Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL PENELITIAN

KARAKTERISTIK SABUN CUCI CAIR (LIQUID SOAP)


DENGAN VARIASI PENAMBAHAN MES (METIL ESTER
SULFONAT) DAN PENAMBAHAN EKSTRAK BUAH LERAK

Disusun Oleh :

IRMA
14/16874/THP

Dosen Pembimbing
1. Ngatirah, SP.MP
2. Ir. Kusumastuti , MSc

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN STIPER
YOGYAKARTA
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Karakteristik Sabun Cuci Cair (Liquid SOAP) Dengan Variasi


Penambahan MES (Metil Ester Sulfonat) Dan Penambahan Ekstrak Buah
Lerak

Dipersembahkan dan disusun oleh:

IRMA
14/16874/THP

Usulan penelitian ini diajukan kepada ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Stiper Yogyakarta untuk
memenuhi salah satu persyaratan penelitian guna memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian (S.TP)

Yogyakarta, 10 January 2016

Disetujui oleh
DosenPembimbing I DosenPembimbing II

(Ngatirah, SP, MP) ( Ir. Kusumastuti, MSc )

Mengetahui,

Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

( Ngatirah, SP, MP )
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan deterjen sebagai pembersih peralatan rumah tangga maupun
industri meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk di dunia
khususnya di Indonesia. Limbah buangan hasil cucian yang mengandung
deterjen seringkali dibuang secara langsung ke perairan baik sungai maupun
laut. Kadar deterjen yang tinggi dalam perairan dapat bersifat toksik bagi
organisme perairan sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem dan air tanah
yang nantinya dapat berdampak pada kehidupan manusia (Lewis, 1991)
Kandungan deterjen yang utama adalah surfaktan. Surfaktan merupakan
zat aktif permukaan (surface active agent) yang dapat menurunkan tegangan
permukaan suatu media, karena mempunyai kemampuan untuk
menggabungkan bagian antar fase yang berbeda seperti udara dan air ataupun
fase yang mempunyai kepolaran yang berbeda seperti minyak dan air. Sifat
ini disebabkan struktur ampifilik surfaktan yang memiliki gugus hidrofilik
(polar) dan gugus hidrofobik (Mehlin, dkk., 2007).
Surfaktan umumnya diproduksi dari bahan baku minyak bumi
(petroleum). Contohnya adalah surfaktan anionik seperti LAS (linier
alkylbenzene sulphonate) dan ABS (alkylbenzene sulphonate). Surfaktan
LAS yang sangat sering digunakan oleh masyarakat secara luas menimbulkan
masalah yakni LAS dapat membentuk fenol yang bersifat toksik bagi biota
perairan. Surfaktan ABS juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan
karena sulit terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme (Utomo, 2010).
Selain itu, bahan baku minyak bumi yang digunakan merupakan sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui sementara kebutuhan deterjen semakin
meningkat. Data kebutuhan akan surfaktan di Indonesia sekitar 95.000 ton
per tahun, sedangkan kapasitas produksi dalam negeri sekitar 55.000 ton per
tahun dan 45.000 ton masih diimpor yang diproduksi dari petroleum yang
tidak ramah lingkungan (Wuryaningsih, 2006). Oleh karena itu, diperlukan
alternatif bahan baku terbarukan yang nantinya dapat memenuhi kebutuhan
surfaktan, yakni dari minyak nabati salah satu surfaktan dari minyak nabati
adalah MES (Metil Ester Sulfonat).
Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang bermuatan
negatif pada gugus hidrofilik atau bagian aktif permukaan (Hui,1996). Bahan
baku metil ester sulfonat bersumber dari minyak transesterifikasi menjadi
metil ester metanolisis dan netralisasi.
Menurut Matheso (1996), metil ester sulfonat ini memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat penyabunan yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi, toleransi lebih baik terhadap
keberadaan kalsium, tidak ada fosfat, bersifat mudah didegradasi, pada
konsentrasi MES yang lebih rendah daya penyabunan sama dengan
petroleumsulfonat, memberikan tingkat detergensi terbaik karena memiliki
asam lemak C14, C16, dan C18 yang bersifat mudah didegradasi (good
biodegradability). Dan dapat mempertahankan aktifitas enzim.
Permasalahan yang terjadi kebanyakan dalam pembuatan liquid soap ini
tidak menyatunya larutan liquid soap, oleh karena itu perlu penambahan
emulsi, salah satu emulsi yang harus di tambahkan adalah ekstrak lerak, hal
ini di karenakan emulsi dari buah lerak sifatnya biodegradability (ramah
lingkungan), sedangkan jika menggunakan emulsi dari bahan kimia sifatnya
tidak ramah lingkungan. Buah lerak adalah Tanaman tropis di Indonesia
(terutama di hutan-hutan daerah Jawa dan Sumatera) yang mengandung
saponin dalam jumlah tinggi salah satu diantaranya adalah Sapindus rarak
atau lebih dikenal dengan pohon lerak. Saponin berasal dari bahasa latin soap
yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin
merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak
diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari
senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai
soapberry atau soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa
stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti :
ikan,siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan
hemolisis (rusaknya sel darah merah). Dan penstabil emulsi yang di gunakan
dalam pembuatan sabun cuci cair ini berasal dari buah lerak yang di gunakan.
(Syahroni (2013).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi :
1. Mengetahui pengaruh penambahan MES (Metil Ester Sulfonat) dan
penambahan ekstrak buah lerak dalam pembuatan sabun cuci cair
(Liquid Soap).
2. Mengetahui penambahan MES (Metil Ester Sulfonat) dan ekstrak buah
lerak yang paling baik.
C. Manfaat penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menjawab masalah lingkungan yang
ditimbulkan oleh deterjen, dengan formulasi deterjen menggunakan surfaktan
MES (Metil Ester Sulfonat) yang lebih mudah didegradasi, diharapkan dapat
tercipta deterjen yang ramah terhadap lingkungan. Pada penelitian ini akan
dikaji pengaruh konsentrasi surfaktan MES terhadap daya deterjensi deterjen,
sehingga deterjen yang dihasilkan mempunyai daya deterjensi yang baik,
lebih aman dan ramah lingkungan dan juga penambahan buah lerak dapat
menambah nilai ekonomis dalam pemanfaatan buah lerak yang banyak
mengandung saponifikasi yang tinggi, juga merupakan saponifikasi yang
ramah lingkungan. Selain itu dengan memanfatakan buah lerak sebagai
detergen liquit yang ramah lingkungan konsumen juga mendapat bahan
detergen yang tidak merusak produk konsumen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Potensi Kelapa Sawit sebagai Sumber hasil samping oleokemical


1. Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit memiliki taksonomi tidak jauh berbeda dari
kelapa. Hanya beda di tingkat genus saja. Nama latin kelapa sawit adalah
Elaeis. Di tingkat spesies, kelapa sawit terbagi menjadi 2 jenis, yaitu Elaeis
guineensis dan Elaeis oleifera. Kelapa sawit Elaeis guineensis dikenal
sebagai kelapa sawit Afrika karena berasal dari taksonomi kelapa sawit
Afrika Barat seperti Angola dan Gambia. Sedangkan Elaeis oleifera adalah
kelapa sawit Amerika karena aslinya berasal dari Amerika Tengah dan
Amerika Selatan. Berikut ini adalah klasifikasi ilmiah kelapa sawit sesuai
dengan urutan taksonnya (Pahan, 2008).
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyte
Division : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Subclass : Arecidae
Order : Arecales
Family : Arecaceae
Genus : Elaeis
Species : Elaeis guineensis (sawit Afrika)
Elaeis oleifera (sawit Amerika)
Gambar 1. Tabel kelasifikasih ilmiah kelapa sawit (Pahan,2008)
Kelapa sawit dapat menghasilkan dua jenis minyak yang sangat
berlainan, yaitu minyak yang berasal dari daging buah kelapa sawit disebut
minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) dan minyak yang berasal dari inti
sawit yang dinamakan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) (Ketaren,
2005).
2. Potensi kelapa sawit
Kelapa sawit adalah bibit minyak tanaman yang sangat efisien di dunia.
Satu hektar perkebunan kelapa sawit mampu menghasilkan hingga sepuluh
kali lebih banyak minyak dari tanaman biji minyak terkemuka lainnya,
terlihat pada gambar 1. Para produsen yang paling efisien mungkin
mencapai hasil setinggi delapan ton minyak per hektar. Di antara 10
minyak sayur utama kelapa sawit menyumbang 5,5% dari penggunaan
lahan global untuk budidaya, tetapi produksi 32,0% dari minyak dan lemak
global keluaran tahun 2012. Indonesia dan Malaysia memproduksi sekitar
85% minyak sawit dunia. Negara produsen lainnya termasuk Thailand,
Columbia, Nigeria, Papua Nugini dan Ekuador.

Gambar 1. Efisiensi sawit vs tanaman minyak utama lainnya


(Oil World, 2013)
Gambar di atas menjelaskan hasil rata-rata minyak (ton per hektar per
tahun). Dimana produksi minyak dunia khususnya minyak kelapa sawit,
memiliki efisiensi yang tinggi dibandingkan dengan produksi minyak
nabati lainnya. Hal ini dikaitkan dengan kebutuhan lahan yang digunakan
untuk mengembangkan produktivitasnya. Kelapa sawit hanya
menggunakan luasa lahan sekitar 5,5% dari total luasan daratan dunia.
Sedangkan produksinya mampu mencapai 32,0% dari total produksi
minyak global.
Minyak kelapa sawit adalah salah satu dari 17 minyak utama dan
lemak yang diproduksi secara global. China adalah konsumen terbesar
minyak dan lemak diikuti oleh Uni Eropa, India, Amerika Serikat. Diantara
17 minyak dan lemak, minyak sawit adalah minyak tertinggi dikonsumsi
pada tahun 2012, mencapai tiga miliar orang di 150 negara. Konsumsi
global untuk minyak sawit adalah 52.100.000 ton pada tahun 2012. Minyak
sawit kompetitif terhadap kedelai, rapeseed dan minyak bunga matahari di
pasar dunia untuk minyak dan lemak (Oil World, 2013).
3. Pemanfaatan Oleokemical
Oleokimia merupakan produk kimia yang berasal dari minyak atau
lemak, baik nabati maupun hewani. Pembuatannya dilakukan dengan cara
memutus struktur trigliserida dari minyak atau lemak tersebut menjadi
asam lemak dan gliserin, atau memodifikasi gugus fungsi karboksilat dan
hidroksilnya, baik secara kimia, fisika maupun biologi. Oleokimia dibagi
menjadi dua yaitu oleokimia dasar dan turunannya atau produk hilirnya.
Oleokimia dasar terdiri atas fatty acid, fatty methylester, fatty alcohol, fatty
amine dan gliserol (Staal, 1990).
Dalam perdagangan dikenal dua jenis oleokimia, yaitu oleokimia
alami dan oleokimia buatan. Oleokimia alami diperoleh dari minyak nabati
atau lemak hewan dan bersifat mudah terurai. Industri oleokimia dapat
mengkonversi minyak sawit menjadi oleokimia. Oleokimia buatan diperleh
dari minyak bumi (petrokimia) seperti propilen dan etilen yang bersifat
tidak mudah terurai. Tidak semua produk oleokimia dapat disubsitusikan
oleh prosuk petrokimia. Hanya gliserol dan fatty alcohol yang dapat
disubsitusi menggunakan propilen dan etilen sebagai bahan baku. Industri
oleokimia yang dimaksud dalam tulisan ini adalah industri antara yang
berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari
kedua jenis produk ini dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit
yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk
kategori pangan ataupun non pangan. Diantara kelompok industri antara
sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty
alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut
menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan
kosmetik (Staal, 1990).
Asam lemak metil ester (Fatty methylester) mempunyai peranan utama
dalam industri oleokimia. Metil ester digunakan sebagai senyawa
intermediate untuk sejumlah oleokimia yaitu seperti fatty alcohol,
alkanolamida, a-sulfonat, metil ester, gliserol monostearat, surfaktan
