Disusun:
Rienny Sihombing
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
1
ABSTRAKSI
Dalam penelitian ini kami mengangkat Judul mengenai Pemberian
Sanksi Adat Yogyakarta Terhadap Tindak Pidana Korupsi.Seperti yang telah
diketahui, Korupsi sebagai kejahatan yang bersifat transnasional telah
menimbulkan dampak hukum yang sangat signifikan terhadap perkembangan
hukum pidana nasional sedangkan negara Indonesia merupakan negara yang
memiliki beragam adat dan budaya,dimana masing masing dari adat daerah
tersebut memiliki hukum yang hidup dan berkembang pada masyarakat yang
disebut dengan Hukum Adat, Hukum Adat ini diharapkan dapat melengkapi
sistem hukum nasional dalam menangani masalah Korupsiuntuk memberikan
pengaruh esensi dan efektifitasnya.Dalam Hukum adat terdapat sanksi adat
yang diberikan kepada masyarakat adat yang melanggar nilai dan norma yang
ada di masyarakat. Tentunya masing-masing daerah memiliki sanksi adat yang
berbeda karena jenis sanksi adat yang diberikan merupakan sanksi yang
diberikan oleh pemuka adat berdasarkan keputusan bersama masyarakat adat.
Salah satu contoh adalah Sanksi adat Yogyakarta yang berlaku bagi masyarakat
adat Yogyakarta saja. Untuk menggali bagaimana penerapan Sanksi Adat
Yogyakarta dalam menangani masalah Korupsi yaitu menggunakan beberapa
metode penelitian meliputi metode studi pustaka, metode wawancara dan
angket, serta metode observasi.Disini dapat diketahui bahwaPemberian sanksi
adat Yogyakartadiantaranya dapat berupadikucilkan, diasingkan dan dicemooh
oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pemberian sanksi adat
Yogyakarta ini dapat dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan nilai dan
normayang melekat didalamnya. Untuk itu, kedepannya diharapkan Tidak
hanya sanksi Adat Yogyakarta yang menerapkan sanksinya terhadap tindak
pidana korupsi tetapi Sanksi Adat dari berbagai daerah dapat masuk dan
bergabung untuk memberantas tuntas Tindak Pidana Korupsi ini. Selain itu
pemberian sanksi adat nantinya akan menjadi sanksi tambahan setelah hakim
memberikan putusan mengenai sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku
tindak pidana korupsi.
2
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena
dapat diselesaikannya Laporan Akhir ini dengan tepat pada waktunya. Penulis
juga mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada:
Dalam hal penulisan judul terkait dengan Pemberian Sanksi Hukum Adat
Yogjakarta terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dilandaskan kepada:
3
Sehingga, dalam hal ini Penulis mencoba menggali peraturan peraturan di
tengah beragam adat yang ada di Indonesia khususnya menggunakan sanksi
masyarakat adat Yogjakarta dalam mengatasi hal hal yang berkaitan dengan
pemberian sanksi terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi, sehingga nantinya
dapat menjadi pedoman dalam menjadikan sanksi adat berlaku pada tindak pidana
korupsi sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di daerah tempat tinggal
pelaku, agar pelaku tindak pidana korupsi tersebut dapat secara efektif memberi
efek jera, begitu pula untuk memberi rasa takut pada masyarakat yang ingin
melakukan tindak pidana korupsi sehingga nantinya dapat mengurangi Tindak
Pidana Korupsi itu sendiri serta dapat memberikan kontribusi pada rancangan
perundang undangan nasional terkait masalah Korupsi.
Tim penulis
4
JADWAL DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN
1. PelaksanaanPersiapanPenelitian
a. Penetapan lokasi penelitian 3 hari
b. Pertemuan awal anggota penelitian 2 hari
c. Pemberitahuan jadwal penelitian 2 hari
2. Pengadaan alat dan bahan penelitian 15 hari
3. Pelaksanaan studi pustaka
a. Searching data pendukung penelitian via internet dan sumber 15 hari
studi pustaka
b. penyusunan bahan studi pustaka dan data pendukung lain 15 hari
dari internet
4. Pengambilan data di lapangan 5 hari
5. Analisis data 13 hari
6. Penyusunan laporan penelitian
a. Melakukan penyusunan konsep laporan akhir 2 hari
b. Penyusunan laporan akhir 15 hari
c. Konsultasi pakar hasil laporan akhir 3 hari
Jumlah : 90 hari
5
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup dan akan terus hidup
selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan
perundang undangan.1 Andaikata diadakan juga undang undang yang
akan menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana
perundang undangan akan kehilangan sumber kekayaannya karena
dalam pembentukan perundang undangan didasarkan pada filsafat hidup
bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila itu digali dari hukum adat,
yang sesungguhnya tidak lain dari hukum asli bagi kita dan dasar dari
semua hukum yang ada serta hukum pidana adat itu lebih dekat
hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada hukum
perundang undangan.
Dalam pasal 1 ayat (3) Rancangan Undang Undang tentang Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 1999/2000
2
dalam penjelasannya menerangkan bahwa adalah suatu kenyataan dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum
yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana,
yaitu biasa disebut dengan tindak pidana adat.Diakuinya tindak pidana
adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat tertentu.
Diberikannya dasar hukum bagi hakim untuk menerapkan hukum
pidana adat dalam RUU KUHP tahun 1999/2000, dimuatlah mengenai
jenis jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim pada pasal 60, 61,
1
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, (Bandung, Citra aditya Bakti, 2005) , hal.8.
2
Ibid, hal. 9
6
dan 62.Walaupun pencantuman kewajiban adat hanya sebagai pidana
tambahan dalam pasal pasal tersebut, namun menurut pasal 933,
dimungkinkan pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana pokok
atau pidana utama.
Pencantuman hukum pidana adat dalam RUU KUHP tahun
1999/2000, jika diikuti secara konsekuen oleh para perancang ialah dengan
memberikan paket pidana berupa pemenuhan kewajiban adat. Maka,
berarti bahwa pemenuhan kewajiban adat nantinya akan mempunyai
kedudukan sebagai pidana yang resmi dan pemenuhan kewajiban adat ini
sudah tentu diharapkan akan dapat memenuhi tujuan dari pemidanaan
(pasal 50 RUU KUHP tahun 1999/2000).4
Dalam hal ini tentu saja hukum pidana adat diharapkan bukan hanya
untuk tindak pidana adat, melainkan harus pula berkaitan dengan tindak
pidana yang tidak diatur di dalamnya, yaitu tindak pidana korupsi (dalam
tindak hukum pidana nasional) yang mungkin saja dalam tindak pidana
hukum adat merupakan bagian dari tindak pidana pencurian, harus pula
diatur oleh hukum pidana adat sehingga dalam hal ini, hukum pidana adat
dapat masuk ke dalam jenis tindak pidana nasional yang harus dijamin
kepastian hukumnya.
3
Ibid, hal. 11
4
Ibid, hal. 12
7
diberikan tidak lagi sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari suatu
pemidanaan atau pemberian sanksi tersebut. Mengingat, semakin hari
malah semakin banyaknya pelaku pelaku tindak pidana korupsi dan tidak
terlihat adanya rasa penyesalan atau jera dari mereka.Hal itu sangatlah
mengecewakan.Seolah olah hukum pidana nasional sudah tidak
berfungsi lagi sebagaimana mestinya dan mengakibatkan turunnya
kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana sistem hukum
Indonesia nantinya dalam pandangan masyarakat, apakah masih dapat
memberikan rasa kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan bagi rakyat
dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem hukum Indonesia
ini khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi.
Kami menyusun rumusan masalah yang akan diurai dalam penelitian
ini, meliputi:
1. Apa saja Sanksi Hukum Adat Yogjakarta terhadap Pelaku
Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana cara penerapan sanksi Hukum Adat Yogjakarta
terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ?
4. Metode Penelitian
3. Metode Observasi
Pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung kepada suatu
obyek yang akan diteliti. Tujuannya untuk mendapatkan kebenaran
dari data dan informasi mengenai obyek penelitian.
9
B. KERANGKA PENELITIAN
1. KERANGKA KONSEPTUAL
Pengertian Korupsi
c. Kartono, 1983 memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, dan
atau merugikan kepentingan umum dan negara.
d. Juniadi Suwartojo, 1997 menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau
tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan
menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui
proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau
jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang
atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau
jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga
langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan
negara/masyarakat.
10
f. Menurut Mohtar Masoed ,1994 mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk
memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik.
Tindak korupsi umumnya merupakan transaksi dua pihak, yaitu pihak yang menduduki
jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai pribadi swasta. Tindakan yang disebut
korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga (uang atau
aset lain yang bersifat langgeng seperti hubungan keluarga atau persahabatan) untuk
memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintahan.
g. Menurut Alfiler 1986, secara khusus merumuskan apa yang disebut sebagai
korupsi birokrasi (bureaucratic corruption) sebagai suatu perilaku yang dirancang
yang sesungguhnya merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-
norma yang diharapkan yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan imbalan
material atau penghargaan lainnya.
a. Menurut Supomo dan Hazairin, hukum adat adalah hukum yang mengatur
tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang
merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar
hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota
masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal
sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para
penguasa adat. (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi
keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu,
pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.
11
c. Menurut Soerjono Soekanto, hukum non statuter yang untuk bagian terbesar
merupakan hukum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum
agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pada putusan-putusan
hakim yang berisikan asas-asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara
diputuskan.
12
3. DATA DAN SUMBER DATA PENELITIAN
1. Dengan Narasumber:
Usia : 57 Tahun
2. Dengan angket:
a. Ditujukan kepada : Masyarakat
b. Jumlah responden : 50 orang
4. PENGUMPULAN DATA
b. Dari angket:
Dalam penelitian ini kami menggunakan angket dengan 15
butir pertanyaan yang dibagikan kepada 50 responden (terlampir).
13
5. ANALISIS DATA
14
Di masa modern ini pemberian sanksi adat untuk kasus tindak
pidana jarang dilakukan, karena sudah ada sanksi pidana dari
keputusan hakim.Namun narasumber beranggapan bila dalam tindak
pidana korupsi dapat diberikan sanksi adat Yogyakarta bila si pelaku
adalah masyarakat adat Yogyakarta.Meskipun dalam hukum adat tidak
terdapat istilah tindak pidana korupsi, menurut narasumber tindak
pidana korupsi dapat disamakan dengan kasus penipuan sekaligus
pencurian tetapi dalam hal pemberian saksi lebih berat dibandingkan
dengan kasus pencurian dan penipuan.Narasumber beranggapan bahwa
penerapan sanksi adat di Yogyakarta terhadap tindak pidana korupsi
seperti dikucilkan, diasingkan, di cemooh kurang memberikan efek
jera terhadap pelaku korupsi yang tidak punya rasa malu.Sehingga
dalam pemberian sanksi harus disesuaikan dengan kepribadian pelaku
korupsi yang sifatnya tidak sewenang-wenang terhadap pelaku
korupsi.Narasumber juga setuju bila dalam pemberian sanksi adat
Yogyakarta dilakukan pembaharuan dengan memberikan sanksi adat
dengan kesepakatan antara masyarkat adat dan pihak yang dirugikan
contohnya dengan memperkerjakan pelaku sebagai pegawai rendahan.
Pemberian sanksi adat seperti ini akan memberikan pengaruh terhadap
psikologi pelaku dan dapat memberikan efek jera.
15
besar dari mereka tidak percaya lagi pada putusan hakim, karena
banyaknya juga hakim yang terjerat kasus suap dengan para koruptor,
sehingga diinginkan adanya perubahan terhadap Undang Undang
no.31 tahun 1999 Jo Undang Undang no. 20 tahun 2001 tentang
tindak pidana korupsi agar berlaku lebih efektif lagi terhadap
pemberian sanksi korupsi dan dapat memberi rasa takut pada
masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi, diharapkan
dengan adanya perubahan tersebut, nilai nilai hukum adat khususnya
adat Yogyakarta dapat masuk dalam peraturan pemberian sanksi tindak
pidana korupsi yang baru dan memberikan pembaruan dalam sistem
hukum nasional. Sanksi adat yang diberikan pun akan lebih efektif jika
diberikan setelah hakim memutus perkara Sehingga pelaku tindak
pidana korupsi dapat dihukum dengan menggunakan Peraturan
Perundang undangan yang ada dan sekaligus menggunakan Hukum
Adat khususnya Adat Yogyakarta.
17
C. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Sanksi adat merupakan sanksi yang ada dalam suatu daerah tertentu yang
berlaku bagi masyarakat adatnya bila terjadi suatu pelanggaran. Sanksi adat
ini hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja, antara daerah satu dengan
yang lain memiliki sanksi adat yang berbeda. Pemberian sanksi pidana adat
khususnya di Yogyakarta berpedoman dalam aturan yang ada di Keraton
Yogyakarta. Keraton Yogyakarta merupakan salah satu warisan Budaya di
Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdiri sejak
tanggal 13 Februari 1755. Kasunanan Keraton Yogyakarta sampai sekarang
masih berdiri dengan dipimpin oleh seorang raja yaitu Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Sejak didirikan pada tanggal 13 Februari 1755, keraton
merupakan pusat pemerintahan yang ada di Yogyakarta.Selain menjadi
seorang Raja Sri Sultan Hamengkubuwono juga secara otomatis telah
menjadi Gubernur Daerah IstimewaYogyakarta.Para Sultan bersama para ahli
adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang seni, sastra, sistem sosial,
sistem ekonomi, dan seterusnya.Sri Sultan Hamengku Buwono I misalnya,
melahirkan banyak karya seni dan arsitektur.Dengan Keraton sebagai pusat
penyelenggaraan pemerintahan daerah, masyarakat Yogyakarta sudah
berkembang menjadi sebuah sistem peradaban tersendiri sejak sebelum
bergambung dengan RI (1945).5 Dalam Keraton Yogyakarta inilah lahir
pedoman hukum yang berlaku bagi masyarakat Yogyakarta. Aturan hukum
ini timbul dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara berulang-ulang.
Begitu pula lahir jenis-jenis sanksi adat yang berlaku bagi masyarakat adat
Yogyakarta. Sanksi adat ini berdasar pada perbuatan yang dilakukan oeh
pelaku seperti pencurian,pembunuhan, pemerkosaan, tidak mengikuti acara
besar di masyarakat, penipuan, dll. Jenis-jenis sanksi adat di Yogyakarta
yaitu dikucilkan oleh masyarakat, diasingkan ke tempat lain, dan dicemooh
5
Tim Redaksi,Keraton Yogyakarta, diakses dari http://pustaka-makalah.blogspot.com,pada 27
Oktober 2014 pukul 15.56.
18
oleh masyarakat. Sanksi ini dirasa memberikan dampak sosial bagi pelaku
dan akan berpengaruh pada psikologis pelaku. Dalam perkembangannya,
sanksi adat ini masih dapat berlaku dan mengikat masyarakat adat
Yogyakarta karena adanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang
masih menjadi pedoman. Sanksi pidana adat di Yogyakarta ini dirasa kurang
memberikan efek jera bila dalam diri pelaku sendiri tidak mau memperbaiki
diri atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga perlu adanya pembaharuan
dalam pemberian sanksi pidana adat yang masih mengandung nilai-nilai dan
norma yang tetap namun tidak berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku.
Sanksi pidana adat yang akan diberikan kepada pelaku harus sesuai dengan
kepribadian pelaku agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Dalam kasus korupsi yang kini marak terjadi juga dapat diberikan sanksi
adat.Bila yang melakukan korupsi adalah masyarakat adat Yogyakarta maka
berlakulah sanksi adat di Yogyakarta.Dalam hukum adat Yogyakarta, tidak
terdapat istilah korupsi.Namun korupsi ini dapat disamakan dengan tindakan
pencurian dan penipuan.Perilaku yang dilakukan cukup memiliki unsur yang
sama seperti pencurian dan penipuan. Sedangkan untuk pemberian sanksinya,
pada pelaku korupsi diberikan sanksi yang tidak sama dan lebih berat bila
dibandingkan dengan sanksi adat untuk tindakan pencurian dan penipuan.
Pelaku tindak pidana korupsi diberikan sanksi adat yang lebih berat karena
merugikan banyak pihak dan perbuatan ini perlu dituntaskan agar tidak ditiru
oleh masyarakat lain. Selain itu agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku
korupsi. Untuk pemberian sanksi adat terhadap pelaku korupsi selain
dikucilkan,diasingkan,dicemooh dapat diberikan sanksi adat yang lain sesuai
dengan kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak-pihak yang
dirugikan atas perbuatan pelaku. Artinya dapat diberlakukan pembaharuan
sanksi adat tanpa menghilangkan nilai dan norma dalam masyarakat.
Contohnya dengan memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai
rendahan di tempat ia bekerja seperti menjadi office boy, atau petugas
cleaning servis. Dengan memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai
rendahan akan mempengaruhi keadaan psikologis dari pelaku. Pelaku korupsi
akan sangat malu dan merasa tertekan atas akibat dari perbuatan yang
19
dilakukan. Hal ini diharapkan agar pelaku dapat introspeksi diri atas
perbuatan yang dilakukan dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
6
Koentranigrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1974), hal.15
20
atau tidak oleh masyarakat dimana pelaku perbuatan tadi hidup dan
menjadi anggota.7
7
Hermin Hadiati Koeswadji, Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik Adat, Makalah dalam
Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Pidana, (Denpasar: Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, 1975), hal.4
8
Ibid. Hal.6
9
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto,1990), hal.17
21
Acara pengadilan pengadilan Sipil. Dalam Pasal tersebut dapat diketahui
bahwa sebenarnya sanksi adat (hukuman adat) merupakan sanksi utama
dalam hal perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai
perbuatan yang dapat dipidaa, namun tidak ada bandingnya dalam
KUHP.10
1. Suatu pokok dasar KUH Pidana ialah bahwa yang dapat dipidana
hanyalah seorang manusia saja. Artinya desa, kerabat, atau keluarga
tidak mempunyai tanggungjawab kriminal terhadap delik yaang
dilakukan seorang warganya. Sedangkan di daerah tertentu bila
seseorang melakukan kejahatan, kerabat si penjahat diharuskan
menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan
seorang warganya.
2. Pokok prinsip yang kedua dari KUH Pidana ialah bahwa seseorang
hanya dapat dipidana bila perbuatannya dilakukan dengan sengaja
ataupun kealpaan/adanya kesalahan. Sedangkan dalam hukum pidana
adat unsur kesalahan tidak merupakan syarat mutlak, terkadang
10
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal.41.
11
Surojo Wignjodipuro,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,(Bandung:Alumni,1979),hal.298.
22
samasekali tidak perlu adanya pembuktian adanya kesengajaan atau
kesalahan.
3. Sistem KUH Pidana mengenal serta membedakan masalah membantu
melakukan kejahatan, membujuk, dan ikut serta dalam pasal 55 dan
pasal 56. Sedangkan dalam sistem hukum adat siapa saja yang turut
menentang peraturan hukum adat, diharuskan turut memenuhi usaha
yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum.
4. Sistem KUH Pidana menetapkan percobaan sebagai tindak pidana
dalam pasal 53. Sedangkan dalam sistem hukum adat tidak memidana
seseorang oleh karena mencoba melakukan delik.
5. Sistem KUH Pidana berlandaskan pada sistem prae existence regels
(pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu). Hukum adat tidak
mengenal sistem prae existence regels, dalam hukum adat delik adat
tidak bersifat statis artinya tidak sepanjang masa tetap merupakan delik
adat. Setiap peraturan adat timbul, berkembang, dan selanjutnya lenyap
dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru.
12
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,1986), hal.29.
13
Made Tjitra, Wawancara Pribadi Kelian Adat Dusun Nujak, Desa Adat Sepang, Kecamatan
busungbiu, Buleleng, 17 september 1977
14
Sudarto,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,(Bandung:Sinar Baru,1983),hal.109.
24
politik hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan dan merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui
pembuatan undang-undang pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian integral dari usaha kesejahteraan masyarakat (social
welfare).Dilihat dari sudut politik kriminal masalah strategis yang justru
harus ditanggulangi adalah memahami masalah-masalah atau kondisi-
kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan.Ini berarti penggarapan masalah-masalah sosial sangat
memegang peranan dalam usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini
disebabkan:
1. Masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas
hidup bagi semua orang.
2. Strategi penanggulangan kejahatan harus didasarkan pda
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan.
3. Penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah
ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup
yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan
besar penduduk. 15
15
Muladi,Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro,1995),hal.9.
25
melaksanakan peranannya sebagai sumber hukum pidana nasional yang
dapat menunjang pelaksanaan pembangunan hukum. Penggunaan sanksi
adat dalam usaha menanggulangi kejahatan atau tindak pidana.
Tampaknya sesuai dengan kecenderungan internasional yang sangat
eksklusif dalam dekade terakhir, antara lain berkembangnya konsep untuk
selalu mencari alternatif dari pidana kemerdekaan dalam bentuknya
sebagai sanksi alternatif. Sehingga sanksi hanya dapat diterima bila dapat
melayani tujuan dan kegunaan pidana kemerdekaan .Pidana kemerdekaan
dinilai tidak bisa dipungkiri bahwa pidana kemerdekaan merupakan tulang
punggung dari sistem perdilan pidana.
Jenis-jenis pidana yang dapatdijatuhkan oleh hakim diatur dalam Pasal 60-
62 RUU-KUHP Tahun 1999/2000.16
Pasal 60
(1) Pidana pokok, terdiri atas:
a. Pidana penjara
b. Pidana tutupan
c. Pidana pengawasan
d. Pidana denda
e. Pidana kerja sosial.
(2) Untuk pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan
berat ringannya pidana.
16
Nyoman Serikat Putra Jaya,Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Naional,(Bandung:Citra Aditya Bakti,2005),hal.131.
26
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim; Pembayaran ganti kerugian; dan
dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban
adat
d. Pemenuhan kewajiban adat.
(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dijatuhkan jika tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana;
(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat atau pencabutan
hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana;
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama
dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
17
Muladi,op.cit,hal.135.
18
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung, Alumni, 1985), hal. 61.
29
2. Hukum pidana adat itu tidak menghambat tercapainya
masyarakat adil dan makmur; dan
3. Hukum pidana adat itu harus sesuai dengan nilai nilai luhur
yang terkandung dalam pancasila.
30
D. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Sanksi adat Yogyakarta hanya berlaku bagi masyarakat adat Yogyakarta
saja. Jenis-jenis sanksi adat yaitu dikucilkan, diasingkan dan dicemooh
oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pemberian sanksi adat
dapat dilakukan pembaharuan tanpa menghilangkan nilai dan normayang
melekat didalamnya. Contohnya dalam pemberian sanksi adat terhadap
tindak pidana korupsi yaitu dengan kesepakatan masyarakat adat dan pihak
yang dirugikan, memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai
rendahan di tempat ia bekerja. Hal ini dirasa dapat memberikan efek jera
bagi pelaku karena dapat mempengaruhi keadaan psikologis pelaku,
pelaku merasa malu dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan.
Selain memberikan efek jera , pemberian sanksi adat ini dapat menjadi
upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana korupsi.
b. Saran
Sebagai warga negara Indonesia kita harus mampu memegang
teguh nilai nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat karena
Pancasila merupakan kepribadian yang murni lahir dari kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia itu sendiri. Kita sebagai generasi
penerus Bangsa haruslah menyadari arti pentingnya nilai nilai Pancasila
sehingga kita dapat menggali lebih dalam mengenai Pancasila tersebut
kemudian mampu melestarikannya dengan cara menjadikan Pancasila itu
sebagai landasan hukum adat yang menjadi primum remedium dalam
daerah adat masing masing.
Sanksi Hukum adat (khususnya adat Yogyakarta) diharapkan dapat
masuk dalam Sistem hukum nasional dan menyesuaikan dengan
kesepakatan antara pihak yang dirugikan dengan pemuka adat (ada
pembaharuan dalam pemberian sanksi) untuk menangani masalah Tindak
Pidana Korupsi. Dalam hal ini, Tidak hanya sanksi Adat Yogyakarta yang
menerapkan sanksinya terhadap tindak pidana korupsi tetapi Sanksi Adat
dari berbagai daerah dapat masuk dan bergabung untuk memberantas
tuntas Tindak Pidana Korupsi ini.
32
DAFTAR PUSTAKA
Gramedia, 1974.
Baru, 1983.
Tjitra, Made. Wawancara Pribadi Kelian Adat Dusun Nujak, Desa Adat
Sepang, Kecamatan busungbiu, Buleleng, 17 september 1977.
33
Wignjodipuro, Surojo.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.
Bandung:Alumni, 1979.
34
Hasil Wawancara
Usia : 57 Tahun
3). Dalam hukum adat tidak terdapat istilah korupsi, dapatkan tindak
pidana korupsi disamakan dengan kasus pencurian ataupun penipuan?
Saya rasa, tindak pidana korupsi ini dapat dikatakan sebagai kasus
pencurian sekaligus kasus penipuan.Namun pemberian sanksinya lebih
berat dibandingkan dengan kasus pencurian maupun penipuan.
4). Bagaimana jika tindak pidana korupsi diberikan sanksi hukum adat
di Yogyakarta?
Tidak menjadi masalah dan bisa diterapkan. Namun pemberian
sanksi adat di Yogyakarta seperti dikucilkan, diasingkan, dicemooh ,
saya rasa kurang memberikan efek jera pada pelaku yang tidak punya
rasa malu. Jika ingin menerapkan sanksi adat, berikan sanksi yang
sesuai dengan pribadi pelaku agar dapat memberikan efek jera, namun
pemberian sanksi adat ini harus memenuhi rasa keadilan dan tidak
berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku korupsi.
5). Setujukah anda bila ada pembaharuan dalam pemberian sanksi adat
dengan penberian sanksi atas kesepakatan antara pihak yang dirugikan
dengan masyarakat adat contohnya memperkerjakan pelaku sebagai
pegawai rendahan di kantornya?
Saya sependapat bila ada pembaharuan dalam sanksi adat yang
akan diberikan dengan adanya kerjasama antara masyarakat adat
dengan pihak yang dirugikan untuk menentukan sanksi adat yang
diberikan, contohnya dengan memperkerjakan pelaku korupsi di
kantornya untuk menjadi pegawai rendahan seperti cleaning service
atau office boy. Hal ini saya rasa sah-sah saja untuk diterapkan bila
36
memang dapat memberikan rasa malu dan efek jera bagi pelaku tindak
pidana korupsi.Meski sanksi adat tidak sebanding dengan sanksi
pidana, namun sanksi adat dapat berdampak pada psikis dari pelaku
korupsi.
37
Hasil Angket:
1. Apakah anda mengetahui apa itu korupsi?
a. Ya
b. Tidak
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
d. Lainnya,yaitu:......................................................................
38
HASIL : Responden yang memilih a = 1 orang,atau 2 %
Responden yang memilih b = 44 orang,atau 88 %
Responden yang memilih c = 0 orang,atau 0 %
Responden yang memilih d = 5 orang,atau 10 %
40
8. Menurut anda, Jika sanksi adat Yogyakarta diberlakukan
terhadap tindak pidana korupsi, maka sanksi tersebut
seharusnya diberikan:
a. diberikan secara terpisah dengan sanksi hukum nasional
yang berlaku
b. diberikan secara bersamaan dengan sanksi hukum nasional
yang berlaku
c. tidak tahu
d. lainnya, yaitu:.....................................................................
alasannya,yaitu:......................................................................
42
c. Tidak tahu
d. Lainnya, yaitu.......................................................................
44