Anda di halaman 1dari 9

DEFINISI

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah


dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien
dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang gagal jantung termasuk
kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung
kurang dari normal (Bararah dan Jauhar, 2013).
Gagal jantung kongestif adalah keadaan ketika jantung tidak mampu
memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Baradero,
2005). Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/kemampuannya hanya ada
kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan
Triyanti, 2007).
ETIOLOGI

Menurut Bararah dan Jauhar (2013) penyebab gagal jantung kongestif


dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Instrinsik: kardiomiopati, infark miokard, miokarditis, penyakit jantung


iskemik, defek jantung bawaan, dan perikarditis/tamponade jantung.
b. Sekunder: emboli paru, anemia, tirotoksikosis, hipertensi sistemik,
kelebihan volume darah, asidosis metabolik, keracunan obat, dan aritmia
jantung.

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko gagal jantung kongestif serupa dengan penyakit jantung


koroner yaitu faktor risiko yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah. Faktor
risiko yang dapat diubah antara lain pola makan, merokok, riwayat obesitas,
riwayat DM, tingginya kadar lipid, kurangnya aktivitas, stres, dan riwayat
hipertensi. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain faktor
keturunan, jenis kelamin, dan usia.Berdasarkan hasil penelitian dari Nurhayati
dan Nuraini (2009) menunjukkan gambaran faktor risiko penyakit gagal jantung
kongestif, yaitu faktor keturunan 50%, jenis kelamin perempuan 53,3%, usia 40-
59 tahun 50%, pola makan yang tidak baik 96,67%, kebiasaan merokok 53,3%,
riwayat obesitas dan DM 50%, aktivitas kurang 90%, dan riwayat hipertensi
66,7%.

KLASIFIKASI

Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari


gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :

a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya
tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa
gagal jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan
adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan
gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada
pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun
penyakit valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.
Gejala yang timbul 12 dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan
istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat
The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan
gagal jantung dalam empat kelas, meliputi :
a. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
c. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
d. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik
apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat
(severe CHF).
Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA
memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus pada
faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut
NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang ditimbulkan yang
pada akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal
jantung yang dialami oleh pasien.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis gagal jantung secara keseluruhan sangat bergantung pada


etiologinya. Namun dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Ortopnea, yaitu sesak saat berbaring
b. Dyspnea On Effort (DOE), yaitu sesak bila melakukan aktivitas
c. Paroxymal Nocturnal Dyspnea (PND), yaitu sesak nafas tiba-tiba pada malam
hari disertai batuk.
d. Berdebar-debar
e. Mudah lelah
f. Batuk-batuk
Gambaran klinis gagal jantung kiri:
a. Sesak napas dyspnea on effort, paroxymal nocturnal dyspnea
b. Batuk-batuk
c. Sianosis
d. Suara sesak
e. Ronchi basah, halus, tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax
f. Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia
g. BMR mungkin naik
h. Kelainan pada foto rongent
Gambaran klinis gagal jantung kanan:
a.Edema pretibia, edema presakral, asites dan hydrothorax
b. Tekanan vena jugularis meningkat (hepato jugular refluks)
c. Gangguan gastrointestinal, anorexia , mual, muntah, rasa kembung di
epigastrium
d. Nyeri tekan karena adanya gangguan fungsi hati
e. Albumin dan globulin tetap, splenomegali, hepatomegali Gangguan ginjal,
albuminuria, silinder hialin, glanular, kadar ureum meninggi (60- 100%), oligouria,
nocturia
f. Hiponatremia, hipokalemia, hipoklorimia (Brunner dan Suddarth, 2000).

PATOFISIOLOGI
(Terlampir)

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) EKG; mengetahui sinus takikardi, hipertrofi atrial atau ventrikuler,
infark/fibrilasi atrium, penyimpanan aksis, disfungsi penyakit katub jantung,
iskemia dan kerusakan pola.
2) Rontgen dada; Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminkandilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh
darah atau peningkatan tekanan pulnonal.
3) Scan Jantung; Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
gerakan jantung.
4) Kateterisasi jantung; Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan
membantumembedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katub
atau insufisiensiserta mengkaji potensi arteri koroner.
5) Elektrolit; mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan
fungsiginjal, terapi diuretic.
6) Oksimetri nadi; Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika
CHFmemperburuk PPOM.
7) AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atauhipoksemia
dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
8) Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-
jaringan jantung,missal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim
CPK danDehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).

PENATALAKSANAAN
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban
kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi
miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal,
kontraktilitas dan beban akhir. Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala
timbul pada saat beraktivitas biasa. Regimen penanganan secara progresif
ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut
dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat
menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang
lebih agresif .

Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang


sederhana namun sangat tepat dalam penanganan gagal jantung. Tetapi harus
diperhatikan jangan sampai memaksakan larangan yang tak perlu untuk
menghindari kelemahan otot-otot rangka. Kini telah diketahui bahwa kelemahan
otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring
dan aktifitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian
antikoagulan mungkin diperlukan pada pembatasan aktifitas yang ketat untuk
mengendalikan gejala.

Tujuan Terapi

Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) berdasarkan American
Heart Association (Yancy et al., 2013) antara lain sebagai berikut :

a. Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai faktor resiko.

b. Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.

c. Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.

d. Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.


AlgoritmaTerapi

Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi gagal
jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi 9 tahun 2015
(Dipiro et al., 2015), penggolongan obat pada terapi gagal jantung kongestif
(CHF) adalah sebagai berikut :

a. Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)


Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja
menurunkan sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara
menghambat enzim yang dapat mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi kejadian remodeling
jantung serta retensi air dan garam.
b. Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan menggunakan
-blocker pada semua pasien gagal jantung kongestif yang masih stabil
dan untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri tanpa kontraindikasi
ataupun adanya riwayat intoleran pada -blockers. Mekanisme kerja dari
- blocker sendiri yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta (beta-
bloker) di jantung, pembuluh darah perifer sehingga efek 15 vasodilatasi
tercapai. Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari sel jantung dan
juga mampu meningkatkan periode refractory.
c. Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe
AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan hanya untuk
pasien gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran pada
penggunaan ACE I. Food and Drug Approval (FDA) menyetujui
penggunaan candesartan dan valsartan baik secara tunggal maupun
kombinasi dengan ACE I sebagai pilihan terapi pada pasien gagal jantung
kongestif.
d. Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema
baik sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi gagal
jantung kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta
mengurangi retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik
yang banyak digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti
hidroklorotiazid (HCT) dan golongan diuretik lengkungan yang bekerja
pada lengkung henle di ginjal seperti furosemid.
e. Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat
reabsorpsi Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan
antagonis aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg
perhari pada kasus klinik yang bersifat mayor.
f. Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat
inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan
meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit
yang berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek
terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoxin
dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.
g. Nitrat dan hidralazin
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling
melengkapi. Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri yang
dapat mengurangi resisten pembuluh darah sistemik serta meningkatkan
stroke volum dan cardiac output. Hidralazin memiliki mekanisme yaitu
dengan menghambat inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma
yang berfungsi untuk melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi
penurunan ion kalsium intraseluler. Nitrat sebagai venodilator utama
(dilatasi pembuluh darah) dan menurunkan preload (menurunkan beban
awal jantung) dengan mekanisme aktivasi cGMP (cyclic Guanosine
Monophosphate) sehingga menurunkan kadar ion kalsium intraseluler.

KOMPLIKASI
1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam
atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian
warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung
(dengan digoxin atau blocker dan pemberian warfarin).
3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan
dosis ditinggikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Baradero M., Dayrit M.W., dan Siswadi Y. 2005. Klien Gangguan Kardiovarkular:
Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Bararah T. dan Jauhar M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional. Jilid 1. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Brunner & Suddarth , 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Terjemahan Suzanne C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta

Mansjoer A., TriyantiK., Savitri R., Wardhani W.I., Setiowulan W. 2007. Kapita
Selekta Kedokteran. Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Nurhayati E. dan Nuraini I. Gambaran Faktor Risiko pada Pasien Penyakit Gagal
Jantung Kongestif di Ruang X.A RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Kesehatan Kartika. 2009: 40-52.

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

Yancy, CW et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart


Failure: Executive Summary. Vol. 62, No. 16, 2013

Anda mungkin juga menyukai