Anda di halaman 1dari 20

Ketuban Pecah Dini

Oleh :

Regina Ayu Antefa

112015289

Pembimbing :

dr. Afra F Tangdialla, sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih


kontroversial dalam ilmu kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum
ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup
tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian
akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus
lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada
pengelolaan konservatif.

Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi.
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa
menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh
karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat
persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi ; kedua,
adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang
bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas
atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi.

Ketuban Pecah Dini (premature rupture of the membrane / PROM ) adalah pecahnya
selaput korioamniotik pada usia gestasi diatas 37 minggu sebelum mulainya tanda-tanda
persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil mengalami pecah
selaput ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan,
dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu 1 jam tersebut merupakan waktu yang
disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-tanda awal persalinan. Bila terjadi
pada kehamilan < 37 minggu maka peristiwa tersebut disebut KPD Preterm (PPROM =
preterm premature rupture of the membrane). Ketuban pecah dini spontan (Spontaneous
premature rupture of membrane) adalah ketuban pecah dini setelah atau pada saat timbulnya
onset persalinan. Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis sebelum
permulaan persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan Mochtar (1998) mengatakan
bahwa KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi
kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Hakimi (2003) mendefinisikan KPD
sebagai ketuban yang pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya persalinan.1

2.2 Epidemiologi

Beberapa peneliti melaporkan insidensi KPD berkisar antara 8 10 % dari semua


kehamilan aterm. Ketuban pecah dini premature terjadi pada 1% kehamilan. Hal ini
menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang
kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD
pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur.2
85 persen dari angka morbiditas dan mortalitas neonates berasal dari prematuritas.
PPROM berkaitan dengan 30-40% pelahiran preterm dan diketahui sebagai penyebab utama
pelahiran preterm. PPROM menjadi komplikasi bagi 3% dari semua kehamilan dan muncul
dalam sekitar 150.000 kehamilan pertahun di amerika serikat.1

2.3 Faktor Resiko

3
Etiologi terjadinya ketuban pecah dini tidak jelas dan tidak dapat ditentukan secara
pasti. Saat aterm, kematian sel yang terprogram dan aktifasi enzyme katabolisme, seperti
collagenase dan gaya mekanik menyebabkan terjadinya pecah ketuban. Ketuban pecah dini
diduga terjadi dengan mekanisme yang serupa dan aktifasi prematur dari jalur ini.1
Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD,
namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi
faktor predesposisi adalah:1,2
1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian
menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini.
2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan
pada serviks uteri (akibat persalinan, kuretase).
3. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya
tumor, hidramnion, gemelli.
4. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposisi atau penyebab
terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan
dalam, maupun amniosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena biasanya disertai
infeksi
5. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian
bawah.
6. Keadaan sosial ekonomi rendah yang berhubungan dengan rendahnya kualitas
perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae.
7. Faktor lain yaitu:
Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum
Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C

2.4 Patofisiologi

MEKANISME PECAHNYA KETUBAN JANIN SEBELUM DAN SAAT


PERSALINAN.

4
Pecahnya ketuban intrapartum telah dikaitkan dengan perlemahan umum akibat
kontraksi rahim dan peregangan berulang. Kekuatan ketegangan membran berkurang
dalam spesimen yang diperoleh setelah persalinan normal dibandingkan dengan yang
diperoleh pada saat persalinan dengan sectio cesarea. Kelemahan umum membran lebih
sulit dibedakan pada membrane pecah prematur dibandingkan dengan membran yang
sengaja dipecahkan selama persalinan. Tampak kelemahan membran secara fokal
dibandingkan general pada membran yang pecah premature. Daerah membrane dekat
lokasi yang pecah telah digambarkan sebagai "restricted zone of extreme altered
morphology" yang ditandai dengan pembengkakan dan gangguan dari jaringan kolagen
fibrilar dalam zona kompakta, fibroblast, dan lapisan spongiosa. Karena zona ini tidak
termasuk dari keseluruhan tempat yang pecah, mungkin hal ini muncul sebelum
terjadinya pecah ketuban dan menandakan intial breakpoint.3

Meskipun karakteristik yang berbeda dari pecahnya ketuban yang terjadi prematur
dan intrapartum, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa mekanisme yang
mempredisposisi pecahnya ketuban premature dan yang terjadi sebelum persalinan
normal tidak identik. Hal ini telah menyebabkan pandangan bahwa pecahnya ketuban dini
merupakan percepatan dari proses pecahnya ketuban secara spontan selama
persalinan. Akibatnya, peneliti telah mengkombinasikan kasus ketuban pecah dini
premature, ketuban pecah dini aterm, dan pecahnya ketuban selama persalinan saat
menjelaskan mekanisme pecahnya ketuban. Praktek ini, bagaimanapun, dapat
mengaburkan perbedaan penting antara peristiwa-peristiwa tersebut.3

PERUBAHAN DARI BAHAN PENYUSUN, STRUKTUR, DAN KATABOLISME


KOLAGEN

Pemeliharaan dari kekuatan membran ketuban janin tampaknya melibatkan


keseimbangan antara sintesis dan degradasi dari komponen matriks ekstraseluler. Telah
diusulkan bahwa perubahan dalam membran ketuban, termasuk penurunan bahan
penyusun kolagen, perubahan struktur kolagen, dan peningkatan aktivitas collagenolytic,
berhubungan dengan ketuban pecah dini.3

Gangguan Jaringan Ikat dan Defisiensi Nutrisi Sebagai Faktor Resiko.

5
Meskipun ada data yang bertentangan mengenai perubahan komposisi kolagen
membrane ketuban janin dalam hubungan dengan lama kehamilan dan pecahnya ketuban,
penurunan kandungan kolagen membran ketuban atau perubahan struktur kolagen
mungkin mendahului pecahnya membranes ketuban.3
Gangguan jaringan ikat berhubungan dengan melemahnya selaput ketuban janin
dan peningkatan insiden ketuban pecah dini prematur. Sindrom Ehlers-Danlos,
sekelompok setidaknya 11 gangguan jaringan ikat yang diwariskan yang ditandai dengan
hyperelastisitas pada kulit dan sendi, disebabkan oleh berbagai kelainan dalam sintesis
atau struktur kolagen. Di antara 18 pasien dengan sindrom Ehlers-Danlos yang riwayat
persalinannya diketahui, 13 (72 persen) dilahirkan prematur setelah terjadi ketuban pecah
dini. sindrom Ehlers-Danlos adalah contoh dramatis ketuban pecah dini prematur yang
terkait dengan konten dan struktur abnormal kolagen.3
Kekurangan gizi yang mempredisposisi struktur kolagen yang abnormal pada
perempuan juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko ketuban pecah dini prematur.
Wanita dengan konsentrasi asam askorbat serum yang rendah, yang diperlukan untuk
pembentukan struktur triple heliks kolagen, memiliki rasio yang yang lebih tinggi untuk
terjadinya ketuban pecah dini dibandingkan dengan yang kadar serumnya normal.
Perokok tembakau, yang secara independen meningkatkan ketuban pecah dini, telah
dikaitkan dengan penurunan konsentrasi serum asam askorbat. Selain itu, kadmium dalam
tembakau telah ditemukan untuk meningkatkan metallothionein protein yang mengikat
logam- di trofoblas, yang dapat mengakibatkan penyerabapan tembaga. Data ini
menunjukkan bahwa penurunan ketersediaan tembaga dan asam askorbat dapat
menyebabkan struktur kolagen abnormal pada membrane ketuban janin pada perokok.3

Peningkatan Degradasi Kolagen

Degradasi kolagen dimediasi terutama oleh matriks metaloproteinase, yang


dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease lainnya. Matriks
metaloproteinase adalah keluarga enzim yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel yang
menghidrolisis setidaknya satu komponen dari matriks ekstraseluler. Karena berbagai
kekhususan substrat matriks metaloproteinase, katabolisme efektif dari banyak komponen
molekul dalam matriks ekstraselular memerlukan tindakan bersama dari beberapa
enzim. Kolagenase interstisial matriks metalloproteinase-1 (MMP-1) dan MMP-8
membelah triple helix dari fibrillar kolagen (tipe I dan III), yang kemudian lebih lanjut

6
terdegradasi oleh gelatinases MMP-2 dan MMP-9. Gelatinases ini juga membelah tipe IV
kolagen, fibronektin, dan proteoglikan. Dalam membran ketuban janin manusia, MMP-1
dan MMP-9 messenger RNA dan protein telah terlokalisasi pada sel-sel epitel amnion dan
trophoblasts korionik. Dengan demikian, lapisan kompak (kolagen) pada selaput janin
terjepit di antara dua lapisan sel yang menghasilkan metaloproteinase matriks.
Tissue inhibitor metalloproteinase membentuk 1:1 kompleks stoikiometri dengan
matriks metaloproteinase dan menghambat aktivitas proteolitik mereka. Tissue inhibitor
metalloproteinase-1 (TIMP-1) berikatan untuk mengaktifkan MMP-1, MMP-8, dan
MMP-9, dan TIMP-2 mengikat bentuk laten dan aktif MMP-2. Penjelasan terbaru TIMP-
3 dan TIMP-4 dapat menghambat matriks metaloproteinase seefisien TIMP-1. Kegiatan
terkoordinasi matriks metaloproteinase dan inhibitor jaringan dari metaloproteinase
matriks sangat penting untuk proses renovasi matriks ekstraseluler.
Integritas dari membran ketuban janin tetap tidak berubah di sebagian besar
kehamilan, mungkin sebagian karena kombinasi aktivitas matriks metaloproteinase-yang
rendah dan konsentrasi yang relatif tinggi dari TIMP-1. Pada waktu dekat dengan
persalinan, keseimbangan antara matriks metaloproteinase yang teraktifasi dan inhibitor
jaringan mereka bergeser menuju degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler
membran janin. Dalam amnion tikus, kegiatan kolagenase interstisial dan MMP-9
meningkat sebelum timbulnya persalinan aktif. Dalam amnion dan korion manusia,
aktifitas MMP-9 meningkat dan konsetrasi TIMP-1 menurun secara dramatis selama
persalinan. Analisis membran ketuban yang dikumpulkan dari perempuan pada saat
kelahiran caesar (dengan dan tanpa memasuki persalinan) dan setelah persalinan spontan
menunjukkan bahwa aktivitas MMP-1 meningkat sebelum persalinan, MMP-9 dan MMP-
3 meningkat selama persalinan, dan konsentrasi TIMP-1 meningkat setelah persalinan.
Perubahan ini mungkin mencerminkan perkembangan terkoordinasi dari peristiwa
sebelum dan selama proses persalinan, yang mengakibatkan degradasi kolagen terkendali
dari membrane ketuban janin.3

Ketuban pecah dini juga bisa disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kegiatan matriks
metaloproteinase dan inhibitor jaringan mereka, menyebabkan kelainan degradasi matriks
ekstraseluler dari membran. Aktivitas kolagenase meningkat pada ketuban pecah dini
aterm. Secara keseluruhan, aktivitas protease meningkat pada ketuban wanita dengan
ketuban pecah dini prematur, aktivitas dominan oleh MMP-9. Selanjutnya, aktivitas
gelatinolitik sesuai dengan bentuk laten dan aktif dari MMP-9 meningkat dan konsentrasi

7
TIMP-1 rendah dalam cairan ketuban yang diperoleh dari wanita yang kehamilannya
terkomplikasi oleh ketuban pecah dini prematur. Namun, karena spesimen dalam studi ini
diperoleh setelah ketuban pecah, kita tidak dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa
degradasi kolagen dalam membran janin mendahului pecah ketuban.3

