80 negatif

Salmonella
Paratyphi BH negatif negatif

Salmonella
Paratyphi CH 1/80 negatif
20. Prognosis

Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia et bonam
Ad fungsionam : bonam

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subyektif
Pasien anak laki-laki, umur 2 tahun datang setelah kejang (+). Kejang terjadi 1 kali selama 30 detik, pada seluruh tubuh,
kelojotan, mata mendelik ke atas, dan gigi terkatup. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Kejang berhenti setelah diberi stesolid melalui
anus di rumah pasien. Setelah kejang berhenti pasien menangis lalu tertidur. Pasien demam sejak 6 jam SMRS, dimulai malam hari,
naik-turun, menurun pada pagi hari. Suhu terukur saat demam: 39 oC. Pasien juga batuk sejak 1 hari SMRS, batuk berdahak (+)
tetapi pasien tidak dapat mengeluarkan dahak. Riwayat imunisasi dasar pasien belum imunisasi campak. Riwayat perkembangan dan
pertumbuhan baik. Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran, lahir secara spontan dengan usia kehamilan 9 bulan,
pemeliharaan postnatal baik
2. Objektif
Hasil wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium mendukung diagnosis kejang demam sederhana,
bronchitis asmatis. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
a. Gejala klinik (kejang umum, tidak berulang, <15 menit, demam, batuk)

b. Riwayat penyakit dahulu (riwayat kejang sebelumnya dengan demam, tidak ada kecacatan atau kelainan neurologis)

c. Pemeriksaan fisik (faring hiperemis, auskultasi paru: suara dasar vesikuler +/+. RBK +/+ di seluruh lapang paru, wheezing +/+
minimal)

d. Pemeriksaan laboratorium (dalam batas normal)

3. Assesment

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis dengan kejang demam sederhana, bronchitis asmatis.

4. Plan

Diagnosis: Upaya diagnosis yang dilakukan sudah sesuai pedoman penatalaksanaan yang berlaku.

Pengobatan: Pemberian penanganan awal pada kegawatdaruratan pada pasien kejang dan kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap untuk mencari penyebab kejang, EEG untuk penegakan diagnosis kerja sambil
dilakukan penatalaksanaan lanjutan. Terapi farmakologis diberikan meliputi oksigenasi, pemberian terapi profilaksis anti kejang, anti
piretik, nebulisasi, ekspektoran dan terapi suportif lain seperti cairan, nutrisi. Setelah kondisi pasien stabil dan diperbolehkan rawat jalan
dan control rutin dokter spesialis anak.

Pendidikan: Pendidikan yang diberikan kepada keluarga pasien meliputi motivasi untuk dapat melakukan kontrol teratur ke dokter
spesialis anak untuk pengobatan jangka panjang kejang. Pendidikan mengenai penanganan awal kejang yang dapat dilakukan di rumah
dan himbauan untuk segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Edukasi terhadap keluarga apabila akan melakukan perencanaan
kehamilan kembali diharapkan menjaga kondisi selama kehamilan, persalinan baik ibu dan bayi serta melakukan imunisasi secara lengkap
sesuai anjuran pemerintah.
Konsultasi: -

Rujukan:-

Kontrol:Pasien disarankan untuk rutin kontrol setiap bulan ke poli dokter spesialis anak.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang Demam
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan
suhu tubuh (suhu di atas 38 C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh gangguan elektrolit,
metabolik atau kelainan intrakranial. Anak yang mengalami kejang disertai demam tidak mempunyai riwayat kejang tanpa demam.
1

