Anda di halaman 1dari 4

KAMPUNG MATI: Sebuah Reportase dari sudut kecil Kota Batu

Tiga Tahun Tanpa Listrik, Dijuluki Kampung Mati


Meneropong kampung Gimbo, satu-satunya RT tanpa listrik di kota Batu
Harus diakui listrik kini telah jadi kebutuhan utama bagi masyarakat. Mulai tingkatan
masyarakat bawah, pemerintahan, hingga industry. Banyak manfaat, diantaranya penerangan
dan penggunaan alat elektronik. Tapi bagaimana jika ada masyarakat yang belum mampu
mengakses listrik sama sekali. Bahkan sampai mencapai tahunan. Ini lah yang saat ini nyata
terjadi di kota wisata Batu. Di tengah hiruk pikuk visi kota wisata internasional, masih ada
puluhan warganya yang tidak mampu menikmati listrik. Ironisnya, pemkot adem ayem
tentang hal ini. Bagaimana kisah mereka ?

MASBAHUR ROZIQI
Sepintas tak ada yang aneh dengan kampung Gimbo, dusun Jurang kuali, desa Sumberbrantas
kecamatan Bumiaji itu. Status pemerintahannya pun jelas, terdaftar sebagai RT 05 RW 06.
Artinya mereka resmi sebagai kumpulan penduduk adminstratif kota Batu. Lingkungannya
pun asri. Terletak di daerah pegunungan dengan pemandangan menawan. Kampung itu juga
diapit lahan sayuran cukup luas. Sekitar 15 hektaran. Jalan sepanjang kampung ini juga masih
cukup mulus. Rumah-rumahnya bervariasi. Ada yang masih gedhek, dan ada yang sudah
bertembok.
Namun siapa sangka di balik keindahan itu, warga kampung ini sudah tiga tahun tak bisa
menikmati aliran listrik. Tepatnya sejak pertengahan tahun 2010 lalu. Selama bertahun tahun
itu, sebanyak 24 kepala keluarga harus pasrah bongkokan hidup dalam gelap. Ya gelap,
karena tak adanya listrik, setiap malam mereka harus rela melihat kampungnya diselimuti
kegelapan. Tak ada secuil penerangan listrik pun di sana. Termasuk di jalan kampung depan
jalan masuk kampung mereka. Ya begini ini Mas kondisinya, bisa dibilang kami ini kayak
warga terpencil saja di tengah keriuhan kota Batu, kata Miseman, ketua RT 05 RW 06 saat
ditemui di rumahnya, Selasa (11/6) lalu.
Akibat kondisi itu, kampung benar-benar sunyi senyap saat malam. Warga enggan keluar
karena situasi di luar kampung gelap total. Cahaya lampu berpendar terang seperti di alun-
alun wisata kota Batu tak mereka rasakan di sana. Saat malam menjelang selain kesunyian,
hanya semilir angin dan suara jangkrik bersahut-sahutan yang mereka dengar. Mungkin
hanya suara kendaraan saja yang terdengar. Itu pun tak sering. Karena hanya satu dua
kendaraan saja yang lewat saat malam hari. Lagipula para pengendara yang lewat diyakini tak
pernah tahu jika di sana ada kampung Gimbo. Di sini ini masuk kampung terakhir desa
Sumberbrantas, kampung yang lainnya itu sudah ada listriknya, sini saja yang belum, melas,
tandas pria yang juga buruh tani itu.
Warga pun harus melas dengan kondisi itu. Saat malam menyapa, mereka hanya mampu
menerangi rumah mereka dengan penerangan seadanya. Karena kebanyakan warga menengah
ke bawah, banyak yang memilih menggunakan lilin dan lampu minyak. Ada pula yang
menggunakan aki sepeda. Hanya beberapa yang menggunakan lampu tenaga surya. Itu pun
beli bekas di daerah Pujon. Kalau saya belinya di Pujon lor, lampu tenaga surya bekas punya
warga sana, dijual dulu sekitar Rp 1 jutaan, ya terpaksa, gimana lagi nggak ada listrik, kata
Miseman lirih.
Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun kena imbasnya. Para anak yang kebanyakan masih
remaja dan duduk di bangku SD-SMP harus pasrah bergelut dalam gelap. Terutama saat harus
belajar. Seperti yang dialami Khusi Najilah, remaja berusia 14 tahun. Kamis malam lalu
(20/6) saat ditemui di rumahnya, gadis ini masih bergelut dengan bukunya. Dengan seksama
dia membaca buku mata pelajaran IPA (ilmu pengetahuan alam). Hanya diterangi sebuah
oblik (lampu tempel), dia berusaha mengerjakan soal-soal di buku itu. Sesekali dia mengucek
matanya agar lebih jelas melihat bacaan buku. Tiap hari kayak gini Mas, emang nggak ada
lampu, tukas siswi SMPN 5 Batu itu sambil terus membaca bukunya.
Setelah belajar pun, gadis ini harus tidur dengan ditemani lampu oblik itu pula. Karena tanpa
oblik itu, kamarnya sangat gelap. Pernah karena ditemani oblik terus menerus, wajahnya
sampai berjelaga (penuh hitam karena asap oblik). Tapi ya harus tetap dijalani, daripada
gelap mas, ujar anak kedua dari dua bersaudara ini.
Sesekali dia mengatakan juga merasa kesepian. Tak ada hiburan selain ngobrol dengan orang
tua, kakak, dan teman kampungnya. Padahal teman seusianya yang rumahnya dialiri listrik,
sudah biasa lihat acara TV seperti sinetron atau film kartun. Tanpa listrik, harapannya kandas.
Alhasil selama tiga tahun hidup tanpa listrik ini, dia sangat kangen bisa melihat TV. Kangen,
pengen lihat film kartun lagi, kadang jenuh banget hidup gelap gini, tapi mau gimana lagi,
apalagi ayah nggak mungkin kuat beli diesel, ujarnya dengan suara agak lirih. Seperti
menahan tangis.
Nasib miris dalam gelap juga dialami Srimana dan Tukiran. Pasangan suami istri yang
berusia lanjut ini bahkan hanya hidup dengan dua oblik. Tak lagi ditemani anak cucunya yang
ada di luar kota semua, pasangan tua ini harus menikmati masa tuanya dalam keremangan.
Beruntung masih ada tetangga yang berbaik hati menyalurkan penerangan tenaga surya ke
rumah mereka. Lampu tenaga surya ini dikasih tetangga Mas, katanya nggak mentolo
(nggak tega) ngelihat kondisi kami yang sudah renta ini tanpa ditemani anak, kata Srimana
sambil menunjuk sebuah lampu tenaga surya yang nangkring di atas tembok pintu dapurnya.
Apalagi dia harus menghidupi dirinya dan sang suami, Tukiran. Karena Tukiran sudah tak
mampu lagi bekerja. Pria berusia 86 tahun itu mengalami batuk akut dan tak mampu berdiri
lama. Padahal sebelumnya, ketika masih sehat, sang suami juga turut jadi tulang punggung
keluarga. Sekarang ya saya ambil alih Mas, makanya kalau ditanya nggak ada listrik,
sampean bisa lihat sendiri kondisi kami, kalau nggak ditolong tetangga, ya kami pakai dua
oblik ini saja, kata nenek usia 60 tahun itu.
Eni Suliati, salah satu warga lainnya mengaku karena listrik gelap ini lah banyak orang
enggan menghidupkan suasana kampung. Sekitar pukul 18.00 itu kampung sudah mulai sepi.
Dia mencontohkan di rumahnya sendiri. Kalau malam sudah menyapa, dirinya memilih
langsung tidur. Suasana jalan kampung ini saja gelapnya sudah bukan main, di sini benar-
benar butuh listrik, kata ibu rumah tangga berusia 43 tahun tersebut.
Marsudi, salah seorang pemuda desa, menyesalkan kampung ini belum dialiri listrik. Dan
belum mendapa perhatian pemerintah kota setempat. Padahal terkait ursan pajak dan
partisipasi kegiatan pemerintah pun, kampung Gimbo tak pernah absen. Seperti membayar
pajak bumi dan bangunan (PBB) dan ikut serta menyukseskan pilwali 2012 lalu. Terlihat di
rumah-rumah penduduk ada stiker-stiker lembaga negara. Seperti stiker pemilu, dan sensus.
Kampung ini sangat butuh listrik, biar masyarakat ini nggak kayak gini terus, kata pemuda
28 tahun itu sambil melihat sekeliling kampung yang gelap, Kamis malam (20/6) lalu itu.
Hadi, 43 tahun, warga RT 05 RW 06 kampung Gimbo, juga mengaku menggunakan
penerangan alami saat ini. Pekerjaan sebagai buruh tani, tak membuatnya mampu membeli
mesin disel. Akhirnya dia pun bergantung pada penerangan api. Lampu minyak, itu yang
digunakannya. Konsekuesinya, dia harus pontang panting mencari minyak tanah yang jadi
bahan bakar lampu tersebut. Setiap minggu dia harus rela berjalan tiga kilometer ke kampung
Kembangan, kampung terdekat. Karena itu lah satu-satunya kampung yang masih
menyediakan minyak tanah. Namun bisa ditebak, harganya pun melambung tinggi. Tak
ketinggalan pula, dia harus membeli sehari sebelum akhir minggu agar tak kehabisan. Karena
tetangganya pun banyak yang menggunakan lampu minyak. Belum untuk bahan bakar
masak. Saya beli Rp 12 ribu per liter Mas, ini saya hemat betul karena buat penerangan di
rumah, total seminggu saya habis Rp 18 ribu buat beli 1,5 liter, kata ayah dua anak itu.
Demikian pula untuk urusan hiburan menonton TV. Sudah sejak tiga tahun lalu, warga
kampung Gimbo jarang sekali menikmati hiburan elektronik rakyat itu. Di saat warga Batu
lainnya tertawa riang melihat acara sinetron misalnya, warga Kampung Gimbo ini harus
merana dalam kegelapan kampung mereka. Jangankan TV, lha lampu listrik pun tak ada.
Jika pun ingin melihat, para warga ini harus belani jalan tiga kilometer ke kampung tetangga.
Bagi yang punya motor enak-enak saja. Namun mereka pun jarang turun, karena memang
cukup jauh. Bahkan Hadi mengatakan jika pun ingin nonton TV, dia harus gandol tetangga
yang kebetulan akan ke kampung itu juga. Yawes nggak perlu sering-sering Mas, daripada
terus ngrepoti, padahal kami juga ingin menikmati listrik kayak warga Batu lainnya, ujar dia
dengan suara tercekat.
Miseman sendiri mengatakan sebenarnya warga kampung GImbo sempat pula menikmati
aliran listrik. Selama delapan tahun dari tahun 2002 hingga 2010. Namun bukan pemkot yang
menfasilitasi, tapi pihak PT Karya Kompos Bagas, sebuah perusahaan pengelola budidaya
Jamur. Listrik dialirkan dari perusahaan ke rumah-rumah warga selama delapan tahun. Ini
sebagai konsekuensi beroperasinya perusahaan. Tidak hanya di situ, beberapa warga pun
direkrut untuk jadi pekerja di sana. Ada yang jadi tukang kebun, dan pengepak kompos,
saya juga pernah kerja di sana, tandas peria berusia 37 tahun itu.
Namun memasuki tahun 2010, perusahaan mulai kolaps. Akhirnya, pertengahan 2010 itu
bangkrut dan listrik pun diputus. Dimulai lah kehidupan warga dalam kondisi tanpa listrik.
Para warga yang banyak bekerja di sana pun diberhentikan semua. Sehingga balik jadi buruh
tani lagi, jelasnya.
Menyadari bakal hidup tanpa listrik, warga kampung GImbo pun berjuang. Miseman
mengaku telah meminta bantuan kepala desa Sumberbrantas untuk mewadulkan masalah itu
ke PLN cabang Batu. Sampai tahun ini PLN sudah tujuh kali melakukan survey. Namun
hingga hari ini, tidak ada realisasi sama sekali. Sepertinya pihak PLN masih alot dalam hal
pembayaran. Padahal warga sudah sanggup bayar asalkan ada listrik, karena kami memang
sudah merindukan dapat hidup seperti warga lain, lha sampai sekarang mereka (PLN) belum
merealisasikan, terang Miseman.
Dia juga menyayangkan kenapa kota sekelas kota wisata Batu terkesan abai atas kondisi
kampungnya ini. Bahkan dia mengaku selama tiga tahun ini, tidak ada satu pun pejabat atau
perwakilan pemkot Batu untuk sekedar bertanya atau menyambangi warga. Hanya kepala
desa dan anggota DPRD saja yang intens mendatangi tempatnya. Kepada anggota DPRD
yang datang, dia menyampaikan keluh kesahnya. Dewan janji bakal fasilitasi kami, waktu
itu yang datang seingat saya pak Heli (Heli Suyanto, sekretaris komisi A DPRD Kota Batu),
tandasnya.
Menurutnya pencanangan kota wisata perlu disertai kepedulian memenuhi infrastruktur
masyarakatnya. Ketika ada satu kampung belum ada listrik, percuma saja program desa
wisata itu digemborkan. DI bawah (pusat kota Batu dan beberapa desa) memang sudah
tampak menawan, tapi coba naik, kampung kami ini bahkan dijuluki kampung mati, ujar
dia.
Wakil rakyat pun meradang mengetahui ini. Heli Suyanto, anggota DPRD kota Batu, yang
selama ini mendampingi warga Gimbo, mengaku kecewa dengan pemkot Batu dan PLN.
Pemkot seharusnya dapat mengalokasikan anggaran bagi para warga tersebut. Yakni anggaran
untuk subsidi listrik. Selama ini hal tersebut belum pernah diinisiasi pemkot. Malah sangat
disayangkan jika pemkot tak tahu menahu tentang hal ini. Apalagi di tengah wacana akan
menjadikan desa Sumberbrantas sebagai desa wisata. Ironis memang, sebagai kota wisata,
ada salah satu kampung yang belum dialiri listrik, janganlah ini diabaikan, mestinya segera
dialokasikan di APBD untuk anggaran subsidi listrik, ujar sekretaris komisi A DPRD kota
Batu tersebut.
Demikian pula dengan legislator lain. Sugeng Hariono, wakil ketua DPRD kota Batu,
menegaskan pembahasan kampung tanpa listrik itu bakal segera jadi agenda utama.
Seharusnya setiap warga Batu mendapat pelayanan sama. Termasuk pelayanan listrik. Kok
bisa ya nggak kedeteksi gitu, kami memang belum lihat, tapi kami akan segera berkoordinasi
dengan pihak terkait, terutama seperti pihak PLN dan SKPD terkait ujar politisi partai
Hanura tersebut.
Ada pun pihak pemkot sendiri terkesan adem ayem dengan hal ini. Ismail Abdul Gani, kepala
bagian humas pemkot Batu saat dihubungi mengaku belum tahu ada RT tanpa listrik itu. Dia
mengaku akan segera mengecek. Wartawan koran ini diminta menemui kepala DCKTR
(Dinas CIpta Karya Tata Ruang). Ditemui usai bulan bhakti gotong royong, Kamis (13/6)
lalu, Bambang Kuncoro, kepala DCKTR mengaku kalau listrik ke rumah warga itu bukan
wewenangnya. Pihaknya hanya bertanggung jawab atas PJU (penerangan jalan umum) di
jalan raya. Kalau yang masuk desa Sumberbrantasnya memang sudah akan diadakan PJU,
Cuma jumlahnya saya kurang ingat, terang mantan kadinsosnaker kota Batu itu. Tampaknya
warga Gimbo masih harus meraba dalam gelap. Untuk jangka waktu tak pasti.

Anda mungkin juga menyukai