BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Lanjut usia (Lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia
tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,
dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Menurut UU no 4 tahun 1945 lansia adalah
lansia yang mengalami proses penuaan yang terjadi secara bertahap dan
merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Menurut Kemkes RI (2010)
lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Pada usia ini adalah
fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
anak. Ketika kondisi hidup berubah seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi
ini, dan selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian meninggal dunia. Bagi
manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru
dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi
Perubahan ini adalah hal yang normal dalam satu siklus kehidupan manusia,
dengan perubahan fisik, psikososial dan tingkah laku yang terjadi pada semua
orang pada saat mereka mencapai tahapan usia lanjut dimasa ini seseorang
(Azizah, 2011).
Universitas Sumatera Utara
7
jenis kelamin diamana jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan.
Selain itu, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi
antara lansia laki-laki dan perempuan. misalnya, lansia laki-laki banyak menderita
sendiri, suasana tinggal bersama dengan anak atau keluarga besar, atau tinggal
sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian dari
keluarganya, baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anak-
anaknya atau keluarganya dalam rumah yang berbeda. Kondisi kesehatan lansia
kebersihan diri mandi, mengganti pakaian sendiri, buang air kecil dan buang air
besar. Frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan lansia menjadi tidak produktif
lagi dan mengalami tergantung kepada orang lain. Hal ini harus diupayakan untuk
Menua adalah suatu proses alami dalam kehidupan yang tidak dapat
dihindari oleh manusia, proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup
manusia yang akan dialami oleh setiap individu secara terus-menerus dan
fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008).
antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ mengalami kehilangan
fungsi sekitar 1% per tahun, dimulai usia sekitar 40 tahun. Namun demikian,
perubahan pada seorang lanjut usia akan mengalami perlambatan mulai pada usia
kelenturan otot rangka berkurang. Sehingga kepala dan leher terfleksi ke depan,
lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan postur tubuh terganggu
lansia diantaranya : sistem penglihatan pada lansia sangat erat kaitannya dengan
prebiopi, dimana lensa kehilangan elastis dan kaku, otot penyangga lensa lemah,
ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh dan dekat berkurang,
pada telinga dalam, terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas dan sulit dimengerti kata-kata terjadi pada lansia diatas 60 tahun.Sistem
Integumen kulit pada lansia sudah mulai kendur, tidak elastis, mengerut dan kulit
akan kekurangan cairan sehingga akan menjadi tipis dan berbecak. Kulit timbul
antara lain angin, sinar ultra violet. Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan
sulit bergerak dari duduk ke berdiri dan jongkok hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Resiko jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau keluarga
terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
bahwa 5% lanjut usia yang jatuh mengalami patah tulang iga (sterm), humerus
(tulang lengan), pelvis dan patah tulang paha (fractura columna femoris), dan 5%
keseleo otot (Kane (1994). Menurut (Stanley, 2006) resiko jatuh adalah suatu
kejadian yang menyebabkan subjek yang sadar menjadi berada di lantai tanpa
disengaja. Bukan merupakan jatuh bila kejadian jatuh diakibatkan pukulan keras,
yang berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh.
Jatuh sering terjadi pada lansia, berdasarkan hasil survei di AS, terdapat
30% lansia berumur lebih dari 65 tahun mengalami jatuh setiap tahunnya (Tinetti,
1992). Menurut Gunarto (2005) bahwa 31%-48% lansia mengalami jatuh karena
mengalami kecelakaan jatuh (Flaherty et al.2003, dalam Potter & Perry, 2009).
dan respon yang lambat memudahkan terjadinya jatuh pada lansia (Reuben, 1996;
Kane, 1994; Tinetti, 1992; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo,
2004). Resiko jatuh dianggap sebagai konsekuensi alami menjadi tua, jatuh bukan
bagian normal dari proses penuaan, setiap tahunya sekitar 30% lansia yang tinggal
di rumah meningkat dari 25% usia 70 tahun menjadi 35% setelah usia >75 tahun.
Lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh lebih sering dari pada yang berada
di rumah karena mereka lebih rentan dan memiliki lebih banyak disabilitas.
Universitas Sumatera Utara
11
Sekitar 50% lansia yang tinggal di panti mengalami jatuh dan umumnya mereka
Faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah faktor
infeksi telinga, lemah otot tungkai, penyakit sistemik dan reaksi negatif obat-obat,
maupun faktor eksternal lingkungan seperti kondisi tangga, lantai licin atau basah,
pencahayaan yang kurang, toilet jauh dari kamar, kondisi terlalu rendah, sepatu
yang buruk atau dengan sol licin, tempat tidur terlalu tinggi atau rendah, alat
rumah tangga yang dapat menyebabkan jatuh seperti karpet, kaki kursi, dan kabel
jumlah faktor resiko pada lansia (Tinetti, 1994). Hal ini juga sangat erat kaitannya
Hal yang sama dikemukakan oleh para ahli bahwa faktor yang
mempengaruhi terjadinya resiko jatuh adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik yang
seperti stroke dan parkinson, sering diderita oleh lanjut usia dan menyebabkan
gangguan fungsi SSP sehingga tidak baik terhadap sensorik. Kognitif, dimensia
Universitas Sumatera Utara
12
diisolasikan dengan resiko jatuh pada lansia. Faktor muskuloskeletal ini betul-
Faktor-faktor resiko jatuh pada lansia digolongkan menjadi dua yaitu faktor
Faktor-faktor intrinsik hal yang berasal dari dalam tubuh lansia sendiri,
antara lain yaitu gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan sistem anggota
gerak seperti kelemahan otot ekstremitas bawah dan kekuatan sendi, gangguan
Gangguan jantung adalah tanda dan gejala gangguan jantung pada lanjut
usia nyeri pada daerah prekordial dan sesak napas seringkali dirasakan pada
penderita penyakit jantung diusia lanjut, rasa cepat lelah yang berlebihan
seringkali ditemukan sebagai dampak dari sesak napas yang biasanya terjadi
pada perut karna pengaruh bendungan hepar atau keluhan insomnia. Bising
Universitas Sumatera Utara
13
sinsolik banyak dijumpai pada penderita lanjut usia, sekitar 60% dari jumlah
penderita, dalam penemuan lain juga dilaporkan bahwa bising sistolik tanpa
keluhan ditemukan pada 26% penderita yang berusia 65 tahun keatas. Gangguan
jantung dapat dijumpai kekakuan pada arteria koroner, cincin katup miral, katup
keadaan yang abnormal (Darmojo, 2004). Gangguan jantung pada lansia seperti
hipertensi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena menurunnya
elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu
jantung sehingga dapat menyebabkan kejadian jatuh pada lansia (Darmojo, 2000).
Gangguan gerak bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini diakibatkan
karena proses penuaan itu sendiri serta penggunaan obat-obatan yang dapat
kelainan pada ganglia basal, dibagi menjadi 2 yaitu hipokinetik dan hiperkinetik.
sering dialami para lansia dengan potensial resiko 10% kehilangan yang diketahui
pada usia 80 tahun. Perubahan sistem sensorik terdiri dari sentuhan, pembauan,
neuron sensori yang secara efisien memberikan sinyal deteksi, lokasi, dan
identifikasi sentuhan atau tekanan yang dialami pada area kulit. Lansia juga sering
tubuh dan posisi serta hilangnya fiber sensori, reseptor vibrasi dan sentuhan dari
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi,
salah satu masalah penting yang dihadapi oleh lansia ini terjadi akibat penuruna
fungsi penglihatan pada lansia membuat kepercayaan diri lansia berkurang dan
penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
akubat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak). Mata
jarak pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa penglihatan ini diterima sesuai
dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan yang terjadi
diantaranya garis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada peria, dan menjadi
tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita. Kunjungtiva menipis dan
berwarna kekuningan, produksi air mata oleh kelenjar lakrimaris yang berfungsi
Mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil menurun
dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap akomodasi. Lensa
warna. Warna gelap seperti coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan
dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat
dalam cahaya gelap) menempatkan pada lansia resiko cedera, sementara cahaya
disebabkan oleh presbiop kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang),
kekeruhan pada lensa (katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma),
usia dengan penurunan fungsi pendengaran pada salah satu ataupun kedua telinga
sehingga dapat mengakibatkan resiko jatuh pada lansia. Proses penuaan seringkali
Universitas Sumatera Utara
16
ditandai dengan menurunnya fungsi berbagi organ tubuh, salah satunya adalah
fungsi pendengaran. Sekitar 30-35% orang berusia antara 65-75 tahun akan
yang dikenal dengan istilah presbicusis, akibat adanya gangguan pendengaran ini,
lantang dan keras dengan para lansia, namun dengan demikian bukan berarti
semakin keras suara yang diucapkan akan terdengar lebih baik bagi mereka karena
mereka. Lanjut usia dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi
tubuh pun makin menurun, tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak
keluhan yang dilontarkan karena tubuh tidak lagi mampu melakukan pekerjaan
(Cieayundacitra, 2010).
fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh
adalah patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh
adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan
lunak. Dampak psikologis walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok setelah jatuh
dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk
ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari atau
fobia jatuh (Stanley, 2006). Postur tubuh dan mobilitas beresiko tinggi terhadap
jatuh, mobilitas tinggi dan postur tubuh yang tidak stabil beresiko jatuh 4,5 kali
dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif tetapi dengan postur tubuh yang
stabil. Penelitian terhadap 4.862 klien di panti jompo, didapatkan resiko jatuh
Universitas Sumatera Utara
17
penelitian Barnedh (2006) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa lansia
dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) beresiko 7,63 kali menderita
obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas postur
tubuh, yang mengakibatkan efek diuretik pada anti hipertensi, antidepresan, dan
Lansia yang memiliki tiga faktor resiko seperti kelemahan otot paha, gangguan
berpotensi terhadap resiko terjatuh pada lansia, diantaranya karpet yang tidak rata,
pencahayaan ruangan tidak memadai, tangga tanpa pagar, kondisi tempat tidur,
kursi cukup tinggi, dan alat bantu jalan yang tidak tepat. Selain itu kondisi toilet
yang terlalu rendah dan permukaan kamar mandi menurun, licin dan tidak adanya
anti-selip pada lantai, serta dinding kamar mandi tidak memiliki pedoman dinilai
Universitas Sumatera Utara
18
sebagai resiko penyebab jatuh di rumah (Bemmel at al., 2005; Maryam, 2013).
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya resiko jatuh pada lansia adalah
fisik. Lansia dengan asupan makanan yang rendah kalsium dan vitamin D, fosfor,
protein dan besi beresiko untuk jatuh. Asupan makanan yang tidak memadai
berupa protein, air dan tidak melakukan aktivitas fisik yang cukup untuk
disisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk
membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda, karena itu
apabila pada kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-
obatan maupun pembedahan, maka salah satu penanganannya adalah dengan alat
bantu jalan seperti tongkat, crutch (tongkat ketiak) dan walker, ketika memilih alat
bantu jalan , anatomi tubuh dan sudut siku harus diperlihatkan, banyak dari
mereka yang tidak mendapatkan bantuan professional dalan memilih alat bantu
jalan sehingga pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat dapat mengakibatkan
bertambah buruknya koordinasi gerakan dan gaya berjalan klien sehingga dapat
kebutuhan fisik yang harus diperlukan, kebutuhan psikologis dan social juga harus
benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil, ketinggian kursi
disesuaikan, pegangan pada, dinding dan tangga) serta lantai yang tidak licin dan
dan berkontraksi pada resiko jatuh, kejadian jatuh didalam ruangan lebih sering
terjadi dikamar mandi, kamar tidur dan toilet. Jatuh sering terjadi sekitar 10%
terutama saat turun tangga karena lebih berbahaya dari pada saat naik tangga.
Lingkungan yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar rumah, ruang
tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong (Mauk, 2011).Lingkungan yang
tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai yang retak, jalan depan rumah
sempit, pencahayaan yang kurang, kondisi teras atau halaman, bahaya lingkungan
pada area ruang tamu adalah kurangnya pencahayaan, area yang sempit untuk
berjalan, kondisi lantai yang retak dan berantakkan, kaki kursi yang miring dan
tinggi kursi yang tidak sesuai dengan tinggi kaki lansia dan sandaran lengan pada
kursi tidak kuat. Kamar tidur berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi
tempat tidur, seprai yang tergerai dilantai, penempatan barang dan perabotan yang
mudah dijangkau, pencahayaan, dan sempit atau luasnya area kamar untuk
jatuh diantaranya pencahayaan kurang, kondisi lantai licin, posisi bak dan toilet
tidak aman, dan peletakkan alat mandi yang tidak mudah dijangkau oleh lansia.
Lingkungan area tangga dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,
peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Kemkes, 2010; Mauk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
20
Jatuh sebagian besar terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas sehari-hari
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi,. Jatuh terjadi pada saat
lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.
Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga,
mungkin disebabkan kelelahan atau terpaparnya bahaya yang lebih banyak. Jatuh
juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak)ketika tiba-tiba dia
Jatuh pada lansia sering terjadi dirumah, dengan kejadian jatuh saat turun
tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainnya terjadi karena
tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai licin dan
tidak rata, penerangan/ pencahayaan yang kurang atau gelap. Riwayat penyakit
dizziness dan sinkope, sering menyebabkan jatuh. Penyakit kronik yang diderita
lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada penyakit
paru obstruktif menahun, nyeri dada pada penderita penyakit jantung iskemik, dll.
Lanjut usia harus dicegah agar tidak jatuh dengan cara mengidentifikasi
faktor resiko, menilai, dan mengawasi keseimbangan dan gaya berjalan, mengatur
serta mengatasi faktor situasional. Metode cepat dan sederhana yang digunakan
untuk menilai kemungkinan jatuh pada klien lansia adalah dengan menggunakan
dari 3menituntuk menilaipasien(Morse, 1997). Skala ini terdiri dari enam variable
yang cepat dan mudah untuk digunakan, dan telah terbukt i memiliki validitas
prediktif dan reabilitas interrater. MFS digunakan secara luas dalam pengaturan
Berikut ini ada skala yang digunakan untuk melakukan pengkajian resiko
jatuh lansia dengan menggunakan Morse Fall Scale. Penilaian dalam MFS terdiri
dari enam item yaitu riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan berjalan, terapi
jika pasien telah mengalami jatuh selama masuk rumah sakit/panti atau jika ada
sebelum masuk panti. Jika pasien pernah memilki riwayat jatuh mendapat skor 0.
Catatan tambahan jika pasien jatuh untuk pertama kalinya, maka skor nya segera
bertambah 25. Diagnosis Sekunder dinilai dengan skor 15 jika terdapat lebih dari
satu diagnosis medis yang terdaftar pada status pasien, jika tidak, skor 0.
berjalan (bahkan jika dibantu oleh perawat), menggunakan kursi roda, atau
istirahat di tempat tidur dan tidak bangun dari tempat tidur sama sekali. Jika
pasien menggunakan kruk, tongkat, atau walker, item ini mendapat skor 15, jika
dukungan, skor item ini 30. Terapi intravena dinilai sebagai 20 jika pasien
menggunakan intravena terapi atau heparin yang dimasukkan, jika tidak, maka
Gaya berjalan yang normal ditandai dengan kepala yang tegak saat berjalan,
lengan berayun bebas di samping, dan berjalan tanpa ragu-ragu. Item ini
mendapatkan skor 0. Gaya berjalan yang lemah mendapat skor 10 yaitu pasien
terjadi. Gaya berjalan dengan gangguan mendapat skor 20 yaitu pasien yang
memiliki kesulitan bangkit dari kursi, mencoba untuk bangun dengan mendorong
upaya untuk naik). Kepala pasien turun, dan ia mengamati tanah. Karena
orang, atau bantuan berjalan dengan dukungan dan tidak dapat berjalan tanpa
bantuan ini.
Status mental diukur dengan memeriksa pasien itu sendiri dalam penilaian
pergi kamar mandi sendiri atau apakah Anda perlu bantuan?" Jika jawaban pasien
menilai kemampuan sendiri secara konsisten dengan urutan rawat jalan, pasien
dinilai sebagai normal dan mendapat skor 0. Jika respon pasien tidak konsisten
dengan intervensi keperawatan atau jika respon pasien tidak realistis, maka pasien
Penilaian dan Tingkat resiko dihitung dan dicatat pada grafik pasien. Tingkat
ada resiko sehingga tindakan yang diperlukan adalah perawatan dasar yang baik.
Skor MFS 25-50 termasuk dalam level resiko rendah dan tindakan yang
termasuk dalam level resiko tinggi dan tindakan yang diperlukan melakukan
Klien lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui adanya
faktor resiko cedera akibat terjatuh dari aspek instrinsik:. Perlu dilakukan
tidak menyilaukan, lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil
yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman atau rusak dan
dapat bergeser sendiri sebaiknya diganti. Peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan atau tempat aktivitas lanjut
usia. Kamar mandi tidak dibuat licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya,
pintu yang mudah dibuka, dan WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi
pegangan di dinding.
dalam melakukan gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Bila gerakan tubuh
pada saat berjalan sangat beresikoterjatuh, maka diperlukan bantuan keluarga atau
bantuan tim latihan oleh seorang rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga
harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak
mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan,
apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup kuat untuk berjalan
tanpa bantuan orang lain. Seluruh hal tersebut harus dikoreksi bila terdapat
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita klien lanjut usia
dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara perodik.
perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat diatasi
sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh
dengan hasil pemeriksaan kondisi fisik.Maka dari itu lansia dianjurkan untuk tidak
melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau beresiko tinggi untuk
terjadinya jatuh.
Kejadian jatuh pada lansia sering kali menyebabkan cedera pada jaringan
lunak dan fraktur pangkal paha atau pergelangan tangan, bahkan dapat
aktivitas sehari-hari. Hal ini juga merupakan kekhawatiran utama pada lansia yang
memicu timbulnya penarikkan diri mereka dari kegiatan rutin dan kegiatan sosial,
kehilangan kemandirian, rasa tidak percaya diri, dan kehawatiran bahwa hal
ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor resiko jatuh yang
dialami oleh klien lanjut usia di Puskesmas Medan Johor. Menurut Shobha (2005),
pencegahan jatuh yang dapat dilakukan oleh klien lansia diuraikan dalam
penjelasan berikut:
Universitas Sumatera Utara
26
1. Latihan Fisik
2. Management Obat-Obatan
hipertensi, obat DM, dll. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan.
3. Modifikasi Lingkungan
jangkauan klien agar tidak harus berjalan terlalu jauh dari tempatnya,
dari lantai yaitu dengan cara posisi jongkok dan bukan posisi
sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar dan datar, jangan