Anda di halaman 1dari 44

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.2 Defenisi Lansia

Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia

tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,

dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah

seseorang yang mencapai berusia 55 tahun yang merupakan kelompok orang

lansia yang mengalami proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan

merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut Kemkes RI (2010)

lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Pada usia ini adalah

fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya

perubahan dalam hidup. Sebagaimana di ketahui, ketika manusia mencapai usia

dewasa, maka seseorang mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan

anak. Ketika kondisi hidup berubah seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi

ini, dan selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian meninggal dunia. Bagi

manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru

dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi

lingkunganya (Darmojo, 2004).

Perubahan ini adalah hal yang normal dalam satu siklus kehidupan manusia,

dengan perubahan fisik, psikososial dan tingkah laku yang terjadi pada semua

orang pada saat mereka mencapai tahapan usia lanjut dimasa ini seseorang

senantiasa mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap

(Azizah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
7

2.1.2 Karakteristik Lansia

Ada beberapa karakteristik lansia yang perlu diidentifikasi berdasarkan data

demografi untuk mengetahui keberadaan masalah-masalah kesehatan lansia yaitu:

jenis kelamin diamana jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan.

Selain itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi

antara lansia laki-laki dan perempuan. misalnya, lansia laki-laki banyak menderita

hipertropi prostat, sementara lansia perempuan menderita osteoporosis. Status

Perkawinan, yang masih berpasangan atau sudah hidup sendiri (duda/janda)

mempengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun kondisi kesehatan secara

psikososial pada lansia umumnya.

Penataan kehidupan lansia bervariasi, keadaan pasangan yang masih

menanggung keluarganya : anak atau keluarga lainnya, tempat tinggal, rumah

sendiri, suasana tinggal bersama dengan anak atau keluarga besar, atau tinggal

sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari

keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anak-

anaknya. Walaupun ada kecenderungan bahwa lansia akan ditempatkan oleh

anaknya atau keluarganya dalam rumah yang berbeda. Kondisi kesehatan lansia

dan kondisi kemampuan umum dalam beraktivitas sehari-hari dapat dioptimalkan

sehingga tidak tergantung kepada orang lain, seperti; makan/minum, berpindah,

kebersihan diri mandi, mengganti pakaian sendiri, buang air kecil dan buang air

besar. Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan lansia menjadi tidak produktif

lagi dan mengalami tergantung kepada orang lain. Hal ini harus diupayakan untuk

meminimalkan resiko penyakit yang timbul dengan melakukan kontrol secara

rutin ke pelayanan kesehatan.


Universitas Sumatera Utara
8

2.2 Proses Menua

Menua adalah suatu proses alami dalam kehidupan yang tidak dapat

dihindari oleh manusia, proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup

manusia yang akan dialami oleh setiap individu secara terus-menerus dan

berkesinambungan (Surilena &Agus, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan

perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi fisiologis dari berbagai

sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia sehingga

menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau perubahan pada

fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008).

2.2.1 Perubahan-Perubahan Pada Lansia

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat

dari kehilangan yang bersifat bertahap. Berdasarkan perbandingan yang diamati

antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan

fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai usia sekitar 40 tahun. Namun demikian,

perubahan pada seorang lanjut usia akan mengalami perlambatan mulai pada usia

70 tahun (Setiadi, 2006). Menurut Arisman (2004) kekuatan, ketahanan dan

kelenturan otot rangka berkurang. Sehingga kepala dan leher terfleksi ke depan,

sementara ruas tulang belakang mengalami pembengkakan (kifosis), panggul dan

lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu

sehingga menimbulkan beberapa masalah kemunduran dan kelemahan pada

lansia, seperti pergerakan, kestabilan terganggu dan terjadinya resiko jatuh:

Intelektual terganggu (demensia), Depresi, Inkontinensia dan impotensia,

Defisiensi imunologis, Infeksi, konstipasi dan malnutris, insomnia, kemunduran


Universitas Sumatera Utara
9

penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi dan integrasi kulit,

kemunduran proses penyembuhan penyakit yang diderita. Perubahan fisik pada

lansia diantaranya : sistem penglihatan pada lansia sangat erat kaitannya dengan

prebiopi, dimana lensa kehilangan elastis dan kaku, otot penyangga lensa lemah,

ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh dan dekat berkurang,

penggunaan kacamata dan sistem penerangan perlu diperhatikan.

Sistem Pendengaran pada lansia merupakan kemampuan daya pendengaran

pada telinga dalam, terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang

tidak jelas dan sulit dimengerti kata-kata terjadi pada lansia diatas 60 tahun.Sistem

Integumen kulit pada lansia sudah mulai kendur, tidak elastis, mengerut dan kulit

akan kekurangan cairan sehingga akan menjadi tipis dan berbecak. Kulit timbul

pigmen berwarna coklat, perubahan kulit dipengaruhi oleh faktor lingkungan

antara lain angin, sinar ultra violet. Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan

sistem muskuloskeletalpada lansia seperti kulit, tendon, tulang, kartilago dan

jaringan pengikat. Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya

fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan nyeri, penurunan kekuatan otot,

sulit bergerak dari duduk ke berdiri dan jongkok hambatan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.

2.3 Resiko Jatuh pada Lansia

Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau keluarga

yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring,

terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan

kesadaran atau luka (Darmojo, 1999). Negara Amerika Serikat menunjukkan


Universitas Sumatera Utara
10

bahwa 5% lanjut usia yang jatuh mengalami patah tulang iga (sterm), humerus

(tulang lengan), pelvis dan patah tulang paha (fractura columna femoris), dan 5%

diantaranya mengalami perlukaan jaringan lunak subdural haematoma, memar dan

keseleo otot (Kane (1994). Menurut (Stanley, 2006) resiko jatuh adalah suatu

kejadian yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada di lantai tanpa

disengaja. Bukan merupakan jatuh bila kejadian jatuh diakibatkan pukulan keras,

kehilangan kesadaran atau kejang. Kejadian jatuh merupakan penyebab spesifik

yang berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh.

Jatuh sering terjadi pada lansia, berdasarkan hasil survei di AS, terdapat

30% lansia berumur lebih dari 65 tahun mengalami jatuh setiap tahunnya (Tinetti,

1992). Menurut Gunarto (2005) bahwa 31%-48% lansia mengalami jatuh karena

gangguan keseimbangan, dan setiap tahunnya 30%-40% lansia dirumah

mengalami kecelakaan jatuh (Flaherty et al.2003, dalam Potter & Perry, 2009).

Gangguan muskuloskeletal merupakan penyebab gangguan pada berjalan dan

keseimbangan yang dapat mengakibatkan kelambanan gerak, kaki cenderung

mudah goyah, serta penurunan kemampuan mengantisipasi terpeleset, tersandung,

dan respon yang lambat memudahkan terjadinya jatuh pada lansia (Reuben, 1996;

Kane, 1994; Tinetti, 1992; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo,

2004). Resiko jatuh dianggap sebagai konsekuensi alami menjadi tua, jatuh bukan

bagian normal dari proses penuaan, setiap tahunya sekitar 30% lansia yang tinggal

di rumah meningkat dari 25% usia 70 tahun menjadi 35% setelah usia >75 tahun.

Lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh lebih sering dari pada yang berada

di rumah karena mereka lebih rentan dan memiliki lebih banyak disabilitas.
Universitas Sumatera Utara
11

Sekitar 50% lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh dan umumnya mereka

mengalaminya beberapa kali (Miller, 2007).

Faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah faktor

internal seperti penyakit yang diderita, gangguan penglihatan, gangguan adaptasi,

gangguan kognitif, kardiovaskular seperti hipotensi postural atau sinkop, gelap,

infeksi telinga, lemah otot tungkai, penyakit sistemik dan reaksi negatif obat-obat,

maupun faktor eksternal lingkungan seperti kondisi tangga, lantai licin atau basah,

pencahayaan yang kurang, toilet jauh dari kamar, kondisi terlalu rendah, sepatu

yang buruk atau dengan sol licin, tempat tidur terlalu tinggi atau rendah, alat

rumah tangga yang dapat menyebabkan jatuh seperti karpet, kaki kursi, dan kabel

listrik (Kemkes, 2010). Beberapa faktor resiko yang teridentifikasi sebagai

penyebab berpotensi jatuh adalah kelemahan otot, gangguan koordinasi,

penggunaan obat-obat, dan resiko jatuh meningkat seiring dengan peningkatan

jumlah faktor resiko pada lansia (Tinetti, 1994). Hal ini juga sangat erat kaitannya

dengan perubahan fisik khususnya kelemahan otot, kehilangan keseimbangan dan

kelelahan fisik (Victoria et al., 2004).

Hal yang sama dikemukakan oleh para ahli bahwa faktor yang

mempengaruhi terjadinya resiko jatuh adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik yang

berhubungan dengan aktivitas (Miller, 2004). Faktor sensorik yang berperan

terhadap resiko jatuh adalah sistem penglihatan (visus) dan pendengaran,

perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan dan perubahan

pada telinga menimbulkan gangguan pendengaran. Sistem Saraf Pusat (SSP)

seperti stroke dan parkinson, sering diderita oleh lanjut usia dan menyebabkan

gangguan fungsi SSP sehingga tidak baik terhadap sensorik. Kognitif, dimensia
Universitas Sumatera Utara
12

diisolasikan dengan resiko jatuh pada lansia. Faktor muskuloskeletal ini betul-

betul berperan besar terjadinya resiko jatuh pada lansia. Gangguan

musculoskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan

dengan proses menua yang fisiologis. Misalnya berkurangnya massa otot,

perlambatan konduksi saraf dan lapang pandang dapat menyebabkan penurunan

sendi, extremitas dan goyangan badan.

2.4 Faktor-Faktor Resiko Jatuh

Faktor-faktor resiko jatuh pada lansia digolongkan menjadi dua yaitu faktor

intrinsik dan faktor ekstrinsik sebagaimana diuraikan berikut ini.

2.4.1 Faktor Intrinsik

Faktor-faktor intrinsik hal yang berasal dari dalam tubuh lansia sendiri,

antara lain yaitu gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan sistem anggota

gerak seperti kelemahan otot ekstremitas bawah dan kekuatan sendi, gangguan

sistem susunan saraf seperti neuropati perifer, gangguan pendengaran, gangguan

penglihatan, gangguan psikologis, infeksi telinga, gangguan adaptasi gelap,

pengaruh obat-obatan yang dipakai (diazepam, antidepresi, dan anti hipertensi),

vertigo, atritis lutut, sinkop dan pusing, penyakit-penyakit sistemik.

Gangguan jantung adalah tanda dan gejala gangguan jantung pada lanjut

usia nyeri pada daerah prekordial dan sesak napas seringkali dirasakan pada

penderita penyakit jantung diusia lanjut, rasa cepat lelah yang berlebihan

seringkali ditemukan sebagai dampak dari sesak napas yang biasanya terjadi

ditengah malam. Gejala lainnya adalah kebingungan, muntah-muntah dan nyeri

pada perut karna pengaruh bendungan hepar atau keluhan insomnia. Bising
Universitas Sumatera Utara
13

sinsolik banyak dijumpai pada penderita lanjut usia, sekitar 60% dari jumlah

penderita, dalam penemuan lain juga dilaporkan bahwa bising sistolik tanpa

keluhan ditemukan pada 26% penderita yang berusia 65 tahun keatas. Gangguan

jantung dapat dijumpai kekakuan pada arteria koroner, cincin katup miral, katup

aorta, miokardium, dan pericardium, kelainan-kelainan tersebut selalu merupakan

keadaan yang abnormal (Darmojo, 2004). Gangguan jantung pada lansia seperti

hipertensi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg

dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena menurunnya

elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu

terjadinya stroke, kerusakkan pembuluh darah (arteri osclerosis), serangan/gagal

jantung sehingga dapat menyebabkan kejadian jatuh pada lansia (Darmojo, 2000).

Gangguan sistem anggota gerak merupakan bagian sindroma neurologik

berupa gerakkan berlebihan yang tidak berkaitan dengan kelemahan (paresis).

Gangguan gerak bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini diakibatkan

karena proses penuaan itu sendiri serta penggunaan obat-obatan yang dapat

mencetuskan terjadinya gangguan tersebut (Miller, 2005). Pengobatan pada pasien

geriatrik penting untuk diperhatikan apakah gangguan tersebut berasal karena

proses penuaan atau sungguh merupakan gangguan gerak disebabkan karena

kelainan pada ganglia basal, dibagi menjadi 2 yaitu hipokinetik dan hiperkinetik.

Gangguan hipokinetik diartikan adanya hipokinesia (berkurangnya amplitude

gerakkan), bradikinesia (melambatnya gerakkan), akinesia (hilangnya gerakkan),

seperti pada penyakit Parkinson. Gangguan hiperkinetik terjadi gerakkan berlebih,

abnormal, dan involunter, seperti pada tremor, athetosis, dystonia, hemibalismus,

chorea, myoclonus, dan tic. Gangguan sistem saraf pusat


Universitas Sumatera Utara
14

sering dialami para lansia dengan potensial resiko 10% kehilangan yang diketahui

pada usia 80 tahun. Perubahan sistem sensorik terdiri dari sentuhan, pembauan,

perasa, penglihatan, dan pendengaran. Perubahan pada indra pembauan dan

pengecapan dapat mempengaruhi lansia dalam mempertahankan nutrisi yang

adekuat, penurunan sensivitas sentuhan terjadi pada lansia seperti berkurangnya

neuron sensori yang secara efisien memberikan sinyal deteksi, lokasi, dan

identifikasi sentuhan atau tekanan yang dialami pada area kulit. Lansia juga sering

mengalami kehilangan sensasi dan persepsi informasi yang mengatur pergerakkan

tubuh dan posisi serta hilangnya fiber sensori, reseptor vibrasi dan sentuhan dari

ekstremitas bawah yang menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk

memperbaiki pergerakkan sendi pada lansia yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan ketidakseimbangan tubuh sehingga terjatuh (Mauk, 2010).

Gangguan penglihatan adalah perubahan yang terjadi pada ukuran pupil

menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi,

lensa menguning dan berangsur-rangsur menjadi lebih buram mengakibatkan

katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk melihat menerima dan

membedakan warna-warna. Gangguan sistem penglihatan pada lansia merupakan

salah satu masalah penting yang dihadapi oleh lansia ini terjadi akibat penuruna

fungsi penglihatan pada lansia membuat kepercayaan diri lansia berkurang dan

mempengaruhi dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari. Perubahan sistem

penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan

termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, kontraksi pupil

akubat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak). Mata

adalah organ sensorik yang berfungsi untk mentransmisikan rangsang melalui


Universitas Sumatera Utara
15

jarak pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa penglihatan ini diterima sesuai

dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan yang terjadi

diantaranya garis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada peria, dan menjadi

tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Kunjungtiva menipis dan

berwarna kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimaris yang berfungsi

untuk melembabkan dan melumasi konjungtiva akan menurun dan cenderung

cepat menguap, sehingga mengakibatkan konjungtiva lebih kering. Kondisi ini

memungkinkan terjadi ketidakawasan klien lansia dalam beraktifitas.

Mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun

dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa

mongering dan berangsur-angsur menjadi lebih buram mengakibatkan katarak,

sehingga mempengaruhi kemampuan untuk menerima dan membedakan warna-

warna. Warna gelap seperti coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan

dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat

dalam cahaya gelap) menempatkan pada lansia resiko cedera, sementara cahaya

menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk

membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal diatas dapat mempengaruhi

kemampuan fungsional pada lansia. Gangguan ketajaman pada penglihatan dapat

disebabkan oleh presbiop kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang),

kekeruhan pada lensa (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma),

radang saraf mata (Cieayundacitra, 2010).

Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya

usia dengan penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga

sehingga dapat mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Proses penuaan seringkali
Universitas Sumatera Utara
16

ditandai dengan menurunnya fungsi berbagi organ tubuh, salah satunya adalah

fungsi pendengaran. Sekitar 30-35% orang berusia antara 65-75 tahun akan

mengalami gangguan pendengaran secara perlahan-lahan akibat proses penuaan

yang dikenal dengan istilah presbicusis, akibat adanya gangguan pendengaran ini,

seringkali orang-orang disekitarnya akan berbicara dengan suara yang lebih

lantang dan keras dengan para lansia, namun dengan demikian bukan berarti

semakin keras suara yang diucapkan akan terdengar lebih baik bagi mereka karena

ternyata suara yang terlalu keraspun akan terdengar menyakitkan ditelinga

mereka. Lanjut usia dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi

tubuh pun makin menurun, tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak

keluhan yang dilontarkan karena tubuh tidak lagi mampu melakukan pekerjaan

tertentu sehingga kesepakatan kerja sama dengan pihak pihak terkait

(Cieayundacitra, 2010).

Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan

fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh

adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh

adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan

lunak. Dampak psikologis walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh

dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk

ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari atau

fobia jatuh (Stanley, 2006). Postur tubuh dan mobilitas beresiko tinggi terhadap

jatuh, mobilitas tinggi dan postur tubuh yang tidak stabil beresiko jatuh 4,5 kali

dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif tetapi dengan postur tubuh yang

stabil. Penelitian terhadap 4.862 klien di panti jompo, didapatkan resiko jatuh
Universitas Sumatera Utara
17

paling tinggi adalah penderita aktif dengan gangguan keseimbangan. Selanjutnya

penelitian Barnedh (2006) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa lansia

dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) beresiko 7,63 kali menderita

gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan aktivitas tinggi. Lansia yang

tidak melakukan kebiasaan berolahraga beresiko tinggi mengalami jatuh (Kemkes,

2010; Miller, 1999;).

Obat-obatan merupakan faktor bermakna terhadap resiko jatuh diantaranya

obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas postur

tubuh, yang mengakibatkan efek diuretik pada anti hipertensi, antidepresan, dan

antipsikotik.Obat-obat yang menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu

vestibular, neuropati hipotermi dan menyebabkan kebingungan seperti

phenothiazine, barbiturat dan benzodiazepin juga meningkatkan resiko jatuh.

Lansia yang memiliki tiga faktor resiko seperti kelemahan otot paha, gangguan

koordinasi, ketidakseimbangan, dan mendapat lebih dari 4 jenis pengobatan

beresiko jatuh sebesar 100% (Maryam, 2013).

2.4.2 Faktor Ekstrinsik

Faktor lingkungan memiliki resiko terhadap jatuh sebesar 31% Shobha

(2005, dalam Maryam, 2009). Lingkungan rumah termasuk situasi yang

berpotensi terhadap resiko terjatuh pada lansia, diantaranya karpet yang tidak rata,

pencahayaan ruangan tidak memadai, tangga tanpa pagar, kondisi tempat tidur,

kursi cukup tinggi, dan alat bantu jalan yang tidak tepat. Selain itu kondisi toilet

yang terlalu rendah dan permukaan kamar mandi menurun, licin dan tidak adanya

anti-selip pada lantai, serta dinding kamar mandi tidak memiliki pedoman dinilai
Universitas Sumatera Utara
18

sebagai resiko penyebab jatuh di rumah (Bemmel at al., 2005; Maryam, 2013).

Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah

faktor gizi yang mengakibatkan penurunan fungsi keseimbangan atau kelemahan

fisik. Lansia dengan asupan makanan yang rendah kalsium dan vitamin D, fosfor,

protein dan besi beresiko untuk jatuh. Asupan makanan yang tidak memadai

berupa protein, air dan tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup untuk

menangkal hilangnya massa otot atau kehilangan kepadatan tulang meningkatkan

resiko jatuh dan cedera pada lansia (Kemkes RI., 2010).

Penggunaan alat bantu jalan memang meningkatkan keseimbangan, namun

disisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk

membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda, karena itu

penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual. Lansia

apabila pada kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-

obatan maupun pembedahan, maka salah satu penanganannya adalah dengan alat

bantu jalan seperti tongkat, crutch (tongkat ketiak) dan walker, ketika memilih alat

bantu jalan , anatomi tubuh dan sudut siku harus diperlihatkan, banyak dari

mereka yang tidak mendapatkan bantuan professional dalan memilih alat bantu

jalan sehingga pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat mengakibatkan

bertambah buruknya koordinasi gerakan dan gaya berjalan klien sehingga dapat

meningkatkan resiko untuk jatuh (Darmojo, 2004).

Perawat harus memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga lansia

bahwa keluarga harus sering memperhatikan lansia dirumah karena selain

kebutuhan fisik yang harus diperlukan, kebutuhan psikologis dan social juga harus

diperhatikan, mengamati kemampuan dan keseimbangan dalam berjalan, dan


Universitas Sumatera Utara
19

membantu stabilitas tubuh. Keluarga juga harus memperbaiki kondisi sekitar

lingkungan rumah yang dianggap tidak aman, misalnya dengan memindahkan

benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil, ketinggian kursi

disesuaikan, pegangan pada, dinding dan tangga) serta lantai yang tidak licin dan

penerangan ruangan yang cukup (Darmojo, 2004; Miller 2004).

Lingkungan merupakan faktor yang dapat memepengaruhi keseimbangan

dan berkontraksi pada resiko jatuh, kejadian jatuh didalam ruangan lebih sering

terjadi dikamar mandi, kamar tidur dan toilet. Jatuh sering terjadi sekitar 10%

terutama saat turun tangga karena lebih berbahaya dari pada saat naik tangga.

Lingkungan yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar rumah, ruang

tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong (Mauk, 2011).Lingkungan yang

tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai yang retak, jalan depan rumah

sempit, pencahayaan yang kurang, kondisi teras atau halaman, bahaya lingkungan

pada area ruang tamu adalah kurangnya pencahayaan, area yang sempit untuk

berjalan, kondisi lantai yang retak dan berantakkan, kaki kursi yang miring dan

tinggi kursi yang tidak sesuai dengan tinggi kaki lansia dan sandaran lengan pada

kursi tidak kuat. Kamar tidur berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi

tempat tidur, seprai yang tergerai dilantai, penempatan barang dan perabotan yang

mudah dijangkau, pencahayaan, dan sempit atau luasnya area kamar untuk

berjalan. Kamar mandi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan atau resiko

jatuh diantaranya pencahayaan kurang, kondisi lantai licin, posisi bak dan toilet

tidak aman, dan peletakkan alat mandi yang tidak mudah dijangkau oleh lansia.

Lingkungan area tangga dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,

peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Kemkes, 2010; Mauk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
20

2.4.3 Faktor Situasional

Jatuh sebagian besar terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas sehari-hari

seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi,. Jatuh terjadi pada saat

lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.

Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga,

mungkin disebabkan kelelahan atau terpaparnya bahaya yang lebih banyak. Jatuh

juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak)ketika tiba-tiba dia

ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.

Jatuh pada lansia sering terjadi dirumah, dengan kejadian jatuh saat turun

tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainnya terjadi karena

tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai licin dan

tidak rata, penerangan/ pencahayaan yang kurang atau gelap. Riwayat penyakit

kronis yang diderita lansia selama bertahun-tahun biasanya menjadikan lansia

lebih mudah jatuh seperti stroke, hipertensi, hilangnya fungsi penglihatan,

dizziness dan sinkope, sering menyebabkan jatuh. Penyakit kronik yang diderita

lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penyakit

paru obstruktif menahun, nyeri dada pada penderita penyakit jantung iskemik, dll.

2.5 Morse Fall Scale(MFS)

Lanjut usia harus dicegah agar tidak jatuh dengan cara mengidentifikasi

faktor resiko, menilai, dan mengawasi keseimbangan dan gaya berjalan, mengatur

serta mengatasi faktor situasional. Metode cepat dan sederhana yang digunakan

untuk menilai kemungkinan jatuh pada klien lansia adalah dengan menggunakan

Morse Fall Scale (MFS). Sebagian besar perawat(82,9%) menilai Skalainicepat


Universitas Sumatera Utara
21

dan mudah untuk digunakandan 54% memperkirakanbahwa butuh waktukurang

dari 3menituntuk menilaipasien(Morse, 1997). Skala ini terdiri dari enam variable

yang cepat dan mudah untuk digunakan, dan telah terbukt i memiliki validitas

prediktif dan reabilitas interrater. MFS digunakan secara luas dalam pengaturan

perawatan akut maupun dan pelayanan perawatan jangka di rumah sakit.

Berikut ini ada skala yang digunakan untuk melakukan pengkajian resiko

jatuh lansia dengan menggunakan Morse Fall Scale. Penilaian dalam MFS terdiri

dari enam item yaitu riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan berjalan, terapi

intravena, gaya berjalan,dan status mental. Riwayat jatuh mendapatkan skor 25

jika pasien telah mengalami jatuh selama masuk rumah sakit/panti atau jika ada

riwayat mengalami jatuh secara fisiologis, seperti ; gangguan gaya berjalan

sebelum masuk panti. Jika pasien pernah memilki riwayat jatuh mendapat skor 0.

Catatan tambahan jika pasien jatuh untuk pertama kalinya, maka skor nya segera

bertambah 25. Diagnosis Sekunder dinilai dengan skor 15 jika terdapat lebih dari

satu diagnosis medis yang terdaftar pada status pasien, jika tidak, skor 0.

Bantuan Berjalan dinilai sebagai 0 jika pasien berjalan tanpa bantuan

berjalan (bahkan jika dibantu oleh perawat), menggunakan kursi roda, atau

istirahat di tempat tidur dan tidak bangun dari tempat tidur sama sekali. Jika

pasien menggunakan kruk, tongkat, atau walker, item ini mendapat skor 15, jika

pasien berpindah atau berjalan dengan mencengkeram ke furnitur untuk

dukungan, skor item ini 30. Terapi intravena dinilai sebagai 20 jika pasien

menggunakan intravena terapi atau heparin yang dimasukkan, jika tidak, maka

skor penilaian adalah 0.


Universitas Sumatera Utara
22

Gaya berjalan yang normal ditandai dengan kepala yang tegak saat berjalan,

lengan berayun bebas di samping, dan berjalan tanpa ragu-ragu. Item ini

mendapatkan skor 0. Gaya berjalan yang lemah mendapat skor 10 yaitu pasien

yang membungkuk tetapi mampu mengangkat kepala sambil berjalan tanpa

kehilangan keseimbangan. Langkah yang pendek dan acak pasien mungkin

terjadi. Gaya berjalan dengan gangguan mendapat skor 20 yaitu pasien yang

memiliki kesulitan bangkit dari kursi, mencoba untuk bangun dengan mendorong

di lengan kursi / atau dengan memantulkan (yaitu, dengan menggunakan beberapa

upaya untuk naik). Kepala pasien turun, dan ia mengamati tanah. Karena

keterbatasan keseimbangan pasien, pasien menggenggam ke furnitur, dukungan

orang, atau bantuan berjalan dengan dukungan dan tidak dapat berjalan tanpa

bantuan ini.

Status mental diukur dengan memeriksa pasien itu sendiri dalam penilaian

kemampuan untuk melakukan ambulasi. Tanyakan pasien, "Apakah Anda bisa

pergi kamar mandi sendiri atau apakah Anda perlu bantuan?" Jika jawaban pasien

menilai kemampuan sendiri secara konsisten dengan urutan rawat jalan, pasien

dinilai sebagai normal dan mendapat skor 0. Jika respon pasien tidak konsisten

dengan intervensi keperawatan atau jika respon pasien tidak realistis, maka pasien

dianggapmelebih-lebihkan kemampuan sendiri dan memilki keterbatasan pelupa

dinilai dengan skor 15.

Penilaian dan Tingkat resiko dihitung dan dicatat pada grafik pasien. Tingkat

resiko dan tindakan yang direkomendasikan (misalnya tidak ada intervensi

diperlukan, intervensi pencegahan standar, intervensi pencegahan resiko tinggi)

kemudian diidentifikasi. Skor MFS 0-24 memiliki level resiko tidak


Universitas Sumatera Utara
23

ada resiko sehingga tindakan yang diperlukan adalah perawatan dasar yang baik.

Skor MFS 25-50 termasuk dalam level resiko rendah dan tindakan yang

diperlukan adalah melakukan intervensi pencegahan jatuh standar. Skor MFS 51

termasuk dalam level resiko tinggi dan tindakan yang diperlukan melakukan

intervensi pencegahan jatuh tinggi. (Morse, 1997).

Tabel 2.1 Metode Morse Falls Scale (MFS)


No. Pengkajian Skala Nilai
1 Riwayat jatuh, apakah lansia pernah jatuh dalam 3 Tidak (0)
bulan terakhir ? Ya (25)
2 Diagnosa sekunder, apakah lansia memiliki lebih dari Tidak (0)
satu penyakit ? Ya (15)
3 Alat bantu jalan; apakah lansia menggunakan (0)
alat/dibantu ? (15)
Bedrest/dibantu perawat (30)
Tongkat/walker
Berpegangan pada benda-benda disekitar (kursi,
lemari, meja)
4 Terapi intravena, apakah saat ini lansia terpasang infus Tidak (0)
? Ya (25)
5 Gaya berjalan/cara berpindah apakah lansia berjalan ? (0)
Normal/bedrest (tidak dapat berjalan sendiri) (10)
Lemah (tidak bertenaga) (20)
Gangguan/tidak normal (pincang/diseret)

6 Status mental, apakah lansia mengalami status mental ? (0)


Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri (15)
Lansia mengalami keterbatasan daya ingat
Total
Keterangan :
Nilai 0-24 = tidak beresiko jatuh
25-50 = resiko rendah >50
= resiko tinggi jatuh
Universitas Sumatera Utara
24

2.6 Pencegahan Jatuh pada Lansia

Klien lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui adanya

faktor resiko cedera akibat terjatuh dari aspek instrinsik:. Perlu dilakukan

pengkajian keadaan sensorik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering

menyebabkan kejadian teratuh.Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan

dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.Penerangan rumah harus cukup tetapi

tidak menyilaukan, lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil

yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman atau rusak dan

dapat bergeser sendiri sebaiknya diganti. Peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan

sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan atau tempat aktivitas lanjut

usia. Kamar mandi tidak dibuat licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,

pintu yang mudah dibuka, dan WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi

pegangan di dinding.

2.6.1 Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan

Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan tubuhnya

dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Bila gerakan tubuh

pada saat berjalan sangat beresikoterjatuh, maka diperlukan bantuan keluarga atau

bantuan tim latihan oleh seorang rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga

harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak

mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan,

apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup kuat untuk berjalan

tanpa bantuan orang lain. Seluruh hal tersebut harus dikoreksi bila terdapat

kelainan atau penurunan fungsi organ.


Universitas Sumatera Utara
25

2.6.2 Mengatur dan Mengatasi Faktor Situasional

Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita klien lanjut usia

dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara perodik.

Faktor situasional bahaya lingkungan tinggal dapat dicegah dengan mengusahakan

perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat diatasi

sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh

melampaui batasan kemampuan aktifitas rutin yang diperbolehkan baginya sesuai

dengan hasil pemeriksaan kondisi fisik.Maka dari itu lansia dianjurkan untuk tidak

melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko tinggi untuk

terjadinya jatuh.

Kejadian jatuh pada lansia sering kali menyebabkan cedera pada jaringan

lunak dan fraktur pangkal paha atau pergelangan tangan, bahkan dapat

mengakibatkan kematian. Keadaan tersebut menyebabkan berbagai masalah

kesehatan, yaitu: ketidaknyamanan fisik karena rasa nyeri, kelelahan fisik,

keterbatan mobilisasi, dan proses penyembuhan jaringan yang lambat sehingga

klien akan mengalami berbagai masalah ketergantungan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari. Hal ini juga merupakan kekhawatiran utama pada lansia yang

memicu timbulnya penarikkan diri mereka dari kegiatan rutin dan kegiatan sosial,

kehilangan kemandirian, rasa tidak percaya diri, dan kehawatiran bahwa hal

tersebut dapat terulang kembali. Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian

ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor resiko jatuh yang

dialami oleh klien lanjut usia di Puskesmas Medan Johor. Menurut Shobha (2005),

pencegahan jatuh yang dapat dilakukan oleh klien lansia diuraikan dalam

penjelasan berikut:
Universitas Sumatera Utara
26

1. Latihan Fisik

Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan kekuatan

tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan

meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan.Latihan fisik yang

dianjurkan adalah latihan fisik yang dapat melatih kekuatan tungkai,

pergelangan, tidak terlalu berat dan dilakukan sesuai semampunya,

latihan berjalan kaki, senam lansia, dan latihan keseimbangan.

2. Management Obat-Obatan

Mengurangi penggunaan obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama

missal: obat tidur dan melakukan konsultasi terhadap penggunaan

obat-obat yang harus dikonsumsi jangka panjang, missal: obat

hipertensi, obat DM, dll. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan.

3. Modifikasi Lingkungan

Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan pengaturan suhu

ruangan supaya tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk

menghindari ketidaknyamanan akibat pusing.Selain itu pengaruh

barang-barang yang memang sering diperlukan berada dalam

jangkauan klien agar tidak harus berjalan terlalu jauh dari tempatnya,

dengan memanfaatkan karpet antislip dikamar mandi/menjaga

kebersihan lantai agar tidak licin, memasang pegangan tangan pada

tempat yang diperlukan, memfasilitasi penerangan yang memadai,

menyingkirkan barang berserakan di lantai yang menggaggu klien.


Universitas Sumatera Utara
27

4. Memperbaiki Kebiasaan Lansia yang Buruk

Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke posisi

berdiri jangan terlalu cepat, jangan mengangkat barang yang berat

sekaligus, dan lakukan pengangkatan barang dengan cara yang benar

dari lantai yaitu dengan cara posisi jongkok dan bukan posisi

membungkuk. Hindari aktifitas berolahraga yang berat dan berlebihan,

sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar dan datar, jangan

berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga

keseimbangan, pakai sepatu antislip dengan alas yang kasar.

5. Memelihara Fungsi Tubuh

Fungsi penglihatan dan pendenganran sudah mengalami penurunan

sehingga perlu memperhatikan pemeliharaan kesehatan fungsi mata

dan pendengaran termasuk alat bantu yang digunakan berupa kaca

mata, alat bantu pendengaran, dan pencahayaan lingkungan

tinggalharusdiperhatikan dan dipertahankan untuk menghindari

kondisi yang memicu resiko jatuh. Pemeliharaan kekuatan tulang

harus tetap dijaga untuk mempertahankan keseimbangan dan

koordinasi gerakan tubuh agar terhindar dari jatuh, klien dianjurkan

untuk berhenti merokok dan menghindari konsumsi alkohol, serta

edukasi keluarga dank lien untuk mempersiapkan dan mengkonsumsi

jenis makan-makanan yang bergizi seperti buah-buahan, sayuran yang

tidak mengandung gas, dan minum susu randah lemak untuk

memelihara kekuatan tulang.


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai