Nomor : P. 19/Menhut-II/2005
TENTANG
PENANGKARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 telah diatur ketentuan-ketentuan tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;
b. bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut BAB III Pasal 7 sampai
dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999, maka perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penangkaran
Tumbuhan dan satwa Liar.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Konservasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai KeanekaragamanHayati
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3556);
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 43,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
4. Undang -undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3888);
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan
Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3544);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3604);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Lembaran Negara Tahun
1998 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3767)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, teakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 92 Tahun 1000 (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3914);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3803);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3802);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah
Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3952);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Tahun
2002 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4206);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4453);
15. Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978 tentang
Pengesahan Convention On International Trade in Endangered
Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES);
16. Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja departemen;
17. Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Deparemen;
18. Keputusan Presiden RI Nomor 187/M Tahun 2004 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;
19. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003
tentang Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar;
20. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003
tentang tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran
Tumbuhan Satwa Liar;
21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG
PENAGKARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui
pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan
tetap mempertahankan kemurnia jenisnya.
2. Pengembangbiakan satwa adalah kegiatan penangkaran berupa
perbanyakan individu melalui cara reproduksi kawin (sexual) maupun
tidak kawin (asexual) dalam lingkungan buatan dan atau semi lam serta
terkontrol dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
3. Perbanyakan tumbuhan (artificial propagation) adalah kegiatan
penangkaran yang dilakukan dengan cara memperbanyak dan
menumbuhakan tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol dari material
seperti biji, potongan (stek), pemencaran rumpun, kultur jaringan dan
spora dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
4. Pembesaran satwa adalah kegiatan penangkaran yang dilakukan
dengan pemeliharaan dan pembesaran anakan atau penetasan telur
satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
5. Jenis tumbuhan dan satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut
spesies atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebur sub-species
baik didalam maupun diluar habitatnya.
6. Pemanfaatan adalah pemanfaatan komersial atau diperjualbelikan.
7. Pengelolaan populasi berbasis alam adalah kegiatan penangkaran
melalui pengelolaan populaso suatu jenis tertentu dihabitat alam dengan
campur tangan manusia yang cukup besarseperti pengelolaan habitat,
transplantasi, pengembangbiakan populasi suatu spesies dalam pulau
kosong tersendiri (island colony breeding), pengembangbiakan di dalam
penangkaran kemudian dilepas ke habitat alam untuk dibiarkan
membesar, dan lain-lain kegiatan pengelolaan populasi jenis yang
berbasis semi alam dengan tujuan untuk pemanfaatan.
8. Unit penangkaran adalah suatu usaha penangkaran tumbuhan dan
atau satwa yang hasilnya untuk diperjual belikan atau untuk dijadikan
obyek yang dapt menghasilkan keuntungan secara komersial yang
berhubungan dengan penangkaran tumbuhan dan satwa liar yang
meliputi kegiatan penangkaran, pengolahan sampai dengan pemasaran
hasil penangkaran.
9. Penandaan adalah pemberian tanda yang bersifat fisik pada bagian
tertentu dari specimen tumbuhan dan satwa atau bagian-bagiannya
serta hasil daripadanya.
10. Sertifikasi hasil penangkaran adalah proses pemberian sertifikat
pada specimen hasil penangkaran.
11. Sertifikat spesimen hasil penangkaran adalah keterangan tertulis
tentang legalitas specimen hasil penangkaran yang tidak bisa dilakukan
penandaan serta untuk menguji silang spesimen hasil penangkaran yang
telah dilakukan penandaan.
12. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan atau satwa di luar habitatnya (ex-situ), baik
berupa lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan
yang dapat berbentuk kebun binatang, museum zoologi, taman satwa
khusus, pusat latihan satwa khusus, kebun botani, herbarium dan taman
tumbuhan khusus.
13. Izin penangkaran adalah izin yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang kepada seseorang aytau badan usaha atau badan hukum
untuk dapat melakukan penangkaran tumbuhan danatau satwa liar.
14. Kultur jaringan adalah salah satu metode pengembangbiakan
tumbuhan secara vegetatif dengan tehnik in-vitro.
15. Pengembangbikakan vegetatif adalah metoda pengembangbiakan
tumbuhan dengan cara tidak kawin seperti stek, tunas, cangkok,
pemencacan rumpun dan sebagainya.
16. Tumbuhan liar adalah semua tumbuhan yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup di alam bebas maupun yang dipelihara
oleh manusia.
17. Satwa liar adalah semua binatang yang masih mempunyai sifat-sifat
liar yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara, baik yang
hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
18. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas di bidang kehutanan.
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam.
20. Sekretaris direktorat Jenderal adalah Sekretaris Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
21. Direktur adalah Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati.
22. Kepala Balai adalah Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam.
23. Kepala Seksi Wilayah adalah Kepala Seksi yang ditunjuk oleh Kepala
Balai untuk menangani kegiatan administrasi dan teknis penangkara.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
Penangkaran tumbuhan dan satwa liar bertujuan untuk :
1. Mendapatkan spesimen tumbuhan dan satwa liar dalam jumlah,
mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang terjamin,
untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan
langsung terhadap populasi di alam;
2. Mendapatkan kepastian secara administratif maupun secara fisik
bahwa pemanfaatan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang
dinyatakan berasal dari kegiatan penangkaran adalah benar-benar dari
kegiatan penangkaran.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 3
(1) Ruang lingkup pengaturan penangkaran tumbuhan dan satwa liar
dalam Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan
penangkaran, administrasi penangkaran dan pengendalian pemanfaatan
hasil penangkaran tumbuhan dan satwa liar baik jenis yang dilindungi
maupun jenis yang tidak dilindungi, kecuali jenis-jenis yang dimaksud
dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar.
(2) jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Meliputi :
1. Anoa.
2. Babi Rusa.
3. Badak Jawa.
4. Badak Sumatera.
5. Biawak Komodo.
6. Cendrawasih.
7. Elag Jawa, Elang Garuda.
8. Harimau Sumatera.
9. Lutung Mentawai.
10. Orang Utan.
11. Owa Jawa.
12. Tumbuhan Jenis Raflesia.
BAB II
BENTUK PENANGKARAN
Pasal 4
(1) Penangkaran tumbuhan dan satwa liat berbentuk :
1. Pengembangbiakan satwa;
2. Pembesaran satwa, yang merupakan pembesaran anakan dari telur
yang diambil dari habitat alam yang ditetaskan di dalam lingkungan
terkontrol dan atau dari anakan yang diambil dari alam
(Ranching/Rearing);
3. Perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang
terkontrol (Artificial Propagation).
(2) Pengembangbikan satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri dari :
1. Pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (Captive
Breeding);
2. Pengembangan populasi berbasis alam (Wild based population
management).
BAB III
PENGEMBANGBIAKAN SATWA
Bagian Kesatu
Pengembangbiakan Satwa Dalam Lingkungan Terkontrol
(Captive Breeding)
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
(1) Pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol satwa
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (2) huruf a merupakan kegiatan
memperbanyak individu anakan melalui cara-cara reproduksi dari
spesimen Induk baik kawin (sexual) maupun tidak kawin (asexual) di
dalam lingkungan terkontrol.
(2) Pengembangbiakan satwa dari induk yang diambil dari habitat
alam yang sedang dalam keadaan buntung, tidak termasuk dalm kategori
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Lingkungan terkontrol sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lingkungan buatan di luar habitat alaminya, yang dikelola
untuk tujuan memproduksi jenis-jenis satwa tertentu dengan membuat
batas-batas yang jelas untuk mencegah keluar masuknya satwa, telur
atau gamet, baik berupa kandang, kolam dan sangkar maupun lingkungan
semi alam.
(4) Lingkungan terkontrol berupa kandang, kolam dan sangkar untuk
pengembangbiakan satwa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
syarat antara lain :
1. Adanya fasiitas yang berbeda untuk penempatan induk dan
keturunannya serta penempatan spesimen yang sakit;
2. Adanya pembuangan limbah, fasilitas kesehatan, perlindungan dari
predator dan penyediaan pakan;
3. Memberikan kenyamanan, keamanan dan kebersihan lingkungan
sesuai dengan kebutuhan spesimen yang ditangkarkan.
(5) Lingkungan terkonrol dapat dilengkapi dengan fasilitas untuk
memproduksi anakan dalam jumlah masal dan dengan mutu yang
diinginkan yang antara lain berupa peralatan seperti inkubator,
laboratorium atau fasilitas inseminasi buatan dan bioteknologi.
(6) Lingkungan terkontrol semi alam untuk pengembangbiakan satwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan syarat antara lain :
1. Adanya habitat semi alami yang lokasinya berada di sekitar habitat
satwa liar yang akan dikembangbiakan dengan luasan yang memadai
sesuai jenis dan perilaku dilengkapi p[agar buatan maupun alam yang
tidak memungkinkan keluarnya satwa atau gamet dari dalam atau
masuknya satwa atau gamet dari luar;
2. Habitat semi alami sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat
berada di kawasan hutan produksi, hutan lindung maupun diluar
kawasan hutan;
3. Memenuhi persyaratan kesejahteraan satwa bagi induk mauun
anakan yang duhasilkan.
Paragraf 2
Pengadaan dan Legalitas Asal Induk
Pasal 6
Induk satwa untuk keperluan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, dapat diperoleh dari :
1. Penangkapan satwa dari habitat alam;
2. Sumber-sumber lain yang sah meliputi :
1. Hasil penangkaran;
2. Luar negeri;
3. Rampasan;
4. Penyerahan dari masyarakat;
5. Temuan;
6. Lembaga konservasi.
Pasal 7
Perolehan induk satwa melalui penangkapan satwa dari alam untuk
keperluan induk pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 angka 1, diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.
Lampiran I. Peraturan Menteri Kehutanan
NOMOR : P. 19/Menhut-II/2005
TANGGAL : 19 Juli 2005
BAGAN ALUR DAN TATA WAKTU IZIN PENANGKARAN TUMBUHAN DAN
SATWA LIAR YANG DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
UNIT PENYELESAIAN
TAHAPAN
NO. PEMOHO DIR KET
KEGIATAN DIRJENPHKA SEKDITJENPHKA
N KKH
12 Pemohon
3 mengajukan
permohonan
izin dengan
kelengkapan
4
dokumen
5
melalui
6
Setditjen PHKA
kepada Dirjen
PHKADirjen
PHKA
meneruskan
kepada Dir KKH
untuk ditelaah
aspek teknis
dan
administrasiDir
KKH membuat
telaahan teknis
dan bila
memenuhi
syarat
menyampaikan
kepada Dirjen
melalui
Setditjen atau
bila tidak
memenuhi
syarat ditolak
Setditjen
membuat
telaah-an
hukum dan
memproses SK
Dirjen bila
memenuhi
syarat atau
membuat surat
penolakan
kepada
pemohon bila
tidak
memenuhi
syarat.
Dirjen PHKA
menandatangi
SK Izin
Penangkaran
Setelah SK
Penangkaran
elesai
disampaikan
kepada
pemohon
melalui
SeKditjen
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, MENTERI KEHUTANAN
ttd.
SUPARNO, SH. H.M.S. KABAN,SE., M.Si.
Lampiran II.
PERATURAN MENTERIKEHUTANAN TENTANG PENANGKARAN TUMBUHAN
DAN SATWA LIAR
NOMOR : P. 19/Menhut-II/2005
TANGGAL : 19 Juli 2005
BAGAN ALUR IZIN PENANGKARAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR YANG
TIDAK DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
KETE-
UNIT PENYELESAIAN KT
TAHAPAN RANGAN
NO.
KEGIATAN PEMOHO KEPALA
KSBTU
N BALAI
Pemohon
mengajukan
permohonan izin
dengan
kelengkapan
dokumen kepada
KSDA melalui
KSBTUKepala Balai
meneruskan
kepada KSBTU
untuk ditelaah
aspek teknis dan
administrasiKSBTU
membuat
telaahan teknis
dan
226
123 administrasidan
memproses SK
Penangkaran bila
memenuhi syarat 2
4
ataumembuat 2
5
surat penolakan 14 Hari
bila tidak
memenuhi syarat .
Kepala Balai
menandatangi SK
Izin
Penangkaran/Sura
t penolakan
Setelah SK
Penangkaran
selesai
disampaikan
kepada pemohon
melalui KSBTU
NIP.080068472
Alam
Salinan Keputusan ini diisampaikan kepada Yth.:
1. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
2. Menteri-Menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
3. Panglima Tentara Nasional Indonesia.
4. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
6. Pejabat Eseluon I lingkup Departemen Kehutanan.
7. Kepala Kepolisian daerah di seluruh Indonesia.
8. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan.
9. Kepala Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian.
10. Gubernur di seluruh Indonesia.
11. Bupati/Walikota seluruh Indonesia.
12. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, di seluruh Indonesia.
13. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam/Taman Nasional di
seluruh Indonesia.