Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

I. Konsep Penyakit Epilepsi


1.1 Definisi
Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena
terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sekelmpok sel neuoron pada otak
sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia mulai dari
bengong sesaat, kesemutan gangguan kesadaran, kejang kejang dan atau
kontraksi otot. Epilepsi merupakan akibat dari gangguan otak kronis
dengan serangan spontan yang berulang (Satyanegara dalam Nurarf dan
Kusuma, 2015).
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak
yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat
dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral
yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran
ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Anonim,
2008).

1.2 Etiologi
1. Idiopatik: Epilepsi pada anak sebagian besar merupakan epilepsi
idiopatik.
2. Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
3. Faktor genetik; pada kejang demam & breath holding spells.
4. Kelainan konginetal otak; atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum.
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi; radang yang disebabkan oleh bakteri/virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subarakhnoid, hematoma
subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10. Keracunan; Timbal(Pb), kamper(kapur barus), fenotiazin, air
11. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon,
degenerasi serebral, dll.

1.3 Tanda Gejala


Manifestasi dari epilepsi, yaitu: (Turana, 2007)
Sawan parsial (kesadaran tetap normal)

1. Gejala motorik
- Tidak menjalar
- Dan menjalar
2. Gejala somatosensoris (rasa kesemutan dan seperti
ditusuk2)
- Terlihat cahaya
- Terdengar sesuatu
- Terkecap sesuatu
- veretigo
3. Pucat, berkeringat
4. Gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagsia (ganggua bicara)
- Dimensia ( gangguan proses ingatan)
- Halusinasi

Sawan umum (konvulsif atau non Konvulsif)

1. Sawan lena (kegiatan yg dikerjakan tiba2 terhenti)


2. Sawan lena tak khas (gangguan tonus yg
jelasbangkitan dan mendadak.
3. Sawan Mioklonik (terjadi kontraksi
mendadak,sebentar,kuat,lemah, dan dapat dijumpai
pada seumur hifup
4. Sawan Klonik (gerakan menyentak,lambat dan
dapat dijumpai terutama sekali pd anak.
5. Sawan tonik (otot2 hanya menjadi kaku pd wajah
dan bagian tubuh bagian atas.
6. Sawan tonikl-klinik (serangan dpt diawali dengan
aura,yaitu pasien mendadak jatuh pingsan, dan otot
otot seluruh badan kaku.
7. Sawan Atonik (otot2 seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh)

1.4 Patofisiologi
Epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat
proses patologik dalam otak, gaya mekanik/toksik, yang selanjutnya
menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel syaraf tersebut.
Beberapa penyidikan menunjukan peranan asetilkolin sebagian zat yang
merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya
muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi
klinisnya muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolon sudah cukup tertimbun
di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel syaraf kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel syaraf kolinergik dan
merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih
banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak daripada
selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin, daripada dalam otak
sehat. Pada tumor serebri/adanya sikatrik setempat pada permukaan otak
sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri/trauma
lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu
pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel syaraf. Penimbunan
asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat
merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat
terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsi fokal yang biasanya
simtomatik.
Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik
dilepaskan oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti
centrephalic. Inti ini merupakan terminal dari lintasan asenden aspesifik
atau lintasan asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui
lintasan aferen spesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama
sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh karena
sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-
inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang
berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus
menghalangi sel-sel syaraf yang memelihara kesadaran untuk menerima
impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bagian dari substansia retikularis di
bagian rostral dari mensenfalon yang dapat melakukan blokade sejenak
terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak
tanpa disertai kejang- kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit
mal.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan.
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI).
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

1.6 Komplikasi
Status Epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus
lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Status mengancam adalah
serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya
kesadaran anti serangan.
Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi
antara lain: cedera kepala, cedera mulut, luka bakar dan fraktur.

1.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu
kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan
medikamentosa fan pengobatan psikososial.
1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah
manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan
metabolik, maka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan
pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor
pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan.
b. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c. Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini
toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan
menghindari interaksi obat.
e. Dosis obat disesuaikan secara individual.
f. Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
- Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak
terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.
- Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
- Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
- Faktor emosional sebagai pencetus.
- Termasuk intractable epilepsi.
g. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 3
tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan
dosisnya.
2. Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam
menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat
belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal.
3. Penatalaksanaan status epileptikus
a. Lima menit pertama
- Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu
serangan berikutnya.
- Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala
dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
- Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
- Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah,
kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan
biaya).
b. Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa
50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai
100 mg tiamin intravena.
c. Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5
mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah
5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis
rumat fenitoin.
d. Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada
dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan
darah selama pemberian.
e. Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan
fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status
menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan
60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika
status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam
atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman
dan pribadi
b. Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan
untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c. Lepaskan pakaian yang ketat
d. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama
kejang.
e. Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar
tempat tidur.
f. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi
bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan
spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir
dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h. Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang
karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i. Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan
kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan
memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap
gunakan jika perlu untuk membersihkan secret
j. Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk
mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya
terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe
pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang.
Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan.

1.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Epilepsi
2.1 Pengkajian
2.2
2.1.1 Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan
pengkajian.
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita
pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan).
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini
terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi
serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur
emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak,
operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik).
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain
baik bersifat genetik maupun tidak.
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi
apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori,
auditorik, olfaktorik.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik: Data Fokus
1. Keadaan Umum
2. Pemeriksaan Persistem
a. Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala,
otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai
vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala
menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut,
apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu
posisi/keduanya.
b. Sistem Persyarafan
- Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan?
Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik
seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa
lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai.
- Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit
kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah
pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah
serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi
kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka
gores).
c. Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan
(nafas yang dalam)
d. Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut
jantung
e. Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses,
nausea
f. Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g. Sistem Reproduksi
h. Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang,
waktu serangan.
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI).
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.
2.3 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik
2.2.1 Definisi
Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh
atau satu ekstermitas atau lebih (Wilkinson dan Ahern, 2011).
2.2.2 Batasan karakteristik
Dispnea setelah beraktivitas
Gangguan sikap berjalan
Gerakan lambat
Ketidaknyamanan
Kesulitan membolak balik posisi
Tremor akibat bergerak.
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Ansietas
Depresi
Fisik tidak bugar
Gangguan metabolisme
Gangguan neumoskular
Kaku sendi
Intolrensi aktifitas
Gaya hidup kurang gerak

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas


2.2.4 Definisi
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
(Wilkinson dan Ahern, 2011).
2.2.5 Batasan karakteristik
Dispnea
Nafas pendek
Perubahan ekskursi dada
Mengambil posisi tiga titik tumpu (tripod)
Bradipnea
Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Penurunan kapaasitas vital
Peningkatan diameter anterior-posterior
Nafas cuping hidung
Ortopnea
Fase ekspirasi memanjang
Pernafasan bibir mencucu
Takipnea
Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernafas
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Ansietas
Posisi tubuh
Deformaitas tulang
Deformitas dinding dada
Penurunan energi dan dan kelelahan
Hiperventilasi
Sindrom hipoventilasi
Kerusakan muskuloskeletal
Imanuritas neurologis
Disfungsi neuromuskular
Obesitas
Nyeri
Kerusakan presepsi atau kognitif
Kelelahan otot-otot pernafasan
Cedera medula spinalis
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik
2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan
pengawasan
Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan
Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri
dengan alat bantu
Menyangga berat badan
Berpindah dari dan ke kursi atau kursi roda
Menggunakan kursi roda secara efektif
2.3.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
Promosi latihan fisik (latihan kekuatan): memfasilitasi pelatihan
otot resisitif secara rutin untuk mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan otot.
Terapi latihan fisik (ambulasi): meningkatkan dan membantu
dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan
fungsi tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan
pemulihan dari kondisi sakit atau cedera.
Terapi latihan fisik (keseimbangan): menggunakan aktivitas,
postur, dan gerakan tertentu untuk mempertahankan,
meningkatkan, atau memulihkan keseimbangan.
Terapi latihan fisik (mobilitas sendi): menggunakan gerakan
tubuh aktif atau pasif untuk mempertahankan atau
mengembalikan fleksibilitas sendi.
Terapi latihan fisik (pengendalian otot): menggunakan aktivitas
spesifik atau protokol latihan yang sesuai untuk meningkatkan
atau mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali.
Pengaturan posisi: mengatur penempatan pasien atau bagian
tubuh pasien secara hati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan
fisiologi dan psikologis.

Bantuan perawatan diri (berpindah): membantu individu untuk


mengubah posisi tubuhnya.

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas


2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
Menunjukkan pola pernafasan efektif
Mempunyai kecepatan dan irama pernafasan dalam batas normal
Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
2.3.4 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
Manajemen jalan nafas: memfasilitasi kepatenan jalan nafas
Pengisapan jalan nafas: mengeluarkan sekret jalan nafas dengan
cara memasukkan kateter penghiap ke dalam jalan nafas oral
atau trakea pasien
Ventilasi Mekanis: menggunakan alatbuatan untuk membantu
pasien bernafas
Pemantauan pernafasan: mengumpulkan dan menganalisis data
pasien untuk memastikan kepatenan jalan nafas dan pertukaran
gas yang adekuat
Bantuan ventilasi: meningkatkan pola pernafasan spontan yang
opytimal sehingga memaksimalkan pertukaran oksigen dan
karbondioksida di dalam paru
Pemantauan tanda vital: mengumpulkan dan menganalisis data
kardiovaskular, pernafasan, dan suhu tubuh pasien untuk
menentukan dan mencegah komplikasi
III. Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Epilepsi. www.nersunhas.com.

Copel, L.C. 2007. Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC.

Nurarif, A.H., & Kusuma, H., 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan:


Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta:
Mediaction.

Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya.


SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia.

Sri D, Bambang. 2007. Epilepsi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Syaraf PSIK
UNSOED.

Turana, Yuda. 2007. Epilepsi dan gangguan fungsi kognitif.


www.medikaholistikcom.

Wilkison, J.,M. & Ahern N.,R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai