Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENELITIAN MAHASISWA UNGGULAN

Pemberian Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana


Korupsi

Disusun:

Rienny Sihombing

Elisabeth Putri Hapsari

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2014

1
ABSTRAKSI
Dalam penelitian ini kami mengangkat Judul mengenai Pemberian
Sanksi Adat Yogyakarta Terhadap Tindak Pidana Korupsi.Seperti yang telah
diketahui, Korupsi sebagai kejahatan yang bersifat transnasional telah
menimbulkan dampak hukum yang sangat signifikan terhadap perkembangan
hukum pidana nasional sedangkan negara Indonesia merupakan negara yang
memiliki beragam adat dan budaya,dimana masing masing dari adat daerah
tersebut memiliki hukum yang hidup dan berkembang pada masyarakat yang
disebut dengan Hukum Adat, Hukum Adat ini diharapkan dapat melengkapi
sistem hukum nasional dalam menangani masalah Korupsiuntuk memberikan
pengaruh esensi dan efektifitasnya.Dalam Hukum adat terdapat sanksi adat
yang diberikan kepada masyarakat adat yang melanggar nilai dan norma yang
ada di masyarakat. Tentunya masing-masing daerah memiliki sanksi adat yang
berbeda karena jenis sanksi adat yang diberikan merupakan sanksi yang
diberikan oleh pemuka adat berdasarkan keputusan bersama masyarakat adat.
Salah satu contoh adalah Sanksi adat Yogyakarta yang berlaku bagi masyarakat
adat Yogyakarta saja. Untuk menggali bagaimana penerapan Sanksi Adat
Yogyakarta dalam menangani masalah Korupsi yaitu menggunakan beberapa
metode penelitian meliputi metode studi pustaka, metode wawancara dan
angket, serta metode observasi.Disini dapat diketahui bahwaPemberian sanksi
adat Yogyakartadiantaranya dapat berupadikucilkan, diasingkan dan dicemooh
oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pemberian sanksi adat
Yogyakarta ini dapat dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan nilai dan
normayang melekat didalamnya. Untuk itu, kedepannya diharapkan Tidak
hanya sanksi Adat Yogyakarta yang menerapkan sanksinya terhadap tindak
pidana korupsi tetapi Sanksi Adat dari berbagai daerah dapat masuk dan
bergabung untuk memberantas tuntas Tindak Pidana Korupsi ini. Selain itu
pemberian sanksi adat nantinya akan menjadi sanksi tambahan setelah hakim
memberikan putusan mengenai sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku
tindak pidana korupsi.

Kata Kunci :Pemberian Sanksi Adat,Sanksi Adat Yogyakarta,Tindak Pidana


Korupsi.

2
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena
dapat diselesaikannya Laporan Akhir ini dengan tepat pada waktunya. Penulis
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada:

1. Ibu Emy Handayani, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing;


2. Yohanes Sukarno sebagai Narasumber Penelitian;
3. Masyararakat Adat Yogyakarta dan teman teman yang telah membantu
dalam menyelesaikan penelitian ini; serta
4. Kelompok belajar Petis yang selalu memberi semangat dan masukan
masukan yang membangun bagi Penulis dalam melaksanakan kegiatan
penelitian ini.

Dalam hal penulisan judul terkait dengan Pemberian Sanksi Hukum Adat
Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dilandaskan kepada:

Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berurat dan berakar dalam


kehidupan kita berbangsa dan bernegara khususnya dalam sistem pemerintahan
Indonesia. Masalah Korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan
kompleks, besifat sistemik dan meluas dalam seluruh tatanan sosial;

Kedua, Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya


masalah hukum semata saja melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran
atas hak hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia;

Ketiga, semakin haripara pelaku Tindak Pidana Korupsi semakin banyak,


mereka yang sudah ditetapkan sebagai Tersangka pun tidak menunjukkan rasa
malu, bahkan mereka mempertontonkan senyuman senyuman mereka kepada
masyarakat seolah olah tidak terjadi apa apa. Para pelaku adalah orang orang
yang seharusnya melayani masyarakat bukanlah menjadi penindas bagi
masyarakat itu sendiri.

3
Sehingga, dalam hal ini Penulis mencoba menggali peraturan peraturan di
tengah beragam adat yang ada di Indonesia khususnya menggunakan sanksi
masyarakat adat Yogjakarta dalam mengatasi hal hal yang berkaitan dengan
pemberian sanksi terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi, sehingga nantinya
dapat menjadi pedoman dalam menjadikan sanksi adat berlaku pada tindak pidana
korupsi sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di daerah tempat tinggal
pelaku, agar pelaku tindak pidana korupsi tersebut dapat secara efektif memberi
efek jera, begitu pula untuk memberi rasa takut pada masyarakat yang ingin
melakukan tindak pidana korupsi sehingga nantinya dapat mengurangi Tindak
Pidana Korupsi itu sendiri serta dapat memberikan kontribusi pada rancangan
perundang undangan nasional terkait masalah Korupsi.

Demikianlah Penulis memaparkan hal hal terkait dengan Pemberian


Sanksi Hukum Adat Yogjakarta pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi, penulis tahu
jika laporan ini masih jauh dalam hal sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Sekian dan Terimakasih,

Semarang, November 2014

Tim penulis

4
JADWAL DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN

1. PelaksanaanPersiapanPenelitian
a. Penetapan lokasi penelitian 3 hari
b. Pertemuan awal anggota penelitian 2 hari
c. Pemberitahuan jadwal penelitian 2 hari
2. Pengadaan alat dan bahan penelitian 15 hari
3. Pelaksanaan studi pustaka
a. Searching data pendukung penelitian via internet dan sumber 15 hari
studi pustaka
b. penyusunan bahan studi pustaka dan data pendukung lain 15 hari
dari internet
4. Pengambilan data di lapangan 5 hari
5. Analisis data 13 hari
6. Penyusunan laporan penelitian
a. Melakukan penyusunan konsep laporan akhir 2 hari
b. Penyusunan laporan akhir 15 hari
c. Konsultasi pakar hasil laporan akhir 3 hari

Jumlah : 90 hari

5
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup
selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan
perundang undangan.1 Andaikata diadakan juga undang undang yang
akan menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana
perundang undangan akan kehilangan sumber kekayaannya karena
dalam pembentukan perundang undangan didasarkan pada filsafat hidup
bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila itu digali dari hukum adat,
yang sesungguhnya tidak lain dari hukum asli bagi kita dan dasar dari
semua hukum yang ada serta hukum pidana adat itu lebih dekat
hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada hukum
perundang undangan.
Dalam pasal 1 ayat (3) Rancangan Undang Undang tentang Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 1999/2000
2
dalam penjelasannya menerangkan bahwa adalah suatu kenyataan dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum
yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana,
yaitu biasa disebut dengan tindak pidana adat.Diakuinya tindak pidana
adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat tertentu.
Diberikannya dasar hukum bagi hakim untuk menerapkan hukum
pidana adat dalam RUU KUHP tahun 1999/2000, dimuatlah mengenai
jenis jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim pada pasal 60, 61,

1
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, (Bandung, Citra aditya Bakti, 2005) , hal.8.

2
Ibid, hal. 9

6
dan 62.Walaupun pencantuman kewajiban adat hanya sebagai pidana
tambahan dalam pasal pasal tersebut, namun menurut pasal 933,
dimungkinkan pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana pokok
atau pidana utama.
Pencantuman hukum pidana adat dalam RUU KUHP tahun
1999/2000, jika diikuti secara konsekuen oleh para perancang ialah dengan
memberikan paket pidana berupa pemenuhan kewajiban adat. Maka,
berarti bahwa pemenuhan kewajiban adat nantinya akan mempunyai
kedudukan sebagai pidana yang resmi dan pemenuhan kewajiban adat ini
sudah tentu diharapkan akan dapat memenuhi tujuan dari pemidanaan
(pasal 50 RUU KUHP tahun 1999/2000).4
Dalam hal ini tentu saja hukum pidana adat diharapkan bukan hanya
untuk tindak pidana adat, melainkan harus pula berkaitan dengan tindak
pidana yang tidak diatur di dalamnya, yaitu tindak pidana korupsi (dalam
tindak hukum pidana nasional) yang mungkin saja dalam tindak pidana
hukum adat merupakan bagian dari tindak pidana pencurian, harus pula
diatur oleh hukum pidana adat sehingga dalam hal ini, hukum pidana adat
dapat masuk ke dalam jenis tindak pidana nasional yang harus dijamin
kepastian hukumnya.

2. Fokus Studi dan Permasalahan

Fokus studi dalam penelitian mengenai Pemberian Sanksi Hukum Adat


Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ini lebih menekankan
pada aspek Hukum dan Masyarakat.
Dalam sistem Sanksi yang dipergunakan sekarang ini yang berkaitan
dengan masalah tindak pidana korupsi, terlihat bagaimana sanksi yang

3
Ibid, hal. 11

4
Ibid, hal. 12

7
diberikan tidak lagi sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari suatu
pemidanaan atau pemberian sanksi tersebut. Mengingat, semakin hari
malah semakin banyaknya pelaku pelaku tindak pidana korupsi dan tidak
terlihat adanya rasa penyesalan atau jera dari mereka.Hal itu sangatlah
mengecewakan.Seolah olah hukum pidana nasional sudah tidak
berfungsi lagi sebagaimana mestinya dan mengakibatkan turunnya
kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana sistem hukum
Indonesia nantinya dalam pandangan masyarakat, apakah masih dapat
memberikan rasa kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan bagi rakyat
dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum Indonesia
ini khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi.
Kami menyusun rumusan masalah yang akan diurai dalam penelitian
ini, meliputi:
1. Apa saja Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku
Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana cara penerapan sanksi Hukum Adat Yogjakarta
terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ?

3. Tujuan dan Kontribusi Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini meliputi:


1. Untuk mengetahui Apa saja Sanksi Hukum Adat Yogjakarta
terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk mengetahui Bagaimana cara penerapan sanksi HukumAdat
Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi.

Hasil penelitian ini kami kontribusikan untuk para anggota legislatif


di Indonesia dan juga terutama bagi mahasiswa hukum yangingin menjadi
calon anggota legislatif di Indonesia, untuk meningkatkan kualitas calon
anggota legislatif yang memiliki integritas dalam melakukan penyusunan
perundang undangan, khususnya dalam Undang Undang Tindak
8
Pidana Korupsi yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak
menyimpang dari dasar negara atau filsafat bangsa yaitu Pancasila, serta
dalam melakukan pertimbangan untuk menjadikan sanksi adat berlaku
terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan adat daerah tempat
tinggalnya.

4. Metode Penelitian

1. Metode Studi Pustaka


Cara untuk mengumpulkan data dari sumber buku yang berkaitan
dengan penelitian yang akan dibuat.

2. Metode Wawancara dan Angket


Cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan
langsung kepada seorang informan atau seorang ahli. Pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan harus disiapkan terlebih dahulu
sebelum melakukan wawancara. Sedangkan untuk angket,
mengumpulkan informasi dari para informan dengan bentuk tertulis.

3. Metode Observasi
Pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung kepada suatu
obyek yang akan diteliti. Tujuannya untuk mendapatkan kebenaran
dari data dan informasi mengenai obyek penelitian.

9
B. KERANGKA PENELITIAN

1. KERANGKA KONSEPTUAL

Pengertian Korupsi

a. Menurut Haryatmoko, Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan


kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi,
keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.

b. Menurut Brooks, Korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan atau


melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa keuntungan yang
sedikit banyak bersifat pribadi.

c. Kartono, 1983 memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan
atau merugikan kepentingan umum dan negara.

d. Juniadi Suwartojo, 1997 menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau
tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan
menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui
proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau
jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang
atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau
jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga
langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan
negara/masyarakat.

e. Menurut Blacks Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang dilakukan


dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan
hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya
untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain,
berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

10
f. Menurut Mohtar Masoed ,1994 mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk
memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik.
Tindak korupsi umumnya merupakan transaksi dua pihak, yaitu pihak yang menduduki
jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai pribadi swasta. Tindakan yang disebut
korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga (uang atau
aset lain yang bersifat langgeng seperti hubungan keluarga atau persahabatan) untuk
memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintahan.

g. Menurut Alfiler 1986, secara khusus merumuskan apa yang disebut sebagai
korupsi birokrasi (bureaucratic corruption) sebagai suatu perilaku yang dirancang
yang sesungguhnya merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-
norma yang diharapkan yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan imbalan
material atau penghargaan lainnya.

Pengertian Hukum Adat

a. Menurut Supomo dan Hazairin, hukum adat adalah hukum yang mengatur
tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang
merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar
hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota
masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal
sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para
penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi
keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu,
pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.

b. Van Vollenhoven ,menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan


tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut
hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu
disebut adat).

11
c. Menurut Soerjono Soekanto, hukum non statuter yang untuk bagian terbesar
merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum
agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pada putusan-putusan
hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara
diputuskan.

d. Bushar Muhammad, menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum


adat sangat sulit sekali karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan
pembawaan hukum adat ialah:
- Tertulis atau tidak tertulis
- Pasti atau tidak pasti
- Hukum raja atau hukum rakyat dan sebagainya.

e. Suroyo Wignjodipuro menyatakan bahwa Hukum adat adalah suatu kompleks


norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai
akibat hukum (sanksi)

12
3. DATA DAN SUMBER DATA PENELITIAN

1. Dengan Narasumber:

Nama : Yohanes Sukarno

Tempat, tanggal lahir : Gunung Kidul, 5 Maret 1957

Usia : 57 Tahun

Jabatan Adat : Anggota Masyarakat adat

Alamat : Desa Gading VII Kec. Playen,

Kab. Gunung Kidul,Yogyakarta

2. Dengan angket:
a. Ditujukan kepada : Masyarakat
b. Jumlah responden : 50 orang

4. PENGUMPULAN DATA

a. Peneliti menggunakan metode wawancara untuk


memperoleh data penelitian. Pertanyaan dan jawaban dari
narasumber (terlampir)

b. Dari angket:
Dalam penelitian ini kami menggunakan angket dengan 15
butir pertanyaan yang dibagikan kepada 50 responden (terlampir).

13
5. ANALISIS DATA

a. Dari hasil wawancara:

Hukum adat selalu mengalami perkembangan setiap zamannya, hal


ini agar hukum adat tetap relevan dengan perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Meskipun hukum adat selalu mengikuti
perkembangan zaman, nilai-nilai dan norma yang terkandung di
dalamnya tidak akan sirna oleh waktu. Bukti bahwa hukum adat telah
mengalami perubahan, masyarakat adat Yogyakarta yang dahulu
mengenakan pakaian kebaya sebagai pakaian sehari-hari sekarang
menggunakan pakaian kebaya hanya saat acara adat saja atau acara
besar. Hal ini bukan berarti budaya akan mengenakan pakaian kebaya
luntur namun penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan
situasi yang ada. Selain tradisi dan budaya, hukum adat Yogyakarta
juga memiliki sanksi adat yang berlaku untuk seluruh masyarakat adat
Yogyakarta.Walaupun pada masa sekarang pemberian sanksi pidana
lebih gencar untuk diterapkan, namun sanksi adat ini masih memiliki
kekuatan yang mengikat masyarakat.Hal ini karena masyarakat tidak
dapat menghilangkan dan melupakan kebiasaan yang telah
dilakukan.Kebiasaan ini menjadi pedoman ataupun patokan nilai
dalam hidup bermasyarakat. Contoh penerapan sanksi adat di
Yogyakarta, masyarakat yang tidak mengikuti gotong-royong sanksi
adatnya akan dikucilkan oleh masyarakat, masyarakat yang tidak
datang dalam acara Kenduri (doa untuk memperingati meninggalnya
seseorang) akan dikucilkan.Pada dasarnya keikutsertan masyarakat
adat dalam acara kenduri maupun gotong royong berdasar pada rasa
kepedulian dari masing-masing masyarakat adat. Sehingga seseorang
yang tidak mengikutinya akan dikucilkan karena rasa kepeduliannya
yang kurang terhadap sesama.

14
Di masa modern ini pemberian sanksi adat untuk kasus tindak
pidana jarang dilakukan, karena sudah ada sanksi pidana dari
keputusan hakim.Namun narasumber beranggapan bila dalam tindak
pidana korupsi dapat diberikan sanksi adat Yogyakarta bila si pelaku
adalah masyarakat adat Yogyakarta.Meskipun dalam hukum adat tidak
terdapat istilah tindak pidana korupsi, menurut narasumber tindak
pidana korupsi dapat disamakan dengan kasus penipuan sekaligus
pencurian tetapi dalam hal pemberian saksi lebih berat dibandingkan
dengan kasus pencurian dan penipuan.Narasumber beranggapan bahwa
penerapan sanksi adat di Yogyakarta terhadap tindak pidana korupsi
seperti dikucilkan, diasingkan, di cemooh kurang memberikan efek
jera terhadap pelaku korupsi yang tidak punya rasa malu.Sehingga
dalam pemberian sanksi harus disesuaikan dengan kepribadian pelaku
korupsi yang sifatnya tidak sewenang-wenang terhadap pelaku
korupsi.Narasumber juga setuju bila dalam pemberian sanksi adat
Yogyakarta dilakukan pembaharuan dengan memberikan sanksi adat
dengan kesepakatan antara masyarkat adat dan pihak yang dirugikan
contohnya dengan memperkerjakan pelaku sebagai pegawai rendahan.
Pemberian sanksi adat seperti ini akan memberikan pengaruh terhadap
psikologi pelaku dan dapat memberikan efek jera.

b. Dari hasil angket :

Semua responden disini telah mengetahui mengenai apa itu korupsi


yang sebagian besar mengetahuinya dari media cetak dan / atau media
elektronik, berarti publikasi mengenai korupsi sudah baik. Menanggapi
mengenai penerapan sanksi korupsi sekarang ini, responden sebagian
besar beranggapan bahwa sanksi hukum yang diberikan kepada para
pelaku korupsi dari hasil Putusan Hakim belum memberi efek jera,
karena adanya remisi (pengurangan masa tahanan) yang sangat
menguntungkan para koruptor dan juga menyatakan bahwa sebagian

15
besar dari mereka tidak percaya lagi pada putusan hakim, karena
banyaknya juga hakim yang terjerat kasus suap dengan para koruptor,
sehingga diinginkan adanya perubahan terhadap Undang Undang
no.31 tahun 1999 Jo Undang Undang no. 20 tahun 2001 tentang
tindak pidana korupsi agar berlaku lebih efektif lagi terhadap
pemberian sanksi korupsi dan dapat memberi rasa takut pada
masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi, diharapkan
dengan adanya perubahan tersebut, nilai nilai hukum adat khususnya
adat Yogyakarta dapat masuk dalam peraturan pemberian sanksi tindak
pidana korupsi yang baru dan memberikan pembaruan dalam sistem
hukum nasional. Sanksi adat yang diberikan pun akan lebih efektif jika
diberikan setelah hakim memutus perkara Sehingga pelaku tindak
pidana korupsi dapat dihukum dengan menggunakan Peraturan
Perundang undangan yang ada dan sekaligus menggunakan Hukum
Adat khususnya Adat Yogyakarta.

Sanksi Hukum Adat Yogyakarta meliputi : dicemooh, dikucilkan,


dan diasingkan dapat diterapkan menjadi sanksi Tindak pidana
korupsi. Penggunaan sanksi tersebut dapat digunakan dengan
menganalogikan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana
pencurian dan penipuan, sehingga dalam sanksi terhadap pencurian
dan penipuan dapat diterapkan sanksi yang sama terhadap tindak
pidana korupsi tersebut. Untuk menggunakan sanksi Hukum Adat
dalam Tindak Pidana Korupsi agar lebih efektif maka perlu juga
dilakukan pembaharuan, yakni tidak lagi hanya dicemooh, dikucilkan,
maupun diusir dari tempat tinggalnya, namun dapat juga
menitikberatkan pada kesepakatan antara masyarakat adat dengan
pihak yang dirugikan dalam menerima penjatuhan sanksi, contohnya:
menjadi cleaning service di perusahaan tempat si pelaku melakukan
tindak pidana korupsi. Akan tetapi, Penerapan sanksi pidana adat
yogyakarta yang menitikberatkan pada kesepakatan antara masyarakat
16
adat dengan pihak yang dirugikan tidak boleh bertindak sewenang
wenang dalam sanksi adat yang diberikan.

Pada penjatuhan sanksi Tindak Pidana Korupsi, responden


sebagian besar mengharapkan hanya ditujukan pada pelaku saja, tanpa
melibatkan keluarga si pelaku yang kemungkinan juga ikut menikmati
hasil korupsi tersebut. Hal ini ditujukan agar pemberian efek jera
terhadap pelaku dapat diberlakukan secara efektif. Pelaku dalan hal ini
tidak punya alasan dalam hal menolak sanksi yang diberikan
kepadanya.

