Anda di halaman 1dari 20

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (Von Pirquet, 1986).1

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.1

2.2 Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.1

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu


1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan
dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1

Gambar 1 Patofisiologi Rinitis Alergi 2


Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kom-plek
peptida MHC kelas II (Major Histo-compatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL
1) yang akan mengaktifkan ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke
dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators) terutama his-tamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4,
IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menim-bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menye-
babkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti
sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambar 2 Teori perkembangan alergi2

2.3 Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.1

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya tungau debu
rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit
binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus,
Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui sun-tikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan iebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.1

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi.1

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :

1. Respons primer:
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.

2. Respons sekunder:
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier:
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.1

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu :


o tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),
o tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik,
o tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan
o tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah
tipe 1 yaitu rinitis alergi.1

2.4 Klasifikasi Rinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu
nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten
atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
diban-dingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.1
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan
sifat berlang-sungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari , 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.1

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.1

2.5 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:


1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala
pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
ampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior
faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).1

Gambar 3 Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi 3

Gambar 4 Rinoskopi Anterior Rinitis Alergi dengan Kelainan Warna Membran


Mukosa Hidung 3

Gambar 5 Rasa Gatal pada Hidung 3


3. Pemeriksaan penunjang :

In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, .walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.1

Gambar 6 Skema Pemeriksaan In Vitro 4

In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri. Skin Endpoint
Titration/SET), SET dilakukan untuk aiergen inhalan dengan menyuntikkan
aiergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi ("Challenge
Test").

Alergen ingestan secara tuntas lenyap :ari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu :ada "Challenge Test", makanan yang dicurigai ; berikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1

TES ALERGI UJI KULIT ALERGI :


Prick Test
Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan
imunologi dapat dilakukan walaupun tidak harus dipenuhi seluruhnya. Tiap jenis
pemeriksaan mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang berbeda. Prinsip
pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada
kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi
tipe I). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan
tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE
mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi
maksimal terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8
jam.5
Alergi Tipe 1 (IgE mediated) adalah hasil dari produksi IgE spesifik untuk
alergen oleh alergi individu. Kondisi di mana alergi yang dimediasi IgE dapat
memainkan peran utama termasuk rhinitis alergi, asma, dermatitis atopik,
anafilaksis, urticaria dan angioedema akut, alergi makanan, alergi racun serangga,
lateks alergi dan beberapa obat alergi.Tes untuk alergi serum IgE spesifik (juga
disebut sebagai tes RAST) juga berguna dalam situasi tertentu.
Gambar 7 Skin Prick Test

Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji
tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel). Uji gores
sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.5
1. Uji kulit intradermal Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml
semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga
timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing
dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm.
Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada
kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan
untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi
mungkin untuk mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini
membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan
tenaga medis yang berkopeten melalui pelatihan spesialis. 5
2. Uji tusuk Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah
volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku
dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50%
gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit
ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang
dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji
tusuk.Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat
daripada yang digunakan untuk uji intradermal. 5
Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan
risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk
mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal,
tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang
lebih rendah.Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01% histamin
pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma
jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin. Antihistamin
dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang
mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum
uji kulit. 5
Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang
lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat
golongan agonis juga mempunyai pengaruh, akan tetapi karena
pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga
mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja
terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas
yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah
dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah
10 menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan
positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan
adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter
terbesar (D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan
ukuran (D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi
dengan pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur
diameternya. Kertas dapat disimpan untuk dokumentasi. 5
Dengan teknik dan interpretasi yang benar, alergen dengan
kualitas yang baik maka uji ini mempunyai spesifitas dan sensitivitas
yang tinggi disamping mudah, cepat, murah, aman dan tidak
menyakitkan.
Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai metode utama untuk
diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian besar penyakit
alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan spesifisitas, hasil
cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan demonstrasi yang
jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya tergantung
pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas. 5
Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang
relatif rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test
adalah perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting. 5
Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.
Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan harus
diperhatikan.
Uji gores kulit harus dilakukan oleh yang terlatih dan
berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan
fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik
(anafilaksis).
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes
untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan
karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi
eksposur termasuk faktor-faktor lokal.
Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah
pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di
lokasi pelatihan yang memadai sangat penting untuk
mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.
Kontrol positif dan negatif sangat penting.
Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan
menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-
tanda.
Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas
dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.
Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara
individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan
lingkungan setempat. 5
Pengakuan terhadap keterbatasan Uji gores kulit penting, yaitu.
terbatasnya kemampuan dalam prediksi tipe alergi reaksi lambat. positif
palsu atau negatif karena karakteristik alergi pasien atau kualitas.
Adanya IgE tanpa gejala klinis dan tes negatif tidak mengecualikan gejala
yang disebabkan oleh non-IgE mediated alergi / intoleransi atau penyebab
medis lainnya . 5
Patch test.
Metode lain adalah dengan menerapkan alergi untuk sebuah patch yang
kemudian diletakkan pada kulit. Hal tersebut dapat dilakukan untuk menunjukkan
yang memicu dermatitis kontak alergi. Jika ada alergi antibodi dalam sistem anda,
kulit anda akan menjadi jengkel dan mungkin gatal, lebih mirip gigitan nyamuk.
Reaksi ini berarti Anda alergi terhadap zat tersebut5
Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo
maupun secara in vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi
imunologi selular secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe lambat setelah penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall
antigen) pada kulit. 5
Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal.
Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal,
misalnya tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans,
trikofiton, dan proteus. Pada 85% orang dewasa normal reaksi akan positif dengan
paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini
lebih rendah, walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur.
Hanya 1/3 dari anak berumur kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan
kandida, dan akan mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5
tahun. 5
Gambar 8 Alergen Patch Test

Gambar 9 Patch Test

Gambar 10 Patch Test


Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan
larutan gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux
Institute sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida
albicans, toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine, trikofiton,
dan proteus) serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji. 5
Persiapan
Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai,
perhatikan cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa
kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga
memberi hasil negatif palsu. Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah
berkontak sebelumnya dengan antigen yang akan digunakan. 5

Melakukan uji
Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan
banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus
dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada
aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus,
tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan
bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk
gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi
antigen. 5

Hasil pemeriksaan
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka
cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang
terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan
diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula
(a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih. 5

Efek samping
Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa
meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan
ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen. 5

Interpretasi
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular
seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan
anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur
diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan
bahwa kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat
dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo. 5

2.6 Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan aiergen pe-
nyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi, Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan antihistamin


generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini
antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-kolinergik,
antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi
secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada
respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi
menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol
dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah diterik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, deslora tadin
dan levosetirisin.1

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai


dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.1

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat


respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,
obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.1

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat


untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.1

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien


(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.1
Gambar 11 Skema Terapi Rinitis Alergi 2
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor asetat.1

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada a, inhalan dengan gejala yang bera:
sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blc: antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum dilakukan intradermal dan
sublingual.1

2.7 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung
2. Otitis media efusi yang sering residiual utama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal1
Gambar 12 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi1
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 128-134.
2. Snow Jr, James B. Ballenger, John Jacob. 2003. Balllengers Otorhinolarynology Head
and Neck Surgery Sixteenth Edition. Hamilton : BC Decker Inc. Hal : 708 739.
3. Hawke, Michael et all. 2002.Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. New York:
Material. Hal :91-155
4. Lalwani, Anil K. 2008. Current Diagnosis and TreatmentOtolaryngology Head and Neck
Surgery Second Edition.New York : Mc Graw Hill. Hal : 267 - 272
5. AP, Arwin Dkk. 2007.Buku Ajar Alergi imunologi Anak Edisi 2. Jakarta :IDAI . Hal : 76 - 88

Anda mungkin juga menyukai