Definisi menurut International League Against Epilepsy Commision on Epidemiology and Prognosis adalah kejang pada
anak setelah usia 1 bulan, berhubungan dengan demam dan penyakit yang tidak disebabkan karena infeksi pada susunan saraf
pusat, tanpa ada kejang pada masa neonatal atau kejang tanpa provokasi sebelumnya. Kejadian terbanyak pada kejang demam
lebih sering terjadi dikarenakan oleh infeksi virus dibandingkan infeksi bakteri, umumnya terjadi pada 24 jam pertama sakit dan
berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut, seperti faringitis dan otitis media, pneumonia, infeksi saluran kemih, serta
gangguan gastroenteritis.2
2. Klasifikasi
Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam kompleks
(complex febrile seizure). Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan
atau klonik), sembuh spontan serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. Sedangkan kejang demam kompleks harus memenuhi
salah satu ciri-ciri kejang lama (>15 menit), kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,
berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.1
Kejang demam kompleks didapatkan abnormalitas status neurologi, dan didapatkan riwayat kejang tanpa demam pada
orangtua atau saudara kandungnya.3
3. Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak
karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Mekanisme terjadinya kejang
ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia.
Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.1,4,5,6
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga
menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.7
4. Manifestasi Klinik
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti
sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemiparesis Tood) yang
berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan
kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan
pada 16% paisen.8
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C
atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat
pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau
toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh.2
Gejala yang terlihat pada penderita kejang demam meliputi: a. demam yang biasanya di atas 38,9 C; b. jenis kejang
(menyentak atau kaku otot); c. gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas); d. Suara pernapasan yang kasar
terdengar selama kejang.; e. penurunan kesadaran; f. kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus; g. muntah; h. dapat
menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam waktu yang singkat.9
5. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Jenis kejang, lama kejang, kesadaran (kondisi sebelum, diantara, dan
setelah kejang)
2) Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak selepas kejadian kejang
3) Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK),
otitis media akut (OMA), dan lain-lain)
4) Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami kejang dengan demam atau tanpa
demam, riwayat perkembangan (gangguan neurologis), perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan
usianya, riwayat penyakit keluarga, perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
5) Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya muntah, diare, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk, pilek,
sesak nafas yang menyebabkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia). 10
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak, apakah terdapat penurunan kesadaran. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital terutamanya suhu tubuh, apakah tedapat demam, yang dapat dilakukan di beberapa
tempat seperti pada axilla, rektal dan telinga. Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan pemeriksaan
neurologis, antara lain:
1) Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernique, Laseque, Brudzinski I dan Brudzinski II.
2) Pemeriksaan nervus kranialis.
3) Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) membonjol, papil edema.
4) Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK dan lain lain.
5) Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek patologis dan fisiologis.10
Kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam
kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi.8
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit, gula darah dan urinalisis. Selain itu, glukosa darah
harus diukur jika kejang lebih lama dari 15 menit dalam durasi atau yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai.10
2) Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasein kejang demam pertama.8 Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk bayi kurang dari 12 bulan, bayi
antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk dilakukan dan bayi > 18 bulan tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada kasus
kejang demam hasil pemeriksaan ini tidak berhasil.1
3) Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam sederhana namun mungkin berguna untuk
mengevaluasi pasien kejang yang kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. Pada pemeriksaan EEG
didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta,
relatif dengan gelombang tajam di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral.
Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering
menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
di kemudian hari. 8
4) Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging
(MRI) jarang sekali dikerjakan dan dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang menetap
(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas), terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil).10
d. Penatalaksanaan
1. Terapi farmakologi
Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal sebanyak 20 mg. Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di
rumah adalah diazepam rektal. Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang
daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang mempunyai berat badan lebih dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan
dosis 5 mg dapat diberikan untuk anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.
Apabila kejangnya belum berhenti, pemberian diapezem rektal dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit. Anak seharusnya dibawa ke rumah sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang, setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.1
Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali
dengan kecepatan 1 mg/ kg/ menit atau kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis selanjutnya adalah
4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika kejang belum berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien
harus dirawat di ruang intensif. Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.1
Terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan. Parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya
untuk mengurangi kejadian kejang demam. Meskipun tidak mengurangi risiko kejang demam, antipiretik sering digunakan
untuk mengurangi demam dan memperbaiki kondisi umum pasien. Antipiretik yang digunakn meliputi metamizole
(dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian (100 mg/ kg/ hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/
dosis, juga sampai empat dosis harian (sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-anak di atas usia enam bulan, diberikan ibuprofen
sebanyak 5 sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi (sampai 40 mg/ kg/ hari pada anak-anak dengan
berat kurang dari 30 kg dan 1200 mg).1
2. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri-ciri berikut seperti
kejang berlangsung lebih dari 15 menit, kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang misalnya
hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan hidrosefalus, dan kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat
dipertimbangkan jika kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12
bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4 kali per tahun. Obat untuk pengobatan jangka panjang adalah
fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis).
Dengan pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan dan pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas
kejang, kemudian secara bertahap selama 1-2 bulan.10
3. Terapi non-farmakologi
a. Tindakan pada saat kejang di rumah, yaitu:
1) Baringkan pasein di tempat yang rata.
2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein.
3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka misalnya ikat pinggang.
4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak.
5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.
6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak.
7) Monitor suhu tubuh.
8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung.
10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen.
11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat antikonvulsan yaitu diazepam secara rektal.11
b. Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, yaitu:
1) Hilangkan obstruksi jalan napas.
2) Siapkan akses vena.
3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, SaO2).
4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%)
5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg pada kecepatan infus maksimal 5
mg/menit, dan menangguhkan ketika kejang berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit.
6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah.
7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli anestesi, ahli saraf) untuk pengobatan.11
e. Komplikasi dan prognosis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan
terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya
terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.1
Penelitian British National Child Development menunjukkan tidak ada perbedaan tingkah laku yang bermakna antara
anak dengan riwayat kejang demam dan populasi umum.1
Pada kejang demam yang lama, berulang didapatkan kemampuan intelegensi non verbal dan tes neuropsikologi yang
rendah dibandingkan anak dengan riwayat kejang demam sederhana.1
f. Diagnosis diferensial
1) Kejang demam
2) Ensefalitis
3) Meningoensefalitis
4) Epilepsi
5) Abses otak
6) Ensefalopati
7) Kelainan organik lainnya dalam otak1
B. Bronkitis
1) Definisi
Bronkitis adalah suatu inflamasi bronkus non spesifik yang sering didiagnosis pada anak dan dapat merupakan suatu
penyakit yang berdiri sendiri maupun bagian dari suatu kondisi sistemik seperti fibrosis kistik, asma, atau keadaan defisiensi
imun.20
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lain.19
Bronkitis asmatis yaitu suatu peradangan bronkus yang ditandai dengan adanya mengi, ditemukan secara integral pada
asma dan eksaserbasi asma umumnya dipicu oleh infeksi traktus respiratorius bagian atas.2
2) Patofisiologi
Perubahan struktur pada paru menimbulkan perubahan fisiologik yang merupakan karakteristik bronkitis kronis seperti batuk
kronik, sputum produksi, obstruksi jalan napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dan kor-pulmonale.
Akibat perubahan bronkiolus dan elveoli terjadi gangguan pertukaran gas yang menimbulkan 2 masalah yang serius yaitu :
a) Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli yang tidak sesuai (mismatched). Sebagian tempat (alveoli) terdapat adekuat
aliran darah tetapi sangat sedikit aliran udara dan sebagian tempat lain sebaliknya
b) Performance yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi sehingga terjadi overinflasi dan penyempitan jalan
napas, menimbulkan hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli menyebabkan CO2 darah meningkat dan O2 dalam
darah berkurang.
Mekanisme patofisiologik yang bertanggung jawab pada bronkitis kronis sangat kompleks, berawal dari rangsang toksik pada
jalan napas menimbulkan 4 hal besar seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia dan rangsangan reflex
vagal saling mempengaruhi dan berinteraksi menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks.21
3) Diagnosis
Gejala dan tanda bronkitis kronik sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Penderita bronkitis kronik akan datang ke dokter dan mengeluhkan
sesak napas, batuk-batuk kronik, sputum yang produktif, serta adanya riwayat faktor resiko. Sedangkan bronkitis kronik ringan
dapat tanpa keluhan atau gejala.19
Diagnosis dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesis meliputi keluhan utama dan keluhan tambahan.
Biasanya keluhan pasien adalah batuk maupun sesak napas yang kronik dan berulang. Pada bronkitis kronik gejala batuk sebagai
keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak, kadang kental dan kalau berwarna kekuningan pertanda adanya super
infeksi bakterial. Gangguan pernapasan kronik pada bronkitis kronik secara progresif memperburuk fungsi paru dan keterbatasan
aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan penyakit
menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kehilangan kualitas hidup.19
Adanya riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan di tempat
kerja juga sering ditemukan. Kemudian adanya riwayat penyakit pada keluarga dan terdapat faktor predisposisi pada masa anak,
misalnya berat badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang dan lingkungan asap rokok dan polusi udara. Kemudian adanya
batuk berulang dengan atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi mengi. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pada
inspeksi didapati pursed - lips breathing atau sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel
chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan penggunaan otot bantu napas
dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher
dan edema tungkai serta adanya penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi didapati stem fremitus yang lemah dan
adanya pelebaran iga. Pada saat perkusi akan didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah suara napas vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat
ronki atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.19
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa adalah faal paru, dengan
menggunakan spirometri. Apabila spirometri tidak tersedia, arus puncak ekspirasi (APE) meter walaupun kurang tepat, namun
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji faal paru lain yang dapat dilakukan
adalah uji bronkodilator biasa untuk bronkitis kronik stabil. Selain faal paru, pemeriksaan rutin lain dilakukan adalah darah rutin
dengan melihat leukosit, hemoglobin dan hematokrit. Pemeriksaan radiologi yakni foto toraks posisi posterior anterior (PA) untuk
melihat apakah ada gambaran restriksi bronkial.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal paru dengan pengukuran Volume Residu (VR), Kapasiti
Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF dan lain-lain. Lalu lainnya adalah uji latih kardiopulmoner, uji
provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah, sinar Computerized Tomography (CT Scan) resolusi tinggi,
elektrokardiografi, ekokardiografi, bakteriologi dan kadar alfa-1 antitripsin.19
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi, nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke
spesialis paru rumah sakit. Dalam penatalaksanaan bronkitis kronik yang stabil termasuk adalah melanjutkan pengobatan
pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru, baik setelah mengalami serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya,
seperti pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah. Obat-obatan yang digunakan adalah:
a) Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan golongan antikolinergik. Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuatkan efek bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya
aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.
b) Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Diberikan golongan metilprednisolon atau prednison, dalam bentuk oral atau injeksi intravena, setiap hari atau selang
sehari dengan dosis minimal 250 mg.
c) Antibiotik
Diberikan untuk mencegah dan mengobati eksaserbasi serta infeksi. Antibiotik juga diberikan sekiranya ada
peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi purulen dan peningkatan sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan
pola kuman setempat. Jenis antibiotik yang bisa diberikan adalah makrolid, sefalosporin generasi II, generasi III, kuinolon dan
flurokuinolon.
d) Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan N- asetilsistein.