17
C. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

1. JENIS JENIS SANKSI HUKUM ADAT YOGYAKARTA

Sanksi adat merupakan sanksi yang ada dalam suatu daerah tertentu yang
berlaku bagi masyarakat adatnya bila terjadi suatu pelanggaran. Sanksi adat
ini hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja, antara daerah satu dengan
yang lain memiliki sanksi adat yang berbeda. Pemberian sanksi pidana adat
khususnya di Yogyakarta berpedoman dalam aturan yang ada di Keraton
Yogyakarta. Keraton Yogyakarta merupakan salah satu warisan Budaya di
Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdiri sejak
tanggal 13 Februari 1755. Kasunanan Keraton Yogyakarta sampai sekarang
masih berdiri dengan dipimpin oleh seorang raja yaitu Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Sejak didirikan pada tanggal 13 Februari 1755, keraton
merupakan pusat pemerintahan yang ada di Yogyakarta.Selain menjadi
seorang Raja Sri Sultan Hamengkubuwono juga secara otomatis telah
menjadi Gubernur Daerah IstimewaYogyakarta.Para Sultan bersama para ahli
adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang seni, sastra, sistem sosial,
sistem ekonomi, dan seterusnya.Sri Sultan Hamengku Buwono I misalnya,
melahirkan banyak karya seni dan arsitektur.Dengan Keraton sebagai pusat
penyelenggaraan pemerintahan daerah, masyarakat Yogyakarta sudah
berkembang menjadi sebuah sistem peradaban tersendiri sejak sebelum
bergambung dengan RI (1945).5 Dalam Keraton Yogyakarta inilah lahir
pedoman hukum yang berlaku bagi masyarakat Yogyakarta. Aturan hukum
ini timbul dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara berulang-ulang.
Begitu pula lahir jenis-jenis sanksi adat yang berlaku bagi masyarakat adat
Yogyakarta. Sanksi adat ini berdasar pada perbuatan yang dilakukan oeh
pelaku seperti pencurian,pembunuhan, pemerkosaan, tidak mengikuti acara
besar di masyarakat, penipuan, dll. Jenis-jenis sanksi adat di Yogyakarta
yaitu dikucilkan oleh masyarakat, diasingkan ke tempat lain, dan dicemooh

5
Tim Redaksi,Keraton Yogyakarta, diakses dari http://pustaka-makalah.blogspot.com,pada 27
Oktober 2014 pukul 15.56.

18
oleh masyarakat. Sanksi ini dirasa memberikan dampak sosial bagi pelaku
dan akan berpengaruh pada psikologis pelaku. Dalam perkembangannya,
sanksi adat ini masih dapat berlaku dan mengikat masyarakat adat
Yogyakarta karena adanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang
masih menjadi pedoman. Sanksi pidana adat di Yogyakarta ini dirasa kurang
memberikan efek jera bila dalam diri pelaku sendiri tidak mau memperbaiki
diri atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga perlu adanya pembaharuan
dalam pemberian sanksi pidana adat yang masih mengandung nilai-nilai dan
norma yang tetap namun tidak berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku.
Sanksi pidana adat yang akan diberikan kepada pelaku harus sesuai dengan
kepribadian pelaku agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Dalam kasus korupsi yang kini marak terjadi juga dapat diberikan sanksi
adat.Bila yang melakukan korupsi adalah masyarakat adat Yogyakarta maka
berlakulah sanksi adat di Yogyakarta.Dalam hukum adat Yogyakarta, tidak
terdapat istilah korupsi.Namun korupsi ini dapat disamakan dengan tindakan
pencurian dan penipuan.Perilaku yang dilakukan cukup memiliki unsur yang
sama seperti pencurian dan penipuan. Sedangkan untuk pemberian sanksinya,
pada pelaku korupsi diberikan sanksi yang tidak sama dan lebih berat bila
dibandingkan dengan sanksi adat untuk tindakan pencurian dan penipuan.
Pelaku tindak pidana korupsi diberikan sanksi adat yang lebih berat karena
merugikan banyak pihak dan perbuatan ini perlu dituntaskan agar tidak ditiru
oleh masyarakat lain. Selain itu agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku
korupsi. Untuk pemberian sanksi adat terhadap pelaku korupsi selain
dikucilkan,diasingkan,dicemooh dapat diberikan sanksi adat yang lain sesuai
dengan kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak-pihak yang
dirugikan atas perbuatan pelaku. Artinya dapat diberlakukan pembaharuan
sanksi adat tanpa menghilangkan nilai dan norma dalam masyarakat.
Contohnya dengan memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai
rendahan di tempat ia bekerja seperti menjadi office boy, atau petugas
cleaning servis. Dengan memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai
rendahan akan mempengaruhi keadaan psikologis dari pelaku. Pelaku korupsi
akan sangat malu dan merasa tertekan atas akibat dari perbuatan yang

19
dilakukan. Hal ini diharapkan agar pelaku dapat introspeksi diri atas
perbuatan yang dilakukan dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

2. PENERAPAN SANKSI HUKUM ADAT (KHUSUSNYA ADAT


YOGYAKARTA) TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KORUPSI

a. Pengertian Hukum Pidana Adat

Berbicara mengenai Hukum Adat maupun Hukum Pidana Adat,


tidak bisa lepas dari pembicaraan aspek kebudayaan bangsa
Indonesia.Oleh karena hukum dan juga hukum pidana adat merupakan
perwujudan dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya,
kebudayaan itu mempunyai tiga perwujudan, yaitu: pertama, wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide ide, gagasan gagasan,
nilai nilai, norma norma peraturan, dan sebagainya. Kedua,
kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.Dan ketiga, kebudayaan
dapat berwujud sebagai benda benda hasil karya manusia.6

Sistem nilai nilai budaya bangsa dengan demikian terdiri dari


konsep konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat yang merupakan warga dari kebudayaan yang bersangkutan,
yaitu mengenai hal hal yang harus mereka anggap penting dan bernilai
dalam hidup.Karena itu, sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai
pedoman untuk berbuat.Yang penting, yaitu sebagai suatu sistem yang
mengontrol atas perbuatan perbuatan manusia dalam
masyarakat.Didalam menontrol ini masyarakat mempunyai suatu pola
untuk mengukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk, dipebolehkan

6
Koentranigrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1974), hal.15

20
atau tidak oleh masyarakat dimana pelaku perbuatan tadi hidup dan
menjadi anggota.7

Hukum atau norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk


berbuat atau tidak berbuat, mmepunyai akibat hukum apabila normanya
tidak ditaati atau dilanggar. Tiap tiap bangsa mempunyai hukumnya
sendiri dan sebagaimana halnya dengan bahasa, maka hukum pun hidup
dan diciptakan masyarakat karena hukum merupakan kehidupan dari
bangsa itu sendiri.8

b. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Pidana Adat

Dasar hukum berlakunya Hukum pidana Adat pada jaman Hindia


Belanda dicari dalam undang undang ialah pasal 131 I.S. jo A.B
(algemenn Bepalingen van Wetgeving). Semasa berlakunya Undang
undang Dasar 1950, dapat ditunjukkan beberapa pasal yang dapat
dijadikan dasar, yaitu Pasal 32, Pasal 43 ayat (4), Pasal 104 ayat (1), Pasal
14 ayat (3), dan pasal 16 ayat (2). Akan tetapi, sebenarnya tidak diperlukan
dasar hukum yang diambil dari ketentuan undang undang sebab hukum
adat itu hukum yang asli dan sesuatu yang asli itu berlaku dengan
sendirinya, kecuali ada hal hal yang menghalangi berlakunya.9

Namun, kalau masih mau dicari dasar hukum berlakunya hukum


pidana adat, dapat dilihat dalam pasal 5 ayat (3) sub b Undang Undang
Darurat Nomor 1 tahun 1951 LN Nomor 51-9 tentang tindakan tindakan
sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan

7
Hermin Hadiati Koeswadji, Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik Adat, Makalah dalam
Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Pidana, (Denpasar: Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, 1975), hal.4

8
Ibid. Hal.6

9
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto,1990), hal.17

21
Acara pengadilan pengadilan Sipil. Dalam Pasal tersebut dapat diketahui
bahwa sebenarnya sanksi adat (hukuman adat) merupakan sanksi utama
dalam hal perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai
perbuatan yang dapat dipidaa, namun tidak ada bandingnya dalam
KUHP.10

c. Perbedaan Pokok antara Kitab Undang Undang Hukum Pidana


dan Hukum Pidana Adat

Seperti diuraikan oleh Van Vollenhouven dalam Adatrecht, Bab


XI(Adat strafrecht vanIndonesiers,halaman 745), maka terdapat perbedaan-
perbedaan pokok antara sistem hukum eks KUHP dan sistem hukum adat
delik, misalnya:11

1. Suatu pokok dasar KUH Pidana ialah bahwa yang dapat dipidana
hanyalah seorang manusia saja. Artinya desa, kerabat, atau keluarga
tidak mempunyai tanggungjawab kriminal terhadap delik yaang
dilakukan seorang warganya. Sedangkan di daerah tertentu bila
seseorang melakukan kejahatan, kerabat si penjahat diharuskan
menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan
seorang warganya.
2. Pokok prinsip yang kedua dari KUH Pidana ialah bahwa seseorang
hanya dapat dipidana bila perbuatannya dilakukan dengan sengaja
ataupun kealpaan/adanya kesalahan. Sedangkan dalam hukum pidana
adat unsur kesalahan tidak merupakan syarat mutlak, terkadang

10
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal.41.

11
Surojo Wignjodipuro,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,(Bandung:Alumni,1979),hal.298.

22
samasekali tidak perlu adanya pembuktian adanya kesengajaan atau
kesalahan.
3. Sistem KUH Pidana mengenal serta membedakan masalah membantu
melakukan kejahatan, membujuk, dan ikut serta dalam pasal 55 dan
pasal 56. Sedangkan dalam sistem hukum adat siapa saja yang turut
menentang peraturan hukum adat, diharuskan turut memenuhi usaha
yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum.
4. Sistem KUH Pidana menetapkan percobaan sebagai tindak pidana
dalam pasal 53. Sedangkan dalam sistem hukum adat tidak memidana
seseorang oleh karena mencoba melakukan delik.
5. Sistem KUH Pidana berlandaskan pada sistem prae existence regels
(pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu). Hukum adat tidak
mengenal sistem prae existence regels, dalam hukum adat delik adat
tidak bersifat statis artinya tidak sepanjang masa tetap merupakan delik
adat. Setiap peraturan adat timbul, berkembang, dan selanjutnya lenyap
dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru.

c. Peranan Sanksi Hukum Adat Dalam Memenuhi Tujuan Pemidanaan

Setiap anggota masyarakat atau kelompok dalam masyarakat


terkait dengan apa yang disebut anggapan anggapan atau kaidah atau
norma. Anggapan anggapan ini memberi petunjuk bagaimana seseorang
harus berbuat atau tidak harus berbuat. Dengan demikian, norma adalah
anggapan anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak
berbuat dalam masyarakat.

Tiap masyarakat atau golongan menghendaki normanya diaptuhi,


tetapi tidak semua orang bisa dan mau mematuhi.Agar normanya ditaati,
maka masyarakat atau golongan itu mengadakan sanksi atau penguat.
Istilah Prof. Djojodigoeno: pekokoh. Sanksi bisa bersifat positif bagi
mereka yang patuh atau menaati norma. Sanksi yang negatif misalnya
pidana, sedangkan sanksi yang positif misalnya hadiah.Di samping itu,
23
masih ada pembedaan lagi ialah sanksi yang formal yang datang dari
negara dan sanksi informal yang datang dari masyarakat.12

Demikian juga halnya dengan hukum pidana yang juga memuat


aturan aturan dimana untuk mempertahankan aturan aturan tersebut
didukung oleh suatu sanksi. Sanksi terhadap para pelanggar norma hukum
adat disebut sanksi adat atau reaksi adat atau koreksi adat.

Dengan dilaksanakan sanksi adat oleh pelaku yang dianggap telah


melanggar ketentuan adat tersebut, maka pelaku tindak pidana adat itu
dianggap tidak bersalah lagi, karena sudah dibayar atau ditebus dengan
melaksanakan upacara adat dan masyarakat adat pun menerima pelaku
tindak pidana sebagai warga biasa kembali.13

d. Kebijakan Penggunaan Sanksi Hukum Pidana Adat dalam


Menanggulangi Kejahatan

Dalam rangka menanggulangi kejahatan terdapat berbagai sarana


sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan ialah dapat
berupa sarana hukum pidana (penal) dan non hukum pidana (nonpenal).
Apabila dipilih sarana penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana
berarti akan melaksanakan politik hukum pidana. Menurut Sudarto, bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berartiusaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.14Ini berarti bahwa

12
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,1986), hal.29.

13
Made Tjitra, Wawancara Pribadi Kelian Adat Dusun Nujak, Desa Adat Sepang, Kecamatan
busungbiu, Buleleng, 17 september 1977

14
Sudarto,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,(Bandung:Sinar Baru,1983),hal.109.

24
politik hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan dan merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui
pembuatan undang-undang pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian integral dari usaha kesejahteraan masyarakat (social
welfare).Dilihat dari sudut politik kriminal masalah strategis yang justru
harus ditanggulangi adalah memahami masalah-masalah atau kondisi-
kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan.Ini berarti penggarapan masalah-masalah sosial sangat
memegang peranan dalam usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini
disebabkan:
1. Masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas
hidup bagi semua orang.
2. Strategi penanggulangan kejahatan harus didasarkan pda
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan.
3. Penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah
ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup
yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan
besar penduduk. 15

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana,


dimana hukum pidana itu dibangun berdasar dan bersumber pada nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum pidana yang
dibangun akan mencerminkan nilai sosial, budaya, dan struktural
masyarakat Indonesia ini membawa konsekuensi bahwa dalam
penanggulangan kejahatan dengan sarana penal, hukum pidana adat
dijadikan sumber dan perlu dikaji secara mendalam, sehingga dapat

15
Muladi,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro,1995),hal.9.

25
melaksanakan peranannya sebagai sumber hukum pidana nasional yang
dapat menunjang pelaksanaan pembangunan hukum. Penggunaan sanksi
adat dalam usaha menanggulangi kejahatan atau tindak pidana.
Tampaknya sesuai dengan kecenderungan internasional yang sangat
eksklusif dalam dekade terakhir, antara lain berkembangnya konsep untuk
selalu mencari alternatif dari pidana kemerdekaan dalam bentuknya
sebagai sanksi alternatif. Sehingga sanksi hanya dapat diterima bila dapat
melayani tujuan dan kegunaan pidana kemerdekaan .Pidana kemerdekaan
dinilai tidak bisa dipungkiri bahwa pidana kemerdekaan merupakan tulang
punggung dari sistem perdilan pidana.

Jenis-jenis pidana yang dapatdijatuhkan oleh hakim diatur dalam Pasal 60-
62 RUU-KUHP Tahun 1999/2000.16
Pasal 60
(1) Pidana pokok, terdiri atas:
a. Pidana penjara
b. Pidana tutupan
c. Pidana pengawasan
d. Pidana denda
e. Pidana kerja sosial.
(2) Untuk pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan
berat ringannya pidana.

Pasal 61 RUU-KUHP Tahun 1999/2000


Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam
secara alternatif.

Pasal 62 RUU-KUHP Tahun 1999/2000

16
Nyoman Serikat Putra Jaya,Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Naional,(Bandung:Citra Aditya Bakti,2005),hal.131.

26
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim; Pembayaran ganti kerugian; dan
dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban
adat
d. Pemenuhan kewajiban adat.
(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dijatuhkan jika tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana;
(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat atau pencabutan
hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana;
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama
dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Pasal 93 RUU-KUHP Tahun 1999/2000


(1) Dalam putusan dapat ditetapkan kewajiban adat setempat yang
harus dilakukan oleh terpidana;
(2) Pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana
yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3)
(3) Kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap
sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan
pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat itu tidak
dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana;
(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat juga
berupa pidana ganti kerugian.

Penjelasan Pasal 93 RUU-KUHP Tahun 1999/2000 menerangkan


bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hanya
27
dapat dijatuhkan apabila secara nyata adat setempat menghendaki hal
itu.

Dari keenam konsep diatas terlihat jelas bahwa para perancang


konsep KUHP di samping memandang asas legalitas sebagai asas
fundamental bagi NKRI yang berdasarkan hukum juga mengakui
adanya hukum adat yang memang untuk daerah-daerah tertentu masih
hidup dalam masyarakat.Disamping itu sanksi berupa pemenuhan
kewajiban adat dalam RUU KUHP Tahun 1999/2000 mempunyai
kedudukan ganda atau berfungsi ganda sebagai pidana pokok atau
pidana yang diutamakan bila memenuhi pasal 1 ayat 3, dan berfungsi
sebagai pidana tambahan.

Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat bersifat


mendua karena dapat berfungsi sebagai pidana pokok dan pidana
tambahan. Dalam kedudukan sebagai pidana pokok, maka sanksi
pemenuhan kewajiban adat akan berfungsi sebagai sanksi alternatif
dan pidana penjara terutama pidana penjara jangka pendek di bawah
satu tahun. Keberhasilan pidana tambahan berupa pemenuhan
kewajiban adat sebagai sanksi alternatif harus dilihat berdasarkan
beberapa faktor. Menurut Muladi faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Sanksi alternatif harus cocok untuk menggantikan pidana


kemerdekaan dalam arti kesanggupan untuk mencapai tujuan
dan fungsi yang sama.
2. Sanksi alternatif harus dapat diterima sebagai pidana oleh
masyarakat.
3. Harus diperhitungkan kemanfaatannya atas dasar analisis biaya
dan hasil
4. Penerapan sanksi alternatif harus dirasakan sebagai kebutuhan
di dalam kerangka sistem peradilan pidana
28
5. Kesiapan infrastruktur pendukung secara memadai.17

e. Sanksi Adat dan Tujuan Pemidanaan

Menurut Muladi, tindak pidana merupakan gangguan terhadap


keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan
masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun
masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaki kerusakan individual dan sosial (individual and social
damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana.Hal ini terdiri dari
seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan
bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis.
Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud adalah:

a. Pencegahan (umum dan khusus),


b. Perlindungan masyarakat,
c. Memelihara solidaritas masyarakat, dan
d. Pengimbangan atau pengimbalan.18

Hukum pidana adat sangat relevan ditarik ke permukaan untuk


dapat dijadikan pedoman oleh perancang Rancangan Undang
Undang KUHP untuk dapat diangkat menjadi hukum pidana yang
bersifat nasional. Karena dengan diangkatnya hukum pidana adat ke
permukaan akan tercipta atau terwujud keadilan substantif, dengan
ketentuan hukum pidana adat tersebut harus memenuhi syarat:
1. Hukum pidana adat itu masih hidup dalam masyarakat
Indonesia;

17
Muladi,op.cit,hal.135.

18
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung, Alumni, 1985), hal. 61.

29
2. Hukum pidana adat itu tidak menghambat tercapainya
masyarakat adil dan makmur; dan
3. Hukum pidana adat itu harus sesuai dengan nilai nilai luhur
yang terkandung dalam pancasila.

Dengan demikian, penerapan sanksi hukum adat Yogyakarta yang


akan masuk ke dalam pembaharuan sistem hukum nasional dapat ditarik
kedalam pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat sebagai
sanksi alternatif karena Hukum Adat Yogyakarta tersebut pun telah
memenuhi syarat syarat seperti yang disebutkan diatas, sehingga dapat
masuk kedalam Rancangan Undang Undang Nasional. Namun,Jika
memang sanksi tersebut belum dimasukkan dalam Sistem Hukum
Nasional saat ini, maka dapat ditangani dengan lebih mengutamakan nilai
nilai adat kita, terutama yang berhubungan dengan pancasila dengan
memunculkan sifat nasionalisme dan tetap mempertahankan Hukum adat
daerah masing masing sebagai hukum yang utama sebagai kepribadian
bangsa serta nantinya antar aparat penegak hukum dapat saling
bekerjasama dengan pihak pemuka adat dan pihak yang dirugikan untuk
memberikan sanksi yang memang sesuai dengan nilai nilai Pancasila
terutama nilai keadilan dan kepatutan.

30
D. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
1. Sanksi adat Yogyakarta hanya berlaku bagi masyarakat adat Yogyakarta
saja. Jenis-jenis sanksi adat yaitu dikucilkan, diasingkan dan dicemooh
oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pemberian sanksi adat
dapat dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan nilai dan normayang
melekat didalamnya. Contohnya dalam pemberian sanksi adat terhadap
tindak pidana korupsi yaitu dengan kesepakatan masyarakat adat dan pihak
yang dirugikan, memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai
rendahan di tempat ia bekerja. Hal ini dirasa dapat memberikan efek jera
bagi pelaku karena dapat mempengaruhi keadaan psikologis pelaku,
pelaku merasa malu dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan.
Selain memberikan efek jera , pemberian sanksi adat ini dapat menjadi
upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam rangka pembuatan konsep Rancangan KUHP nasional, hukum


pidana adat (khususnya adat Yogyakarta) yang masih hidup untuk daerah
daerah tertentu dapat dijadikan dasar oleh pengadilan untuk memutus
suatu pelanggaran ataupun kejahatan,termasuk masalah Korupsi yang
merupakan kejahatan koorporasi. Hal ini terlihat dari ketentuan yang
terdapat dalam Rancangan Undang Undang KUHP tahun 1999/2000 ialah
pasal 1 ayat (3) mengenai dapat diterapkannya hukum yang hidup atau
hukum adat dan menurut adat suatu perbuatan didaerah tertentu dapat
dipidana, diikuti dengan sanksi yang terdapat dalam pasal 62 ayat (1) e
mengenai pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, dan pasal
93 ayat (2) yang memungkinkan pidana tambahan pemenuhan kewajiban
adat menjadi pidana pokok. Sehingga, disini terlihat bahwa Sanksi Hukum
adat dapat masuk dalam sistem hukum nasional dan diakui eksistensinya
dalam menangani masalah korupsi dengan melibatkan pihak aparat
penegak hukum, pemuka adat, dan pihak yang dirugikan dalam pemberian
31
sanksi yang sesuai dengan nilai nilai Pancasila terutama nilai keadilan
dan kepatutan.

b. Saran
Sebagai warga negara Indonesia kita harus mampu memegang
teguh nilai nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat karena
Pancasila merupakan kepribadian yang murni lahir dari kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia itu sendiri. Kita sebagai generasi
penerus Bangsa haruslah menyadari arti pentingnya nilai nilai Pancasila
sehingga kita dapat menggali lebih dalam mengenai Pancasila tersebut
kemudian mampu melestarikannya dengan cara menjadikan Pancasila itu
sebagai landasan hukum adat yang menjadi primum remedium dalam
daerah adat masing masing.
Sanksi Hukum adat (khususnya adat Yogyakarta) diharapkan dapat
masuk dalam Sistem hukum nasional dan menyesuaikan dengan
kesepakatan antara pihak yang dirugikan dengan pemuka adat (ada
pembaharuan dalam pemberian sanksi) untuk menangani masalah Tindak
Pidana Korupsi. Dalam hal ini, Tidak hanya sanksi Adat Yogyakarta yang
menerapkan sanksinya terhadap tindak pidana korupsi tetapi Sanksi Adat
dari berbagai daerah dapat masuk dan bergabung untuk memberantas
tuntas Tindak Pidana Korupsi ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

Internasional.Bandung: Mandar Maju, 2004.

Jaya, Nyoman Serikat Putra. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam

PembaharuanHukum Pidana Nasional.Bandung:Citra Aditya Bakti,2005

Koentranigrat.Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia, 1974.

Koeswadji, Hermin Hadiati. Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik Adat,


Makalah dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap
Pidana.Denpasar: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Udayana, 1975.

Muladi,Lembaga Pidana Bersyarat.Bandung: Alumni, 1985.

Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit


Universitas Diponegoro, 1995.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung:Sinar

Baru, 1983.

Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni,1986.

Tim Redaksi, Keraton Yogyakarta , http://pustaka-makalah.blogspot.com, 27


oktober 2014 pukul 15.56.

Tjitra, Made. Wawancara Pribadi Kelian Adat Dusun Nujak, Desa Adat
Sepang, Kecamatan busungbiu, Buleleng, 17 september 1977.
33
Wignjodipuro, Surojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.

Bandung:Alumni, 1979.

34
Hasil Wawancara

Nama Narasumber : Yohanes Sukarno

Tempat, tanggal lahir : Gunung Kidul, 5 Maret 1957

Usia : 57 Tahun

Jabatan Adat : Anggota Masyarakat adat

Alamat : Desa Gading VII Kec. Playen,

Kab. Gunung Kidul,Yogyakarta

1). Bagaimana perkembangan hukum adat di Yogyakarta?


Perkembangan hukum adat di Yogyakarta mengikuti
perkembangan budaya dewasa ini.Artinya hukum adat mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.Contohnya :
- Cara berpakaian sudah tidak memakai kebaya dalam kehidupan
sehari-hari.
- Perkawinan adat dahulu hanya sah secara agama dan tidak
dicatatkan , sekarang harus sah secara agama maupun negara
karena mengikuti aturan dalam UU No. 1 Tahun 1974.
- Mata pencaharian masyarakat dahulu sebagai petani, pedagang
,sekarang masyarakat banyak yang bekerja di berbagai sektor.

2). Masihkah sanksi adat memiliki kekuatan yang mengikat


masyarakat?
Masih, karena kebiasaan yang dilakukan masyarakat tidak
hilang.Artinya norma-norma dan etika adat masih berlaku untuk
mengatur masyarakat. Contohnya: masyarakat yang tidak mengikuti
gotong-royong, sanksi adatnya dikucilkan oleh masyarakat,
35
masyarakat yang tidak datang dalam acara kenduri (doa untuk
memperingati meninggalnya seseorang) akan dikucilkan.

3). Dalam hukum adat tidak terdapat istilah korupsi, dapatkan tindak
pidana korupsi disamakan dengan kasus pencurian ataupun penipuan?
Saya rasa, tindak pidana korupsi ini dapat dikatakan sebagai kasus
pencurian sekaligus kasus penipuan.Namun pemberian sanksinya lebih
berat dibandingkan dengan kasus pencurian maupun penipuan.

4). Bagaimana jika tindak pidana korupsi diberikan sanksi hukum adat
di Yogyakarta?
Tidak menjadi masalah dan bisa diterapkan. Namun pemberian
sanksi adat di Yogyakarta seperti dikucilkan, diasingkan, dicemooh ,
saya rasa kurang memberikan efek jera pada pelaku yang tidak punya
rasa malu. Jika ingin menerapkan sanksi adat, berikan sanksi yang
sesuai dengan pribadi pelaku agar dapat memberikan efek jera, namun
pemberian sanksi adat ini harus memenuhi rasa keadilan dan tidak
berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku korupsi.

5). Setujukah anda bila ada pembaharuan dalam pemberian sanksi adat
dengan penberian sanksi atas kesepakatan antara pihak yang dirugikan
dengan masyarakat adat contohnya memperkerjakan pelaku sebagai
pegawai rendahan di kantornya?
Saya sependapat bila ada pembaharuan dalam sanksi adat yang
akan diberikan dengan adanya kerjasama antara masyarakat adat
dengan pihak yang dirugikan untuk menentukan sanksi adat yang
diberikan, contohnya dengan memperkerjakan pelaku korupsi di
kantornya untuk menjadi pegawai rendahan seperti cleaning service
atau office boy. Hal ini saya rasa sah-sah saja untuk diterapkan bila
36
memang dapat memberikan rasa malu dan efek jera bagi pelaku tindak
pidana korupsi.Meski sanksi adat tidak sebanding dengan sanksi
pidana, namun sanksi adat dapat berdampak pada psikis dari pelaku
korupsi.

37
Hasil Angket:
1. Apakah anda mengetahui apa itu korupsi?
a. Ya
b. Tidak

HASIL : Responden yang memilih a = 50 orang,atau 100 %


Responden yang memilih b = 0 orang,atau 0 %

2. Darimana anda mengetahui mengenai korupsi?


a. Keluarga
b. Teman (lingkungan)
c. Media cetak dan/atau media elektronik
d. Tidak tahu
e. Lainnya,yaitu:............................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 0 orang,atau 0 %


Responden yang memilih b = 0 orang,atau 0 %
Responden yang memilih c = 46 orang,atau 92 %
Responden yang memilih d = 0 orang,atau 0 %
Responden yang memilih e = 4 orang,atau 8 %

3. Menurut anda, apakah sanksi hukum yang diberikan kepada


pelaku tindak pidana korupsi sekarang ini telah efektif dalam
memberikan efek jera?

a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
d. Lainnya,yaitu:......................................................................

38
HASIL : Responden yang memilih a = 1 orang,atau 2 %
Responden yang memilih b = 44 orang,atau 88 %
Responden yang memilih c = 0 orang,atau 0 %
Responden yang memilih d = 5 orang,atau 10 %

4. Menurut anda, apakah Undang undang no. 31 tahun 1999 jo


Undang undang no. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi perlu dilakukan perubahan?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
d. Lainnya,yaitu:...................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 31 orang,atau 62 %


Responden yang memilih b = 7 orang,atau 14 %
Responden yang memilih c = 11 orang,atau 22 %
Responden yang memilih d = 1 orang,atau 2%

5. Menurut anda, pelaku tindak pidana korupsi, seharusnya:


a. Di hukum menggunakan perundang undangan yang
berlaku
b. Diberi sanksi adat
c. A dan B
d. Tidak tahu
e. Lainnya, yaitu:.............................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 15 orang,atau 30 %


Responden yang memilih b = 3 orang,atau 6 %
Responden yang memilih c = 27 orang,atau 54 %
Responden yang memilih d = 0 orang,atau 0%
39
Responden yang memilih e = 5 orang,atau 10 %

6. Menurut anda, apakah sanksi terhadap tindak pidana korupsi


dapat menggunakan sanksi hukum adat (khususnya
menggunakan adat Yogyakarta)?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
d. Lainnya,yaitu: ...................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 23 orang,atau 46 %


Responden yang memilih b = 14 orang,atau 28 %
Responden yang memilih c = 11 orang,atau 22 %
Responden yang memilih d = 2 orang,atau 4 %

7. Menurut anda, dapat disamakan dengan apakah Tindak Pidana


Korupsi tersebut jika dikaitkan dengan sanksi adat Yogyakarta?
a. Pencurian
b. Penipuan
c. A dan B
d. Tidak tahu
e. Lainnya, yaitu:...............................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 10 orang,atau 20 %


Responden yang memilih b = 2 orang,atau 4 %
Responden yang memilih c = 24 orang,atau 48 %
Responden yang memilih d = 12 orang,atau 24 %
Responden yang memilih e = 2 orang,atau 4 %

40
8. Menurut anda, Jika sanksi adat Yogyakarta diberlakukan
terhadap tindak pidana korupsi, maka sanksi tersebut
seharusnya diberikan:
a. diberikan secara terpisah dengan sanksi hukum nasional
yang berlaku
b. diberikan secara bersamaan dengan sanksi hukum nasional
yang berlaku
c. tidak tahu
d. lainnya, yaitu:.....................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 16 orang,atau 32 %


Responden yang memilih b = 28 orang,atau 56 %
Responden yang memilih c = 5 orang,atau 10 %
Responden yang memilih d = 1 orang,atau 2 %

9. bila seorang pelaku tindak pidana korupsi diberi sanksi adat


Yogyakarta,sebagai contoh seorang mantan ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar, menurut anda sanksi adat seperti apa
yang sesuai(layak) diberikan kepadanya?
a. Hanya Dicemooh
b. Hanya Dikucilkan
c. diusir dari daerah tempat tinggalnya
d. dijatuhi sanksi sesuai kesepakatan antar masyarakat adat
dengan pihak yang dirugikan,misalnya: menjadi cleaning
service di perusahaan tempat si pelaku korupsi
e. lainnya,yaitu: ........................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 1 orang,atau 2 %


Responden yang memilih b = 1 orang,atau 2 %
Responden yang memilih c = 8 orang,atau 16 %
Responden yang memilih d = 29 orang,atau 58 %
41
Responden yang memilih e = 11 orang,atau 22 %

10. Menurut Anda Dalam penjatuhan sanksi adat Yogyakarta


terhadap kasus pidana korupsi, lebih menekankan pada pelaku
tindak pidana korupsi saja atau dengan keluarga pelaku yang
ikut menikmati hasil korupsi?
a. Hanya pelaku
b. Pelaku beserta anggota keluarga yang ikut menikmati

alasannya,yaitu:......................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 27 orang,atau 54 %


Responden yang memilih b = 23 orang,atau 46 %

11. Apabila seorang pelaku tindak pidana korupsi merasa keberatan


dengan pemberian sanksi adat Yogyakarta, apakah ada
alternatif lain yang dapat diberikan kepadanya?
a. Ada, yaitu :............................................................................
b. Tidak ada

HASIL : Responden yang memilih a = 17 orang,atau 34 %


Responden yang memilih b = 33 orang,atau 66 %

12. Menurut Anda apakah dengan pemberian Sanksi Adat


Yogyakarta dalam kasus tindak pidana korupsi dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku?
a. Ya
b. Tidak

42
c. Tidak tahu
d. Lainnya, yaitu.......................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 19 orang,atau 38 %


Responden yang memilih b = 16 orang,atau 32 %
Responden yang memilih c = 9 orang,atau 18 %
Responden yang memilih d = 6 orang,atau 12 %

13. Menurut Anda apakah dengan pemberian Sanksi Adat


Yogyakarta dalam kasus tindak pidana korupsi dapat
memberikan pembaruan dalam hal sistem hukum nasional?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
d. d.Lainnya,yaitu.....................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 26 orang,atau 52 %


Responden yang memilih b = 11 orang,atau 22 %
Responden yang memilih c = 12 orang,atau 24 %
Responden yang memilih d = 1 orang,atau 2 %

14. Menurut Anda, apakah dengan pemberian Sanksi Adat


Yogyakarta dalam kasus tindak pidana korupsi dapat
memberikan rasa takut kepada masyarakat agar tidak
melakukan tindak pidana korupsi?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahun
d. Lainnya,yaitu.....................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 23 orang,atau 46 %


43
Responden yang memilih b = 13 orang,atau 26 %
Responden yang memilih c = 12 orang,atau 24 %
Responden yang memilih d = 2 orang,atau 4 %

15. Menurut Anda, sanksi adat Yogyakarta lebih efektif diberikan,


sebelum hakim memutus perkara atau setelah hakim memutus
perkara terhadap pelaku?
a. Sebelum hakim memutus perkara
b. Sesudah hakim memutus perkara
c. Lainnya,yaitu.......................................................................

HASIL : Responden yang memilih a = 18 orang,atau 36 %


Responden yang memilih b = 27 orang,atau 54 %
Responden yang memilih c = 5 orang,atau 10%

44

Anda mungkin juga menyukai