Anda di halaman 1dari 4

Aoh K.

Hadimadja

Nama lengkapnya Aoh Kartahadimadja dan sering menggunakan nama samaran Karlan
Hadi. Ia dilahirkan di kota Bandung, 15 September 1911, dan meninggal dunia di Jakarta, 17
Maret 1973, karena penyakit darah tinggi. Aoh meninggalkan seorang istri dan empat orang
anak. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta. Aoh merupakan putra dari
seorang patih yang berdinas di Sumedang, Jawa Barat. Meskipun ia termasuk anak seorang
pejabat pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda, pendidikan formal Aoh tidak begitu tinggi.
Ia hanya menamatkan sekolah Belanda Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat
SLTP pada zaman sekarang. Secara otodidak Aoh menambah pendidikannya dengan belajar
mandiri. Berkat kegemarannya membaca dan mengikuti kursus-kursus Aoh mampu menguasai
beberapa bahasa asing dan melanglang dunia keliling Eropah setelah kemerdekaan Indonesia,
awal 1950-an hingga tahun 1970.

Aoh juga dikenal sebagai kakak dari pengarang Ramadhan K.H., penulis buku
puisi Priangan Si Jelita (1957). Setamatnya dari MULO, Aoh langsung bekerja
sebagai employe (pekerja) di perkebunan Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Bekerja di
perkebunan banyak menguras tenaga secara fisik sehingga membuat kelelahan Aoh. Ia terpaksa
berhenti dari pekerjaannya itu dan beristirahat total di Sanatorium, Rumah Sakit Paru-paru
Cisarua, Bogor, pada tahun 1939, ketika penyakit TBC menggerogoti tubuhnya. Sewaktu dalam
perawatan penyakitnya di Sanatorium itu, Aoh memiliki banyak kesempatan membaca buku-
buku agama dan sastra, di antaranya buku-buku karya Hamka yang pada waktu itu sudah
banyak yang terbit di masyarakat.

Begitu selesai perawatan dari rumah sakit paru-paru Cisarua, Aoh segera meninggalkan
kota Bogor dan mencoba mengadu nasib di Jakarta. Ia mulai menulis sajak pada awal
pemerintahan fasis Jepang berkuasa di Indonesia. Untuk menambah wawasannya di bidang
kesusastraan, pada zaman Jepang itu Aoh bergabung dengan Pusat Kebudayaan yang
merupakan bentukan pemerintah fasis Jepang, di Jakarta. Di sini Aoh bekerja sebagai
penerjemah kesusastraan Sunda Klasik ke dalam bahasa Indonesia. Di Pusat Kebudayaan ini
pula Aoh dapat berkenalan dengan sesama sastrawan yang telah mengorbit terlebih dahulu,
seperti Sanusi Pane, Armijn Pane, Chairil Anwar, Usmar Ismail, dan Sutan Takdir Alisyahbana.
Satu hal yang membuat hati Aoh berbahagia adalah pertemuannya dengan Hamka karena Aoh
menganggap Hamka sebagai guru dalam hal agama dan sastra.

Ketika Jepang kalah perang dan dipaksa meninggalkan Indonesia, Pusat Kebudayaan
bentukan Jepang itu pun ikut bubar. Memasuki masa Perang Revolusi Kemerdekaan R.I., Aoh
pun ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi persada Indonesia. Ia harus keluar masuk hutan
ikut bergerilya berperang melawan tentara sekutu Belanda. Setelah perang kemerdekaan itu
berlalu (19491952), Aoh melawat ke Sumatera untuk menyelidiki kebudyaan daerah yang ada
di pulau tersebut. Sepulangnya dari lawatan selama tiga tahun di Sumatera, Aoh sempat
bekerja di Balai Pustaka beberapa bulan lamanya sebagai redaktur pernaskahan. Kesempatan
bekerja di Balai Pustaka ini membuat Aoh dapat menerbitkan beberapa karyanya menjadi buku,
yaitu Zahra (1950, kumpulan puisi dan karya drama), Pecahan Ratna(1952, kumpulan
sajak), Manusia dan Tanahnya (1952, kumpulan cerita pendek), dan Beberapa Paham Angkatan
45 (1952, kumpulan esai selaku editor).

Pada akhir tahun 1952 Aoh mendapat tawaran bekerja sebagai penerjemah di Sticusa,
Amsterdam, Negeri Belanda. Atas tawaran pekerjaan yang menantang itu memaksa Aoh
meninggalkan tanah air dan mengembara beberapa tahun ke Eropa. Di benua bangsa kulit putih
itu Aoh bekerja pula sebagai penyiar Radio Hilversum hingga tahun 1956. Setelah kontranya
sebagai penyiar radio di Belanda itu habis, Aoh segera pulang ke tanah air. Namun, ia hanya
beberapa bulan saja tinggal di tanah air dan harus berangkat lagi ke Eropa. Kali ini Aoh
mendapat tawaran sebagai wartawan majalah PIA dan Star Weekly. Sebagai pekerja pencari
berita, Aoh pun mendapat kesempatan meliput perayaan Kemerdekaan Malaysia di Kuala
Lumpur pada tahun 1957.

Aoh ternyata senang bertualang, terutama dalam hal memilih pekerjaan. Sepulangnya
dari Malaysia, Aoh sempat kembali bekerja di perkebunan yang telah ia tinggalkan selama dua
puluh tahun. Kali ini Aoh memilih perkebunan karet, di daerah Jasinga, Kabupaten Lebak,
Banten. Ia menyingkir dari keramaian kota Jakarta dan memilih menyepi di sebuah perkebunan
disebabkan oleh situasi politik yang kacau-balau waktu itu. Di tempat penyepiannya ini Aoh
berhasil membuat dua cerita pendek yang masing-masing berjudul Artis Yang Ulung dan
Poligami. Kedua cerita pendek itu kemudian disatukan dengan sepuluh cerita pendek Aoh
yang lainnya menjadi buku Poligami (1975).
Pekerjaan sebagai penyadap getah karet di perekebunan Jasinga itu segera ia tinggalkan
ketika pada pertengahan tahun 1959 Aoh mendapat tawaran pergi ke Eropa lagi. Kali ini ia
mendapat kesempatan pergi ke London, Inggris, untuk bergabung dengan Radio BBC London
sebagai penyiar Seksi Indonesia. Hiruk-pikuknya keadaan politik di tanah air selama tahun enam
puluhan sama sekali tidak dirasakan oleh Aoh. Jauhnya tempat petualangan Aoh sebagai
pengarang sampai ke Eropa menyebabkan kerinduannya pada tanah air. Ia baru pulang ke
tanah air pada tahun 1970 setelah kontranya dengan BBC habis. Namun, ketika menjadi penyiar
BBC London itu Aoh sempat mengadakan pertemuan dengan beberapa sastrawan Indonesia
yang kebetulan melawat ke London, antara lain, Achdiat K. Mihardja, Siti Nuraini, Mochtar
Lubis, dan Nugroho Notosusanto.

Selama menjadi penyiar BBC London, Aoh tidak mengendorkan bakat, minat, dan
perhatiannya terhadap perkembangan sastra Indonesia modern. Sambil menjadi penyiar radio
itu Aoh tetap terus menulis cerita pendek dan esai. Dari London itu pula Aoh selalu
mengirimkan karya-karyanya ke tanah air, seperti ke majalah Budaya Jaya, Basis,
Horison, dan Indonesia Raya. Beberapa cerita pendek yang dihasilan ketika Aoh berada di
London, seperti Kemenangan di Jabal Nur, Tuan Miloszewski, Menuju Kemenangan, dan
Menemukan Tujuannya yang dimuat dalam beberapa majalah, setelah ia meninggal
dikumpulkan menjadi buku kumpulan cerpen Poligami (1975). Sementara esai-esai yang ditulis
Aoh di London dan sempat disiarkan secara berkesinambungan di muka corong BBC London,
antara tahun 19681970, dikumpulkan menjadi buku Seni Mengarang. Sebelum ajal datang
menjemput dan membawanya ke negeri keabadian, pada tahun 1972 Pemerintah Republik
Indonesia, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, memberi
Anugerah Seni kepada Aoh K. Hadimadja atas prestasinya mengembangkan seni sastra.

Sekembalinya petualangan dari Eropa, Aoh K. Hadimadja bekerja sebagai Kepala Redaksi
Badan Penerbit Pustaka Jaya. Ketika menjadi kepala redaksi penerbitan Pustaka Jaya ini Aoh
sempat menerbitkan bukunya Pecahan Ratna (1971, kumpulan sajak), dua esainya pun dapat
terbit menjadi buku, yaitu Seni Mengarang (1972) dan Aliran-Aliran Klasik, Romantik, dan
Realisme dalam Kesusastraan: Dasar-Dasar Perkembangannya (1972). Setelah Aoh meninggal
dunia, atas prakarsa Ajip Rosidi, dua buah buku fiksinya dapat terbit, yaitu Dan Terhamparlah
Darat yang Kuning, Laut yang Biru.... (1975) danSepi Terasing (1977). Sebelumnya Aoh telah
menerbitkan buku kumpulan cerpen Manusia dan Tanahnyayang diterbitkan oleh Balai
Pustaka, 1952. Sejumlah karya Aoh ada dalam antologi Gema Tanah Air (1948 susunan H.B,
Jassin), Laut Biru Langit Biru (1977 susunan Ajip Rosidi), dan Tonggak 1 Antologi Puisi Indonesia
Modern (1987 susunan Linus Suryadi A.G.). Beberapa karya Aoh yang hingga kini belum dapat
terbit, antara lain, Arus Perjuangan (naskah drama), Bumiku (kumpulan sajak), Bunga
Merdeka (naskah drama), Kapten Sjaf (naskah drama), dan Pancaran di Balik Salaka
(naskah drama).

Sebenarnya Aoh K. Hadimadja telah menulis karya sastra berupa sajak dan naskah drama
sejak zaman Jepang. Namun, tak satu pun kritikus sastra Indonesia yang menempatkan Aoh
sebagai tokoh Angkatan 45. Padahal, beberapa sajak Aoh telah dimuat dalam majalah Panji
Pustaka (19421945) danPantja Raja (19461948), Pujangga Baru, Zenith, dan Indonesia Raya.
Pada tahun 1947 sajak-sajak Aoh mendapat penghargaan dari penerbit Balai Pustaka sehingga
pada tahun 1950 sajak-sajak itu diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul Zahra. Peristiwa
tersebut membangkitkan gairah mengarang Aoh untuk terus menulis. Semangat menulis Aoh
itu kemudian ditularkan kepada adik kesayangannya, Ramadhan K.H. yang di kemudian hari
menjadi penulis yang sangat terkenal dengan novel-novelnya seperti Royan
Revolusi (1968), Kemelut Hidup (1977), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1990).

Beberapa pengamat sastra Indonesia telah menulis tentang biografi singkat Aoh K.
Hadimadja dan mengulas karya-karyanya, antara lain, Boen S. Oemarjati (1971) dalam Bentuk
Lakon dalam Sastra Indonesia, Ajip Rosidi (1977) dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, A.
Teeuw (1980) dalam Sastra Baru Indonesia I, Jakob Soemardjo (1982) dalam Novel Indonesia
Mutakhir: Sebuah Kritik, Pamusuk Eneste (1990) dalam Leksikon Kesusastraan Indonesia
Modern, Puji Santosa dkk. (1993) dalam Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920
1960, dan Anita K. Rustapa dkk. (1997) dalam Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia
19201950. Pada umumnya mereka manyambut baik dan menghargai karya-karya Aoh K.
Hadimadja sebagai pengarang romantik yang memiliki keunikan tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai