Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS FIQH KONTEMPORER TERHADAP KETERKAITAN ANTARA RIBA DAN BUNGA BANK

I. LATAR BELAKANG

Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja.
Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama
berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana
yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu
yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang
sangat merugikan bagi masyarakat. Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang
hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu
yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga
bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan
beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan
riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah
haram.

Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang
mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya
berlaku sistim bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud
dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.

Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama anatar riba dan bunga bank
dalam pandangan fiqh Kontemporer. Oleh karena itu, untuk membuktikannya penulis mencoba meneliti
dan memaparkannya dalam makalah ini.

II. PERUMUSAN MASALAH

Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa pokok masalah yang dapat
penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini adalah

1. Bagaimana pengertian riba dan bunga bank?

2. Apakah sama riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?

3. Bagaimana hukum riba dan bunga bank menurut pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi
Islam?

4. Serta apakah dampak dari riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia?

III. ANALISIS
A. Pengertian Riba dan Bunga Bank

Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a
financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E.,
MPA).[1]

Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya
dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang
dinamakan suku bunga modal.

DICTIONARY OF ECONOMICS, SLOAN AND ZURCHER :[2]

Bunga yaitu : Sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya
dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang
dinamakan suku bunga modal.

Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut
syara’ riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau
tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya.[3]

Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah
kenabian dimakkah kemungkinan besar pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal
turunya ayat riba[4]. Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah pemberian.
Berdasarkan interpretasi ini, menurut Azhari (w. 370H/980 M) dan Ibnu Mansur (w. 711H/1331M) riba
terdiri dari dua bentuk yaitu riba yang dilarang dan yang tidak dilarang[5]. Namun dalam kenyataannya
istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang dipinjamkan[6].

Sedangkan dalam istilah al-Jurjani mendefinisikan riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa
ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat
akad/transaksi[7].

Ada beberapa pendapat diatas dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah
yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29). Dalam kaitannya dengan ayat
tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an
(lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah),
namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya
satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”[8]
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi
hasil proyek.

Merujuk dari penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, bahwa dapat disimpulkan bunga
sama dengan riba.[9]Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional,
bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas
merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam
meminjam berupa uang tunai. Didalam Islam yang namanya konsep pinjam meminjam dikenal dengan
namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan pinjaman kebajikan. Dimana Allah SWT, berfirman :

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(Q.
S Al-Baqarah : 245)

Pinjaman qardh tidak ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam maka dikembalikan sebesar itu
juga. Namun, berbeda apabila akad atau transaksi tersebut mengandung jual beli, sewa maupun bagi
hasil.

Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil
tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini
merupakan riba yang telah diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut :

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan juga dalam Hadist
Rasulullah bersabda : “Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,
“Mereka itu semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah)[10]

B. Hukum Riba dan Bunga Bank

Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak.
Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika
pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan
seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
َّ ُ ُ ْ ِّ ُ ‫وم َكما إ َال ي ُق‬ ُ ‫ان يتخ َب ُط ُه َّالذي ي ُق‬
ُ ْ َ ِّ ‫الربا ِم ْث ُل ْالب ْي ُع إ َنما ق ُالوا ب َأ َن ُه ْم ذ ِلك ْالم‬
ِّ ‫اّلل و َأح َل‬
ُ َّ ‫ْالب ْيع‬
‫الربا يأ كلون ال ِذين‬ ‫ومون ال‬ ِ ِ ‫س ِمن الشيط‬ ِ ِ
َ
ِّ ‫اّلل إ َل وأ ْم ُر ُه س َلف ما ف َل ُه ف ْانته ِّرب ِه ِم ْن م ْو ِع َظة جاء ُه فم ْن‬
َّ ْ َ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ ُ
‫الربا وح َرم‬ ِ ِ ‫خ ِالدون ِفيها هم النار أصحاب فأول ِئك عاد ومن‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].[11]
َ َّ ُ ُ َ َّ
‫الربا ِمن ب ِ ِق ما وذ ُروا اّلل اتقوا آمنوا ال ِذين أ ُّيها يا‬ ُ ‫اّلل من بح ْرب ف ْأذ ُنوا ت ْفع ُلوا َل ْم فإ ْن‬
ِّ ‫م ْؤم ِني ُك ْن ُت ْم إ ْن‬، َّ
ِ ‫ول ِه‬
ْ ُ ُ ُ َ ُ ُ ُ
‫وس فلك ْم ت ْبت ْم وِإن ور ُس‬‫رؤ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ‫ُت ْظ َل ُمون وال ت ْظل ُمون ال َأ ْموال ُكم‬
ِ ِ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah
(2): 279].[12]

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw


ُ ُُ ْ َ ‫زْنية وثَل ِث ْي ِست ِم ْن َأش ُّد ي ْع َل ُم و ُهو‬
‫الر ُج ُل يأ كله ربا ِد ْره ُم‬

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih
berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
َ َ َ ‫أ َم ُه‬,ُ ‫الربا َأ ْرب وإ َن‬ َ ‫ْال ُم ْس ِلم‬
ُ ‫الر ُج ُل ي ْن ِكح أ ْن ِم ْث ُل أ ْي‬
‫َسها بابا وس ْب ُع ْون ثَلثةٌ الربا‬ ُ ‫الر ُجل ع ْر‬
ِّ ‫ض‬
ِ ِ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya,
dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
َ َّ ُ َ َّ َ ِّ ُ َ ْ ُ ُ َ ْ ْ ُ
‫للا ر ُس ْو ُل لعن‬
ِ ‫الربا ِآكل وسلم عل ْي ِه للا صّل‬ ‫اهدي ِه وكا ِتبه ومو ِكله‬
ِ ‫وش‬, ‫وقال‬: ‫سواء هم‬

“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang
saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah,
dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan
Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah;
telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang
membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab,
“Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba,
memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik
berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang
memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah
berkonsensus mengenai keharaman riba.”

Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang
diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-
riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga
firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-
syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang
yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya
Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari
dan Muslim]

Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas
haramnya riba secara global.

Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-
besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang
memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan
perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar
dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga
menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim
sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.

Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat
mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat
Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah
dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman
riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’
menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[13]

Ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi,
muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Umar Chapra menemukan
terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli
ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank
dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,(2000). Semua mereka mengecam
dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga
telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi
dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2009, adalah bukti paling
nyata dari dampak sistem bunga.[14]

C. Jenis-jenis Riba

Riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4)
riba yadd.[15]

Riba Nasii`ah. Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk
dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas
keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan
uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada
tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan
(1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total
hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam
melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si
A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.

Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;


َ
ْ ‫الن ِس ْيئ ِة‬
ِّ ‫ف‬
‫الربا‬ ِِ
” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]

Riba Fadlal. Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil
pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
َ َ ُ َ ْ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ ُ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ َ ْ
‫ب‬ ُ ‫الذه‬ ‫اختلفت ف ِإذا ِبيد يدا ِبسواء سواء ِب ِمثل ِمثَل ِبال ِملح وال ِملح ِبالت ْمر والت ْم ُر ِبالش ِعب والش ِع ُب ِبال ُ ِّب وال ُ ُّب ِبال ِفض ِة وال ِفضة ِبالذه ِب‬
ْ َ َ
ُ ‫بيد يدا كان إذا ش ْئ ُت ْم ك ْيف فب‬
ُ ‫يعوا اْل ْصن‬
‫اف ه ِذ ِه‬ ِ ِ ِ ِ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka
hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).

Riba al-Yadd. Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang.
Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari
tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits
berikut ini;
َ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ
ُ ‫الذه‬
‫ب‬ ‫وهاء هاء ِإال ربا ِبالش ِعب والش ِع ُب وهاء هاء ِإال ربا ِبالت ْمر والت ْم ُر وهاء هاء ِإال ربا ِبال ُ ِّب وال ُ ُّب وهاء هاء ِإال ربا ِبالذه ِب‬

“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali
dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan
kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

Riba Qardl. Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau
keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang
di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku
mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata
kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela.
Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa
rumput ker¬ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut
adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]

Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman
dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas
pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”.
(Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.

Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-
kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib
menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang
diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim.

D. Dampak Riba Dan Bunga Bank

1. Bagi jiwa manusia

hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba
ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri
daripada orang lain[16]

2. Bagi masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga
membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul
akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat[17]

3. Bagi roda pergerakan ekonomi

Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.

a) Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang
sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.

b) di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin
terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

c) Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.

d) Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.

e) Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap
(jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama
pokoknya.[18]

IV. KESIMPULAN

Sudah jelaslah bagiamana riba dan bunga bank itu dilarang dengan tahapan tahapan yang sama dengan
pengharaman arak. Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:

1) Riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi
salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi sedangkan Bunga adalah sejumlah
uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu
tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.

2) Dalam pandangan Fiqh Kontemporer bahwa antara riba dan bunga bank adalah sama. Mengapa
demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh
nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena
nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai.

3) Dalam pandangan Fiqh Kontemporer bahwa hukum antara riba dan bunga bank adalah haram.
Karena hukum asal riba adalah haram baik itu dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam
wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya yakni dengan cara bertaqwa kepada Allah.

4) Dampak akan bahayanya riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia; (1). Bagi jiwa manusia :
hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri.
(2).Bagi masyarakat : Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling
bermusuhan. (3). Bagi roda pergerakan ekonomi : Dari segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia
dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak
yang menindas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1, Pustaka pelajar, Jakarta, 2003

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya., CV. Diponegoro, Bandung.

2003.

KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, det 1, Yayasan Kalimah Thayyibah, Jakarta

2000.

Drs. H. Kahar Masyhur, Beberapa Pendapat Menegenai Riba, Cet 3, Kalam Mulia.

Jakarta, 1999.

Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah, Cet 10, PT gunung agung, Jakarta.

1970.

Mudjab mahali, Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah-An

Naas. Cet 1, Raja grafindo, Jakarta, 2002.

Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT.

Bina ilmu, Surabaya, 2003.

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.


http//anakcirenai.blogspot.com/2008/05/makalah-fiqih-tentang-riba-dan-

perbankan.html

http//kasei_unri.org/index.php?option=com_conten&task=category§iobid=&id=

19&itemid=34

http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

________________________________________

[1] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

[2] hndwibowo.blogspot.com/2008/06/bunga-bank-konvensional-adalah-riba.html

Anda mungkin juga menyukai