Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak
dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges. Inflamasi dari meningen dapat
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan penyebab paling
jarang adalah karena obat-obatan. Meningitis dapat mengancam jiwa dan merupakan
sebuah kondisi kegawatdaruratan. Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen
penyebabnya, yaitu meningitis bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis
parasitik dan meningitis non infeksius.
Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri dan
merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan
menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian. Berdasarkan penelitian
epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia Tenggara,
meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis tuberculosis.
Ketersediaan antibiotik saat ini telah terjamin, namun meningitis bakteri tetap memiliki
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah
sekitar 10% dari jumlah kasus yang dilaporkan. Pada suatu studi klinik memperlihatkan
kejadian sekuel neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih 30% pada
anakanak, 10% dari kasus anak-anak tersebut mengalami gangguan pendengaran yang
permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah 50-90%

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
A. Identitas Pasien

Nama : An. S
Umur : 9 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pandean, Lodoyong Ambarawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk : 28 Mei 2017

B. Riwayat Perjalanan Penyakit

Anamnesis : Autoanamnesis dan alloanamnesis


Keluhan Utama : Kejang 3,5 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Sesak, tangan dan kaki kanan tidak bisa
digerakkan, bicara pelo

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Ambarawa dengan keluhan kejang sejak
3,5 jam SMRS. Kejang sebanyak 1 x dan terjadi selama kurang dari 5 menit. Pasien
tidak mengeluarkan busa saat kejang terjadi. Pasien langsung menangis setelah awitan
kejang berlangsung. Setelah kejang pasien tidak dapat menggerakkan tangan kanan dan
kaki kanannya disertai kesulitan dalam berbicara.

2
Sesak napas juga dikeluhkan pasien yang semakin memberat apabila pasien
beraktivitas, dan membaik bila pasien beristirahat. Pasien juga mengeluhkan banyak
keringat apabila sedang sesak napas dan merasa berdebar-debar. Pasien juga
mengeluhkan pusing dan nafsu makan yang menurun. Keluhan pasien tidak disertai
penurunan kesadaran, mual dan muntah, gangguan penciuman, penglihatan kabur, dan
kesulitan menelan. Demam dan penurunan berat badan signifikan dalam satu bulan
terakhir juga disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah menderita keluhan kejang seperti ini sebelumnya saat masih
berusia 4 bulan. Pasien juga memiliki riwayat kelainan jantung bawaan sejak lahir.
Pasien sudah disarankan untuk melakukan tindakan operasi untuk menangani penyakit
jantung bawaan namun keluarga menolak karena alasan biaya dan hanya melakukan
pengobatan tradisonal. Riwayat trauma kepala tidak ada. Riwayat infeksi di telinga,
hidung dan tenggorokan tidak ada. Riwayat terpapar radiasi tidak ada. Riwayat
menderita tumor tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.

Riwayat Kelahiran :
Riwayat kelahiran spontan, aterm (9 bulan) lahir di bidan dengan berat badan lahir
2000 gram

Riwayat Tumbuh Kembang : sesuai

Riwayat Imunisasi
Baru lahir : Hepatitis B, Polio
1 Bulan : BCG, Polio 1
2 Bulan : DPT 1, Polio 2

3
3 bulan : DPT 2, Polio 3
4 bulan : DPT 3, Polio 4
9 bulan : Campak

C. Pemeriksaan Fisik

Status
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- GCS : E4M6V5 = 15
- Vital sign
Nadi : 145 x/menit
RR : 49 x/menit
Suhu : 36,7 o C
- Gizi : CDC score : < 5 Gizi Buruk

Status Generalis
- Kepala
Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : sklera tidak kuning, konjungtiva palpebra tidak
pucat
Telinga : liang lapang, simetris, sekret (-/-)
Hidung : septum tidak deviasi, sekret (-), pernafasan
cuping hidung (-)
Mulut : mukosa tidak kering

- Leher
Pembesaran KGB : tidak ada pembesaran KGB
Pembesaran kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
Trakhea : di tengah

4
- Toraks
(Cor)
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : thrill (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : murmur sistolik (+), gallop (-)
(Pulmo)
Inspeksi : pergerakan tidak simetris, retraksi intercostal (+)
Palpasi : tidak simetris
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+) melemah , rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : datar, simetris
Palpasi : massa teraba (-), nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+)
Auskultasi : bising usus normal

Extremitas
Superior : oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik,
clubbing finger (+)
Inferior : oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik.

Status Neurologis
- Saraf Cranialis
N.Olfactorius (N.I)

5
Daya penciuman hidung : normosmia/ normosmia

N.Opticus (N.II)
Tajam penglihatan : VOD 1/60 BS dan VOS 1/60 BS
Lapang penglihatan : sama dengan pemeriksa
Tes warna : tidak dilakukan
Fundus oculi : tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI)


Kelopak Mata
- Ptosis : (-/-)
- Endophtalmus : (-/-)
- Exopthalmus : (-/-)

Pupil
- Ukuran : (3mm/3mm)
- Bentuk : (Bulat / Bulat)
- Isokor/anisokor : (isokor / isokor)
- Posisi : (Sentral / Sentral)
- Refleks cahaya langsung : (+/+)
- Refleks cahaya tidak langsung : (+/+)

Gerakan Bola Mata


- Medial : ( baik / baik )
- Lateral : ( baik / baik )
- Superior : ( baik / baik )
- Inferior : ( baik / baik )
- Obliqus superior : ( baik / baik )
- Obliqus inferior : ( baik / baik )

6
N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus : ( normal / normal )
- Ramus maksilaris : ( normal / normal )
- Ramus mandibularis : ( normal / normal )

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam : simetris
- Meringis : simetris
- Menutup mata : simetris

Pasien disuruh untuk


- Mengerutkan dahi : simetris
- Berbicara : sedikit pelo

N. Vestibulocochlearis (N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran : (+/+)
- Tinitus : (-/-)

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)


- Refleks batuk : (+)
- Refleks muntah : (+)
- Refleks menelan : (+)
- Bradikardi : (-)
- Takikardi : (+)

N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus : ( normal / normal )

7
N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi : (-)
- Fasikulasi : (-)
- Deviasi : (+)

- Tanda Perangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk : (+)
Kernig test : (+)
Laseque test : (+)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinky III : (-)
Brudzinky IV : (-)

- Sistem Motorik Superior ka/ki Inferior ka/ki


Gerak (melemah/aktif) (melemah/aktif)
Kekuatan otot 1/5 1/5
Tonus (Hipotonus/Normotonus) (Hipotonus /normotonus)

Atropi (-/-) (-/-)


Refleks fisiologis Biceps (melemah/+) Pattela (melemah/+)
Triceps (melemah/+) Achiles (melemah/+)
Refleks patologis Hoffman Trommer (-/-) Babinsky (+/-)
Chaddock (-/-)
Schaeffer (-/-)

Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba : ( berkurang / + )

8
- Rasa nyeri : ( berkurang / + )

- Susunan Saraf Otonom


Miksi : normal
Defekasi : normal
Salivasi : normal

- Fungsi Luhur
Fungsi bahasa : Baik
Fungsi orientasi : Baik
Fungsi memori : Baik
Fungsi emosi : Baik

D. Diagnosis
Abses Serebri
Tetralogy of Fallot
Gizi Kurang

E. Diagnosis Banding
Meningitis
Tumor serebri

F. Penatalaksanaan

1. Umum
- Observasi konvulsi
- Tirah baring
- Monitoring tanda vital
2. Diet :
- Pemberian nutrisi peroral sesuai kebutuhan kalori pasien

9
3. Medikamentosa
Infus RL 12 tpm
Inj. Cefotaksim 3 x 500 mg
Diazepam 3 x 1.5 mg
Cek DR, elektrolit

I. Prognosa

- Quo ad vitam = dubia ad bonam


- Quo ad functionam = dubia ad malam
- Quo ad sanationam = dubia ad malam

10
2.2 FOLLOW UP

29 Mei 2017
S : Kejang (-)
Sesak (+), nafsu makan belum membaik
O :
GCS : E4M5V6 = 15
TTV : T : 37,1 o C
RR : 50x/menit
Nadi : 119 x/menit
O2 : NRM 5 lpm
Pulmo :
Inspeksi : Gerakan dada tidak simetris
Auskultasi : Vesikuler menurun
Cardio :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Auskultasi : Murmur Sistolik (+)
S. kranialis: Bicara pelo (+),
Motorik : Hemiparese dekstra (+)
Sensibilitas : kesan menurun pada ekstremitas atas dan bawah dekstra
Saraf otonom : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (+)
Kernig test : (+)
Laseque test : (+)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Lab Darah Rutin 29/5/2017
13,3/ 47,2/ 8700/ 391000

11
Diagnosis
Abses cerebri + Susp. TOF
Terapi
Cefotaksim 3x1 gram
Fenitoin
RL 12 tpm
Konsul Sp.M untuk evaluasi tanda peningkatan intrakranial

30 Mei 2017
S : Kejang (-)
Sesak (+), nafsu makan belum membaik, demam (+)
O :
GCS : E4M5V6 = 15
TTV : T : 37,9 o C
RR : 72 x/menit
Nadi : 139 x/menit
O2 : NRM 5 lpm
Pulmo :
Inspeksi : Gerakan dada tidak simetris
Auskultasi : Vesikuler menurun
Cardio :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Auskultasi : Murmur Sistolik (+)
S. kranialis: Bicara pelo (+),
Motorik : Hemiparese dekstra (+)
Sensibilitas : kesan menurun pada ekstremitas atas dan bawah dekstra
Saraf otonom : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (+)

12
Kernig test : (+)
Laseque test : (+)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Jawaban Konsul Mata : tidak ada peningkatan TIK, papil edema (-/-)
Diagnosis
Abses cerebri + Susp. TOF
Terapi
02 Nasal Kanul 2 lpm
RL 12 tpm
Cefotaksim 3 x1 gram
Metronidazole 3 x 225 gram
Fenitoin 2 x 30 gram
PCT syr 7,5 cth p.o jika demam

31 Mei 2017
S : Kejang (-)
Sesak berkurang, nafsu makan belum membaik, demam (-)
O :
GCS : E4M5V6 = 15
TTV : T : 37,4 o C
RR : 70 x/menit
Nadi : 125 x/menit
O2 : NRM 8 lpm
Pulmo :
Inspeksi : Gerakan dada tidak simetris
Auskultasi : Vesikuler menurun
Cardio :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Auskultasi : Murmur Sistolik (+)

13
S. kranialis: Bicara pelo (+),
Motorik : Hemiparese dekstra (+)
Sensibilitas : kesan menurun pada ekstremitas atas dan bawah dekstra
Saraf otonom : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (+)
Kernig test : (+)
Laseque test : (+)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Diagnosis
Abses cerebri + Susp. TOF
Terapi
02 Nasal Kanul 2 lpm
RL 12 tpm
Cefotaksim 3 x1 gram
Metronidazole 3 x 225 gram
Fenitoin 2 x 30 gram
PCT syr 7,5 cth p.o jika demam

Kondisi pasien terakhir


Pasien di rujuk ke RS. Kariadi Semarang untuk CT Scan dan terapi lebih lanjut

14
BAB III
LAPORAN HASIL KUNJUNGAN RUMAH

III.1 Profil Keluarga Yang Tinggal Satu Rumah


III.1.1 Tabel Daftar Anggota Keluarga
No. Nama Kedudukan Jenis Usia Pendidikan Pekerjaan
Kelamin (tahun)
1 Tn.S Ayah Laki Laki 50 SD Buruh
2 Ny.U Ibu Perempuan 44 SD Buruh
3 An.S Anak Ke-1 Perempuan 9 SD Pelajar
4 An.N Anak Ke-2 Perempuan 5

II.1.2 Genogram Keluarga

Keterangan :
Laki laki
Perempuan
Pasien

15
III.2 Denah Rumah

Kamar mandi Gudang

Dapur Ruang
Tamu

Kamar
1

Kamar

16
III.3 Edukasi saat kunjungan
Menjelaskan mengenai tuberculosis yakni sumber infeksi yang dapat
berasal dari orang atau lingkungan sekitar dan komplikasinya
Menjelaskan bahwa menigitis tuberkulosis harus diobati namun dapat
menimbulkan gejala sisa
Menjelaskan pentingnya memperhatikan gizi pasien karena gizi yang
kurang dapat memicu rekurensi tuberculosis
Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa pasien mengalami penyakit
jantung bawaan yang tergolong sianotik yakni pasien bisa sewaktu -waktu
menjadi sesak dan kebiruan serta bagaimana cara sederhana yang harus
dilakukan saat terjadi serangan sesak serta sianotik
Menjelaskan kepada keluarga pasien pentingnya menjaga dan merawat
kesehatan serta kebersihan gigi pasien
Informasi mengenai pentingnya pola hidup bersih dan bagaimana cara
sederhana melakukannya
III.4 Faktor Pendukung Keberhasilan After Care Patient
Keluarga bersedia untuk kunjungan dokter muda dan menyambut
kedatangan dengan ramah.
Keluarga memperhatikan dengan baik ketika diberikan penjelasan
mengenai keadaan pasien.
Keluarga berusaha untuk selalu mengontrol dan mengawasi
perkembangan kesehatan pasien terutama ibu dan nenek pasien.
Keluarga berkeinginan dan berusaha untuk melakukan hidup sehat
Tempat tinggal pasien dekat dengan sarana kesehatan

17
III.5 Identifikasi Fungsi Fungsi Keluarga
II.5.1 Fungsi Psikologis
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan adik perempuan, namun
terkadang pasien dititipkan kerumah neneknya dan tinggal bersama paman dan
sepupu laki-laki. Pasien adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Sehari-hari
pasien dekat dengan kedua orang tuanya, pasien aktif bermain bersama adik dan
saudara sepupunya di rumah neneknya. Pasien jarang bermain bersama
tetangganya serta teman sebayanya karena kondisi pasien belum stabil namun
pasien sering diajak berjalan-jalan di lingkungan sekitar rumah oleh pamannya.
Keluarga pasien terlihat kompak dan harmonis.

II.5.2 Fungsi Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai buruh kerja serabutan yang tidak menentu,
sedangkan ibu pasien bekerja sebagai buruh pabrik. Biaya kehidupan sehari-hari
pasien bergantung kepada pekerjaan ayah dan ibu pasien.

II.5.3 Fungsi Religius


Pasien dan keluarganya adalah seorang muslim. Pasien rutin mengikuti
pengajian untuk anak di daerah lingkungan rumahnya.

II.5.4 Fungsi Sosial Budaya


Keluarga pasien di dalam lingkungannya adalah warga biasa. Pasien
biasa bermain di halaman rumah bersama adik dan saudara sepupunya.

II.6 Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan


11.6.1 Faktor Perilaku
Kesadaran keluarga kurang baik dalam menjaga kesehatan dan kebersihan di
rumah neneknya
Keluarga pasien peduli dan memperhatikan perkembangan kesehatan yang
dialami pasien

18
11.6.2 Faktor Non Perilaku
Sarana pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit dekat dengan rumah
pasien. Jarak pelayanan kesehatan terdekat dari rumah pasien yaitu sekitar 2
km dengan jarak tempuh kurang dari 10 menit dengan motor.
II.6.3 Identifikasi Lingkungan Rumah
Rumah pasien masuk ke jalan yang bergang dengan jalan tanah di
daerah Lodoyong. Letak rumahnya menyusuri turunan dan berada di ujung
jalan dengan pekarangan yang cukup luas. Rumah terdiri dari 2 kamar tidur,
1 kamar mandi, ruang tamu, gudang, dan dapur. Lantai rumah tidak terpasang
keramik. Atap rumah langsung genteng dengan dinding rumah sebagian
dengan tembok dengan cat putih dan sebagian lain dengan triplek kayu.
Ventilasi udara cukup di ruang tamu, dan kamar. Cahaya dan udara
masuk melalui pintu yang terbuka. Isi dalam rumah cukup padat dan kurang
tertata. Dapur terlihat cukup bersih dan tertata rapi.

19
II.7 Perkembangan pasien setelah di rujuk ke RS Kariadi Semarang
II.7.1 Pemeriksaan yang dilakukan di RSDK Semarang

Rontgen 1 Juni 2017 RSDK


Kesan : Cardiomegaly ( LV,LA) disertai plethora
Cenderung memberi gambaran pneumonia
Infitrat nodular pada lapang atas paru kiri dan lapang bawah paru kanan DD infiltrate
nodular, nodul paru

20
MSCT Kepala 1 Juni 2017 RSDK
Kesan :
Hipodensity area pada lobus frontoparietotemporal kiri masih mungkin gambaran
iskemik
Gyral enhancement pada frontotemporoparietoocipital kiri, cenderung gambaran
meningitis
Tampak tanda peningkatan tekanan intracranial

Elektroensefalografi 6 Juni 2017 RSDK


Klasifikasi : Abnormal II (bangun)
Continous slow pada regio parieto centro temporal kiri
Kesan :
Hasil perekaman EEG rutin saat ini tidak didapatkan gelombang epileptogenic, curiga
struktur abnormal pada regio tersebut

21
Rontgen 6 Juni 2017 RSDK
Kesan : Konfigurasi jantung relatif sama dengan tanggal 1-6-17
Gambaran plethora
Gambaran edema pulmonum, masih mungkin disertai pneumonia

Echocardiograf 7 Juni 2017 RSDK


Atrial situs solitus
Drainase vena pulmonalis normal
Satu pembuluh darah keluar dari ventrikel, besar (trunkus arteriosus, aorta/arteri
pulmonalis keluar dari trunkus
RV dan LV balance
Kesan : Trunkus arteriousus tipe I dd/ VSD-PA

22
II.7.2 Kondisi Klinis Terakhir Pasien saat After care
5 Juli 2017
S : Kejang (-)
Sesak berkurang, nafsu makan membaik, demam (-)
O :
GCS : E4M5V6 = 15
TTV : T : 36,6 o C
RR : 30 x/menit
Nadi : 108 x/menit
Sat O2 : 70 %
Pulmo :
Inspeksi : Gerakan dada tidak simetris
Auskultasi : Vesikuler +/+
Cardio :
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Auskultasi : Murmur Sistolik (+)
S. kranialis: Bicara pelo (+),
Motorik : Hemiparese dekstra (+)
Sensibilitas : kesan menurun pada ekstremitas atas dan bawah dekstra
Saraf otonom : dalam batas normal
Fungsi luhur : dalam batas normal
Tanda Perangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Kernig test : (-)
Laseque test : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)

23
Diagnosis
Meningitis TB
Ventrikel Septal Defect
Gizi Kurang

Terapi
Etambutol 500 mg 1 x 1
Rifampicin 75 mg- isoniazid 50 mg 1 x 1
Asam Valproat Syr 250 mg 3 x cth
Piridoksin tab 10 mg 1 x 1
Captopril 25 mg tab 2 x 1

II.10 Tabel Permasalahan

Permasalahan Penyelesaaian

Kurangnya pengetahuan - Edukasi mengenai penyakit dan bahaya yang dapat


keluarga mengenai penyakit terjadi.
pasien dan pengobatan serta - Edukasi mengenai pentingnya mengontrol kesehatan
efek samping obat yang pasien
diminun - Edukasi mengenai efek samping dari obat yaitu oat yang
dikonsumsi pasien bahwa obat tersebut dapat bersifat
toksik untuk hati
- Edukasi mengenai tanda-tanda bahaya agar segera di
bawa ke IGD rumah sakit.
Kebersihan rumah dan - Edukasi mengenai pentingnya ventilasi dan pencahayaan
higienitas perorang yang bagi kesehatan anggota keluarga
belum baik - Membersihkan rumah dan menata rumah setiap hari agar
debu dan kotoran tidak menumpuk

24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang,
melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan
serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan,
yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter. 2

Gambar 2.1. Anatomi Meningen 2

1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. Sifat dari durameter
yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan berwarna abu-abu. Bagian pemisah dura
falx serebri yang memisahkan kedua hemisfer dibagian longitudinal dan tentorium
yang merupakan lipatan dari dura yang membentuk jaring- jaring membran yang kuat.
Jaring ini mendukung hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak
(fossa posterir). 2
2. Arakhnoid

25
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut arakhnoid. Membran
ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid terdapat flexus
khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal (CSS). Membran
ini mempunyai bentuk seperti jari tangan yang disebut arakhnoid vili, yang
mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS diproduksi 500 cc dan diabsorbsi
oleh vili 150 cc. 2
3. Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan,
yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak. Piameter berhubungan
dengan arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Piameter
merupakn selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti setiap
lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura- fisura, juga melekat pada permukaan
batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal sampai ke ujung medula spinalis
setinggi korpus vertebra. 2

3.2 Definisi Meningitis Tuberkulosis


Meningitis merupakan penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang
semua orang. Bayi, anak-anak, dan dewasa muda merupakan golongan usia yang
3
mempunyai resiko tinggi untuk terkena meningitis. Meningitis tuberkulosis
merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi
yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-
paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di
luar paru-paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. 3

3.3 Etiologi Meningitis Tuberkulosis


Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3m mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15

26
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis,
spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium
bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti. 4

Gambar. Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis 4

3.4 Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis


Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis,
meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis. 5
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4
atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak
yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis
tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya
18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. 6

27
3.5 Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga
ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang. 7
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama
masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun
jarang. 6 Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus
tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah
trauma kepala. 6
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi
hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang
paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan
berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh
darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat
gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat
terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan.

28
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang
terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf
kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan
strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi
iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi
papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen. 6,7
2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan dengan trombosis dan infark
pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada
di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan
selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri
cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan
apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan
adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang
ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa
infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang
sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya,
dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan
derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau
total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe
lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin. 6,7
3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. 6,7

29
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
4
menyebabkan spinal block dan paraplegia. Gambaran patologi yang terjadi pada
meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis.
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
4. Meningitis proliferatif.
Terlokalisasi, pada selaput otak.
Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang
diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi. 6,7
Patogenesis terjadinya meningitis tuberkulosis secara skematis, dapat diamati
sebagai berikut:
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

30

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dormain

Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

Meningitis tuberkulosa

3.6 Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis


Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat
dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
Biasanya gejalanya tidak khas.
Timbul perlahan-lahan.
Tanpa kelainan neurologis.
Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.

31
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan
suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja
tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan
didapatkan sekitar 10-15%.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh
adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

Gambar 2.3. Kaku kuduk pada penderita meningitis

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di


dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang
mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus,
gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis
menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis
yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat
infark bilateral atau edema otak yang berat.

32
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih
besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama).
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang
sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu. Pada stadium
ini gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat infark batang otak
akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala-gejala yang dapat timbul, antara lain:
pernapasan irregular
demam tinggi
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun

33
irritable dan apatik
mengantuk
stupor
koma
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan
yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya
telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat
atau tidak adekuat. 6,7,8

3.7 Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis


Anamnesis didapatkan adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran
(tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik
yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang
ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada
neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi
malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang
(pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).9
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda rangsang
meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari
2 tahun. 9

34
Tabel. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan TB

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak,
uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat.
Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai
90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux
lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified
Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 9
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :

35
1. Pembengkakan (indurasi) : 0-4 mm uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan (indurasi) : 3-9 mm uji mantoux meragukan.
Arti klinis : hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypic atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (indurasi) : 10 mm uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Dari pemeriksaan laboratorium biasa disapatkan anemia ringan dan
peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Pada pemeriksaan cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis
(dengan cara pungsi lumbal) didapatkan:
Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung
lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut
dapat mencapai 1000 / mm3.
Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen.
Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah 60% dari kadar glukosa darah.
Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.

36
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman.
Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan
kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal
pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang
sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak
hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak
atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan
tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau
talamus.

3.9 Pengobatan Meningitis Tuberkulosis


Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan
intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke
6,7,8,9
arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku
tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan
dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus, yaitu:
Terapi Umum
Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein

37
Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
Keseimbangan cairan tubuh
Perawatan kandung kemih dan defekasi
Mengatasi gejala demam, kejang.
Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
INH : 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edem cerebri
Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
Kesadaran menurun
Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri penyebabnya
dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil biakan sebaiknya

38
diberikan antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika diberikan selama 10-
14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas demam.
Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman gram
negatif.

Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse
reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan
dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah,
sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap
paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat
isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek

39
toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada
anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang
meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.7

Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2
jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari,
dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /
kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara
luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi
rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang
sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma
oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg,
dan 450 mg.

Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid
hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis
pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum
puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif

40
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat
jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah
hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-
anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg. 7

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan
tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis
tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan
kadar puncak 45-50 g /ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus)
dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin,
yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. 7

Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu

41
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai
dengan lamanya pemberian regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal

Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan
dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam
bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan
toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga
seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan
dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien
yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir
mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya
pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak

42
dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia
atau tidak dapat digunakan. 7

Tabel 2.2. Efek samping ringan obat dan penatalaksanaannya.

Tabel 2.3. Efek samping berat obat dan penatalaksanaanya.

43
3.9 Komplikasi Meningitis Tuberkulosis
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,
dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,
nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada
mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan
keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan
kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin. 6

3.10 Prognosis Meningitis Tuberkulosis


Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat
meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur
kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih
tua usianya. 6

44
BAB IV
KESIMPULAN

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)


yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Tuberkulosis yang menyerang SSP (sistem saraf pusat) ditemukan dalam tiga bentuk
yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan
di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak adalah meningitis tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai 4 atau 6
tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, dan hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan
intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke
arah meningitis tuberkulosis. Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis
tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis
spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat
berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan
spastisitas.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat
meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur
kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih
tua usianya.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. 2005. Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak. Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI. Jakarta. P. 54-56.

2. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the Nervous
System in Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The McGraw-
Hill Companies. p403-408, p421-423.

3. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika. 2008.


Infeksi Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda Melinda.
Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.

4. Amin, Z., Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : EGC.

5. Kemenkes RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Keputusan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009.

6. Depkes RI. 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Gerakan


Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

7. Depkes RI. 2009. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktorat


Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

8. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition.


Lippincot William and Wilkins. p. 443.

9. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th edition.
IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.

46

Anda mungkin juga menyukai