gliserin dan asam lemak lainnya. Metil ester mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan asam lemak (fatty acid), diantaranya yaitu:
1) Pemakaian energi sedikit karena membutuhkan suhu dan tekanan lebih
rendah dibandingkan dengan asam lemak. 2) Peralatan yang digunakan
murah. Metil ester bersifat non korosif dan metil ester dihasilkan pada suhu
dan tekanan lebih rendah, oleh karena itu proses pembuatan metil ester
menggunakan peralatan yang terbuat dari karbon steel, sedangkan asam
lemak bersifat korosif sehingga membutuhkan peralatan stainless steel
yang kuat. 3) lebih banyak menghasilkan hasil samping gliserin yaitu
konsentrat gliserin melalui reaksi transesterifikasi kering sehingga
menghasilkan konsentrat gliserin, sedangkan asam lemak, proses
pemecahan lemak menghasilkan gliserin yang masih mengandung air lebih
dari 80%, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak; 4) metil ester
lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan lebih stabil
terhadap panas; 5) dalam memproduksi alkanolamida, ester dapat
menghasilkan superamida dengan kemurnian lebih dari 90% dibandingkan
dengan asam lemak yang menghasilkan amida dengan kemurnian hanya
65-70%; 6) metil ester mudah dipindahkan dibandingkan asam lemak
karena sifat kimianya lebih stabil dan non korosif. Metil ester dihasilkan
melalui reaksi kimia esterifikasi dan transesterifikasi (Lower, 1996) .
Diagram proses pembuatan oleokimia dari minyak sawit maupun inti
sawit melalui proses splitting dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1. Diagram proses pembuatan oleokimia Dasar (Wiliams,
(ed). 1992).
B. Detergen
Detergen merupakan produk yang banyak digunakan oleh masyarakat
sebagai produk pembersih serba gunaa seperti membersikan bahan kain, alat
dapur, bahan kaca, keramik, metal bahan lantai. Penggunaan deterjen sebagai
pembersih peralatan rumah tangga maupun industri meningkat seiring dengan
bertambahnya penduduk di dunia khususnya di Indonesia. Limbah buangan
hasil cucian yang mengandung deterjen seringkali dibuang secara langsung
ke perairan baik sungai maupun laut. Kadar deterjen yang tinggi dalam
perairan dapat bersifat toksik bagi organisme perairan sehingga menimbulkan
kerusakan ekosistem dan air tanah yang nantinya dapat berdampak pada
kehidupan manusia (Lewis, 1991).
Kandungan deterjen yang utama adalah surfaktan. Fungsi surfaktan
adalah untuk meningkatkan daya pembasahan air sehingga kotoran yang
berlemak dapat dibasahi, mengendorkan dan mengangkat kotoran dari kain
dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Surfaktan yang biasa
digunakan dalam deterjen adalah linear alkilbenzene sulfonat yang fungsinya
alkil sulfat dan etoksisulfat bila dilarutkan dalam air akan berubah menjadi
partikel bermuatan negatif, memiliki daya bersih yang sangat baik, dan
biasanya berbusa banyak (biasanya digunakan untuk pencuci kain dan
pencuci piring). Etoksilat, tidak berubah menjadi partikel yang bermuatan,
busa yang dihasilkan sedikit, tapi dapat bekerja di air sadah (air yang
kandungan mineralnya tinggi), dan dapat mencuci dengan baik hampir semua
jenis kotoran. Senyawa amonium kuarterner merupakan berubah menjadi
partikel positif ketika terlarut dalam air, surfaktan ini biasanya digunakan
pada pelembut (softener). imidazolin dan betain dapat berubah menjadi
partikel positif, netral atau negatif bergantung pH air yang digunakan.
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan (surface active agent) yang dapat
menurunkan tegangan permukaan suatu media, karena mempunyai
kemampuan untuk menggabungkan bagian antar fase yang berbeda seperti
udara dan air ataupun fase yang mempunyai kepolaran yang berbeda seperti
minyak dan air. Sifat ini disebabkan struktur ampifilik surfaktan yang
memiliki gugus hidrofilik (polar) dan gugus hidrofobik (Mehlin, dkk., 2007).
C. MES (metil ester sulfonat)
Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik
(Matheson, 1996). MES dapat diperoleh melalui reaksi sulfonasi metil ester.
Metil ester diperoleh dengan melakukan reaksi esterifikasi terhadap asam
lemak atau transesterifikasi langsung terhadap minyak/lemak nabati dengan
alkohol (Gervasio, 1996). Minyak/lemak yang digunakan dapat diperoleh dari
minyak kelapa sawit (CPO/PKO).
Menurut De Groot (1991) terdapat beberapa pereaksi yang dapat
digunakan dalam proses sulfonasi, diantaranya gas SO3 murni, oleum, asam
klorosulfonat, asam sulfat dan NaHSO3. Selama proses sulfonasi gugus
sulfonat dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada
posisi alfa dan gugus ester. Bila SO3 terikat pada kedua tempat tersebut
akan terbentuk disulfonat. Selama berjalannya reaksi disulfonat bertindak
sebagai sulfonator bagi metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakukan
dengan cara melepaskan SO3 dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil
ester pada posisi alfa membentuk molekul MES (Gervasio, 1996). Reaksi
sulfonasi pembentukan metil ester sulfonat (MES) menurut Pore (1983) dapat
dilihat pada Gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins (2001) dapat
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1983)

Gambar 3. Struktur molekul metil ester sulfonat (Watkins, 2001)


Menurut Matheso (1996), metil ester sulfonat ini memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat penyabunan yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi, toleransi lebih baik terhadap
keberadaan kalsium, tidak ada fosfat, bersifat mudah didegradasi, pada
konsentrasi MES yang lebih rendah daya penyabunan sama dengan
petroleum sulfonat, memberikan tingkat detergensi terbaik karena memiliki
asam lemak C14, C16, dan C18 yang bersifat mudah didegradasi (good bio
degradability). Dan dapat mempertahankan aktifitas enzim.
Metil ester sulfonat dari minyak nabati mempunyai ikatan atom karbon
C10, C12, C14 yang bisa digunakan untuk light duty diwashing detergent,
sedangkan minyak nabati dengan ikatan atom karbon C16 - C18 bisa digunakan
untuk detergen bubuk dan detergen cair ( liquid laundry detergent)
(Watkins,2001).
Minyak sawit dipilih sebagai bahan baku pembuatan metil ester sulfonat
karena komponen asam lemak penyusun triglisridanya, yaitu asam lemak C16,
C18 mampu berperan terhadap kekerasan dan sifat detergensi, sedangkan
asam lemak C12, C14 berepran dalam efek pembusa (Yulisari et al., (1997)
dalam Adiandri, 2006).
D. Karakteristik dan kelebihan dari MES
Menurut Rosen (2004) dan Ahmad (2006) bahwa metil ester sulfonat
memiliki kelebihan yaitu sebagai efek pembersih yang lebih baik dibanding
linear alkylbenzene sulfonat (LAS). Selain itu kelebihan metil ester sulfonat
adalah, memiliki tingkat kesadahan tinggi, lebih mampu mempertahankan
aktivitas enzim, toleransi terhadap ion Ca lebih baik, memiliki kesadahan
rendah, bersifat teregjensi karena memiliki atom karbon C16 dan C18 , sifat
deterjensi yang lebih baik dibandingkan linear alkylbenzena sulfonat (LAS)
dan alkohol sulfat (AS) karena memiliki atom karbon C12 , lebih
menguntungkan dibanding dengan LAS , memiliki laju biodegradasi yang
serupa dengan alchol sulfat (AS)dan sabun tetap lebih cepat bila
dibandingkan dengan linear alkylbenene sulfonate (LAS) (Watkins, 2001),
serta memiliki sifat deterjensi yang baik dan ramah lingkungan (Hui,1996).
Menurut peter (2006) bahwa metil ester sulfonat menjadi aspek
perhatian di pasran cina karena memiliki karakteristik seperti mempunyai
daya deterjensi air dingin, masih memiliki daya detrejensi yang baik pada
deterjen yang mengandung pospor rendah atau tidak ada phosphor, lembut,
ramah lingkungan, dan kompak atau sesuai dengan senyawa aditif dalam
deterjen.
Cara pembuatan MES dilakukan dengan memanaskan metil ester diatas
penangas dan terus diaduk dengan kecepatan putaran 1000 rpm. Kemudian
pereaksi (NaHSO3) dimasukkan ke dalam reaktor berisi metil ester yang
telah bersuhu 40C sedikit demi sedikit hingga mencapai suhu 100C. Setelah
suhu reaksi mencapai 100C, reaktor didiamkan untuk proses sulfonasi
selama 4,5 jam. Pemisahan antara MES dengan residu pereaksi dilakukan
dengan sentrifugasi selama 15 menit (Savitri, 2003). Selanjutnya dilakukan
pemurnian MES yang dihasilkan dengan menambahkan metanol pada suhu
50C sebanyak 30 % dari jumlah MES, selama 1,5 jam. Pemurnian MES
tersebut dilakukan dengan menggunakan alat rotary evaporator. Kemudian
dilakukan pemisahan antara MES dan metanol dengan menguapkan metanol
pada suhu antara 70 - 80C selama 15 menit atau hingga tidak ada lagi aliran
metanol yang telah terkondensasi.
E. Buah Lerak
Sapindus rarak De Candole merupakan namabinomial dari lerak yang
dikenal di Jawa sebagai klerek, di Sunda sebagai rerek, di Palembang
sebagailamuran, di Kerinci sebagai kalikea, dan di Minang sebagai kanikia.
Lerak termasuk dalam divisi Spermatophyta yang tumbuh di daerah Jawa dan
Sumatera dengan ketinggian 450 1500 m di ataspermukaan air laut. Tinggi
tanaman dapat mencapai15 42 m dan batang kayunya berwarna putihkusam
berbentuk bulat dan keras itu dapat berukuran1 m. Biji tanaman berbentuk
bulat, keras, danberwarna hitam. Buahnya berbentuk bulat, keras, diameter
1,5 cm, dan berwarna kuning kecoklatan. Di dalam buah terdapat daging
buah yang aromanya wangi. (Menurut Vlack (1991) dalam Bayuseno (2009).
Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat dibeberapa jurnal
menyebutkan bahwa buah, kulit, batang, biji, dan daun tanaman lerak
mengandung saponin, alkohol, steroid, antikuinon, flavonoid, polifenol, dan
tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat
pada semua bagian tanaman Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat
pada bagian buah. Saponin berasal dari bahasa latin Sapo yang berarti sabun
karenasifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia
yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuh-
tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-
polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai soapberry atau soapnut.
Saponin memiliki sifatberasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat
racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan,siput, dan serangga), dapat
menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah
merah).
F. Mikroemulsi w/o
1. Defenisi Dari Mikroemulsi
Emulsi merupakan sediaan yang mengndung dua fase yang tidak
tercampur, biasanya air dan minyak, dimana cairan yang satu terdispersi
menjadi tetesan-tetesan kecil (droplet) dalam cairan lainnya yang
distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Menurut
ukuran droplet-nya emulsi terbagi menjadi tiga yaitu, makroemulsi,
mikroemulsi, dan nanoemulsi.
Mikroemulsi adalah sistem emulsi yang secara termodinamika stabil
dan transparan, biasanya terdiri dari minyak, surfaktan (kadang-kadang
dibantu co-surfaktan), dan air (Flanagan and singh, 2006). Menurut
Swarbrick (1995) fase terdispersi pada mikroemulsi berupa globula kecil
dengan ukuran partikel berkisar antara 10-100 nm, jika dibandingkan
dengan panjang gelombang cahaya yang berarti bahwa mikroemulsi hanya
menghamburkan cahaya lemah dan transfaran atau sedikit keruh (Kogan
dan Garti, 2006).
Mikroemulsi telah menarik minat banyak peneliti selama beberapa
tahun terakhir ini sebagai delivery system yang potensial karena sifat
transparansinya, kemudahan dalam menyiapkan dan stabilitas jangka
panjang (Kreilgaard, 2002).
Mikroemulsi mempunyai ukuran sangat kecil, menghasilkan larutan
yang transaparan. Mikroemulsi merupakan dispersi transparan yang terdiri
dari mikroglobula yang sferik (bulat) dari oil in water (o/w) atau water in
oil (o/w). Globula tersebut dilapisi oleh lapisan batasan antar muka yang
berasal dari surfaktan. Emulsi menghasilkan sediaan berwarna putih susu
(keruh) sementara mikroemulsi berupa sediaan transfaran yang dapat
dilihat secara kasat mata (Price, 1997).
2. Tipe Emulsi
Terdapat beberapa tipe mikroemulsi, yaitu mikroemulsi oil in water
(o/w), bicontinuous, dan water in oil (w/o).Untuk lebih memperjelas
perbedaan jenis mikroemulsi, berikut kenampakan molekul dari masing-
masing jenis mikroemulsi, dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tipe system dispersi mikroemulsi (Lawrence et al., 2000).