e) Ekspektoran
f) Mukolitik
Diberikan pada eksaserbasi kerana akan mempercepatkan perbaikan eksaserbasi dengan mengencerkan dahak. Gliseril
guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
g) Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.Manfaatkan obat antitusif yang tersedia sesuai
dengan perkiraan patogenesis yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari efek
samping obat.

Dan yang terakhir adalah tahap rehabilitasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips,
latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekstremitas.19
Gambar 1. Terapi berdasarkan stase dari bronkitis
C. Asma
1) Definisi
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa
dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.12
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman
Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/ keluarganya.13
2) Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi.
Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktivitas bronkus yang merupakan
tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini
meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan
seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan
menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan.
Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi
mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran
napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi
dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran
saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia
kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.14,15
3) Manifestasi klinis dan Diagnosis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga
dapat berupa sesak napas, dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah.
Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis.16
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal
tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang
berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun
keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.2
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya anak dibawah 3 tahun, respons yang baik
terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih
definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana
dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
(exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis.16
Gambar 2. Alur Diagnosis Asma Anak
4) Klasifikasi
Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di
saluran nafas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat kesulitan
dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien.2 Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien.2

Gejala/hari Gejala/malam PEF atau FEV1

PEF variability
Derajat 1 < 1x/minggu, 2 kali sebulan 80%
asimtomatik dan nilai
Intermiten < 20 %
PEF normal diantara
serangan

Derajat 2 >1 kali perminggu, <1 > 2 kali sebulan 80%


kali perhari, serangan
Persisten ringan 20%-30%
mengganggu

aktivitas
Derajat 3 Sehari sekali, >1 kali perminggu 60-80%
serangan mengganggu
Persisten sedang >30%
aktivitas
Derajat 4 Terus menerus Sering 60%
sepanjang hari, >30%
Persisten berat
aktivitas fisik

terbatas
Tabel 1. Klasifikasi Asma berdasarkan GINA

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan
asma persisten. Berikut ini tabel klasifikasi asma berdasarkan PNAA: 2

Tabel 2. Klasifikasi Asma berdasarkan PNAA


Tabel 3. Klasifikasi derajat serangan asma
5) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Fungsi Paru
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungi paru lainnya. Dengan alasan ini,
pengukuran PEF harus dibandingkan dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi PEF
harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak
ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah perbedaan nilai
(peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah
pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari
terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi.2
Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak minimal 12% setelah pemberian bronkodilator
inhalasi dengan atau tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma.2
Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan:
Variabilitas PEF atau FEV1 15%,
Kenaikan PEF atau FEV1 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,
Penurunan PEF atau FEV1 20% setelah provokasi bronkus.
Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama 2 minggu.2
b) Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonik
sangat menunjang diagnosis. Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian respons
saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang
negative dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasil positif tidak selalu berarti bahwa pasien
tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena hiperreaktivitas saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan
kondisi lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi menahun.2
c) Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif
Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik
yang spontan maupun yang diinduksi dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga merupakan
cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive. Walaupun pada pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi)
didapatkan eosinofilia pada sputum pasien dan peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat
membatu dalam diagnosis asma.2
6) Penatalaksanaan
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi.
Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.
Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara
klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:2
a) Serangan Asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat
serangan asma ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi
selama 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang.6-9
Sebelum pulang pasien dibekali obat 2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus
serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga dianjurkan
kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien
sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.2
b) Serangan Asma sedang
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial
(incomplete response) dan pasien perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan,
untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak
di unit gawat darurat (UGD).2 Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon dengan dosis
0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
c) Serangan Asma berat (status asmatikus)
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon yaitu gejala dan
tanda serangan masih ada. Pada keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti
napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan
nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan
intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus
langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum.
Pada ancaman henti napas hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau
PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.7-9 Nebulisasi dengan - agonis+antikolinergik
dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi 4-6 jam. Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per bolus setiap 6-8 jam dan
aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:17
Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis awal sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan
dalam dekstrosa 5% atau gram fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien telah mendapat
aminofilin sebelumnya (kurang dari 8 jam), dosis yang diberikan adalah setengah dari dosis inisial.18
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-20/ml.Selanjutnya, aminofilin dosis
rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.18
Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan pemberian aminofilin dan
kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali 2-agonis (hirupan atau
oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang tatalaksana.18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

2. Johnston MV. Seizures in Childhood In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed.
Philadelphia : WB Saunders Co;2007.p.2457-71

3. Stastrom CE. The Incidence and Prevalence of Febrile Seazures. In : Baram TZ, Shinnar S, ed, Febrile seizures. San Diego : Academic
press;2002.p.1-25

4. Shinnar S. Febrile Seizures. In: Swaiman K F, Ashwal S , Pediatric Neurology Principles and Practice.3. St Louis: Mosby. 1999: 676-
81

5. Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2009

6. Budiarto G. Patofisiologi Epilepsi. Dalam: Penatalaksanaan kejang yang rasional. Surabaya: Gramik FK UNAIR 1998: 1-20

7. Berg A T.Are Febrile Seizures Provoked by a Rapid Rise in Temperature. AJDC 1993; 147: 1101-3.

8. Soetomenggolo TS. 2000. Kejang demam. Dalam: Soetomonggolo TS, Ismael S (eds). Buku Ajar Neurologi Anak: Jakarta

9. Lyons, S. (2012). Febrile seizures. Nucleus Medical Media, Inc. http://www.med.nyu.edu/content?ChunkIID=102822

10. Saharso, D., et al, (2009). Kejang demam. Dalam: Pedomen pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI): 150-153.

11. Capovilla, G., Mastrangelo, M., Romeo, A., Vigevano, F., 2009. Recommendations for the management of febrile
seizures.Epilepsia, 50 (supple.1): 2-6.

12. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention asthma in children. 2011
13. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.

14. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71-
158.

15. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.

16. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012. 71-
158.

17. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Dapertemen Kesehatan RI. 2009.

18. Matondang MA, Lubis HM, Daulay RMpe. Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi pada Asma Anak. Majalah Kedokteran
Indonesia, Volume: 10, Nomor:5, 5 Februari. Sari Pediatri.

19. PDPI. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.

20. Bierman CW, Pearlman DS. Asthma. In: Chernick V, Kendig EL, eds. Kendigs disorders of the respiratory tract in children; 14th ed.
Philadelphia: WB saunders Company, 1990: 557-96

21. Anzueto AR, Schaberg T. Acute exacerbation of Chronic bronchitis. London. Science Press Ltd. 2003

Anda mungkin juga menyukai