Pengamatan lain menunjukkan bahwa degradasi fisiologis dan patologis dari matriks
ekstraseluler berhubungan dengan persalinan. Aktivitas Interstitial-kolagenase meningkat
secara dramatis dalam jaringan serviks selama dilatasi serviks pada persalinan manusia.
Penyakit periodontal, di mana ada peningkatan aktivitas matriks-metaloproteinase pada
jaringan gingiva, telah dilaporkan menjadi faktor risiko independen untuk persalinan
prematur. Temuan ini menimbulkan kemungkinan yang menarik bahwa beberapa wanita
memiliki predisposisi genetik untuk terjadi degradasi matriks ekstraseluler-akibat
meningkatnya aktivitas matriks metaloproteinase-yang dapat dimanifestasikan secara
klinis sebagai periodontitis, dilatasi serviks dini, atau pecahnya ketuban yang terlalu dini.

FAKTOR KLINIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN DEGRADASI KOLAGEN


DAN KETUBAN PECAH DINI

Infeksi
Ahli-ahli obstetrik telah lama berdebat apakah infeksi intrauteri merupakan
penyebab atau konsekuensi dari ketuban pecah dini. Terdapat bukti indirek dimana
infeksi traktus genitalis memperisipitasi terjadinya ketuban pecah dini pada manusia dan
hewan. Pada kelinci yang hamil, inokulasi serviks dengan Escherichia coli menghasilkan
kultur positive E.coli pada cairan amnion dan jaringan desidua pada 97 persen hewan
yang dirawat dan terjadi kehamilan premature pada setengah dari hewan yang dirawat.
Kebalikannya, inokulasi serviks dengan saline menghasilkan tidak ada infeksi atau
persalinan premature. Identifikasi mikrorganisme patologis pada flora vagina manusia
sesaat setelah pecahnya ketuban mendukung konsep infeksi bacterial memiliki peranan
dalam pathogenesis ketuban pecah dini. Data epidemiologi menunjukan hubungan antara
kolonisasi traktus genitalis dari streptokokus grup B, Chlamydia trachomatis, Neisseria

8
gonorrhea, dan mikroorganisme yang menyebabkan vaginonis bakterialis (bakteri
anaerob vagina, Gardnerella vaginalis, Spesies Mobiluncus, dan mycoplasma genital)
dengan peningkatan resiko ketuban pecah dini premature. Lebih lanjut, dalam suatu
penelitian pengobatan infeksi pada wanita dengan antibiotic menurukan rasio dari
ketuban pecah dini premature.3

Infeksi intrauteri dapat mempredisposisi pecahnya ketuban melalui beberapa


mekanisme, yang menginduksi degradasi dari matriks extraceluler. Beberapa organism
yang umumnya ada sebagai flora vagina, termasuk group B streptokokus, Staphylococcus
aureus, Trichomonas vaginalis, dan mikroorganisme yang menyebabkan vaginosis
bacterialis, mensekresikan protease yang mendegradasi kolagen dan melemahkan ketuban
janin. Dalam sistem in vitro, proteolysis dari matrix membrane ketuban janin dapat
dihambat dengan pemberian antibiotic.3

Respon inflamasi host terhadap infeksi bakteri merupakan potensi mekanisme lain
yang secara sebagian dapat menjelaskan hubungan antara infeksi bacterial traktus
genitalis dengan ketuban pecah dini. Respon inflamasi dimediasi oleh neutrofil
polimorfonuklear dan makrofag yang direkrut ke tempat infeksi dan menghasilkan
sitokin, metaloproteinase matriks, dan prostaglandin. Sitokin inflamasi, termasuk
interleukin-1 dan tumor necrosis factor , diproduksi oleh monosit yang terstimulasi, dan
sitokin ini meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 di tingkat transkripsi dan pasca-
translasi di sel korionik manusia.3

Infeksi bakteri dan respon inflamasi host yang juga menginduksi produksi
prostaglandin oleh selaput ketuban janin, yang diyakini akan meningkatkan risiko
ketuban pecah dini premature dengan menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi
kolagen dalam membran ketuban. Strain tertentu dari bakteri vagina menghasilkan
fosfolipase A2, yang melepaskan prostaglandin prekursor asam arakidonat dari membran
fosfolipid dalam amnion. Lebih lanjut, respon imun terhadap infeksi bakteri meliputi
produksi sitokin oleh monosit aktif yang meningkatkan produksi prostaglandin E2 oleh
sel korionik. Stimulasi sitokin oleh produksi prostaglandin E2 oleh amnion dan korion
tampaknya melibatkan induksi siklooksigenase II, enzim yang mengubah asam arakidonat
ke prostaglandins. Pengaturan pasti sintesis prostaglandin E2 dalam kaitannya dengan
infeksi bakteri dan respon inflamasi host tidak dipahami, dan hubungan langsung antara

9
produksi prostaglandin dan pecahnya ketuban yang terlalu dini belum ditetapkan. Namun,
prostaglandin (khusus prostaglandin E2 dan prostaglandin F2) dianggap sebagai
mediator persalinan pada semua mamalia, dan prostaglandin E2 mengurangi sintesis
kolagen pada selaput ketuban janin dan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3
dalam fibroblast manusia.3

Komponen lain dalam response host terhadap infeksi adalah dengan produksi
glukokortikoid. Dalam sebagian besar jaringan aksi antiinflamasi glukokortikoid
dimediasi oleh penekanan produksi prostaglandin. Namun, dalam beberapa jaringan,
termasuk amnion, glukokortikoid secara paradoks merangsang produksi
prostaglandin. Selanjutnya, deksametason mengurangi sintesis fibronektin dan kolagen
tipe III dalam kultur sel epitel aminon. Temuan ini menunjukkan bahwa glukokortikoid
dihasilkan sebagai respons terhadap stress infeksi mikroba yang memfasilitasi pecahnya
ketuban janin.3

Meskipun temuan ini, belum ada demonstrasi yang meyakinkan bahwa infeksi
mendahului keuban pecah dini janin pada manusia. Meskipun demikian, infeksi mikroba
dan respon inflamasi host setidaknya meningkatkan aktivitas metaloproteinase matriks
dalam ketuban janin dan terlibat dalam patogenesis beberapa pecahnya ketuban.3
Hormon
Progesteron dan estradiol menekan remodeling matriks extraseluler pada jaringan
reproduktif. Kedua hormone tersebut menurunkan konsentrasi dari MMP-1 dan MMP-3
serta meningkatkan konsentrasi inhibitor metalloproteinase jaringan di fibroblast serviks
kelinci. Konsetrasi progesterone yang tinggi menurunkan produksi collagenase pada
fibroblast serviks guinea pig, meskipun konsentrasi yang lebih rendah dari progesterone
dan estradiol menstimulasi produksi kolagen pada guinea pig yang hamil. Relaxin, suatu
homron protein yang mengatur remodeling dari jaringan ikat, diproduksi secara local di
desidua dan plasenta dan memutarbalikan efek inhibitor dari estradiol dan progesterone
dengan meningkatkan aktifitas MMP-3 dan MMP-9 pada ketuban janin. Ekspresi dari
gene relaxin meningkat sebelum persalinan pada ketuban janin aterm. Meskipun penting
dalam menentukan peran progesterone, estradiol, dan relaxin dalam proses reproduktif,
proses mereka dalam pecahnya ketuban masih coba dijelaskan.

Kematian Sel Terprogram


10
Kematian sel yang terprogram, atau apoptosis, telah terlibat dalam renovasi dari
berbagai jaringan reproduksi, termasuk dari rahim dan serviks. Apoptosis ditandai oleh
fragmentasi DNA nuklir dan katabolisme 28S subunit RNA ribosom yang diperlukan
untuk sintesis protein. Pada tikus (yang memiliki kehamilan 21 hari), sel-sel epitel
amnion mengalami kematian pada saat menjelang persalinan. Kematian sel ini tampaknya
mengikuti awal degradasi ekstraseluler-matriks, menunjukkan bahwa hal tersebut adalah
konsekuensi dan bukan penyebab dari katabolisme matriks ekstraseluler amnion.3
Amnion dan chorion manusia yang didapat pada kehamilan aterm setelah terjadi
ketuban pecah dini mengandung banyak sel yang mengalami apoptosis di daerah yang
berdekatan dengan lokasi pecah dan sel apoptosis yang lebih sedikit di daerah lain dari
ketuban. Selanjutnya, dalam kasus korioamnionitis, sel epitel ketuban yang apoptosis
terlihat pada hubungan dengan adhesive granulosit, menunjukkan bahwa respon imun
host dapat mempercepat kematian sel pada membrane ketuban janin. Meskipun
perubahan apoptosis telah diidentifikasi dalam membran janin segera sebelum persalinan,
mekanisme yang mengatur apoptosis dan efek berikutnya pada kekuatan membran janin
belum dapat dijelaskan.3

Peregangan Membran Ketuban dan Ketuban Pecah Dini


Overdistensi uterus karena polihidramnion dan kehamilan multifetal menginduksi
peregangan membran dan meningkatkan risiko pecahnya ketuban dini. Peregangan
mekanis dari membrane ketuban janin meningkatkan produksi beberapa factor amnion,
termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8. Peregangan juga meningkatkan aktivitas
MMP-1 dalam membran ketuban. Sebagaimana dinyatakan di atas, prostaglandin E2
meningkatkan iritabilitas uterus, mengurangi sintesis kolagen janin-membran, dan
meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3 oleh fibroblast manusia. Interleukin- 8, yang
diproduksi oleh sel amnion dan chorionic, adalah kemotaktic untuk neutrofil dan
merangsang aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8 yang hadir dalam konsentrasi
rendah pada cairan ketuban selama trimester kedua dan konsentrasi yang lebih tinggi di
akhir kehamilan, dihambat oleh progesterone. Dengan demikian, produksi interleukin-8
dan prostaglandin E2 amnion merupakan perubahan biokimia pada membran janin yang
dapat diprakarsai oleh kekuatan fisik (peregangan membran), mendukung hipotesis
pecahnya ketuban akibat induksi gaya dan biokimia.3

2.5 Diagnosis

11
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau
melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang
negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan
mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa
yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara:1

1.Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara
tiba-tiba dari jalan lahir, terus menerus atau tidak. Cairan berbau khas, dan perlu juga
diperhatikan warna keluanya cairan tersebut, his belum teratur atau belum ada, dan
belum ada pengeluaran lendir darah. Dari anamnesis 90% sudah dapat mendiagnosa
KPD secara benar.

2. Pemeriksaan fisik
Periksa tanda-tanda vital pasien yaitu kesadaran, tekanan darah, nadi, pernafasan dan
suhu badan. Apakah ada tanda infeksi, seperti suhu badan meningkat dan nadi cepat.
Selain itu pemeriksaan monitoring terhadap fetus juga perlu untuk menilai status fetus.

3.Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban
baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.

4.Pemeriksaan dengan spekulum.


Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama terhadap
kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan
dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri
ditekan, penderita diminta batuk, mengejan atau lakukan manuver valsava, atau bagian
terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada

12
forniks anterior/posterior ataupun di dalam vagina yang disebut sebagai vaginal
pooling.

5.Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai
pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang
kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam
karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen
bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan
cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang
sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan, dan bila akan
dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan), dan dibatasi sedikit mungkin.

6.Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya.
Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret
vagina.

1.Tes Lakmus (tes Nitrazin).


yaitu dengan memeriksa kadar keasaman cairan vagina. Kertas mustard emas yang
sensitive, pH ini akan berubah menjadi biru tua pada keberadaan bahan basa. pH
normal vagina selama kehamilan adalah 4,5-5,5, pH cairan amniotik adalah 7-7,5.
Tempatkan sepotong kertas nitrazin pada mata pisau spekulum setelah menarik
spekulum dari vagina, jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan
adanya air ketuban (alkalis). Darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang
positif palsu.

2.Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan
dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.

13
Gambar 1. Gambaran daun pakis (fern appearance) pada pemeriksaan cairan amnion

b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menilai amniotic fluid index yang bertujuan
melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteir. Pada kasus KPD terlihat jumlah
cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita
oligohidromnion. Selain itu pemeriksaan USG juga bertujuan untuk menilai perkiraan
umur kehamilan, berat fetus, dan presentasi fetus.

2.6 Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan
dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas ibu maupun bayinya.
Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan
menaikkan insidensi bedah caesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan
menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau
menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau
menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru,
harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis
janin.

14
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD
dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu
pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang
optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-
paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin
merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya perode laten.
Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan
dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan
dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi pada ibu.1

1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)

Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD


keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian
infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan
permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = lag period. Makin
muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya.
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan
dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan
dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah kulit
ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi
persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu.
Walaupun antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun
pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya
sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian
antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan
pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah
terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam. Beberapa
penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau

15
ditunggu samapai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan
sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek
sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat
dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap
keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan
komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi
yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi
semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan
bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan
pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.1

2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)


Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak
dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat konservatif disertai
pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksis. Penderita perlu dirawat di
rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan
bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent
diberikan juga tujuan menunda proses persalinan.
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada
penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru,
jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul
tanda-tanda infeksi, chorioamnionitis, fetal distress, atau solusio plasenta maka
segera dilakukan tindakan aktif untuk terminasi kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlansung dengan
jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulakan komplikasi-
komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-kompliksai yang dapat
terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan
juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan
bedah caesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan
bedah caesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin

16
tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat
janin, partus tak maju, dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif.
Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang
berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan
pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap
kemungkinan infeksi intrauterin.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leuokosit darah tepi setiap hari,
pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan
denyut jantung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan
selanjutnya stiap 6 jam. Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD
telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National
Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid
pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi
intramanion. Sedian terdiri atas betametason 12 mg i.m tiap 24 jam atau
dexametason 6 mg tiap 12 jam.1

2.7 Komplikasi
Pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan bayi adalah meningkatnya
mortalitas dan morbiditas perinatal. Pengaruh KPD terhadap janin dan ibu yaitu :1
1. Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin
sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterine lebih dahulu terjadi (amnionitis,
vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi akan meninggikan mortalitas
dan morbiditas perinatal. Janin yang mengalami takhikardi mungkin mengalami
infeksi intrauterin.

2. Terhadap ibu
Karena jalan terlalu terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila
terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis
(nifas), peritonitis dan septikemia, serta dry labor. Ibu akan merasa lelah karena
terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, nadi cepat dan nampaklah
gejala-gejala infeksi. Hal tersebut akan meninggikan angka kematian dan angka
morbiditas pada ibu

17
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan
ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi ascenden. Salah
satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar
dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama
periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan
prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu
dan bayi atau janin dalam rahim. Tanda adanya infeksi bila suhu ibu 38oC, air
ketuban yang keruh dan bau, leukosit darah >15.000/mm3.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetrik berkaitan
dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis,
yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.
Beberapa peneliti melaporkan insidensi KPD berkisar antara 8 10 % dari semua
kehamilan. Hal ini menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup
bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak
cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran
prematur.
Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih
kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum
ada, selalu berubah. Protokol pengelolaan yang optimal harus mempertimbangkan adanya
infeksi dan usia gestasi serta faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk
merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang
dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang
dapat mengurangi mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat
baik pada anak maupun pada ibu.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Jazayeri A, Smith CV. Premature rupture of membrane. Diunduh dari :


http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview, 20 Februari 2013.
2. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Ed. III, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2008.
3. Epstein FH. Premature Rupture of the Fetal Membranes. Diunduh dari:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199803053381006, 5 Maret 1998.
4. Prawirohardjo. S. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2002.

20

Anda mungkin juga menyukai