Bahan yang digunakan dalam pembuatan mikroemulsi adalah minyak,
air dan surfaktan. Air dan minyak difungsikan sebagai zat terdispersidan
zat pendispersi dalam mikroemulsi. Surfaktan atau kosurfaktan difungsikan
sebagai zat penstabil atau pengikat agar fase air dan minyak dapat menyatu
menjadi sebuah mikroemulsi. Air yang digunakan adalah air deionisasi
yang telah dihilangkan kandungan ion dan mineralnya. Berbeda dengan
aquadest dan air mineral biasa yang masil mengandung ion dan mineral
dalam air akan menjadi faktor pendorong terjadinya reaksi oksidasi dalam
minyak.
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air
dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Molekul surfaktan
memiliki bagian polar yang suka air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka minyak/lemak (lipofilik).
Menurut Hui (1996) Surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi 4
(empat) kelompok besar yaitu anionik, nonionik dan amfoterik. Masing-
masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku
yang berbeda. Jenis surfaktan dengan nilai hidrofilik lipofilik balance
(HLB) 3-5 akan membentuk sebuah emulsi air dalam minyak (w/o)
sedangkan surfaktan dengan nilai HLB 8-18 akan membentuk emulsi
minyak dalam air (o/w) (Flanagan dan sigh, 2006).
Semakin besar nilai HLB suatu surfaktan, maka surfaktan tersebut
semakin bersifat hidrofil. Tabel 2. menerangkan nilai HLB dalam
kaitannya dengan kegunaan di industri.
Tabel 2. Nilai HLB dan kegunaannya
HLB value Use
3-6 w/o emulsifiers
7-9 Humectans/ Wetting agent
8-18 o/w emulsifiers
13-15 Detergents
15-18 Turbidinity determined
Sumber: Belizt dan Grosch (1987)
Dalam sebuah pembuatan mikroemulsi o/w massa air lebih banyak
dari masa minyak. Air merupakan fase pendispersi dan minyak merupakan
fase terdispersi. Pembuatan mikroemulsi dengan mencampurkan surfaktan
dengan minyak terlebih dahulu. Air ditambahkan tetes demi tetes dengan
kecepatan stirrer tinggi. Jika campuran larutan transparan maka sistem
mikroemulsi telah terbentuk.
G. Karakteristik Sabun Dan Deterjen
1.1. Karakteristik Sabun
1.) Daya cuci yang baik
Daya cuci yang baik tidak akan terpengaruh oleh kesadahan air serta
merupakan garam Natrium dari asam sulfonat (Ratna,2010). Deterjen
sinteik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk
gram-gram tidak larut dengan ion-ion kalsium dari magnesium yang
biasa terdapat dalam air sadah. Deterjen sintetik mempunyai keuntungan
tambahan karena secara relatif bersifat asam kuat, oleh karena itu tidak
menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap suatu
karakteristik yang tidak nampak pada sabun (Setiyono et al,2010).
2.) Daya busa
Berdasarkan Soap and Deterjen Association (SDA) Amerika, 2003
bahwa busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk
dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 1200.
Formasi tersebut mirip dengan struktur sarang lebah. Dinding-dinding
yang terbentuk dari cairan ini memisahkan kotoran yang lepas di dalam
suspensi. Busa adalah gas yang terjebak oleh lapisan cairan yang
mengandung sejumlah molekul surfaktan yang teradsorsi pada lapisan
tipis tersebut. Dalam gelembung, gugus hidrofobik surfaktan akan
mengarah ke gas, sedangkan hidrofiliknya akan mengarah ke larutan
(Holmberg et al, 2003). Kemampuan pembentukan busa dari surfaktan
akan berubah dengan bertambahnya jumlah air dan perubahan suhu.
Stabilitas suatu busa ditentukan oleh tingkat elasitas lapisan tipisnya.
Pada umunya surfaktan yang memiliki daya busa yang tinggi akan
memiliki daya bersih yang juga tinggi. Akan tetapi surfaktan nonionik
walaupun daya busa relatif rendah, ternyata mempunyai daya bersih
yang tinggi dibandingkan dengan surfaktan anionik yang berdaya busa
tinggi (Holmberg et al,2003).
Daya busa deterjen yang berbahan surfaktan metil ester sulfonate lebih
sedikit menghasilkan busa bila dibandingkan dengan menggunakan SLS.
Hal ini disebabkan karena jenis bahan yang menggunakan SLS, apabila
mengalami penambahan air dan adanya suhu mengakibatkan kekentalan
larutan deterjen menjadi encer sehingga menimbulkan busa semangkin
meningkat pula. Menurut Holmberg et al. (2003) bahwa terbentuknya
busa pada deterjen disebabkan oleh bertambahnya jumblah air dan
perubahan suhu serta teradopsinya surfaktan pada lapisan cair sampai
tingkat elasitas lapisan tipis antara cairan dan busa yang di hasilkan.
Pada umumnya surfaktan yang memiliki daya busa tinggi akan memiliki
daya bersih yang juga tinggi, sedangkan surfaktan nonionik walaupun
daya busa relatif rendah, ternyata mempunyai daya bersih yang tinggi
dibanding dengan surfaktan anionik yang berdaya busa tinggi (Holmberg
et al. 2003). Semangkin panjang gugus hidrofobik (rantai hidrokarbon)
suatu ester asam lemak, makan stabilitas busanya akan semangkin
rendah karena strukturnya akan semangkin berubah (Durian & Weitz
(1993) dalam Indraswari, 2006).
3.) Biodegradebility maksimum
Menurut Matheso (1996), metil ester sulfonat ini memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat penyabunan yang baik terutama
pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi, toleransi lebih baik
terhadap keberadaan kalsium, tidak ada fosfat, bersifat mudah
didegradasi, pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya penyabunan
sama dengan petroleum sulfonat, memberikan tingkat detergensi terbaik
karena memiliki asam lemak C14, C16, dan C18 yang bersifat mudah
didegradasi (good bio degradability). Dan dapat mempertahankan
aktifitas enzim.
2.1 Karakteristik Fisikokimia Dan Kinerja Deterjen Cair
Sifat fisikokimia emulsi merupakan parameter yang menentukan
kualitas system emulsi. Karakteristik fisikokimia adalah nilai pH,
viskositas, bobot jenis, dan stabilitas emulsi. Sedangkan untuk
menentukan kualitas kinerja produk digunakan analisa terhadap
parameter daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi.
1. Nilai pH
Menurut teori asam-basa Lowry, asam sebagai zat yang mampu
menghasilkan proton dan basa sebagai penerima proton. Lebih lanjut
proton didefinisikan sebagai atom H yang kehilangan satu elektronnya
(H+) sehingga hanya memiliki satu muatan positif, dengan massa
sedikit lebih kecil dibanding atom H. Sedangkan teori asam-basa
Lewis, asam sebagai radikal, ion atau molekul yang sanggup
menerima elektron (Bird, 1993). Teori Arhenius menyebutkan bahwa
senyawa asam sanggup membebaskan ion hidrogen apabila dilarutkan
di dalam air. Kekuatan asam (derajat keasaman) ditentukan oleh sifat
basa dari pelarut yang digunakan (kemampuan menarik proton).
Derajat keasaman adalah fungsi logaritmik dari konsentrasi ion H+ di
dalam larutan (Respati, 1992).
2. Viskositas
Viskositas atau kekentalan adalah indeks hambatan alir cairan
(Bird, 1993; Respati, 1992). Di dalam Kodeks Kosmetika RI (1986),
viskositas didefinisikan sebagai tenaga yang diperlukan untuk
menggerakkan satu permukaan lain dalam kondisi yang ditentukan,
apabila ruang diantaranya diisi oleh cairan tersebut. Definisi lainnya
shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu
diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tersebut (Suryani
et. al., 2000). Standar Nasional Indonesia tidak mencantumkan nilai
viskositas yang harus dipenuhi oleh produk deterjen cair. Stephan Co.,
salah satu produsen surfaktan di Amerika menyatakan nilai viskositas
sediaan pembersih cair berada didalam kisaran 500 cp hingga 2000 cp.
3. Bobot Jenis
Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai berat suatu cairan
per satuan volume (ASTM, 2002). Menurut Waistra (1996) nilai bobot
jenis spesifik pada suhu tertentu. Bobot jenis deterjen cair ditentukan
oleh bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Perbedaan bobot
jenis komponen penyusun sebuah emulsi pada kisaran yang semakin
lebar akan menurunkan stabilitas emulsi tersebut dengan
meningkatnya kecederungan fenomena creaming.
4. Stabilitas Emulsi
Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh suhu, jenis dan konsentrasi
emulsifier, kondisi penyimpanan dan aktivitas mikroorganisme. Pada
dasarnya nilai stabilitas emulsi terkait dengan kualitas emulsi tersebut
dikaitkan dengan waktu. Dengan kata lain berkaitan dengan faktor
penyimpanan produk emulsi (Waistra, 1996).
5. Daya Pembusaan
Busa adalah agregat dari buih, sedangkan buih merupakan emulsi
gas dalam cairan (Stubenrauch et al., 2003; Bird, 1993). Buih-buih
yang saling berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang
saling membagi sudut menjadi 120. Formasi tersebut mirip dengan
sarang lebah. Dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan fase
gas dalam ruang-ruang polihedral. Pada proses pembersihan oleh
deterjen cair, busa berperan dalam mempertahankan kotoran yang
lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003).
6. Stabilitas Busa
Busa yang dihasilkan oleh produk deterjen cair juga harus stabil agar
bertahan lebih lama selama proses pencucian berjalan. Stabilitas busa
dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu
dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu. Selain
dipengaruhi oleh jenis surfaktan, stabilitas busa dipengaruhi oleh suhu
dan laju drainase (Stubenrauch et. al., 2003).
7. Daya Deterjensi
Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda
asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan
pencuci/perendam berupa larutan surfaktan. Sedangkan deterjen
merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan daya
pembersihan oleh air (Hanson, 1992). Proses deterjensi tejadi melalui
pembentukan missel-missel oleh surfaktan yang mampu membentuk
globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat pengotor terjadi
melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya
interaksi elektrostatik antar muatan (Hanson, 1992). Gambar mengenai
proses pembentukan missel-missel oleh surfaktan dapat dilihat pada
Gambar 7.

Gambar 7. Proses pembentukan misel-misel oleh surfaktan (Anonim,


2009)
Sedangkan menurut Hargreaves (2003) proses deterjensi oleh
deterjen adalah sebagai berikut, gugus hidrofobik surfaktan akan
berikatan dengan kotoran dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan
molekul air, sehingga membawa kotoran larut dalam air. Sedangkan
pada konsentrasi tinggi surfaktan akan membentuk missel dan kotoran
akan di hilangkan dari permukaan kain dengan melarutkannya dalam
bentuk mikro emulsi.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Bahan, Alat, Tempat dan Waktu Penelitian


1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan baku utama
dan bahan baku tambahan. Bahan baku utama dalam pembuatan liqid
detergen yaitu metil ester sulfonat, natrium karbonat, natreum sulfat,
natrium silikat, carboxy methyl cellulosa (CMC), asam stearat asam
oksalat, Liypozeime,buah lerak,air dan parfum.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur, elemayer,
gelas piala, pengaduk, baskom, mixer, blender, pH meter, visikometer,
kompor, saringan.
3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitan ini dilaksanakan di laboratorium Teknologi Hasil
Pertanian Instiper Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan selama 4
bulan mulai bulan February sampai bulan Mei tahun 2017.
B. Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Blok Lengkap
(RBL) menggunakan 2 faktor ( Gomez dan Gomez, 1984) yaitu penambahan
metil seter sulfonat (MES) (A) dan penambahan ekstrak buah lerak (B), yang
di susun secara faktorial dengan dua faktor yaitu:
a. Faktor pertama adalah penambahan metil ester sulfonat (MES) terdiri
tasa 3 farap, yaitu:
A1 = metil ester sulfonat 15 %
A2 = metil ester sulfonat 20 %
A3 = metil ester sulfonat 25 %
b. Faktor kedua adalah jumlah penambahan ekstrak air lerak yang terdiri
dari 3 taraf, yaitu:
B1 = 34 %
B2 = 29 %
B3 = 24 %
Dari kedua faktor tersebut diperoleh 3 x 3 = 9 kombinasi perlakuan.
Masing masing perlakuan ini diulang 2 kali sebagai blok/ ulangan sehingga
didapat 2 x 3 x 3 = 18 satuan eksperimentasi. Hasil pengamatan dianalisa
statistika dengan ANAKA, dan bila terdapat beda nyata antara perlakuan
maka dilakukan uji jarak berganda duncan (JBD) pada jenjang nyata 5%
(Gomez and Gomez, 1984). Untuk memadu pelaksanaan peneliti dibuat tata
letak dan urutan Eksperimental (TLUE) sebagai berikut:
Tabel 1. Tata letak Urutan Eksperimental (TLUE)
Blok I
1 2 3
A3B3 A1B1 A2B3
5 6
A2B2 4 A3B1 A2B1
7 4 9
A3B2 A1B3 A1B1

Blok II
1 2 3
A1B2 A2B3 A3B3
5 6
A3B1 4 A2B1 A2B2
7 4 9
A1B3 A1B1 A3B2

Keterangan :
1, 2, 3..... n = menunjukan urutan eksperimental
A&B = menunjukan urutan perlakuan
1 &2 = blok /ulangan
C. Cara Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan berurutan berdasarkan Tata Letak
Urutan Eksperimental (TLUE). Berdasarkan TLUE perlakuan pertama
yang dilakukan adalah A3B3 (MES 25 % dan ekstrak lerak 24 %).
Tahapan awal yang dilakukan yaitu
1. Pembuatan MES (Metil Ester Sulfonat)
pembuatan MES (metil ester sulfonat) yaitu dengan cara
membuat Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai bahan baku yang
mempunyai karakteristik (mampu menurunan tegangan permukaan
dan tegangan antar muka) sesuai yang dibutuhkan untuk pembuatan
deterjen cair ramah lingkungan. MES dibuat dengan cara reaksi
sulfonasi metil ester dengan NaHSO3. Perbandingan berat antara
metil ester dan NaHSO3 yang digunakan adalah 1:1,5. Reaksi
sulfonasi terjadi di dalam sebuah labu reaktor leher empat yang
dilengkapi dengan pendingin balik, thermometer, dan rotor sebagai
pengaduk. Cara pembuatan MES dilakukan dengan memanaskan
metil ester diatas penangas dan terus diaduk dengan kecepatan
putaran 1000 rpm. Kemudian pereaksi (NaHSO3) dimasukkan ke
dalam reaktor berisi metil ester yang telah bersuhu 40C sedikit
demi sedikit hingga mencapai suhu 100C. Setelah suhu reaksi
mencapai 100C, reaktor didiamkan untuk proses sulfonasi selama
4,5 jam. Pemisahan antara MES dengan residu pereaksi dilakukan
dengan sentrifugasi selama 15 menit (Savitri, 2003). Selanjutnya
dilakukan pemurnian MES yang dihasilkan dengan menambahkan
metanol pada suhu 50C sebanyak 30 % dari jumlah MES, selama
1,5 jam. Pemurnian MES tersebut dilakukan dengan menggunakan
alat rotary evaporator. Kemudian dilakukan pemisahan antara MES
dan metanol dengan menguapkan metanol pada suhu antara 70 -
80C selama 15 menit atau hingga tidak ada lagi aliran metanol
yang telah terkondensasi.
2. Pembuatan Ekstrak Lerak
Tahapan pembuatan ekstrak buah lerak dengan cara melakukan
tahapan penimbang buah lerak sebanyak 3 kg, selanjutnya
melakukan pencucian dan perendaman 30 menit, selanjutnya
melakukan peremasan buah lerak dengan perbandingan (1:1) antara
air dan buah lerak lalu melakukan penyaringan dan di diamkan
selama 30 menit dan lakukan pemisahan antara air lerak dan
ekstrak lerak yang di dapatkan sebanyak 3 liter .
3. Pembuatan Sabun Cuci Cair
Pembuatan sabun cuci cair dengan cara Berikut ini yaitu dengan
menambahkan MES (metil ester sulfonat) kedalam elemayer dengan
konsentrasi berbeda-beda, tahapan selanjutnya penambahan
Surfaktan natrium sebanyak (100 gr), Karbonat natrium sebanyak
(50 gr), Surfaktan natrium (50 gr), dan Lypozime sebanyak (50 gr) ,
selanjutnya dilakukan pengadukan secara homogen. Kemudian
tambahkan ekstrak buah lerak (B3) sebanyak 120 gram. Dilakukan
homogenisasi dengan melakukan pemanasan dan pengadukan 30
menit, angkat dan lakukan penambahan carboxy mettyl
cellulosa/CMC sebanyak 25 gram daan Natrium silika 50 gram, lalu
lakukan pemanasan sambil diaduk hingga 30 menit dan angkat
kemudian dinginkan dan tambahkan parfum sebanyak 5 gram dan
dihomogenisasi dan didapatkan deterjen liquid, sempel sebanyak
500 ml untuk dilakukan analisa stabilitas emulsi, derajat keasaman
(pH), bobot jenis/densitas, Viskositas, Stabilitas busa/daya busa dan
daya deterjensi.
Metil Ester

Peroses sulfonasi pada kondisi


NaHSO3
mol reaktor 1:1,5 suhu 1000C
lama reaksi 4,5 jam (1000
rpm)

Sentrifugasi 1500 rpm


selama 15 menit NaHSO3

Metanol Pemurnian
suhu 500C
selama 1,5 jam

Penguapan metanol
Suhu 77-780C Metanol
Selama 15 menit

Metil Ester Sulfonat

Analisa :

- Derajat
keasaman /pH
- Bobot
jenis/densitas
- Tegangan
Permukaan

Gambar 1.Diagram Alir Pembuatan Metil Ester Sulfonat (Hidayat,2008)


Buah lerak sebanyak 3 kg

Melakukan penimbangan buah lerak

melakukan pencucian dan perendaman 30


menit

Melakukan peremasan buah lerak dengan


perbandingan (1:1) antara air dan buah lerak

Melakukan penyaringan 30 menit untuk


memisahkan antara air lerak dan ekstraknya.

Ekstrak buah lerak

Gambar 2. Diagram alir Pembuatan ekstrak buah lerak.


MES (Metil Ester Sulfonat)

A1 = 15% A2 = 20% A3 = 25%

Penambahan Surfaktan natrium 10%, karbonat natrium 10%,


Surfaktan Sulfat 10%, Oxalic acid 5% dan Lypozime 10%

Pengadukan secara homogen

ekstrak lerak

B1 = 34% B2 = 29% B3 = 24%

Peng homogenisasian ( pemanasan dan pengadukan)

Penambahan carboxy mettyl cellilosa / CMC 5% dan


Nitrium silika 10%

Penghomogenisasian ( pemanasan dan pengadukan)

Pendinginan Analisa :

- Stabilitas emulsi
Penambahan parfum 1% - Derajat keasaman
(pH)
Penghomogenisaisan - Bobot jenis/
(pengadukan) densitas
- Viskositas
Detergen liquid - Stabilitas
busa/daya busa
- Daya detergensi

Gambar 3. Diagram alir pembuatan liquid soap.


D. Evaluasi Hasil Penelitian
Analisis yang dihasilkan terhadap pembuatan liqiud detergen dari
Mes (metil ester sulfonat) meliputi:
1. Pengujian stabilitas emulsi dengan metode gerak ( Acton dan
Saffle,1970)
2. Pengujian derajat keasaman (Ph) dengan metode pH meter (rosein,
1996).
3. Pengujian bobot jenis /Densitas dengan metode (SNI 06-4075-1996).
4. Pengujian viskositas metode spinder (Hidayat, 2009).
5. Pengujian stabilitas busa /daya pembusa dengan metode difusi
(Malayasian Palm Oil Board, 2001).
6. Pengujian daya deterjensi dengan metode optimasi (Lynn, 2005).
7. Pengujian tegangan permukaan dengan metode DuNouy (Zajic dan
Steffens, 1984).
LAMPIRAN I. PROSEDUR ANALISIS

A. Analisis Setabilitas Emulsi ( Acton dan Saffle,1970)

- Masukan sempel deterjen cair sebanyak 10 gram kedalam cawan


- Kemudian masukan cawan kedalam oven dengan suhu 450C selama 1
jam
- Tahapan selanjutnya masukan cawan kedalam pendingin/desikator
bersuhu di bawah 00C selama 1 jam.
- Kemudian masukan kedalam oven dengan suhu 450C dan biarkan
sampai beratnya konstan. Setabilitas emulsi dapat dihitung
berdasarkan rumus berikut :


SE (%) = 100%

B. Analisa Derajat Keasaman (pH) (Rosein, 1996).

- Menimbang sebanyak 1 gram sempel kemudian masukan ke dalam


tabung
- Ukur pH contohnya menggunakan kertas pH atau pHmeter.
C. Analisa Bobot Jenis / Densitas (SNI 06-4075-1996)

- Piknometer dibersihkan dan dikeringkan.


- Piknometer kering ditimbang dan dicatat beratnya sebagai A
- kemudian diisi dengan air destilasi dan direndam dalam air dingin
hingga suhunya mencapai 25C.
- Piknometer berisi air destilata dikeluarkan dari rendaman dan
didiamkan hingga mencapai suhu ruang untuk ditimbang dan dicatat
beratnya sebagai B.
- Nilai volume pikometer diperoleh dengan perhitungan berikut;

Vpiknometer = (B A)* BJ air pada suhu


pengukuran
Hal yang sama dilakukan dengan mengganti air destilata dengan
sampel dan beratnya dicatat sebagai C. Bobot jenis sampel diperoleh
dengan perhitungan
berikut:
BJsampel = C/Vpiknometer

D. Analisa Viskositas (Hidayat, 2009)

- Sebanyak 120 ml sampel diukur viskositasnya dengan spindle nomor


dua dengan kecepatan 30 rpm.
- Nilai yang terbaca dikalikan dengan faktor konversi 10 dengan satuan
centipoises (cp).
E. Analisa Stabilitas Busa/ Daya Busa (Malayasian Palm Oil Board, 2001)

- Larutan sampel 0.1% sebanyak 200 ml diblender pada kecepatan level


satu selama tiga detik
- kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 500 ml.
- Volume busa dicatat setelah didiamkan selama 0.5 menit dan 5.5
menit.
- Nilai daya pembusaan adalah volume busa setelah pendiaman selama
0.5 menit.
- Stabilitas busa adalah perbandingan volume busa ketika 5.5 menit
terhadap volume busa 0.5 menit.
F. Analisa Daya Detergensi/Daya Bersih (Lynn, 2005)

- Sampel sebanyak 1 ml dilarutkan di dalam air 99 ml ( 1% v/v


deterjen), dan digunakan sebagai larutan perendaman.
- Pengukuran nilai kekeruhan dilakukan dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 540 nm.
- Nilai kekeruhan larutan deterjen 1 % dicatat sebagai T1, dengan
menggunakan air akuades sebagai standar.
- Kain putih bersih berbentuk bunjur sangkar dengan luas 25 m2
direndam dalam larutan pencucian selama 30 menit.
- Setelah perendaman kain bersih, larutan diukur kekeruhannya lalu
dikurangi dengan T1 dan dinyatakan sebagai OD (Original Dirt).
- Kain putih dari jenis dan ukuran yang sama direndam dalam larutan
zat pengotor (kecap manis) dengan konsentrasi 10 % selama 30 menit,
kemudian ditiriskan di dalam larutan perendaman selama 30 menit.
Nilai kekeruhan setelah perendaman kain kotor dinyatakan sebagai T2.
Nilai daya deterjensi dinyatakan sebagai nilai kekeruhan yang
dihasikan dalam unit FTU Turbidity (Formazyn turbidity unit).

Daya deterjensi = T2 T1 - OD

G. Analisa Tegangan Permukaan DuNouy (Zajic dan Steffens, 1984)

- Metode pengujian dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan


larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer Du-Nuoy.
- Larutan yang digunakan adalah akuades dan larutan surfaktan
sebanyak 10%.
- Peralatan dan wadah yang digunakan harus dalam keadaan bersih.
- Posisi alat diatur supaya horizontal dengan waterpass dan diletakkan
pada tempat yang aman. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas
dan diletakkan pada dudukan (platform) pada tensiometer. Suhu cairan
pada sampel diukur dan dicatat.
- Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut
(lingkaran cincin tercelup 3-5 mm dibawah permukaan cairan).
- Skala vernier tensiometer diset pada posisi nol dan jarum petunjuk
harus berada pada garis berimpit dengan garis pada kaca.
- Selanjutnya platform diturunkan secara perlahan, dan pada saat yang
bersamaan skup kanan diputar sampai film cairan tepat putus.
- Pada saat ini dilakukan pembacaan skala. Pengujian dilakukan
minimal dua kali pengulangan. Kemudian dibandingkan nilai tegangan
permukaan antara sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.
DAFTAR PUSTAKA

Adindari. 2006. Kajian Pengaruh Konsentrasi Metanol dan Las Reaksi Pada
Proses Pemurnian Metil Ester Sulfonat Terhadap Karakteristik
Deterjen Bubuk. Skripsi Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor . Bogir
Ahmad Salmiah. 2006. Methly Ester Sulfonates Industry Poll. Biorenewble
Resources no. 3 Chemitho.
Badan Standarisasi Nasional. 1996, SNI Nomor 06-4075-1996 tentang dterjen
cuci cair. Badan Standarisai Nasional. Jakarta.
Bird, T. 1993. Kimia Fisika untuk Universitas. PT. Gramedia, Jakarta.
Durian DJ, Weitz DA. 1993. Foams. Di dalam: Kroschwitz Jl, editor.
Encyclopedia of Chemical Technology. Ed Ke-4. Volume ke-11. New
York: Wiley Interscienece. hlm. 783-802.
Fitrawati, Juni. 2007. Skripsi Efek Antifungal BerbagaiSediaan dari Buah Lerak
Terhadap Candida albicans(Penelitian In Vitro). Medan : Fakultas
KedokteranUniversitas Sumatera Utara.
Flanagan, J. and Singh, H., 2006. Microemulsions: a potential delivery system for
bioactives in food. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 46:
221-237.
Gomez, K.A dan A.A Gomez, 1984. Staiatical Procedures For Agricultural
Research 2ndEdition, Wiley. Pp.100-104.

Ketaren, S., 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.

Kogan, A. dan Garti, N., 2006. Microemulsions as Transdermal Drug Delivery


Vehicles, adv Colloid Interfac; 123-126, 369-385.

Kreilgaard, M., 2005. Influence of microemulsions on cutaneous drug delivery,


Adv. Drug Deliv. Rev. 54: 77-98.
Haryani, K. dan Hargono, 2010, Pengaruh Jenis Solvent dan variasi Tray pada
Pengambilan Minyak Nyamplung dengan Metode Ekstraksi Kolom,
Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan, UNDIP,
Semarang.
Hanson, A. L. 1992. Encyclopedia of Science and Technology Vol-5 7th edition.
Mc Graw-Hill, Inc.
Hargreaves, T. 2003. Chemical Formulation : an overview surfactant-based
preparation used in everyday life. RSC Paperbacks: Cambridge.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta :Badan Litbang
Kehutanan.
Hidayati, S., Ilmi dan P. Permadi. 2008. Optimasi Proses Sulfonasi untuk
Memproduksi Metil Ester Sulfonat dari Minyak Sawit Kasar. Jurnal.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. 2008, 17-18
November 2008. Universitas Lampung.
Holmberg K, Jonsson B, 2003. Kimia Organik Edisi Kesebelas. Erlangga. Jakarta.
Hui, Y.H. 1996. Baileys Industrial and Fat product. 5 edition. Vol. 3. John Willey
& Sons, Inc., New York.
Lewis, M. A., 1991, Chronic and Sublethal Toxicities of Sutfactants to Aquatic
Animals, A Review and Risk Assessment. Wat. Res, 25(1), 101-113.
Lower,E. 1996. Using fatty acid esters in cosmetic. Manufacturi chemist No.1:34-
36.
Mehling, A., M. Kleber, H. Hensen, 2007, Comparative Studies on the Ocular and
Dermal Irritation Potential of Surfactants, Jurnal Food and Chem
Toxicol, 14, 747-758.
Matheson. K.L. 1996. Surfaktan Raw Materials. Classification, Synthesis, A
Theoritical And Practical Review. USA; AOCS press.
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penerba Swadaya. Jakarta.
Peter Xia. 2006. Mettyl Estre Sulfonat Industri Poll. Biorenewable Resources
no.3. Chemiton.
Respati. 1992. Dasar-dasar Ilmu Kimia untuk Universitas. Rineka
Cipta,Yogyakarata.
Sukmasari, May dan Tjitjah Fatimah. 2006. Analisis KadarSaponin dalam Daun
Kumis Kucing DenganMenggunakan Metode TLC-Scanner.
JurnalTemu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.Pusat
Penelitian.
Suryani, A., I. Sailah, dan E. Hambali. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian, Bogor.
Stubenrauch, C., et.,al. 2003. Tenside Surfactants Detergents: A New
Experimental Technique to Measure the Drainage and Life Time of
Foams. Hanser, Deutschland-Munchen.
Staal, L.H. 1990. To esters via biotechnology. Proceeding of World Conference
on Oleochemical (Applewhite, T.H ed.). AOCS, lllinois, USA:279-287
Syahroni, Yan Yanuar dan Djoko Prijono. 2013. AktivitasInsektisida Ekstrak
Buah Piper aduncumL. (Piperaceae) dan Sapindus rarak
DC.(Sapindaceae) serta Campurannya TerhadapLarva Crocidolomia
pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia
Volume10 Nomor 1 : 39 50 April 2013. DepartemenProteksi
Tanaman. Fakultas Pertanian. InstitutPertanian.
Waistra, P. 1996. Encyclopedia of Emulsion Technology. Tire Dekkle Inc., New
York- USA.
Wiliams, D.F. (ed). 1992. Chemistry and technologi of the cosmetics and toiletries
industry. Blacke Ac., London.331 pp.

Widowati L. 2003. Sapindus rarak DC. In : LemmensRHMJ. Bunyapraphastsara


N (Eds). PlantResources of South-East Asia Vol 12 (3).Medicinal and
Poisonous Plants. pp. 358-359.Bogor : Prosea.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai