Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi.
Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada
banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada
trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar
85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh
kecelakaan lalulintas.
Ginjal terletak di rongga recroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung
disebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitineal di sebelah anteriornya. Trauma ginjal
merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada
abdomen menciderai ginjal.
Trauma ginjal biasanya terjadi akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh. Trauma ini
biasanya juga disertai dengan fraktur pada vertebra thorakalis 11-12. Jika terdapat hematuria
kausa trauma harus dapat diketahui. Laserasi ginjal dapat menyebabkan perdarahan dalam
rongga peritoneum.
Tujuan dari penanganan trauma ginjal adalah untuk resusitasi pasien, mendiagnosis
trauma dan memutuskan penanganan terapi secepat mungkin. Penanganan yang efisien
dengan tehnik resusitasi dan pemeriksaan radiologi yang akurat dibutuhkan untuk
menjelaskan manajemen klinik yang tepat.
Para radiologis memainkan peranan yang sangat penting dalam mencapai hal tersebut,
memainkan bagian yang besar dalam diagnosis dan stadium trauma. Lebih jauh, campur
tangan dari radiologis menolong penanganan trauma arterial dengan menggunakan angiografi
dengan transkateter embolisasi. Sebagai bagian yang penting dar trauma, radiologi harus
menyediakan konsultasi emergensi, keterampilan para ahli dalam penggunaan alat-alat
radiologis digunakan dalam evaluasi trauma, dan biasanya disertai trauma tumpul pada
daerah abdominal.

1
B. Fenomena Trauma Ginjal
Definisi dari trauma adalah suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan tubuh atau
organ tubuh dimana faktor penyebab berasal dari luar tubuh. Salah satu trauma yan dapat
terjadi pada organ tubuh adalah ginjal. Trauma ginjal terjadi rata-rata 1-5% dari semua
trauma. Ginjal paling sering terkena trauma, dengam resiko kejadian 3:1 antara laki-laki dan
perempuan. Trauma ginjal dapat mengancam jiwa, namun kebanyakan trauma ginjal dapat
dikelola secara konservatif. Dengan kemajuan di bidang diagnostik dan terapi telah
menurunkan angka intervensi bedah pada penanganan trauma ginjal dan meningkatkan
preservasi ginjal.
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada
ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang
maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera
pada ginjal.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi
intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy,
dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di
atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah
diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.

C. Tujuan
1. Tujuan umum
mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien trauma ginjal
2. Tujuan khusus
a. Mampu memahami defenisi trauma ginjal
b. Mampu memahami etiologi trauma ginjal
c. Mampu memahami manifestasi klinis trauma ginjal
d. Mampu memahami anatomi fisiologi trauma ginjal
e. Mampu memahami klasifikasi trauma ginjal
f. Mampu memahami patofisiologis trauma ginjal
g. Mampu memahami penatalaksanaan trauma ginjal
h. Mampu memahami pemeriksaan diagnostik trauma ginjal
i. Mampu memahami komplikasi trauma ginjal

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi
Trauma ginjal adalah cedera yang mengenai ginjal yangmemberikan manifestasi
memar, laserasi, atau kerusakan pada struktur. (Arif Muttaqin, 2011)
Cedera ginjal dapat terjadi secara:
1. Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang.
2. Tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-
tiba didalam ronggaretroperitoneum. (Basuki B. Purnomo, 2003).
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering terjadi.
Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada
banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada
trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar
85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh
kecelakaan lalulintas.
Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung di
sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu
cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal
merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada
abdomen mencederai ginjal.
Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin tumpul atau tajam
dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi
nyeri pada perut, kesakitan, kaku, dan lebam dari perut eksternal.
Abdominal trauma menyajikan risiko berat kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa
mungkin melibatkan ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal lavage, dan
mungkin memerlukan perawatan operasi.
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam
rudapaksa baik tumpul maupun tajam.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel
pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak
yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi
sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam perkembangannnya. Kantong fascia ini
meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta vena
cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan
melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal.(Guerriero, 1984).
Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi
maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting
system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun
komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga
retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien
yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan
retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat.

3
Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong
gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan
pada kapsul.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa
menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas
dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan
trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami
kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh
adanya trauma ringan.(McAninch,2000).

B. Etiologi
 Trauma tumpul ( 80-85% ) langsung ke abdomen, flank atau punggung.
 Kecelakaan kendaraan bermotor,penerbangan,jatuh,dan contact-sports.
 Kecelakaan kendaraan dengan kecepatan tinggi trauma deselerasi dan trauma pada
vasculer besar.
 Pada luka tusuk ginjal, juga terjadi trauma pada organ visceral abdomen sekitar 80%.
 Trauma penetrasi benda tajam (misalnya: luka tembak, luka tusuk atau tikam)
menyebabkan trauma pada ginjal sehingga terjadi syok akibat trauma multisistem.
 Trauma tumpul (misalnya: jatuh, cedera atletik, kecelakaan lalulintas, akibat pukulan)
menyebabkan ginjal malposisi, dan kontak dengan iga (tulang belakang).
 Cedera iatrogenik (misalnya: prosedur endourologi, ESWL, biopsiginjal, prosedur
perkutaneus pada ginjal).
 Intraoperatif (misalnya diagnostik peritoneal lavage).
 Lainnya (misalnya: penolakan transplantassi ginjal, melahirkan[dapat menyebabkan
laserasi spontan ginjal]. (Arif Muttaqin, 2011)

C. Mekanisme Trauma Ginjal


Cedera ginjal dapat terjadi secara :
1. Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau
2. Tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara
tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium.
Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal
sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu
terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri
renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada
kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.
Mekanisme yang umumnya terjadi pada trauma ginjal , yaitu
1. Trauma tembus
2. Trauma latrogenik
3. Trauma tumpul
Trauma tembus seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau
pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.

4
Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal
sehingga bila terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal sampai terbukti
sebaliknya. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma viscera
abdomen. (Geehan , 2003; McAninch , 2000).
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi
intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy,
dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di
atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah
diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal .
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian.
Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain.
Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal
secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel
ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal yang
relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik karena trauma
langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian dapat
menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga
mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis dari ginjal itu sendiri.
Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis meningkat maka kenaikan sedikit
saja dari tekanan tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Hal ini
menjelaskan mengapa pada pasien yang yang memiliki kelainan pada ginjalnya mudah terjadi
trauma ginjal.

D. Klasifikasi Patologi Trauma Ginjal


Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam
terapi dan prognosis.
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan
menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3) cedera pada pedikel atau pembuluh darah
ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15%
termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

5
Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh
Federle :
Derajat Jenis kerusakan
 Kontusio ginjal.
 Minor laserasi korteks dan
medulla tanpa gangguan pada
sistem pelviocalices.
Grade I
 Hematom minor dari subcapsular
atau perinefron (kadang kadang).
 75 – 80 % dari keseluruhan
trauma ginjal.
 Laserasi parenkim yang
berhubungan dengan tubulus
kolektivus sehingga terjadi
extravasasi urine.
 Sering terjadi hematom
Grade II perinefron.
 Luka yang terjadi biasanya
dalam dan meluas sampai ke
medulla.
 10 – 15 % dari keseluruhan
trauma ginjal.
 Laserasi ginjal sampai pada
medulla ginjal, mungkin
terdapat trombosis arteri
segmentalis.
Grade III
 Trauma pada vaskularisasi
pedikel ginjal
 5 % dari keseluruhan trauma
ginjal
 Laserasi sampai mengenai
Grade IV kalikes ginjal.
 Laserasi dari pelvis renal
 Avulsi pedikel ginjal, mungkin
Grade V terjadi trombosis arteri renalis.
 Ginjal terbelah (shattered).

Menurut Mooreetal, trauma ginjal dibagi menjadi: (McAninch,2000)


1. Trauma minor
Merupakan 85% kasus. Kontusio maupun ekskoriasi renal paling sering terjadi. Kontusio
renal kadang diikuti hematom subkapsuler. Laserasi korteks superfisial juga merupakan
trauma minor.

6
2. Trauma mayor
Merupakan 15% kasus.Terjadi laserasi kortikomeduler yang dalam sampai collecting
system menyebabkan ekstravasasi urine kedalam ruang perirenal. Hematom perirenal dan
retroperitoneal sering menyertai laserasi dalam ini. Laserasi multiple mungkin menyebabkan
destruksi komplit jaringan ginjal. Jarang terjadi laserasi pelvis renalis tanpa laserasi parenkim
pada trauma tumpul.
3. Trauma vaskuler
Terjadi sekitar 1% dari seluruh trauma ginjal. Trauma vaskuler pada pedikel ginjal ini
memang sangat jarang dan biasanya karena trauma tumpul.Bisa terjadi total avulsi arteri dan
vena atau avulsi parsial dari cabang segmental vasa ini. Regangan pada arteri renalis utama
tanpa avulsi menyebabkan trombosis arteri renalis.

E. Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Nyeri terlokalisasi pada satu pinggang atau seluruh perut. Trauma lain seperti ruptur
visera abdomen atau fraktur pelvis multiple juga menyebabkan nyeri abdomen akut sehingga
mengaburkan adanya trauma ginjal. Kateterisasi biasanya menunjukkan adanya
hematuria. Perdarahan retroperitoneal bisa menyebabkan distensi abdomen, ileus, nausea
serta vomitus.
Perlu diperhatikan adanya syok atau tanda-tanda kehilangan darah masiv karena
perdarahan retroperitoneal. Cermati adanya ekimosis pada pinggang atau kuadran atas
abdomen.Juga adanya patah tulang iga bagian bawah. Mungkin ditemukan nyeri abdomen
difus pada palpasi yang merupakan tanda akut abdomen karena adanya darah pada cavum
peritonei. Distensi abdomen mungkin ditemukan dengan bising usus yang menghilang. Masa
yang palpable menandakan adanya hematom retroperitoneal besar atau suatu ekstravasasi
urin. Namun jika retroperitoneum robek, darah bebas masuk ke cavum peritonei tanpa
ditemukan masa palpable pada pinggang.
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung
maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga
mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang
menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum.
Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima
arteri renalis yang menimbulkan trombosis. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal
bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal
melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota
sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom, tidak sempurna dalam
perkembangannnya. Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter, meskipun menyatu
pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya
perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga
retroperitoneal.(Guerriero, 1984).

7
Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi
maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting
system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun
komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga
retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien
yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan
retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat.
Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada
kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan
robekan pada kapsul. Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah
ini bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara
pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa
menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal. Anatomi ginjal yang
mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur
hanya oleh adanya trauma ringan.(McAninch,2000).
Jadi gejala yang mungkin terjadi pada trauma ginjal adalah :
a. Nyeri
b. Hematuria
c. Mual dan muntah
d. Distensi abdomen
e. Syok akinat trauma multisistem
f. Nyeri pada bagian punggung
g. Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar
h. Massa di rongga panggul
i. Ekimosis
j. Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul

F. Diagnosis
Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat:
- Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas
dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
- Hematuria.
- Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
- Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
- Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.

G. Pemeriksaan Diagnostik
A. Laboratorium
Biasanya didapatkan adanya hematuri baik gross maupun mikroskopis. Beratnya hematuri
tidak berbanding lurus dengan beratnya kerusakan ginjal. Pada trauma minor bisa ditemukan
hematuri yang berat, sementara pada trauma mayor bisa hanya hematuri
mikroskopis. Sedangkan pada avulsi total vasa renalis bahkan tidak ditemukan
hematuri.Awalnya hematokrit normal namun kemudian terjadi ppenurunan pada pemeriksaan

8
serial. Temuan ini menandakan adanya perdarahan retroperitoneal persisten yang
menyebabkan terjadinya hematom retroperitoneal yang besar. Perdarahan yang persisten jelas
memerlukan tindakan operasi. .(McAninch ,2000)
B. Imaging
1. Plain Photo
Adanya obliterasi psoas shadow menunjukkan hematom retroperitoneaal atau ekstravasasi
urin. Udara usus pindah dari posisinya. Pada tulang tampak fraktur prosesus transversalis
vertebra atau fraktur iga. (Donovan, 1994).
2. Intravenous Urography (IVU)
Pada trauma ginjal, semua semua trauma tembus atau trauma tumpul dengan
hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan eksplorasi segera harus dilakukan
single shot high dose intravenous urography (IVU) sebelum eksplorasi ginjal. Single shot
IVU ini bersisi 2 ml/kgBB kontras standar 60% ionic atau non ionic yang disuntikkan intra
vena, diikuti satu pengambilan gambar abdomen 10 menit kemudian. Untuk hasil yang baik
sistol dipertahankan diatas 90 mmHg. Untuk menghemat waktu kontras dapat disuntikkan
pada saat resusitasi awal. Keterbatasan pemeriksaan IVU adalah tak bisa mengetahui luasnya
trauma. Dengan IVU bisa dilihat fungsi kedua ginjal, adanya serya luasnya ekstravasasi urin
dan pada trauma tembus bisa mengetahui arah perjalanan peluru pada ginjal. IVU sangat
akurat dalam mengetahui ada tidaknya trauma ginjal. Namun untuk staging trauma parenkim,
IVU tidak spesifik dan tidak sensitive. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, apabila
gambaran IVU abnormal dibutuhkan pemeriksaa lanjutan dengan Computed Tomography
(CT) scan.
Bagi pasien hemodinamik tak stabil, dengan adanya IVU abnormal memerlukan tindakan
eksplorasi.
3. CT Scan
Staging trauma ginjal paling akurat dilakukan dengan sarana CT scan. Teknik noninvasiv
ini secara jelas memperlihatkan laserasi parenkim dan ekstravasasi urin, mengetahui infark
parenkim segmental, mengetahui ukuran dan lokasi hematom retroperitoneal, identifikasi
jaringan nonviable serta cedera terhadap organ sekitar seperti lien, hepar, pancreas dan
kolon.(Geehan , 2003; Brandes , 2003) CT scan telah menggantikan pemakaian IVU dan
arteriogram.Pada kondisi akut, IVU menggantikan arteriografi karena secara akurat dapat
memperlihatkan cedera arteri baik arteri utama atau segmental. Saat
ini telah diperkenalkan suatu helical CT scanner yang mampu melakukan imaging dalam
waktu 10 menit pada trauma abdomen. .(Brandes , 2003)

4. Arteriografi
Bila pada pemeriksaan sebelumnya tidak semuanya dikerjakan, maka arteriografi bisa
memperlihatkan cedera parenkim dan arteri utama. Trombosis arteri dan avulsi pedikel ginjal
terbaik didiagnosis dengan arteriografi terutama pada ginjal yang nonvisualized dengan
IVU. Penyebab utama ginjal nonvisualized pada IVU adalah avulsi total pedikel, trombosis
arteri, kontusio parenkim berat yang menyebabkan spasme vaskuler. Penyebab lain adalah
memang tidak adanya ginjal baik karena kongenital atau operasi sebelumnya.(MC Aninch ,
2000)

9
5. Ultra Sonography(USG)
Pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman dapat mengidentifikasi adanya laserasi ginjal
maupun hematom. Keterbatasan USG adalah ketidakmampuan untu membedakan darah segar
dengan ekstravasasi urin, serta ketidakmampuan mengidentifikasi cedera pedikel dan infark
segmental. Hanya dengan Doppler berwarna maka cedera vaskuler dapat didiagnosis. Adanya
fraktur iga , balutan, ileus intestinal, luka terbuka serta obesitas membatasi visualisasi
ginjal.(Brandes SB, 2003).

H. Komplikasi
A. Komplikasi Awal
Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera
1. Urinoma
Terjadi < 1% kasus trauma ginjal. Jika kecil dan noninfeksius maka tidak membutuhkan
intervensi bedah. Bila besar perlu dilakukan pemasangan tube ureter atau nefrostomi perkutan
/endoskopik.
2. Delayed bleeding
Terjadi dalam waktu 2 minggu cedera. Bila besar dan simtomatik dilakukan embolisasi.
3. Urinary fistula
Terjadi karena adanya urin yang tidak didrain atau infark segmen besar parenkim gunjal.
4. Abses
Terdapat ileus, panas tinggi dan sepsis. Mudsah didrainase perkutan.
5. Hipertensi
Pada periode awal pasca operasi biasanya karena rennin mediated, transient dan tidak
membutuhkan tindakan .

B. Komplikasi Lanjut
Hidronefrosis, arteriovenous fistula, pielonefritis, Kalkulus, delayed hipertensi
Scarring pada daerah pelvis renis dan ureter pasca trauma bisa menyebabkan obstruksi urine
yang menyebabkan terbentuknya batu dan infeksi kronik. Fistula arteriovenosa sering terjadi
setelah luka tusuk yang ditandai dengan delayed bleeding. Angiografi akan memperlihatkan
ukuran dan posisi fistula.Pada sebagian besar kasus mudah dilakukan penutupan fistula
dengan embolisasi. Hipertensi delayed pasca cedera ginjal karena iskemi ginjal merangsang
aksis renin-angiotensin.
Ginjal sangat terlindungi oleh organ-organ disekitarnya sehingga diperlukan kekuatan
yang cukup yang bisa menimbulkan cedera ginjal. Namun pada kondisi patologis seperti
hidronefrosis atau malignansi ginjal maka ginjal mudah ruptur oleh hanya trauma
ringan. Mobilitas ginjal sendiri membawa konsekuensi terjadinya cedera parenkim ataupun
vaskuler.Sebagian besar trauma ginjal adalah trauma tumpul dan sebagian besar trauma
tumpul menimbulkan cedera minor pada ginjal yang hanya membutuhkan bed rest.
Diagnosis trauma ginjal ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik digali mekanisme trauma serta kemungkinan gaya yang
menimpa ginjal maupun organ lain disekitarnya. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai
ABC nya trauma, local ginjal maupun organ lain yang terlibat. Pada pasien ini mungkin
ditemukan hematuria gross ataupun mikroskopis atau mungkin tanpa hematuria.

10
Bila kondisi tidak stabil walau dengan resusitasi maka tidak ada pilihan kecuali
eksplorasi segera. Pada pemeriksaan penunjang plain photo bisa ditemukan patah tulang iga
bawah, prosesus transversus vertebra lumbal yang menunjukkan kecurigaan kita terhadap
trauma ginjal. Pada pemeriksaan IVU akurasinya 90% namun pada pasien hipotensi tidak
bisa diharapkan hasilnya. IVU juga tidak bisa menilai daerah retroperitoneal serta sangat sulit
melakukan grading. Pada kondisi tak stabil, maka hanya dilakukan one shot IVU yang bisa
menilai ginjal kontralateral.
Pemeriksaan dengan CT scan merupakan gold standard karena dengan alat ini bisa
melakukan grading dengan baik. Bagian-bagian infark ginjal terlihat, serta seluruh organ
abdomen serta retroperitoneum juga jelas. Pemeriksaan angiografi sangat baik dilakukan
pada kecurigaan cedera vaskuler. Dilakukan arteriografi apabila CT scan tidak
tersedia. Kerugiannya pemeriksaan ini invasif.
Prinsip penanganan trauma ginjal adalah meminimalisasi morbiditas dan mortalitas
serta sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal. Hanya pasien dengan indikasi jelas
dilakukan nefrektomi. Keselamatan jiwa pasien tentunya lebih penting dari pada usaha
peyelamatan ginjal namun jiwa melayang. Teknik operasi saat ini memegang peranan
penting dalam penyelamatan ginjal.
Dengan kontrol pembuluh darah ginjal maka terjadi penurunan angka
nefrektomi. Kontrol pembuluh darah dilakukan diluar fasia Gerota sebelum masuk zona
trauma. Tanpa isolasi arteri dan vena , dekompresi hematom ginjal yang dilakukan durante
operasi meningkatkan insidensi nefrektomi.

I. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan
observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa
di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut, penurunan kadar hemoglombin dan perubahan
warna urin pada pemeriksaan urin serial, (Purnomo , 2003). Trauma ginjal minor 85% dengan
hematuri akan berhenti dan sembuh secara spontan. Bed rest dilakukan sampai hematuri
berhent, (McAninch, 2000).

2. Eksplorsi
a. Indikasi absolut
Indikasi absolut adalah adanya perdarahan ginjal persisten yang ditandai oleh adanya
hematom retroperitoneal yang meluas dan berdenyut. Tanda lain adalah adanya avulsi vasa
renalis utama pada pemeriksaan CT scan atau arteriografi.
b. Indikasi relatif
- Jaringan nonviable
Parenkim ginjal yang nekrosis lebih dari 25% adalah indikasi relatif untuk dilakukan
eksplorasi.
- Ekstravasasi urin
Ekstravasasi urin menandakan adanya cedera ginjal mayor. Bila ekstravasasi menetap
maka membutuhkan intervensi bedah.
- Incomplete staging

11
Penatalaksanaan nonoperatif dimungkinkan apabila telah dilakukan pemeriksaan
imaging untuk menilai derajat trauma ginjal. Adanya incomplete staging memerlukan
pemeriksaan imaging dahulu atau eksplorasi /rekonstruksi ginjal. Pada pasien
dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan tindakan laparotomi segera,
pemeriksaan imaging yang bisa dilakukan hanyalah one shot IVU di meja
operasi. Bila hasil IVU abnormal atau tidak jelas atau adanya perdarahan persisten
pada ginjal harus dilakukan eksplorasi ginjal.
- Trombosis Arteri
Cedera deselerasi mayor menyebabkan regangan pada arteri renalis
dan akan menyobek tunika intima, terjadi trombosis arteri renalis utama atau cabang
segmentalnya yang akan menyebebkan infark parenkim ginjal. Penegakan diagnosis
yang tepat serta timing operasi sangat penting dalam penyelamatan ginjal. Renal
salvage dimungkinkan apabila iskemia kurang dari 12 jam. Jika ginjal kontralateral
normal, ada kontroversi apakah perlu revaskularisasi atau observasi.Jika iskemia
melebihi 12 jam, ginjal akan mengalami atrofi. Nefrektomi dilakukan hanya bila
delayed celiotomy dilakukan karena adanya cedera organ lain atau jika hipetensi
menetap pasca operasi. Trombosis arteri renalis bilateral komplit atau adanya ginjal
soliter dibutuhkan eksplorasi segera dan revaskularisasi.
- Trauma tembus
Pada trauma tembus indikasi absolut dilakukan eksplorasi adalah perdarahan arteri
persisten. Hampir semua trauma tembus renal dilakukan tindakan bedah. Perkecualian
adalah trauma ginjal tanpa adanya penetrasi peluru intraperitoneum Luka tusuk
sebelah posterior linea aksilaris posterior relatif tidak melibatkan cedera organ
lain.(Brandes, 2003)

3. Teknik Operasi
A. Approach
Dilakukan transperitoneal karena dapat mengenali dan menanggulangi trauma
intraabdominal lain serta dapat melakukan isolasi pembuluh darah ginjal sebelum melakukan
eksplorasi ginjal.

B. Isolasi pembuluh darah ginjal(Prosedur MCAninch)


Dimaksudkan untuk mengendalikan perdarahan waktu dilakukan eksplorasi ginjal
sebelum tamponade hematom retroperitoneal dibuka. Usus halus dan kolon disingkirkan ke
lateral dan cranial. Buat insisi pada peritoneum posterior sebelah medial dan sejajar dengan
vena mesentrika superior. Insisi berada di ventral aorta dan dengan meneruskan insisi ke
cranial akan didapat vena renalis kiri yang berjalan melintang di ventral aorta. Vena renalis
kiri merupakan tanda yang penting karena relatif mudah ditemukan, sementara di
kraniodorsal akan didapat arteri renalis kiri. Vena renalis kanan bermuara pada vena kava
lebih kaudal disbanding vena renalis kiri dan di cranial vena renalis kanan akan dijumpai
arteri renalis kanan.
Pada saat pembuluh darah dijerat untuk mengendalikan perdarahan tapi wrm ischaemic
time tidak boleh lebih dari 30 menit. Bila diperlukan lebih lama ginjal didinginkan dengan es.
Dengan teknik ini di RSCM dapat diturunkan angka nefrektomi dari 635 menjadi 36%.

12
Setelah prosedur ini, eksplorasi ginjal dilakukan dengan membuat irisan peritoneum
parakolika.(Taher A, 2003).

C. Rekonstruksi
Setelah membuka fascia gerota maka ginjal harus terpapar seluruhnya. Pada saat inilah
biasanya terjadi perdarahan yang dapat dikendalikan dengan melakukan oklusi sementara
pembuluh darah ginjal. Selanjutnya dilakukan debridemen fasia dan jaringan ginjal diikuti
hemostasis sebaik mungkin. Bila dijumpai perdarahan pada leher kaliks, dilakukan penjahitan
dengan benang absorabel kecil dan jarum atraumatik. Defek pelviokalises memerlukan
penjahitan yang kedap air. Setelah itu baru dilakukan penjahitan parenkim sekaligus
kapsulnya dengan jahitan matras menggunakan benang kromik 2-0. Lemak omentum dapat
digunakan untuk menutup defek parenkim yang luas. Jaringan nonviable pada kutub atas
maupun bawah yang luas memerlukan nefrektomi pasrsial.
Cara guillotine merupakan cara yang mudah, namun penting untuk menyisakan kapsul
ginjal agar dapat dipakai untuk menutup defek parenkim ginjal. Sebagai penggantinya dapat
dipakai free graft peritoneum. Nefrektomi biasanya dilakukan pada robekan scattered atau
mengenai daerah hilus. Laserasi luas pada bagian tengah ginjal dan mengenai pelviokalises
sering berakhir dengan nefrektomi, (Taher, 2003).

13
ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA GINJAL

1. PENGKAJIAN
A. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering adalah nyeri bagian pinggang

b. Riwayat kesehatan sekarang


Biasanya pasien mengalami nyeri bagian abdomen, Hematuria, Distensi abdomen,
Syok akinat trauma multisistem,Nyeri pada bagian punggung, Hematoma di daerah pinggang
yang semakin hari semakin besar,Massa di rongga panggul, Ekimosis, Laserasi atau luka
pada abdomen lateral dan rongga panggul

c. Riwayat kesehatan dahulu


Beberapa tahun sebelumnya pasien mengalami benturan mengenai daerah pinggang,
baik Trauma penetrasi benda tajam (misalnya: luka tembak, luka tusuk atau tikam), Trauma
tumpul (misalnya: jatuh, cedera atletik, kecelakaan lalulintas, akibat pukulan) Cedera
iatrogenik (misalnya: prosedur endourologi, ESWL, biopsiginjal, prosedur perkutaneus pada
ginjal).Intraoperatif (misalnya diagnostik peritoneal lavage). Dan juga penolakan
transplantassi ginjal, dan melahirkan

d. Riwayat kesehatan keluarga


Apakah keluarga klien ada yang mempunyai penyakit seperti yang dialami pasien,dan apakah
keluarga pasien ada memiliki riwayat hipotensi, jantung, ginjal, DM, dan penyakit menular,
atau menurun lainnya.

B. Tanda- tanda vital


TD : biasanya lebih dari 130/90, meningkat (hipertensi)
RR :biasanya lebih dari 24 x/i, kusmaul
HR : biasanya lebih dari 80 x/ menit, takikardi
Temp : bisanya lebih dari 35-37.5 meningkat (demam)

C. Pemeriksaan fisik
a. Rambut
Biasanya keadaan kulit kepala bersih, tidak ada ketombe, tidak ada lesi,warna rambut
hitam, tidak bau dan tidak ada edema
b. Wajah
Biasanya simetri kiri dan kanan, tidak ada edema/hematome, tidak ada lesi
c. Mata
Biasanya mata simetris kiri dan kanan, reflek cahaya normal yaitu pupil mengecil,
konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik
d. Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan, tidak menggunakan cupping hidung, tidak ada polip, dan
tidak ada lesi
e.Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan, fungsi pendengaran baik.
f. Mulut
Biasanya berwarna pucat dengan sianosis bibir, tidak terjadi stomatitis, tidak terdapat
pembesaran tongsil, lidah putih.

14
g. Leher
Biasanya tidak ada pembesaran pada kelenjer tiroid, tidak ada pembesaran JVP
h. Dada dan Thorax :
Biasanya pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar rochi, wheezing, ataupun
suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan reflek batuk dan menelan.
i. Kardiovaskuler :
- Inspeksi : ictus cordis terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari
- Perkusi : di intercosta V media klavikularis sinistra bunyinya pekak
- Auskultasi : irama denyut jantung normal tidak ada bunyi tambahan
j. Abdomen :
Biasanya Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang
terdapat kembung,
k. Genitaurinaria :
Biasanya adanya terdapat lecet pada area sekitar anus. Anus kadang terdapat incontinensia
atau retionsio urine.
l. Lengan-Lengan Tungkai :
Ekstemitas atas dan bawah : Biasanya kekuatan otot berkurang. Rentang gerak pada
ekstremitas pasien menjadi terbatas karena nyeri,
m. Sistem Persyarapan :
Biasanya kelemahan otot dan penurunan kekuatan

D. Pola kebiasaan sehari-hari


a. Makanan dan cairan
Biasanya pasien Anoreksia, mual dan muntah, Intoleransi makanan, sehingga
menyebabkan Penurunan berat badan, kakeksia, berkurangnya masa otot, Perubahan pada
kelembaban/trugor kulit.

b. Eliminasi
Perubahan eliminasi urinaryus, misalnya nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih,
hematuria, sering berkemih. Sehingga menyebabkan Perubahan pada bising usus, distensi
abdomen.

c. Aktivitas / istirahat
Kelemahan atau keletihan, Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan
tidur , Keterbatasan partisipasi dalam hobi atau latihan

2. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri
2. Intoleransi aktivitas
3. Gangguan rasa nyaman
4. Risiko infeksi

15
3. Intervensi keperawatan

No Diagnosa keperawatan NOC NIC


.
1. Nyeri  Pain level Pain managemen
Definisi : Pengalaman sensori  Pain kontrol  Tentukan
dan emosional yang tidak  Compor level riwayat nyeri,
menyenangkan yang muncul Kriteria hasil : misal: lokasi
akibat kerusakan jaringan  Mampu nyeri, frekuensi,
yang aktual atau potensial mengontrol nyeri durasi, dan
atau digambarkan dalam hal (tahu penyebab intensita (skala
kerusakan sedekimikian rupa nyeri, mampu 0-10), dan
(international) Association for menggunakan tindakan
the studay of pain: awitan teknik non- penghilangan
yang tiba-tiba atau lambat dari farmakologi untuk yang digunakan
intensits ringan hingga berat mengurangi nyeri,  Evaluasi/ sadari
dengan akhir yang dapat mencari bantuan ) terapi tertentu
diantisipasi atau diprediksi > 6  Melaporkan bahwa misal: radiasi,
bln nyeri berkurang pembedahan,
Batasan karakteristik : dengan kemoterapi,
 Perubahan selera menggunakan bioterapi,
makan manajemen nyeri ajarkan pasien
 Perubahan tekanan  Mampu atau orang
darah mengennali nyeri ( terdekat apa
 Perubahan frekuensi skala intensitas, yang diharapkan
jantung frekuensi, dan  Berikan tindakan
 Perubahan frekuensi tanda nyeri) kenyamanan
pernafasan Menyatakan rasa dasar, misal:
 Laporan isyarat nyaman setelah nyeri resposisi,
 Diaforesis berkurang gosokan
 Prilaku distraksi (mis, punggung dan
berjalan mondar- aktifitas hiburan
mandir mencari orang misal: musik dan
lain atau aktivitas lain, televisi
aktivitas yang  Dorong
berulang) penggunaan
 Mengekskresikan keterampilan
prilaku (mis, gelisah, manejemen
merengek, menangis) nyeri(misal:
 Masker wajah (mis, teknik relaksasi,
mata kurang visualisasi,
bercahaya, tampak bimbingan
kacau, gerakan mata imajinasi),
berpencar atau tetap tertawa, musik
pada satu fokus dan sentuhan
meringis) teraupetik.
 Sikap melindungi area  Evaluasi
nyeri penghilangan
 Fokus menyempit nyeri/kontrol

16
(mis, gangguan nilai aturan
persepsi nyeri, pengobatan bila
hambatan proses perlu.
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang
dan lingkungan
 Indikasi nyeri yang
dapat diamati
 Perubahan posisi
untuk menghindari
nyeri
 Sikap tubuh
melindungi
 Dilatasi pupil
 Melaporkan nyeri
secara verbal
 Gangguan tidur

Faktor yang berhubungan


Agen cedera (mis, biologis,
zat kimia, fisik, psikologis)
2. Intoleransi aktivitas  Energy Aktivity therapy
Definisi : conservation  Kolaborasikan
Ketidakcukupan energi  Activity tolerance dengan tenaga
psikologis dan fisiologis untuk  Self care :ADLs rehabilitasi
melanjutkan atau Kriteria hasil : medik dalam
menyelesaikan aktivitas  Berpartisipasi merencanakan
kehidupan sehari-hari yang dalam aktivitas program terapi
harus atau yang ingin fisik tanpa disertai yang tepat
dilakukan peningkatan  Bantu klien
Batasan karakteristik : tekanan darah, nadi untuk
 Respon tekanan darah dan RR mengidentifikasi
abnormal terhadap  Mampu melakukan aktivitas yang
aktivitas aktivitas sehari- mampu
 Respon frekuensi hari (ADLs) secara dilakukan
jantung abnormal mandiri  Bantu untuk
terhadap aktivitas  Tanda-tanda vital memilih
 Perubahan EKG yang normal aktivitas
mencerminkan aritmia  Energy psikomotor konsisten yang
 Perubahan EKG yang  Level kelemahan sesuai dengan
mencerminkan iskemia  Mampu berpindah kemampuan
 Ketidaknyamanan : dengan atau tanpa fisik, psikologis,
setelah beraktivitas bantuan alat dan social
 Dipsnea setelah  Bantu untuk
beraktivitas mengidentifikasi
dan
 Menyatakan rasa letih
 Status mendapatkan
 Menyatakan rasa kardiopulmonari sumber yang
lemah adekuat diperlukan untuk
Faktor yang berhubungan:  Sirkulasi status

17
 Tirah baring atau baik mendapatkan
imobilisasi  Status respirasi : aktivitas yang
 Kelemaham umum pertukaran gas dan diinginkan
 Ketidakseimbangan ventilasi adekuat  Bantu untuk
antara suplai dan mendapatkan
kebutuhan oksigen alat bantuan
 Imobilitas aktivitas sperti
 Gaya hidup monoton kursi roda, krek
 Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
 Bantu klien
untuk membuat
jadwal ltihan
diwaktu luang
 Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan
dalam
beraktivitas
 Sediakan
penguatan
positif bagi yang
aktif beraktivitas
 Bantu pasien
untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon
fisik, emosi,
sosial, dan
spiritual
3. Gangguan rasa nyaman  Ansiety Ansiety Reduction
Definisi : merasa kurang  Fear level (penurunan
senang, lega dan sempurna  Sleep deprivation kecemasan)
dalam dimensi fisik,  Comfort, Readines  Gunakan
psikospiritual, lingkungan dan for Enchanced pendekatan yang
sosial Kriteria hasil : menenangkan
Batasan karakteristik  Mampu  Nyatakan
 Ansietas mengontrol dengan jelas
 Menangis kecemasan harapan terhadap
 Gangguan pola tidur  Status lingkungan pelaku pasien
 Takut yang nyaman  Jelaskan semua
 Ketidakmampuan  Mengontrol nyeri prosedur dan apa
untuk rileks  Kualitas tidur dan yang dirasakan
istirahat adekuat selama prosedur

18
 Iritabilitas  Agresi  Pahami
 Merintih pengendalian diri prespektif
 Melaporkan rasa  Respon terhadap  Pasien terhadap
dingin pengobatan situasi stress
 Malaporkan rasa panas  Control gejala  Temani pasien
 Melaporkan perasaan  Status kenyaman untuk
tidak nyaman meningkat memberikan
 Melaporkan gejala  Dapat mengontrol keamanan dan
distress ketakutan mengurangi rasa
 Support social takut
 Malaporkan rasa lapar
 Keinginan untuk  Dorong keluarga
 Melaporkan rasa gatal
hidup untuk menemani
 Melaporkan kurang anak
puas dengan keadaan
 Lakukan
 Melaporkan kurang back/neck rub
senang dengan situasi  Dengarkan
tersebut dengan penuh
 Gelisah perhatian
 Berkeluh kesah  Identifikasi
Faktor yang berhubungan : tingkat
 Gejala terkait penyakit kecemasan
 Sumber yang tidak  Bantu pasien
adekuat untuk mengenal
 Kurang pengendalian situasi yang
lingkungan menimbulkan
 Kurang privasi kecemasan
 Kurang kontrol  Dorong pasien
situasional untuk
 Stimulasi lingkungan mengungkapkan
yang mengganggu perasaan,
 Efek samping terkait ketakutan,
terapi (mis, medikasi, persepsi
radiasi)  Berikan obat
untuk
mengutrangi
kecemasan
Environment
Management Confort
Pain Management
4. Resiko infeksi  Imune status Infection Control
Definisi : mengalami  Knowledge : (Kontrol Infeksi )
peningkatan resiko terserang infection control  Bersihkan
organisme patogenik  Risk control lingkungan
Faktor-faktor resiko : Kriteria hasil : setelah dipakai
 Penyakit kronis  Klien bebas dari pasien lain
- Diabetes melitus tanda dan gejala  Pertahankan
- Obesitas infeksi teknik isolasi
 Pengetahuan yang  Mendeskripsikan  Batasi
tidak cukup untuk proses penularan pengunjung bila
menghindari penyakit, faktor perlu

19
pemanjanan patogen yang  Instruksikan
 Pertahan tubuh primer mempengaruhi pada pengunjung
yang tidak adekuat penularan serta untuk mencuci
- Gangguan penatalaksanaanya tangan saat
peritalsis  Menunjukkan berkunjung dan
- Kerusakan kemampuan untuk setelah
integritas kulit mencegah berkunjung
(pemasangan timbulnya infeksi meninggalkan
kateter intravena,  Jumlah leukosit pasien
prosedur infasif) dalam batas normal  Gunakan sabun
- Perubahan sekresi  Menunjukkan antimikrobia
Ph perilaku hidup untuk cuci
- Penurunan kerja sehat tangan
siliaris  Cuci tangan
- Pecah ketuban dini setiap sebelum
- Pecah ketuban dan sesudah
lama tindakan
- Merokok keperawatan
- Statis cairan  Gunakan baju,
- Trauma jaringan sarung tangan
(mis, trauma sebagai alat
destruksi jaringan) pelindung
 Ketidakadekuatan  Pertahankan
pertahan sekunder lingkungan
- Penurunan antiseptik
hemoglobin selama
- Imunosepresi (mis, pemasangan alat
imunitas didapat  Ganti letak IV
tidak adekuat, agen perifer dan line
farmaseutikal central dan
termasuk dressing sesuai
imunosupresan, dengan petunjuk
steroid, antibodi umum
monoklonal,  Gunakan kateter
imunomudulator) intermiten untuk
- Supresi respon menurunkan
inflamasi infeksi kandung
 Vaksinasi tidak kencing
adekuat  Tingkatkan
 Pemanjanan terhadap intake nutrisi
patogen lingkungan  Berikan terapi
meningkat antibiotik bila
- Wabah perlu
 Prosedur infasif Infection Protection
 Malnutrisi (proteksi terhadap
infeksi)
 Monitor tanda
dan gejala
infeksi sistemik
dan lokal

20
 Monitor hitung
granulosit, WBC
 Monitor
kerentanan
terhadap infeksi
 Batasi
pengunjung
 Sering
pengunjung
terhadap
penyakit
menular
 Pertahankan
teknik aspesis
pada pasien
yang berisiko
 Pertahankan
teknik isolasi k/p
 Berikan
perwatan kulit
pada area
epidema
 Inspeksi kulit
dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,
panas, drainase
 Inspeksi kondisi
luka/ insisi
bedah
 Dorong
masukkan nutrisi
yang cukup
 Dorong masuk
cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan
pasien untuk
minum
antibiotik sesuai
resep
 Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara
menghindari
infeksi
 Laporkan kultur
positif

21
4. Implementasi

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi


dan
Kriteria
Hasil
1. Nyeri b/d Tujuan :  Tentukan  Untuk 09.00-15.00 S : pasien
Agen Pasien riwayat mengetah  Menentuka menunjukk
cedera tidak nyeri, misal: ui lokasi n lokasi an lokasi
(mis, mengala lokasi nyeri, nyeri dan nyeri pasien nyeri yang
biologis, mi nyeri frekuensi, tingkat dengan cara di rasakan
zat kimia, atau tidak durasi, dan nyeri yang menanyaka
fisik, atau intensitas di rasakan n kepada O: lokasi
psikologis nyeri (skala 0-10), pasien pasien nyeri sudah
) menurun dan tindakan lokasi nyeri di ketahui
sampai penghilangan yang di
tingkat yang rasakan A: masalah
yang digunakan  Memberika belum
dapat  Berikan n tindakan teratasi
diterima. tindakan  Sebagai kenyamana
kenyamanan analgesik n dasar P:
dasar, misal: tambahan kepada intervensidi
resposisi, pasien lanjutkan
gosokan misal:
punggung resposisi,
dan aktifitas gosokan
hiburan punggung
misal: musik dan
dan televisi aktifitas
 Dorong hiburan
penggunaan  Untuk misal:
keterampilan menguran musik dan
manejemen gi rasa televisi.
nyeri(misal: sakit  Mendorong
teknik penggunaan
relaksasi, keterampila
visualisasi, n
bimbingan manejemen
imajinasi), nyeri(misal:
tertawa, teknik
musik dan relaksasi,
sentuhan visualisasi,
teraupetik bimbingan
imajinasi),
tertawa,
musik dan
sentuhan
teraupetik

22
 Evaluasi  Untuk  Mengevalu
penghilangan mencegah asi
nyeri/kontrol kambuhny penghilang
nilai aturan a nyeri an
pengobatan nyeri/kontr
bila perlu. ol nilai
aturan
pengobatan
bila perlu.

2. Intolerans Tujuan :  Bantu klien  Untuk  Membantu S: Pasien


i aktivitas Pasien untuk mengetahu klien untuk masih
b/d Tirah mendapat mengidentifi i tingkat mengidentif mengeluh
baring istrahat kasi aktivitas kemampua ikasi lelah
atau yang yang mampu n fisik aktivitas
imobilisasi adekuat dilakukan pasien yang O: Tubuh
, mampu pasien
Ketidaksei  Bantu untuk  Untuk dilakukan tampak
mbangan memilih menguran  Membantu lemas
antara aktivitas gi untuk
suplai dan konsisten pengeluara msmilih A: Masalah
kebutuhan yang sesuai n energi memilih belum
oksigen, dengan aktivitas teratasi
Imobilitas kemampuan konsisten
Gaya fisik, yang sesuai P:
hidup psikologis, dengan Intervensi
monoton dan social kemampuan dilanjutkan
fisik,
 Bantu untuk  Menguran psikologis,
mendapatkan gi dan social
alat bantuan kelelahan  Membantu
aktivitas pada untuk
sperti kursi pasien mendapatka
roda, krek n alat
bantuan
 Bantu klien  Menguran aktivitas
untuk gi sperti kursi
membuat kelelahan roda, krek
jadwal ltihan pasien  Membantu
diwaktu klien untuk
luang membuat
jadwal
ltihan
diwaktu
luang

23
3. Ganggua Tujuan :  Jelaskan  Mengetah  Menjelaska S: Pasien
n rasa pasien semua ui tingkat n semua mengatakan
nyaman mendapat prosedur dan rasa prosedur sudah
b/d kan rasa apa yang nyaman dan apa merasa
Gejala nyaman dirasakan pasien yang nyaman
terkait selama dirasakan
penyakit, prosedur selama O: Pasien
Kurang  Temani  Untuk prosedur terlihat
pengendal pasien untuk mengalihk  Menemani nyaman
ian memberikan an pasien dengan
lingkunga keamanan perhatian untuk situasi
n, dan pasien memberikan sekarang
Stimulasi mengurangi terhadap keamanan
lingkunga rasa takut kecemasan dan A: Masalah
n yang  Dorong karena mengurangi teratasi
menggang pasien untuk penyakit rasa takut
gu, Efek mengungkap  Untuk  Mendorong P:
samping kan perasaan, mengetahu pasien Intervensi
terkait ketakutan, i tingkat untuk di hentikan
terapi persepsi kecemasan mengungka
(mis,  Berikan obat pasien pkan
medikasi, untuk  Membantu perasaan,
radiasi) mengurangi menguran ketakutan,
kecemasan gi persepsi
kecemasan  Memberika
pasien n obat untuk
mengutrang
i kecemasan

4. Resiko Tujuan :  Bersihkan  Untuk  Membersih S:Pasien


infeksi Tidak lingkungan menguran kan masih
b/d menunju setelah gi dampak lingkungan merasakan
Penyakit kkan dipakai pemindaha setelah sakit akibat
kronis tanda- pasien lain n bakteri dipakai infeksi
- Diabetes tanda  Cuci tangan dari pasien pasien lain
melitus infeksi setiap lain  Mencuci O: Pasien
- Obesita dan sebelum dan  Untuk tangan nampak
s penyemb sesudah mencegah setiap meringis
Pengetah uhan luka tindakan bakteri sebelum sakit karena
uan yang berlangsu keperawatan pindah ke dan sesudah faktor
tidak ng  Gunakan pasien tindakan infeksi
cukup normal kateter  Untuk keperawata
untuk intermiten n A: Masalah
mencegah
menghind untuk dampak  Menggunak belum
ari menurunkan an kateter teratasi
besar
pemanjan infeksi infeksi intermiten
an kandung untuk

24
patogen, kencing  Nutrisi menurunkan P:
Pertahan  Tingkatkan yang baik infeksi Intervensi
tubuh intake nutrisi dapat kandung di lanjutkan
primer  Berikan menurunk kencing
yang terapi an dampak  Meningkatk
tidak antibiotik bila besar an intake
adekuat perlu infeksi nutrisi
- Ganggua  Memberika
n  Mencegah n terapi
peritalsik terjadinya antibiotik
- Kerusaka infeksi bila perlu
n
integritas
kulit
(pemasan
gan
kateter
intravena
,
prosedur
infasif)

25
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Ginjal sangat terlindungi oleh organ-organ disekitarnya sehingga diperlukan kekuatan
yang cukup yang bisa menimbulkan cedera ginjal. Namun pada kondisi patologis seperti
hidronefrosis atau malignansiginjal maka ginjal mudah ruptur oleh hanya trauma ringan.
Mobilitas ginjal sendiri membawa konsekuensi terjadinya cedera parenkim ataupun vaskuler.
Sebagian besar trauma ginjal adalah trauma tumpul dan sebagian besar trauma tumpul
menimbulkan cedera minor pada ginjal yang hanya membutuhkan bed rest..
Diagnosis trauma ginjal ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik digali mekanisme trauma serta kemungkinan gaya yang
menimpa ginjal maupun organ lain disekitarnya. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai
ABC nya trauma, lokal ginjal maupun organ lain yang terlibat. Pada pasien mungkin
ditemukan hematuria gross ataupun mikroskopis atau mungkin tanpa hematuria. Bila kondisi
tidak stabil walau dengan resusitasi maka tidak ada pilihan kecuali eksplorasi segera .Pada
pemeriksaan penunjang plain photo bisa ditemukan patah tulang iga bawah, prosesus
transversus vertebra lumbal yang menunjukkan kecurigaan kita terhadap trauma ginjal. Pada
pemeriksaan IVU akurasinya 90% namun pada pasien hipotensi tidak bisa diharapkan
hasilnya. IVU juga tidak bisa menilai daerah retroperitoneal serta sangat sulit melakukan
grading. Pada kondisi tak stabil, maka hanya dilakukan one shot IVU yang bisa menilai ginjal
kontralateral. Pemeriksaan dengan CT scan merupakan gold standard karena dengan alat ini
bisa melakukan grading dengan baik. Bagian-bagian infark ginjal terlihat, serta seluruh organ
abdomen serta retroperitoneum juga jelas. Pemeriksaan angiografi sangat baik dilakukan
pada kecurigaan cedera vaskuler. Dilakukan arteriografi apabila CT scan tidak tersedia.
Kerugiannya pemeriksaan ini invasif.
Prinsip penanganan trauma ginjal adalah meminimalisasi morbiditas dan mortalitas
serta sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal. Hanya pasien dengan indikasi jelas
dilakukan nefrektomi. Keselamatan jiwa pasien tentunya lebih penting dari pada usaha
peyelamatan ginjal namun jiwa melayang. Teknik operasi saat ini memegang peranan
penting dalam penyelamatan ginjal. Dengan kontrol pembuluh darah ginjal maka terjadi
penurunan angka nefrektomi. Kontrol pembuluh darah dilakukan diluar fasia Gerota sebelum
masuk zona trauma. Tanpa isolasi arteri dan vena , dekompresi hematom ginjal yang
dilakukan durante operasi meningkatkan insidensi nefrektomi.

2. Saran
Kelainan traumatic pada saluran kemih seringkali tak disadari dan mungkin tidak
meninggalkan tanda/gejala klinis. Namun apabila tanda dan gejala tersebut diatas anda alami
maka penulis menyarankan untuk cepat memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca.

26
3. JURNAL

1. Tatalaksana Konservatif Pasien Dewasa dengan Trauma Tumpul Ginjal Derajat


IV Terisolasi

Abstract
Trauma ginjal adalah trauma saluran kemih yang paling sering, tetapi trauma ginjal
berat terisolasi cukup jarang. Tulisan ini membahas kasus pasien dewasa dengan cedera
ginjal derajat IV terisolasi yang ditatalaksana konservatif non-operatif. Tidak ditemukan
komplikasi signifikan selama masa observasi dan pasca-rawat. Tatalaksana konservatif non-
operatif dapat menjadi salah satu pilihan tatalaksana trauma ginjal derajat IV tanpa masalah
hemodinamik.

References :
- Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E.
Guidelines on urological trauma. European Association of Urology. 2014.
- Santucci RA, Doumanian LR. Upper urinary tract trauma. In: Wein AJ, Kavoussi LR,
Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell’s urology. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders Company; 2011. p1169-78.

2. ULTRASONOGRAFI UNTUK PREDIKSI LASERASI PARENKIM GINJAL


DAN HEMATOMA PERIRENAL PADA PASIEN TRAUMA TUMPUL
ABDOMEN DENGAN KECURIGAAN TRAUMA GINJAL

Abstract
Tujuan: Untuk mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas ultrasound dalam
memprediksi laserasi parenkim ginjal dan hematoma perirenal pada pasien dengan trauma
tumpul perut dengan kecurigaan trauma ginjal, sebagaimana ditegaskan oleh temuan operatif
dalam laparotomi eksploratif. Bahan & metode: Dari Maret 2005 hingga Maret 2006, kami
menemukan 28 pasien yang dirawat di bagian gawat darurat dengan trauma tumpul perut
dengan kecurigaan trauma ginjal. Setiap pasien dipindai secara sonografi untuk mendeteksi
adanya laserasi parenkim ginjal dan hematoma perirenal. Semua pasien tersebut menjalani
laparotomi untuk indikasi tertentu, tetapi bukan karena temuan ultrasound. Temuan
ultrasound kemudian diperiksa dengan temuan operatif. Hasil: Sensitivitas ultrasound dalam
memprediksi laserasi parenkim ginjal adalah 53,8%, sementara sensitivitasnya dalam
memprediksi hematoma perirenal adalah 75%. Kekhususan ultrasound dalam memprediksi
kedua laserasi parenkim ginjal dan hematoma perirenal adalah 100%. Kesimpulan: USG
untuk trauma ginjal sensitif dalam memprediksi adanya hematoma perirenal, tetapi tidak
sensitif dalam memprediksi keberadaan laserasi parenkim ginjal. Ultrasound sangat spesifik
dalam memprediksi apakah hematom perirenal dan laserasi parenkim ginjal hadir.
(Terjemahan dari bahasa inggris)

References :
- McAninch JW, Santucci RA. Genitourinary trauma. In: Walsh, Retik, Vaughan,
Wein. Campbell’s Urology. 8th ed. Philadelphia: Saunders; 2002. p. 3710 – 14.
- Argyle B. Abdominal trauma. 1996. Available from: http://www.medsci.com/.
Diakses Mei 2005

27
3. Renal Trauma

Abstract
Ginjal adalah organ berpasangan yang terletak di belakang posterior peritoneum di
setiap sisi kolom vertebral dan dikelilingi oleh jaringan ikat adiposa. Setiap ginjal memiliki
bentuk karakteristik dengan kutub superior dan inferior, perbatasan cembung ditempatkan di
lateral, dan perbatasan medial cekung. Secara garis besar mereka sejajar dengan batas atas
vertebra torakel kedua belas, inferior dengan lumbar ketiga. Ginjal kanan biasanya lebih
rendah karena volume hati, sedangkan yang kiri sedikit lebih panjang dan sempit dan terletak
lebih dekat dengan bidang median. Sumbu panjang masing-masing ginjal diarahkan secara
inferolateral dan melintang secara posterolateral. (Terjemahan dari bahasa inggris)

References :
- Abdalati H, Bulas DI et al (1994) Blunt renal trauma in children: healing of renal
injuries and recommendations for imaging follow-up. Pediatr Radiol
24:573PubMedCrossRefGoogle Scholar
- Abu-Zidan FM, Al-Tawheed A et al (1999) Urologic injuries in the Gulf War. Int
Urol Nephrol 31:577PubMedCrossRefGoogle Scholar
- Acheson, AG, Graham AN et al (1998) Prospective study on factors delaying surgery
in ruptured abdominal aortic aneurysms. J R Coll Surg Edinb 43:182PubMedGoogle
Scholar

4. Hubungan gambaran ultrasonografi ginjal dengan laju Filtrasi Glomerulus


(GFR) pada penderita gangguan ginjal

Abstract :

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami korelasi antara pemeriksaan
ultrasonografi ginjal dan Laju Filtrasi Glomerular (GFR) pada pasien penyakit ginjal yang
dirujuk ke ultrasonografi ginjal di Instalasi Radiologi, Rumah Sakit Sardjito. Subjek
penelitian adalah pasien dengan gangguan ginjal yang diobati dari Juli 2008 hingga Juli 2009
yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah usia 20-65 tahun,
berat badan normal (Indeks Massa Tubuh 18,5-22,9 kg / m), dan kreatinin serum normal.
Kriteria eksklusi adalah pasien dengan anomali kongenital ginjal dan trauma ginjal. Variabel
independen adalah ukuran, struktur gandeng, batas antara korteks dan medula, sistem
pyelocaliceal dan gambar abnormal lainnya seperti batu, massa. Variabel dependen adalah
GFR (Schwartz). Chi square digunakan untuk menganalisis korelasi antara variabel
independen dan dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korelasi yang signifikan
diamati antara fungsi ginjal (GFR) terhadap ukuran (p = 0,012); echostructure (p = 0,000);
cortex-medulla border (p = 0,004) dan sistem pyelocaliceal (p = 0,01). Di sisi lain, batu ginjal
dan massa tidak menunjukkan korelasi dengan fungsi ginjal (GFR), p = 0,670. Disarankan
bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk meningkatkan akurasi ultrasonografi
ginjal dalam mengklarifikasi korelasi antara fungsi ginjal ke indeks resistivitas arteri ginjal
dengan menggunakan ultrasonografi doppler. (Terjemahan dari bahasa inggris)

28
References :

- Bates JA 2004. Abdominal Ultrasound: How, Why and When,ed 2, Churchill


Livingstone. Edinburg London New York Offord Philadelphia St Louis Sydney
Toronto.
- Cosgrove D, Meire H dan Dewbury K 1993. Abdominal and General Ultrasound,
vol.2, Churchill Livingstone, Edinburgh London Madrid Melbourne New York and
Tokyo.
- Dahlan SM 2006. Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Pusat
Consulting, ed 2, PT ARKANS, Pulogadung, Jakarta.

5. Faktor-Faktor Resiko Penyebab Gagal Ginjal Pada Pasien Yang Menjalani


Hemodialisa Di Rsud Rsud Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2013
Supriadi Supriadi, Wuriani Wuriani, Margediana Margediana

Abstract

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini
seluruh penderita gagal ginjal di ruang hemodialisis Rumah Sakit Dr. Soedarso Pontianak.
Dengan sampel 30 orang diambil secara purposive sampling. Pengambilan data dilakukan
pada 1 - 23 Januari 2014 dengan berdasarkan faktor makanan dari hasil penelitian ini
(berminyak dan kolesterol) sebanyak 46,7%, faktor minuman (minuman ringan dan alkohol)
43,3% dan karena kebiasaan mengkonsumsi lebih sedikit -air sebanyak 73,3%, faktor cedera
ginjal 26,7%, faktor merokok sebanyak 26,7%, faktor hipertensi sebanyak 53,3%, faktor
kerja 26,7%, faktor suplemen 50%, faktor diabetes mellitus sebanyak 56,7%, faktor dari
keluarga (pernah menderita gagal ginjal) sebanyak 20%. (Terjemahan dari bahasa inggris)

References :
- Arikunto.(2002). Metodologi penelitian suatu pendekatan proposal. PT Rineka Cipta:
Jakarta
- Binangkit, Anintia Ayu (2008). Identifikasi faktor – faktor penyebab gagal ginjal di
ruang haemodialisa rumah sakit militer kota malang.KTI.Program studi DII
keperawatan.Universitas Muhammadyah Malang.
- Brunner and Suddarth.(2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8, volume
3.EGC : Jakarta.

29
4. KUISIONER

1. Pada penanganan trauma ginjal grade IV yang menyebabkan komplikasi paling


minimal dan paling baik melindungi fungsi ginjal adalah berikut dibawah ini
a. konservativ
b. pemasangan stent
c. Renorrhapy
d. Nephrectomy
e. Embolisasi ginjal via catheter
2. Pasien yang menunjukkan laserasi kurang ginjal yang terbatas pada korteks Sedalam
kurang dari 1 cm, dengan hematoma pada jaringan sekitar ginjal, tanpa ektravasasi;
a. I
b. II
c. III
d. IV
e. I dan II

3. Pada pasien trauma ginjal hal yang terpenting dari informasi klinis yang diikuti adalah
a. Nilai serum kreatinin.
b. CT ren
c. USG renal
d. Pengukuran tekanan darah
e. Level serum kreatinin.
4. Menurut anda kebisaan apa yang dapat menjaga kesehatan ginjal?
a. Bekerja terus menerus, minum – minuman berenergi
b. Banyak olahraga, banyak makan – makanan berminyak, banyak minum teh.
c. Banyak olahraga, banyak minum air putih, banyak istirahat
d. Kurangi olahraga, perbanyak duduk
e. a, b, c, dan d benar
5. Faktor yang menjadi pencetus gagal ginjal kronik adalah . . .
a. Pola hidup, penyakit darah tinggi, diabetes
b. Keturunan, keluarga, riwayat penyakit kronis
c. Gaya hidup, keturunan, kelainan
d. Pola kebisaan
e. a, b, c, dan d salah

30
Daftar Pustaka

- Purnawan Junadi, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 2. Media Aeskulapius, FKUI


- 1982. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990.
- Doenges E Marilynn, 2000., Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
- Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
- Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculaapius FKUI,
Jakarta.
- Prince, Sylvia Anderson, 1999., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.,
Ed. 4, EGC, Jakarta.

Jurnal :
- Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N, Serafetinidis E.
Guidelines on urological trauma. European Association of Urology. 2014.
- McAninch JW, Santucci RA. Genitourinary trauma. In: Walsh, Retik, Vaughan,
Wein. Campbell’s Urology. 8th ed. Philadelphia: Saunders; 2002. p. 3710 – 14.
- Abdalati H, Bulas DI et al (1994) Blunt renal trauma in children: healing of renal
injuries and recommendations for imaging follow-up. Pediatr Radiol
24:573PubMedCrossRefGoogle Scholar
- Bates JA 2004. Abdominal Ultrasound: How, Why and When,ed 2, Churchill
Livingstone. Edinburg London New York Offord Philadelphia St Louis Sydney
Toronto.

Internet :
www.google.com
stikep.blogspot.com
www.scribd.com
media.asuhankeperawatan.blogspot.com

31

Anda mungkin juga menyukai