Anda di halaman 1dari 2

TEKNOLOGI TRADISIONAL TERASERING DAN SUBAK

13 April 2011
Repost dari: www.palingindonesia.com

Tidak bisa dipungkiri lagi, Pulau Dewata menyimpan


sejuta pesona yang tidak akan habis dieksplorasi.
Hanya dieksplorasi lho, bukan dieksploitasi. Salah
satunya adalah cara tanam terasering. Siapa sangka
dibalik pesona hamparan sawah menguning di tanah
berundak tersimpan selaksa makna. Cara tanam
dimaksud selain untuk memanfaatkan dan
mengoptimalkan lahan di perbukitan yang terjal juga
bisa menjadi teknik pengendalian longsor
mekanis.Pendekatan mekanis acap kali menjadi
pilihan jika vegetative dianggap kurang memadai untuk mencegah terjadinya erosi.

Tak heran jika banyak turis baik local maupun mancanegara yang terpesona oleh keelokan
persawahan terasering ini. Tercatat beberapa lahan persawahan terasering di Bali sudah ternama
didunia, termasuk Tegalalang dan Jatiluwih. Bahkan, area persawahan tersebut dilindungi oleh
UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Sebagai peneman dari cara tanam terasering, masyarakat Bali kerap mengadopsi distribusi
pengairan yang mereka sebut sebagai Subak. Sistem yang sudah dikenal sejak ratusan tahun silam
tersebut diyakini mampu meningkatkan produktifitas lahan pertanian di Pulau Dewata. Lewat
Subak, para petani mendapatkan jatah air sesuai dengan ketentuan yang berlaku hasil dari
musyawarah warga desa. Subak yang biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau
Pura Bedugul ini diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan, Dewi Sri, biasanya diatur
oleh seorang pemuka adat yang juga seorang petani.
Subak juga mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana, atau hubungan harmonis antara manusia
dan Tuhan, manusia dan alam serta hubungan antara manusia dengan manusia. Karenanya,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organisasi Subak tidak hanya melulu membahas
tentang pertanian. Namun juga bisa meluas hingga masalah ritual dan peribadatan untuk
memohon rejeki yang berlimpah

Anda mungkin juga menyukai