Anda di halaman 1dari 23

PORTOFOLIO

KEJANG DEMAM

Diajukan guna melengkapi sebagian persyaratan Dokter Internship

Presentan:

dr. Wan Adi Surya Perdana

Pendamping:

dr. Andari Retnowati

Pembimbing:

dr. Tikto Wahyono, Sp.A, M.Biomed

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOLOPO

KAB. MADIUN
2017

No. ID dan Nama Peserta: dr. Wan Adi Surya Perdana

No. ID dan Nama Peserta: RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Topik : Kejang Demam Sederhana

Tanggal Kasus : 9 Februari 2017

Nama Pasien : An. MJ Nomor RM : 67214

Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Andari Retnowati

Tempat Presentasi : RSUD Dolopo, Kab. Madiun

Objektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi : Pasien anak laki-laki usia 10 bulan dikeluhkan kejang. Kejang sebanyak 1 kali selama
kurang lebih 3 menit. Badan pasien kaku saat kejang. Sebelum kejang pasien sadar, saat
kejang pasien tidak sadar dengan mata melirik keatas, setelah kejang pasien menangis.
Pasien juga dikeluhkan demam sejak 2 hari sebelumnya. Pasien juga mengalami batuk
pilek.
Tujuan : Mengidentifikasi tanda dan gejala, diagnosis dan tata laksana dari kejang demam

Bahan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit


Bahasan :
Cara Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Membahas :

Data Pasien Nama : An. MJ No. Reg: 67214

Nama Klinik: RSUD Dolopo, Kab. Madiun Telp : Terdaftar sejak :


Data Utama untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis / Gambaran Klinis :


Pasien anak laki-laki usia 10 bulan dikeluhkan kejang. Kejang sebanyak 1 kali selama kurang lebih
3 menit. Badan pasien kaku saat kejang. Sebelum kejang pasien sadar, saat kejang pasien tidak
sadar dengan mata melirik keatas, setelah kejang pasien menangis. Pasien juga dikeluhkan
demam sejak 2 hari sebelumnya. Pasien juga mengalami batuk pilek. Pasien muntah sebnyak 2
kali sejak 1 hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Buang air kecil dan besar dalam batas normal.
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya untuk sakitnya ini.

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

4. Riwayat keluarga :
Terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien. Ibu pasien juga
perna mengalami kejang saat demam pada saat masih kecil

5. Riwayat Lingkungan/Sosial :
Di lingkungan rumah pasien tidak ada tetangga yang mengalami keluhan yang sama.

6. Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.

Hasil Pembelajaran:

1. Definisi Kejang Demam


2. Klasifikasi Kejang Demam
3. Epidemiologi Kejang Demam
4. Faktor Resiko Kejang Demam
5. Diagnosis Kejang Demam
a. Manifestasi Klinik
b. Pemeriksaan Penunjang
6. Penatalaksanaan Kejang Demam
7. Prognosis Kejang Demam
RANGKUMAN PEMBELAJARAN PORTOFOLIO

Subjektif:

- Pasien anak laki-laki usia 10 bulan dikeluhkan kejang. Kejang sebanyak 1 kali selama
kurang lebih 3 menit. Badan pasien kaku saat kejang. Sebelum kejang pasien sadar,
saat kejang pasien tidak sadar dengan mata melirik keatas, setelah kejang pasien
menangis. Pasien juga dikeluhkan demam sejak 2 hari sebelumnya. Pasien juga
mengalami batuk pilek. Pasien muntah sebnyak 2 kali sejak 1 hari sebelum dibawa ke
rumah sakit. Buang air kecil dan besar dalam batas normal.
- Pasien belum mendapatkan pengobatanuntuk keluhan ni sebelumnya.
- Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
- Terdapat anggota keluarga lain yang menderita sakit yang sama dengan pasien. Ibu
pasien juga perna mengalami kejang saat demam pada saat masih kecil
- Di lingkungan rumah pasien tidak ada tetangga yang mengalami keluhan yang sama
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi baik obat maupun makanan.
- Pasien sudah mendapatkan imunisasi lengkap sampai campak (usia 9 bulan)
- Pasien lahir SCTP dengan indikasi Ketuban Pecah Dini (Premature Rupture of the
Membrane)
- Pasien tumbuh dan kembang sesuai dengan anak seusianya, saat ini pasien sudah
bisa duduk sendiri dan mulai belajar berdiri.

Objektif
Keadaan Umum Tampak Lemah
Kesadaran Compos Mentis
Status gizi Cukup
Nadi 104 kali/menit, reguler kuat
Nafas 20 x/menit
Suhu 39,4C
Berat badan 7,6 kg
Kepala Anemis (-), Ikterik (-), Sianosis (-), Edema (-
)
Paru Inspeksi : Simetris ki=ka
Palpasi : fremitus ki=ka
Perkusi: sonor ki=ka
Auskultasi: ves/ves, rh (-), wh (-)
Jantung Inspeksi: Iktus tidak terlihat
Palpasi: Iktus teraba ICS V MCL S
Auskultasi: Irama regular, murni, bising (-)
Abdomen Inspeksi: Perut tampak datar
Palpasi: Supel, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan epigastrium (-), turgor kembali
cepat
Perkusi: Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Ekstremitas Akral hangat, perfusi baik,

Pemeriksaan laboratorium (9 Februarri 2017):


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Haemoglobin 10,6 g/dl 11,0 17,0 g/dl
Hematokrit 32,0% 35,0 - 55,0%
Leukosit 18.400 4000 12000
Limfosit 34,0% 25 50%
Monosit 14,5% 2 10 %
Granulosit 51,5% 50 80%
Trombosit 450.000 150000 400000
Diagnosis:
Berdasarkan subjektif, objektif dan pemeriksaan penunjang laboratorium pasien
didiagnosa dengan Kejang Demam Sederhana

Penatalaksanaan: 10 Februari 2017


- IVFD D5 NS 15 tpm
- Inj. Cefotaxime 3x250 mg
- Inj. Santagesik 3x150 mg
- Inj. Diazepam 3mg jika perlu
- PO: Paracetamol drop 4x0,8 cc

Follow up:

11 Februari 2017

S: Demam , mual (-), muntah (-), pusing (-), makan minum (+)

O: GCS: 456, Nadi: x/menit, nafas: 24x/menit, Tax: 36,8C, Ekstremitas : Akral hangat, perfusi
baik
Terapi:

- IVFD D5 NS 15 tpm
- Inj. Cefotaxime 3x250 mg
- Inj. Santagesik 3x150 mg
- Inj. Diazepam 3mg jika perlu
- PO: Paracetamol drop 4x0,8 cc

12 Februari 2017

S: Demam , mual (-), muntah (-), pusing (-), makan minum (+)

O: GCS: 456, Nadi: x/menit, nafas: 24x/menit, Tax: 36,8C, Ekstremitas : Akral hangat, perfusi
baik
Terapi:

- IVFD D5 NS 15 tpm
- Inj. Cefotaxime 3x250 mg
- Inj. Santagesik 3x150 mg
- Inj. Diazepam 3mg jika perlu
- PO: Paracetamol drop 4x0,8 cc

Pasien diperbolehkan pulang, dengan terapi

- PO Paracetamol drop 3x0,8cc jika pasien demam


- Aphyalis drop 1x0,5cc

Konsultasi

Konsultasi dilakukan dengan spesialis penyakit anak untuk penatalaksanaan


selanjutnya.

Pendidikan

Dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakitnya, penyebab dan
penatalaksanaan serta prognosisnya.

Rujukan

Saat ini pasien belum perlu dirujuk.

PEMBAHASAN

1. Definisi Kejang Demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 hun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C, dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial (Ismael, dkk,
2016).

Kejang demam umumnya terjadi pada anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari
1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan
atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam
(Pusponegoro, dkk, 2006).
Pada kasus ini pasien berusia 10 bulan dan tidak memiliki pencetus kejang lain
selain demam, sehingga pasien dapat dikatakan mengalami kejang demam.

2. Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok:
2.1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum
(tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang demam sederhana
berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.

2.2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
a. Kejang lama (>15 menit)
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
c. 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang
demam (Ismael, dkk, 2016).

Pasien pada kasus diatas mngalami kejang selama 3 menit, kejang bersifat
umum, dan tidak berulang dalam 24 jam, sehingga kejang demam yang terjadi pada
pasien dapat diklasifikasikan ke dalam kejang demam sederhana.

3. Epidemiologi Kejang Demam

Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam.
Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun.
Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai
dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Di
Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi
kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di
Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3%-9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang
demam mencapai 14% (Fuadi, 2010).

4. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam


Terdapat 7 faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu : demam, usia,
dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu,
hamil primiimultipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir
rendab, usia kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor paskanatal (kejang akibat toksik,
trauma kepala), dan jenis kelamin
4.1. Faktor demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8 C aksila atau
di atas 38,3C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak
tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul hangkitan
kejang demam. Demam yang disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab
terbanyak timbulnya bangkitan kejang demam (80%) (Fuadi, 2010).
Demam mempunyai peranan untuk menimbulkan perubahan potensial membran dan
menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang. Penurunan nilai
ambang kejang ini memudahkan timbulnya bangkitan kejang demam. Bangkitan
kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9C-39,9C (40-
56%) (Fuadi, 2010).
Kejang demam pertama yang terjadi pada kenaikan suhu tidak mendadak dengan
puncak tidak terlalu tinggi (berkisar 38C - 40C) serta jarak waktu antara mulai demam
sampai timbul bangkitan kejang singkat (kurang dari satu jam), merupakan indikator
bahwa penderita tersebut mempunyai nilai ambang terhadap kejang rendah. Nilai ambang
kejang rendah merupakan faktor risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam (Fuadi,
2010).

4.2. Faktor usia


Tahapan perkembangan masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama paska natal,
sehingga kejang demam dapat terjadi pada fase organisasi sampai mielinisasi. Fase
perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang,
terutama di fase organisasi. Di fase organisasi ini terjadi kematian sel terprogram (proses
eliminasi sel neuron yang tidak torpaka) dan plastisitas (pembentukan sel baru). Masa yang
lebih dikenal sebagai masa developmental window tersebut terjadi sampai anak berusia
2 tahun dan rentan terhadap bangkitan kejang. Pada masa ini, otak yang belum matang
mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang .
Eksitator (CRH) lebih dominan dibanding inhibitor (GABA), sehingga tidak ada
keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang
demam pada usia awal masa developmental window mempunyai waktu lebih lama fase
eksitabilitas neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada usia
akhir masa developmental window (Fuadi, 2010).

4.3. Faktor riwayat keluarga


Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Tetapi nampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah
satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai
risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20%-22%. Dan apabila ke dua orang
tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka risiko
untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya
apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka
risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah, yaitu 27 % berbanding 7% (Fuadi, 2010).

4.4. Faktor Prenatal


- Usia saat Ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah
hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma
persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi
berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia.
Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi,
2010).

- Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi


Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia
dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara
atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada
bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan
aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan
intrauterin dan bayi berat lahir rendah (Fuadi, 2010).

- Kehamilan primipara atau multipara


Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama,
persalinan dengan alat, kelainan letak) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara
(kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat
menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi
otak sehingga terjadi perdarahan atau oedem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan
kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

- Pemakaian bahan toksik


Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol
atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang.
Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin serta terjadinya
placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau
persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat
menyebabkan trauma lahir yang berakibat teriadinya kejang (Fuadi, 2010).

4.5. Faktor Perinatal


- Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdaraban
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan
adalah asfiksia, yang akan menimbulkan hipoksia dan iskemia di jaringan otak terutama
pada daerah hipokampus, dan selanjutnya mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai (Fuadi, 2010).

- Bayi berat lahir rendah


Bayi dengan bayi berat lahir rendah BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat
kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan
perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR
dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan
ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak,
dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama
melahirkan pada bayi dengan BBLR kurang 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial
yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan manifestasi kejang
(Fuadi, 2010).

- Kelahiran Prematur atau Postmatur


Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 minggu
dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada bayi prematur, perkembangan alat-
alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan
intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena bayi prematur
seringkali menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan yang
menyebabkan hipoksia. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik
maka, kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang
rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan
kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung
berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas (Fuadi, 2010).
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dan 42 minggu merupakan bayi postmatur.
Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan
oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah
suhu yang tak stabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat janin terutama terjadi
pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik seperti : berat bayi lebih dari 4000 gram,
kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria. Kelainan tersebut
dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik) dan hipoksia janin yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi klinis dari keadaan ini dapat berupa
kejang (Fuadi, 2010).

- Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan Kala II : 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida, kala I: 7 jam dan kala II: 1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksi dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).

- Persalinan dengan alat


Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir
dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan perdarahan
intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan
disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan
subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma. Manifestasi
neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau
oedem otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai
manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

- Perdarahan intrakranial
Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang
diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital. Perdarahan
intrakranial pada neonatus dapat bermanifestasi sebagai perdarahan subdural,
subarakhnoid, intraventrikuler/periventrikuler atau intraserebral (Fuadi, 2010).
Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat
kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi
dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang.
Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya bersama-
sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur
serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).

4.6. Faktor Paskanatal


- Infeksi susunan saraf pusat
Risiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi pada
sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat
seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling
umum adalah virus Herpes simplex (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan
daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada
meningitis dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebal
palsy, retardasi mental, hidrosefalus dan defisit nervus kranialis serta kejang. Dapat pula
cacad yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan
sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 - 3 tahun
kemudian menimbulkan kejang (Fuadi, 2010).

- Trauma kepala/ cedera kepala


Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan
kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul dikemudian
hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan
retardasi mental (Fuadi, 2010).

- Kejang akibat toksik


Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb dan lainnya dapat
memacu terjadinya kejang. Beberapa jenis obat dapat menjadi penyebab kejang, yang
diakibatkan racun yang dikandungnya atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk
di dalamnya alkohol, obat anti-epileptik, opium, obat anestetik dan anti-depresan.
Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak
pada orang yang tidak menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12-24 jam setelah
mengkonsumsi alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan
menyebabkan kejang (Fuadi, 2010).

- Gangguan Metabolik
Serangan kejang dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum
glokusa, kalsium, magnesium, potassium dan sodium. Beberapa kasus hiperglikemia
yang disertai status hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko penting penyebab
epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan kejang (Fuadi, 2010).
4.7. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih
cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Namun hasil beberapa penelitian di luar
negri tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap pengaruh jenis kelamin
terhadap terjadinya kejang demam (Fuadi, 2010).
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dari pasien, dapat diketahui
bahwa yang menjadi faktor resiko terjadinya kejang demam pada pasien adalah faktor demam
yang tinggi. Pada pemeriksaan didapatkan suhu tubuh pasien mencapai 39,4 C. Selain itu,
faktor resiko lain pada pasien adalah dari faktor keturunan. Dari hetero-anamnesa dari nenek
pasien diketahui bahwa ibu pasien juga pernah mengalami kejang demam pada saat masih
anak-anak.
5. Diagnosis Kejang Demam:
Diagnosis Kejang demam dibuat berdasarkan:
5.1. Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan:
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang,
frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
b. Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
c. Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga (kakak-adik, orangtua).
d. Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain (Saharso, 2008),
(Pusponegoro, 2006)

5.2. Dari pemeriksaan fisik dan neurologis


Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda peningkatan tekanan
intrakranial, dan tanda infeksi di luar SSP. Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan
neurologis, termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis (Saharso, 2008), (Pusponegoro,
2006)

5.3. Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (Saharso, 2008), (Pusponegoro,
2006)

- Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan
pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal (Saharso,
2008), (Pusponegoro, 2006.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan
secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
a. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis.
c. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis (Ismael, dkk, 2016).

- Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam.
Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal (Saharso, 2008), (Pusponegoro, 2006).
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di
otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Ismael, dkk, 2016).

5.4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema (Saharso, 2008), (Pusponegoro, 2006)

Pada kasus diatas, dari anamnesa didapatkan pasien mengalami kejang selama 3
menit, badan pasien kaku saat kejang. Sebelum kejang pasien sadar, saat kejang pasien tidak
sadar dengan mata melirik keatas, setelah kejang pasien menangis. Sebelum kejang pasien
mengalami demam sejak sehari sebelumnya. Selain itu dari anamnesa jga diketahui bahwa
ibu pasien juga pernah mengalami kejang demam pada saat masih anak-anak.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh pasien 39,4 C, yang mana suhu tersebut
cukup tinggi untuk mencetuskan kejang. Sedangkan dari pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan darah lengkap diketahui kadar leukosit pasien mengalami peningkatan, yaitu
18.400/uL. Hal tersebut menandakan pasien mengalami infeksi yang menjadi sumber demam.
Infeksi yang terjadi pada pasien berupa infeksi saluran pernafasan atas, yang mana pasien
mengalami batuk pilek sejak 3 hari sebelum MRS. Pada pasien tidak diilakukan pemeriksaaan
penunjang lain seperti pungsi lumbal atau pencitraan arena tidak didapatkan indikasi yang
mengharuskan dilakukan pemeriksaan tersebut.

6. Tata Laksana Kejang Demam (Deliana, 2002), (Saharso, 2008), (Ismael, dkk, 2016):
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:
Mencegah kejang demam berulang
Mencegah status epilepsi
Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal:


6.1. Pengobatan fase akut
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, prioritas utama adalah menjaga agar
jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus
atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu
dilakukan intubasi. Keadaan tanda tanda vital (kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan
dan fungsi) dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan secara ketat. Suhu
tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10-15 mg/ kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 5-10 mg/kgkali, 3-4 kali
sehari).
Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Saat ini diazepam merupakan obat
pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang
singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular
absorbsinya lambat. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7, 5 mg untuk
anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Jika kejang masih berlanjut,
lihat algoritme tatalaksana status epileptikus (Terlampir).
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
20 mg/kg/kali dengan kecepatan 2 mg/kg/menit dengan dosis maksimal 1000mg. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 5-10 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila kejang tetap belum berhenti dan diberikan fenobarbital secara intravena dengan
dosis awal 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 10-20 mg/kg/menit dengan dosis maksimal
1000mg. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 5-10 mg/kg/hari, dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin dan fenobarbital kejang belum berhenti maka pasien
tersebut mengalami refrakter Status Epileptikus dan harus dirawat di ruang rawat intensif.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
Pada saat telah berada di UGD RS Dolopo pasien telah berhenti kejang, sehingga
tidak memerlukan obat penghenti kejang. Selanjutknya pasien dirawat di bangsal untuk
observasi dan mengobati penyakin yang mendasari demam. Pasien tetap disiapkan Diazepan
supp untuk sewaktu-waktu pasien mengalmi kejang ulang.

6.2. Mencari dan mengobati penyakit penyebab dengan melakukan pemeriksaan


pungsi lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Kejang dengan suhu badan yang
tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu
pemeriksaan cairan serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia
kurang dari 2 tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok
umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontra
indikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali
terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.
Pasien mendapatkan injeksi Santagesik 3x150 mg dan Paracetamol drop 4x0.8cc
untuk mengatasi demam pasien. Selain itu pasien juga mendapatkan injeksi Cefotaxim 3x250
mg untuk mengatasi infeksi yang dialami pasien.
6.3. Pengobatan Profilaksis
a. Profilaksis Intermittent:
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam
dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
Usia <6 bulan
Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat.
Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan segera diberikan pada
waktu pasien demam suhu rektal lebih dari 38C. Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan
bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang.
Obat yang biasa dipakai adalah: diazepam oral / rektal, klonazepam atau kloralhidrat
supositoria
1. Diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam berulang dan bila diberikan
intermittent hasilnya lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Diazepam diberikan
melalui oral atau rektal. Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 0,5 mg/kg/kali, atau 5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat
badan lebih dari 12 kg. Dosis oral diberikan 0,3 mg/kg BB perhari dibagi dalam 3 dosis,
diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,5oC atau lebih selama 48 jam pertama
demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotoni.
2. Klonazepam dapat dipakai sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per
dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 38oC dan dilanjutkan jika masih demam. Efek
samping klonazepam yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku,
depresi, dan salivasi berlebihan (Deliana, 2002).
3. Kloralhidrat supositoria diberikan dalam dosis 250 mg untuk berat badan kurang dari 15
kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas 38oC.
Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit
jantung, dan gastritis (Deliana, 2002).

b. Pengobatan rumatan terus menerus


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pemberian pengobatan profilaksis terus menerus
hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) (Ismael dkk,
2016):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
NB: Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi pengobatan rumat
3. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
b. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
c. kejang demam > 4 kali per tahun
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang, namun tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari dan pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada
sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati, tremor dan alopesia. Dosis asam valproat 15-40
mg/kg/hari dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Efek samping
fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 3050 % kasus.
Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis (Deliana, 2002).
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang
demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang
demam (Ismael dkk., 2016).
Pasien pada kasus ini tidak mendapatkan pengobatan profilaksis karena kondisi
paisen tidak memenuhi syaraat diperlukannya pemberian pengobatan profilaksis.

6.4. Edukasi pada orangtua


Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan
tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan
berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali
oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu
tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal,
kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan (Ismael
dkk, 2016)
6.5. Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak dengan
riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi
kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin (vaccine-associated
febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-
associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK 95% 1,27 sampai 2,11). Angka
kejadian kejang demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang
divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada
keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis
(Ismael dkk, 2016).

7. Prognosis Kejang Demam


Prognosis kejang demam baik, angka kematian hanya 0,64-0,75%. Sebagian
besar penderita kejang demam sembuh sempurna, 2-7% berkembang menjadi epilepsi,
4% mengalami gangguan motorik, gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat
intelegensi secara bermakna (Fuadi, 2010).
7.1. Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat
terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama.
Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama (Ismael dkk, 2016).

7.2. Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun
pertama (Ismael dkk, 2016).

7.3. Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam
satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-
6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan
pada kejang demam (Ismael dkk, 2016).
7.4. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian
pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan
normal dilaporkan sama dengan populasi umum (Ismael dkk, 2016).

DAFTAR PUSTAKA
1. Deliana, Melda., 2002, Tata Laksana Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri
2002; Vol 4(2): 59 6.
2. Fuadi, Fuadi, 2010, Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam Pada Anak. Master
Thesis, Diponegoro University.
3. Pusponegoro H.D., Widodo D.P.,Ismael S., 2006, Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
4. Ismael S., Pusponegoro H.D., Widodo D.P., 2016, Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
5. Saharso, Darto, 2008. Kejang Demam, Dalam: Pedoman Diagnosis Dan Terapi
SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo,
Surabaya.
Sumber: Ismael S., Pusponegoro H.D., Widodo D.P., 2006, Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Badan Penerbit IDAI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai