Anda di halaman 1dari 37

JUDUL : PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B PASIR

PENGARAIAN KABUPATEN ROKAN HULU

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat, tidak lepas dari kaidah atau

norma yang mengaturnya. Kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat ada

empat macam, yaitu, kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah sosial dan kaidah

hukum. Kaidah hukum itu berlaku untuk seluruh masyarakat. Apabila dalam

kehidupan, mereka melanggar kaidah-kaidah hukum itu, baik yang berupa

kejahatan maupun pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi yang disebut pidana.

Masyarakat harus diberi sanksi pada saat mereka melanggar hukum, karena

negara kita adalah negara hukum. Masyarakat terdiri dari kumpulan individu

maupun kelompok yang mempunyai latar belakang serta kepentingan yang

berbeda-beda, sehingga dalam melakukan proses interaksi sering terjadi benturan-

benturan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik diantara pihak-pihak yang

bertentangan tersebut.

Permasalahan yang tercipta selama proses interaksi itu adakalanya hanya

menguntungkan salah satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain dirugikan.

Disinilah hukum berperan sebagai penegak keadilan. Dapat dikatakan bahwa

perbuatan yang merugikan orang lain dan hanya menguntungkan pribadi atau
kelompoknya saja dengan cara melakukan tindak pidana merupakan tindakan

yang jahat. Maka wajar apabila setiap perbuatan jahat harus berhadapan dengan

hukum, dan pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan

hukum dengan adil, salah satunya yaitu dengan menjalani hukuman.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum

sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar Neagara Republik

Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum, maka penegakan hukum di Indonesia sepenuhnya menjadi

tanggung jawab negara yang dalam hal ini diemban oleh lembaga-lembaga

penegakan hukum di Indonesia, seperti: Kepolisian yang mengurusi proses

penyidikan; Kejaksaan yang mengurusi penuntutan; Kehakiman yang mengurusi

penjatuhan pidana atau vonis; Lembaga Pemasyarakatan yang mengurusi perihal

kehidupan narapidana selama menjalani masa pidana.

Tujuan memberi hukuman kepada pelaku tindak pidana, selain memberikan

perasaan lega kepada pihak korban juga untuk menghilangkan keresahan di

masyarakat. Caranya yaitu dengan menyadarkan mereka dengan cara

menanamkan pembinaan jasmani maupun rohani. Dengan demikian tujuan dari

pidana penjara adalah selain untuk menimbulkan rasa derita karena kehilangan

kemerdekaan, juga untuk membimbing terpidana agar bertaubat dan kembali

menjadi anggota masyarakat yang baik. Tujuan pidana penjara dititikberatkan

pembinaan narapidana.

Kalau dirumuskan dalam bentuk definisi, pembinaan menurut

Mangunhardjana (2006:12) adalah suatu proses dengan melepaskan hal-hal yang


sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan tujuan

membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan

pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan

kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja, yang sedang dijalani,

secara lebih efektif.

Pembinaan adalah satu bagian dari proses rehabilitasi watak dan perilaku

narapidana selama menjalani hukuman hilang kemerdekaan, sehingga ketika

mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan mereka telah siap berbaur kembali

dengan masyarakat. Karena pidana yang dilaksanakan di Lembaga

Pemasyarakatan itu sudah mempunyai tujuan, maka tidak lagi tanpa arah atau

tidak lagi seakan-akan menyiksa.

Pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan adalah

sebagai jalan keluar untuk membina dan juga untuk mengembalikan narapidana

ke jalan yang benar. Perilaku-perilaku menyimpang yang dulu pernah mereka

lakukan diharapkan tidak akan terjadi lagi dan mereka dapat berubah menjadi

anggota masyarakat yang bertingkah laku baik. Kejahatan merupakan suatu

fenomena yang komplek yang dapat terjadi dan kita lihat dalam masyarakat.

Supaya kejahatan itu tidak lagi terjadi, harus ada cara yang dilakukan yaitu

menyadarkan mereka dengan menanamkan pembinaan jasmani maupun rohani.

Tetapi kalau ada orang yang melakukan tindak pidana, maka dia harus diberi

sanksi atau hukuman. Hukuman yang mereka terima harus memperhatikan bahwa

mereka adalah subjek dan bukan objek hukum, walupun mereka akan kehilangan

kemerdekaannya di penjara.
Dengan demikian tujuan dari pidana penjara adalah selain untuk

menimbulkan rasa derita karena kehilangan kemerdekaan, juga untuk

membimbing terpidana agar bertaubat dan kembali menjadi anggota masyarakat

yang baik.

Secara teoritik, setiap pemidanaan harus didasarkan paling sedikit pada

keadaan-keadaan individual baik yang berkaitan dengan tindak pidana maupun

yang bersangkutan dengan pelaku tindak pidana. Dalam praktek tentu saja hal ini

akan bervariasi baik orang perorang maupun tindak pidana pertindak pidana dan

dapat dimengerti bahwa tidak selalu tercapai apa yang dikatakan pemidanaan

yang konsisten. Sekalipun demikian sebenarnya yang harus dicapai adalah

konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemidanaan pada dasarnya adalah

suatu langkah yang disebut discretion, namun hal ini tidak dapat diartikan sebagai

perilaku personal tetapi merupakan langkah dan pendekatan untuk memutuskan

tetapi merupakan langkah dan pendekatan untuk memutuskan secara khusus atas

dasar kenyataan dan dibatasi oleh etika penalaran hukum dan keadilan.

Sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Pancasila sebagai dasar negara di dalam sila ke-2 yang berbunyi

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab menjamin bahwa manusia Indonesia

diperlakukan secara beradab meskipun berstatus narapidana. Selain itu, pada sila

ke-5 mengatakan bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti

bahwa narapidana juga harus mendapatkan kesempatan berinteraksi dan

bersosialisasi dengan orang lain layaknya kehidupan manusia secara normal.


Menurut pandangan Reksodiputro (2004), tujuan sistem peradilan pidana adalah

untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus

kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan

dan yang bersalah dipidana serta mengusahakan agar mereka yang pernah

melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada pasal

14, sangat jelas mengatur hak-hak seorang narapidana selama menghuni lembaga

pemasyarakatan yaitu :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d. Mendapatkan pengajaran dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang

tidak dilarang.

g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu

lainnya.

h. Mendapatkan upah atau premi atas perkerjaan yang telah dilakukan.

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

m. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai perundangan yang berlaku.


Tidak dipenuhinya secara ideal hak-hak narapidana ini sesungguhnya

merupakan efek kesekian dari begitu kompleksnya masalah yang ada dalam

Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun

1955 telah mengeluarkan Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners

atau Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana

atau yang disingkat SMR merupakan ketentuan minimal wajib ditaati dalam

memperlakukan narapidana serta memberikan perlindungan hak-hak narapidana

dan tahanan. Ketentuan ini telah diimplementasikan ke dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengatur tentang hak-hak

narapidana. Pelaksanaan dari Undang-Undang ini masih teradapat kekurangan

dalam pelaksanaannya, sehingga perlindungan hak-hak narapidana belum

maksimal.

Pemidanaan dewasa ini berkembang lebih manusiawi dan lebih rasional dan

mulai meninggalkan pola lama dari pembalasan dan pengasingan menuju pada

usaha perbaikan narapidana agar menjadi orang yang lebih baik atau dapat

dikatakan sebagai pemasyarakatan. Hakekat sistem kepenjaraan sangat berbeda

dengan sistem pemasyarakatan. Sistem kepenjaraan diwarnai oleh Aliran Klasik

dalam hukum pidana dengan doktrinnya yang terkenal yakni Punishment should

fit the crime, sedangkan sistem pemasyarakatan sejauh mungkin ingin apa yang

dinamakan Twintrack Sistem, dalam hal mana individualisasi pidana juga

dipertimbangkan.
Dalam perspektif kebijakan pidana yang menganut paham Reintegrasi

Sosial (pemasyarakatan), Harsono (2005) paham tersebut dalam garis besarnya

sebagai berikut :

1. Pelanggar hukum sebagai individu diakui tidak berbeda dengan anggota

masyarakat yang bukan pelanggar hukum.

2. Konsepsi pemasyarakatan menitikberatkan kepada pulihnya kesatuan

hubungan yang telah retak antara pelanggar hukum dengan masyarakat.

3. Dalam pola rehabilitasi, realisasi dari reaksi masyarakat terhadap

pelanggar hukum yang diawali oleh instansi penegak hukum lebih

diarahkan kepada pemberian derita, maka dalam pola reintegrasi sosial

prinsip kasih sayang, yang seharusnya terkandung pula dalam pemberian

derita (seperti pepatah jika sayang anak jangan sayang rotan) adalah

menjadi tugas atau misi instansi yang diserahi menampung pelanggar

hukum.

4. Pembinaan pelanggar hukum yang terpidana berdasarkan konsepsi

pemasyarakatan tidak cukup hanya dilakukan setelah pelanggar hukum

yang bersangkutan dijatuhi pidana. Pemberian pembinaan yang prinsipil

harus sudah dilakukan sedini mungkin, yaitu sejak pelanggar hukum

ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian dan seterusnya. Adapun

bentuk pembinaannya meliputi program diversi, probasi informal, dan

intervensi sebelum persidangan.


Lembaga Pemasyarakatan Pasir Pengaraian dalam perkembangannya telah

mengalami sejarah yang cukup panjang. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Pasir Pengaraian pada awalnya merupakan sebuah penjara yang didirikan oleh

pemerintah Kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, maka

penjara ini diambil alih oleh pemerintah RI dan masih menggunakan bangun lama

yang terletak di jalan Riau, Pasir Pengaraian, Kab. Kampar. Pada tahun anggaran

1985/1986, kantor Penjara yang telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II B Pasir Pengaraian, dipindahkan ke jalan Pengayoman dan mulai

dioperasionalkan pada tahun 1988. Seiring perkembangan zaman dan pemekaran

daerah, kini Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir Pengaraian masuk dalam

daerah pemerintahan Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Narapidana

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir Pengaraian terdiri dari tahanan,

tahanan narkoba, criminal, wanita, anak dan tamping.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pernyataan permasalahan yang telah

diuraikan diatas, oleh karena itu penulis merumuskan suatu masalah yakni :

Bagaimana Pelaksanaan Pembinaan terhadap Narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu?


C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatn Kelas II B Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu.

b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan

di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir Pengaraian Kabupaten

Rokan Hulu.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

a. Secara Akademis, hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai

bahan referensi dan dapat juga menjadi sumbangan pemikiran bagi

peneliti lainnya dimasa yang akan datang.

b. Secara Teoritis, hasil dari penelitian ini merupakan salah satu

bahan pengembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang Ilmu

Hukum.

c. Secara Praktis, hasi dari penelitian ini diharapkan sebagai bahan

pertimbangan dan masukkan bagi Lembaga Pemasyaraktan dalam

merencanakan dan merumuskan kebijakan tentang pembinaan

kepada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir

Pengaraian di Kabupaten Rokan Hulu dimasa yang akan datang.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemidanaan

Menurut Sholehuddin (2003:114) pemidanaan yaitu menerapkan suatu

sanksi kepada pelanggar larangan-larangan pidana. Keberadaannya akan

memberikan arah dan pertimbangan mengenal apa yang seharusnya dijadikan

sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya. Hal ini agar

dalam memberikan suatu sanksi terhadap suatu perbuatan pidana dapat diterapkan

secara adil, agar tidak menyalahi atau tidak melebihi dengan yang seharusnya

dijadikan sanksi terhadap suatu perbuatan pidana tersebut.

Sholehuddin (2003:114) membagi teori-teori pemidanaan dalam tiga

kelompok, yaitu :

1. Teori Absolut

Teori absolut memandang bahwa pidana dijatuhkan karena semata-mata

karena orang telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau tindak pidana

(quiapeccantumest). Pidana merupakan akibat mutlak yang ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar

pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya pidana itu sendiri.

2. Teori Relatif atau Tujuan

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai

sarana untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan yang bermanfaat.

Oleh karena itu teori ini disebut teori tujuan. Jadi dasar pembenaran adanya

pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya pidana dijatuhkan bukan

quia peccatum est (karena orang melakukan kejahatan) tetapi nepeccetur

(supaya orang jangan untuk melakukan kejahatan). Mengenai tujuan pidana untuk

pencegahan kejahatan dibedakan dua yaitu prevensi special dan prevensi general.

Prevensi special yang dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi

pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah

laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak kejahatan lagi. Prevensi general

dimaksudkan pengaruh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku pada

masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan merupakan perpaduan teori absolut dan teori relatif atau

tujuan yang menitikberatkan pada pembalasan sekaligus upaya prevensi terhadap

seorang pidana. Tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki dan meningkatkan

akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam

lembaga pemasyarakatan. Ada dua pandangan konseptual tentang tujuan

pemidanaan yang masing-masing memiliki implikasi moral yang berbeda satu

sama lain, yaitu pandangan retributif dan pandangan ultitarian. Pandangan

retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku

menyimpang oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan

hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung
jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke

belakang (backward Looking). Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi

manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat situasi atau keadaan yang ingin

dihasilkan dengan dijatuhkan pidana itu.

Disatu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau

tingkah laku terpidana dan pihak lain. Pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk

mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan kegiatan serupa. Pandangan

ini dikatakan berorientasi ke depan (foward-looking) dan sekaligus mempunyai

sifat pencegahan.

B. Pembinaan Narapidana

1. Hakikat Pembinaan

Pembinaan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan

pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang

tumbuh di masyarakat. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang

memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke arah yang positif, yang mampu

merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, lebih baik dari sebelum

narapidana menjalani pidana. Tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan, jadi

mereka yang narapidana tidak lagi dibuat jera, tetapi dibina untuk

dimasyarakatkan.

Pelaksanaan pembinaan narapidana dilaksanakan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam pasal 2 ditegaskan

bahwa :
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan agar narapidana menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup sewajar sebagai warga yang baik

dan bertanggung jawab.

Sistem ini menjanjikan sebuah model pembinaan yang humanis tetap

menghargai seorang narapidana secara manusiawi, bukan semata-mata tindakan

balas dendam dari negara. Hukuman kemerdekaan sudah cukup sebagai sebuah

penderitaan tersendiri sehingga tidak perlu ditambah lagi dengan penyiksaan serta

hukuman fisik lainnya yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Kalau dirumuskan dalam bentuk definisi, pembinaan menurut

Mangunhardjana (2006:12) adalah suatu proses dengan melepaskan hal-hal yang

sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan tujuan

membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan

pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta mendapatkan pengetahuan dan

kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja, yang sedang dijalani,

secara lebih efektif.

Pembinaan adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara

efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembinaan memang

mampu membawa pada orang yang menjalaninya, lewat pembinaan orang dapat

diubah menjadi manusia yang lebih baik, efesien dan efektif dalam bekerja.

Menurut Mangunhardjana (2006:14) fungsi pokok pembinaan mencakup

tiga hal yaitu :


a. Penyampaian informasi dan pengetahuan.

b. Perubahan dan pengembangan sikap.

c. Latihan dan pengembangan kecakapan serta keterampilan.

Dalam pembinaan ketiga hal itu dapat diberi tekanan yang sama atau diberi

tekanan yang berbeda dengan mengutamakan salah satu hal. Ini tergantung dari

macam dan tujuan pembinaan. Pembinaan mampu memberi bekal dalam situasi

hidup dan kerja nyata orang yang menjalani pembinaan harus bersedia

mempratekkan hasil pembinaannya. Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan

secara budaya guna mendapatkan hasil yang lebih baik. Sudah menjadi

pengetahuan umum bahwa orang yang telah melakukan tindak pidana dijatuhi

vonis oleh pengadilan akan menjalani hari-harinya di dalam rumah tahanan atau

lembaga pemasyakatan sebagai perwujudan dalam menjalankan hukuman yang

telah diterimanya. Di dalam lembaga pemasyarakatan, orang tersebut akan

menyandang status narapidana dan mejalani pembinaan yang telah diprogramkan.

Mangunhardjana (2006:14) mengatakan pada awalnya pembinaan

narapidana di Indonesia menggunakan sistem kepenjaraan. Model pembinaan

seperti ini sebenarnya sudah dijalankan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dasar

hukum yang digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah reglemen penjara, aturan

ini telah digunakan sejak tahun 1917. Bisa dikatakan bahwa perlakuan terhadap

narapidana pada waktu itu adalah seperti perlakuan penjajah Belanda terhadap

pejuang yang tertawan. Narapidana diperlakukan sebagai obyek semata yang

dihukum kemerdekaanya, tetapi tenaga mereka seringkali dipergunakan untuk

kegiatan-kegiatan fisik. Ini menjadi sistem kepenjaraan jauh dari nilai kemanusian
dan hak asasi manusia. Dengan demikian tujuan diadakannya penjara sebagai

tempat menampung para pelaku tindak pidana yang dimaksudkan untuk membuat

jera (regred) dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu peraturan-perturan

dibuat keras, bahkan sering tidak manusiawi.

Konsepsi sistem baru pembinaan narapidana menghendaki adanya undang-

undang pemasyarakatan. Harsono (205:23) berpendapat undang-undang ini

menghilangkan liberal kolonial narapidana juga tidak dibina tetapi dibiarkan,

tugas penjara pada waktu itu tidak lebih dari mengawasi narapidana agar tidak

membuat keributan dan tidak melarikan diri dari penjara. Pendidikan dan

pekerjaan hanya diberikan untuk mengisi waktu luang, namun dimanfaatkan

secara ekonomis, membiarkan seseorang dipidana mejalani pidana tanpa

memberikan pembinaan untuk merubah perilaku narapidana. Bagiamanapun juga

narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke

arah perkembangan yang positif, yang mampu merubah seseorang menjadi

produktif.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada pasal

14, sangat jelas mengatur hak-hak seorang narapidana selama menghuni lembaga

pemasyarakatan yaitu :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d. Mendapatkan pengajaran dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang

tidak dilarang.

g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu

lainnya.

h. Mendapatkan upah atau premi atas perkerjaan yang telah dilakukan.

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat.

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

m. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai perundangan yang berlaku.

2. Komponen Pembinaan Narapidana

Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan

dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung guna mencapai keberhasilan yang

ingin dicapai. Sarana dan prasarana menurut Susetyo (2013:5) meliputi :

a. Sarana Gedung Pemasyarakatan, merupakan representasi keadaan penghuni di

dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan

yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga

Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur

yang terkesan angker dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan

teralis besi menambah kesan seram penghuni.

b. Pembinaan narapidana, berupa sarana untuk pendidikan keterampilan di

Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun


dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga

tidak lagi berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang

diproduksikan di luar (hasil produksi perusahaan).

c. Petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan

belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu

sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh

bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang

dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam

melakukan pembinaan.

Dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan

orang dan harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Menurut

Harsono (2005:46), ada empat komponen penting dalam membina narapidana

yaitu diri sendiri, keluarga, masyarakat dan petugas pemerintah. Masing-masing

komponen tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

1. Diri sendiri

Proses pembinaan narapidana harus berangkat dari diri narapidana sendiri.

Narapidana sendiri yang harus melakukan proses pembinaan bagi diri sendiri,

pembinaan bukan muncul dari orang lain. Pengertian ini harus ditanamkan kepada

setiap narapidana, kalau seorang narapidana ingin merubah diri sendiri kearah

perubahan yang lebih baik, yang lebih positif. Kemauan untuk membina diri

sendiri, harus muncul dari hati sanubari yang paling dalam. Seseorang yang ingin

merubah diri sendiri harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain :


a. Kemauan atau hasrat,

b. Kepercayaan diri,

c. Berani mengambil keputusan,

d. Berani menanggung resiko,

e. Termotivasi untuk terus-menerus merubah diri.

2. Keluarga

Dalam pembinaan narapidana peran keluarga sangatlah besar. Keluarga

harus ikut aktif dalam membina narapidana, karena keluarga adalah orang paling

dekat dengan keluarga. Hanya keluarga yang harmonis saja yang berperan positif

dalam pembinaan narapidana, tapi kalau seandainya narapidana berasal dari

keluarga yang harmonnis, maka peran membina narapidana kurang berhasil dan

harus mendapatkan perhatian. Keluarga yang melakukan pembinaan terhadap

anggota keluarganya yang menjadi narapidana, keluarga diharapkan tetap

menggunakan haknya untuk ikut berperan aktif. Peran aktif tersebut didasarkan

atas berbagai pertimbangan yaitu :

a. Narapidana adalah bagian dari keluarga

b. Perlu adanya kerjasama antara keluarga dan Lembaga

Pemasyarakatan/Rutan dalam membina narapidana.

c. Perlu sumbang saran, komunikasi timbal balik dari keluarga dan pihak

Lembaga Pemasyarakatan/Rutan dalam membina narapidana.

d. Perlu pembinaan yang terus menerus oleh pihak keluarga terhadap anggota

keluarga yang menjadi narapidana.


Pembinaan yang dilakukan oleh keluarga harus diterapkan secara terus

menerus, misalnya dengan kunjungan rutin. Kunjungan rutin sangat penting

artinya bagi narapidana, karena narapidana merasa tetap diperhatikan oleh

keluarganya, sekalipun telah melakukan tindakan yang tersesat.

3. Masyarakat

Peran serta masyarakat, dalam hal ini para pejabat masyarakat tingkat

pedesaan, kecamatan dan para pemuka masyarakat, pemuka agama, dimana

narapidana tinggal sebelum menjalani pidana, diharapkan mampu memberikan

pembinaan angggota masyarakat yang menjadi narapidana. Bentuk pembinaan

dapat berupa memberikan perhatian atau bantuan kepada keluarga yang anggota

keluarganya menjadi narapidana, misalnya dengan mempermudah dalam

memberikan surat keterangan untuk menjenguk keluarga di Lembaga

Pemasyarakatan.

Secara formal, peran masyarakat dalam ikut serta membina narapidana atau

mantan narapidana tidak terdapat dalam undang-undang. Namun secara moral

peran serta dalam membina narapidana atau bekas narapidana sangat diharapkan

peran serta masyarakat umtuk mendukung pembinaan narapidana.

Kepedulian masyarakat sangat diperlukan dalam ikut serta membina

narapidana atau mantan narapidana. Secara formal, peran masyarakat dalam ikut

serta membina narapidana atau mantan narapidana tidak terdapat dalam undang-

undang. Namun secara moral, peran serta dalam membina narapidana atau bekas

narapidana sangat diharapkan. Disamping masyarakat, maka banyak kelompok


masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga bantuan hukum, dan aparat

pemerintah yang dapat ambil bagian dalam pembinaan masyarakat.

4. Petugas Pemerintah

Peran serta petugas pemerintah dan kelompok masyarakat, sangat besar

pengaruhnya dalam pembinaan narapidana. Karena secara aktif petugas

pemerintah dan kelompok masyarakat sudah melembaga dalam ikut serta

membina narapidana. Pembinaan yang dilakukan harus dimulai sejak seseorang

berstatus sebagai tersangka. Pihak kepolisian dapat melakukan pembinaan atau

tindakan-tindakan yang positif guna memberantas menjalarnya penyakit-penyakit

masyarakat, sesuai dengan tugas dan wewenang kepolisian.

Untuk melaksanakan pembinaan narapidana dilakukan oleh petugas

Lembaga Pemasyarakatan, di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun

1995 tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa petugas lembaga pemasyarakatan

adalah pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan,

pengamanan, dan pembimbingan warga binaan atau narapidana. Dalam hal ini

yang dimaksud petugas lembaga pemasyarakatan menurut Harsono (2005:51)

dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keamanan, petugas sosial,

petugas lembaga pemasyarakatan, hakim dan lainnya.

Dalam pembinaan narapidana, menurut Harsono (2005:70) ada sepuluh

prinsip dan bimbingan bagi narapidana antara lain sebagai berikut :

a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal

hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
b. Penjatuhan pidana bukan merupakan tindakan pembalasan dendam dari

negara.

c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

bimbingan.

d. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk daripada sebelum

narapidana masuk penjara.

e. Selama kehilangan kemerdekaan, narapidana harus dikenalkan kepada

masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi

waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja.

Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.

g. Bimbingan dan didikan harus diadakan berdasarkan asas Pancasila.

h. Tiap orang adalah manusia dan harus diberlakukan seperti manusia, meski

narapidana telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana

bahwa narapidana adalah penjahat.

i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

j. Sarana fisik lembaga pemasyarakatan dewasa ini merupakan hambatan

pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

3. Tahapan Pembinaan Narapidana

Berbeda dari sistem kepenjaraan maka dalam sistem baru pembinaan

narapidana tujuannya adalah meningkatkan kesadaran narapidana akan

eksistensinya sebagai manusia. Kesadaran menjadi tujuan pembinaan narapidana,


maka Harsono (2005:48-50) merumuskan cara pencapaiannya dilakukan dengan

berbagai tahapan sebagai berikut :

a. Mengenal diri sendiri, dalam tahap ini narapidana dibawa dalam suasana

dan situasi yang merenungkan, menggali dan mengenali diri sendiri.

b. Memiliki kesadaran beragama, kesadaran terhadap kepercayaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, sadar sebagai mahkluk Tuhan yang mempunyai

keterbatasan dan sebagai mahkluk yang mampu menentukan masa depannya

sendiri.

c. Mengenal potensi diri, dalam tahap ini narapidana dilatih untuk mengenali

potensi diri sendiri. Mampu mengembangkan potensi diri, mengembangkan

hal-hal yang positif dalam diri sendiri, memperluas cakrawala pandang,

selalu berusaha untuk maju dan selalu berusaha untuk mengembangkan

sumber daya manusia, yaitu diri sendiri.

d. Mengenal cara memotivasi, adalah mampu memotivasi diri sendiri ke arah

yang positif, ke arah perubahan yang lebih baik.

e. Mampu memotivasi orang lain, narapidana yang telah mengenal dirinya

sendiri, telah mampu memotivasi diri sendiri diharapakan mampu

memotivasi orang lain, kelompoknya, keluarganya dan masyarakat

sekelilingnya.

f. Mampu memiliki kesadaran yang tinggi, baik untuk diri sendiri, keluarga,

kelompoknya, masyarakat sekelilingnya, agama, bangsa dan negaranya. Ikut

berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negara.


g. Memiliki kepercayaan diri yang kuat, narapidana yang telah mengenal diri

sendiri diharapkan memiliki kepercayaan yang kuat, percaya akan Tuhan,

percaya bahwa diri sendiri mampu merubah tingkah laku, tindakan, dan

keadaan diri sendiri untuk lebih baik lagi.

h. Memiliki tanggung jawab, mengenal diri sendiri merupakan upaya untuk

membentuk rasa tanggung jawab. Jika narapidana telah mampu berpikir,

mampu mengambil keputusan dan bertindak, maka narapidana harus

mampu pula untuk bertanggung jawab sebagai konsekuensi atas langkah

yang telah diambil.

i. Menjadi pribadi yang utuh, pada tahap yang terakhir ini diharapakan

narapidana akan menjadi manusia dengan kepribadian yang utuh, mampu

menghadapi tantangan, hambatan, halangan, rintangan dan masalah apapun

dalam setiap langkah dan kehidupannya.

Tujuan dilakukannya pembinaan narapidana yaitu untuk memperbaiki dan

meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada

di dalam lembaga pemasyarakatan, dengan kata lain tujuan pembinaan adalah

menjadikan narapidana menjadi warga negara yang baik.

Tahap pembinaan narapidana menurut Harsono (2005:52) dilakukan melalui

3 tahap pembinaan yaitu :

1. Tahap awal (awal masuk s.d 1/3 masa pidana)

Pada tahap ini pembinaannya meliputi pemeriksaan badan maupun barang

bawaan, pendataan data diri narapidana, pemberian barang invertaris. Setelah ini

bagi narapidana tindak pidana ringan mereka bisa langsung mengikuti kegiatan
pembinaan, namun bagi narapidana tindak pidana berat harus melalui proses

kurungan sunyi terlebih dahulu.

2. Tahap pembinaan I (1/3 s.d 1/2 masa pidana)

Pada tahap ini narapidana menjalani pembinaan kedisiplinan dan ketertiban,

pembinaan mental (agama dan kerokhanian), pembinaan intelektual dan wawasan

kebangsaan, keterampilan dan pembinaan fisik. Semua pembinaan ini bertujuan

untuk menjadikan narapidana sebagai manusia yang lebih baik dan mampu

bertanggungjawab.

3. Tahap pembinaan II (1/2 sampai akhir masa pidana)

Pada tahap ini pembinaannya diarahkan pada pembauran atau perlibatan

dengan masyarakat luar, kegiatan yang biasanya dilakukan antara lain : cuti

mengunjungi keluarga, pelepasan bersyarat, cuti menjelang bebas, kerja bakti,

olahraga, ibadah di luar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kesadaran

kepada narapidana untuk secepatnya bisa menyerap dan menyesuaikan diri

dengan norma yang berlaku dan berkembang di masyarakat.

4. Ruang Lingkup Pembinaan Narapidana

Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan, dan bimbingan yang perlu

dilakukan oleh petugas adalah memperbaiki tingkah laku narapidana

pemasyarakatan agar tujuan pembinaan dapat tercapai. Menurut Sudjatno (2004)

ruang lingkup pembinaan dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni :


1. Pembinaan Kepribadian meliputi :

a. Pembinaan kesadaran beragama

Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama member

pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibat-

akibat dari perbuatannya yang benar dan perbuatan yang salah.

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara

Upaya yang dilaksanakan melalui pendidikan Pancasila termasuk

menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik, dapat

berbakti bagi bangsa dan negara. Mereka perlu disadarkan bahwa berbakti

untuk bagsa dan negara adalah sebagian dari iman (takwa).

c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)

Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir warga

binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapt menunjang

kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan.

Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal

maupun informal. Pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan

ketentuan yang telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat

ditingkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Pendidikan non formal

diselenggarakan melalui kursus-kursus, latihan keterampilan dan

sebagainya.

d. Pembinaan kesadaran hukum

Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan

dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai


kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat

menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum

dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,

ketertiban, ketentraman, kepastian hukum, dan terbentuknya perilaku setiap

warga negara Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum

bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga yang sadar hukum yang

dibina selama berada di lingkungan pembinaan maupun setelah berada

kembali ditengah-tengah masyarakat

e. Pembinaan mengintegrasi diri dengan masyarakat

Pembinaan di bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial

kemasyarakatan yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah

diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya.

2. Pembinaan Kemandirian

Pembinaan kemandirian diberikan dalam Lembaga Pemasyarakatan melalui

program-program :

a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya : kerajinan

tangan, industri rumah tangga, reparasi mesin dan alat-alat elektronik.

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya

pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan

setengah jadi (contoh mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga).

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing. Dalam

hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu diusahan pengembangan
bakat itu. Misalnya memilki kemampuan di bidang seni, maka diusahakan

untuk disalurkan ke perkumpulan-perkumpulan seniman untuk dapat

mengembangkan bakat sekaligus mendapatkan nafkah.

d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian

(perkebunan) dengan menggunakan teknologi biasa atau teknologi tinggi,

misalnya industry kulit, industri pembuatan sepatu.

C. Pemasyarakatan Narapidana

Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan, menyatakan bahwa Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk

melakukan pembinaan Narapidana Pemasyarakatan berdasarkan sistem,

kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem

pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan, Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan

batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila

yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat

untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari

kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.
Sistem pemasyarakatan ini menggunakan falsafah Pancasila sebagai dasar

pandangan, tujuannya adalah meningkatkan kesadaran narapidana akan

eksistensinya sebagai manusia diri sendiri secara penuh dan mampu melaksanakan

perubahan ini ke arah yang lebih baik dan lebih positif. Kesadaran yang semacan

ini merupakan hal yang patut diketahui agar dapat memahami arti dan makna

kesadaran secara benar dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Priyatno (2013:109) berpendapat bahwa : Pemasyarakatan merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian

integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Dengan

demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara

pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari satu rangkaian proses penegakan hukum.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem peradilan

pidana terpadu yang kegiatannya untuk melakukan pembinaan narapidana di

dalam Lembaga Pemasyarakatan, dengan cara terpadu antara pembina, yang

dibina dan masyarakat. Menurut Harsono (2005:5), sebagai sebuah sistem maka

pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling

berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Didalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu

ini sangat tampak keterkaitan dari tiap sub sistem meskipun tiap-tiap sub sistem

mempunyai aturan yaitus undang-undang dan struktur organisasi sendiri-sendiri,

namun dalam penyelesaian perkara pidana merupakan satu mata rantai yang tidak

bisa dipisahkan dari mulai penangkapan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan

sampai akhirnya terpidana dibina dalam Lembaga Pemasyarakatan.


Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana yang

memandang narapidana sesuai dengan fitrahnya baik selaku pribadi, anggota

masyarakat maupun mahluk Tuhan menempatkan narapidana bukan semata-mata

sebagai alat produksi. Sistem pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan

terhadap narapidana memandang pekerjaan bagi narapidana bukan semata-mata

dimaksudkan untuk tujuan komersial yang bersifat profit oriented namun lebih

dimaksudkan sebagai media bagi narapidana untuk mengaktualisasikan dirinya.

Tujuan dari pemasyarakatan menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan

diselenggarakan dalam rangka untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan

menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan

tidak mengulangi pidananya, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara

wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Lembaga Pemasyarakatan selain punya tujuan, juga ada fungsinya seperti

yang diatur pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, dinyatakan

juga bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan

pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga

dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan

bertanggungjawab.

Sasaran pelaksanaan sistem pemasyarakatan pada dasarnya juga bagi

terwujudnya pemasyarakatan yang merupakan bagian dari upaya meningkatkan

ketahan sosial dan ketahanan nasional, serta merupakan indikator-indikator yang


digunakan untuk mengukur tentang sejauh mana hasil-hasil yang dicapai dalam

pelaksanaan sistem pemasyarakatan sebagai berikut :

a. Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitasnya;

b. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan

gangguan keamanan dan ketertiban;

c. Meningkatkan secara bertahap jummlah narapidana yang bebas sebelum

waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi;

d. Semakin menurunnya dari tahun ketahun angka residivis;

e. Semakin banyaknya jenis-jenis institusi sesuai dengan kebutuhan berbagai

jenis atau golongan narapidana;

f. Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja dibidang

industri dan pemeliharaannya adalah 70:30;

g. Persentase kematian dan sakit dari narapidana pemasyarakatan sama dengan

persentase di masyarakat;

h. Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada

umumnya;

i. Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara; dan

j. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan

proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan

semakin berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dalam Lembaga

Pemasyarakatan.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji mengenai Pelaksanaan

Fungsi Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Rokan

Hulu adalah metode penelitian kualitatif. Moeleong (2009:6) mendefinisikan

penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara

deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah. Dengan tipe penelitian

deskriptif yaitu menggambarkan variabel demi variabel dengan tujuan untuk

mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada dan

mengidentifikasikan masalah dan memeriksa kondisi dan praktik-praktik yang

berlaku.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Pasir Pengaraian yang terletak di jalan Pengayoman Pasir Pengaraian Kabupaten

Rokan Hulu.
C. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir

Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu dan sampel yang dipilih oleh peniliti yakni di

Lembaga Pemasyarakatan dalam hal ini yaitu :

a. Kepala seksi pembinaan/pembimbingan Lembaga Pemasyarakatan atau

jajarannya yang berwenang.

b. Petugas Lembaga Pemasyarakatan.

c. Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Teknik Penarikan Sampel

Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sensus

dan purposive sampling. Teknik sensus untuk Kepala seksi pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan atau jajarannya yang berwenang dan petugas lembaga

pemasyarakatan. Teknik sensus digunakan karena jumlah populasi relatif kecil

dan mudah dijumpai. Sementara itu, untuk narapidana menggunakan teknik

purposive sampling dengan harapan kriteria sampel yang diperoleh benar-benar

sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan dan mengerti dengan proses

pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir Pengaraian

Kabupaten Rokan Hulu.


E. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini, sumber data yang digunakan yaitu :

1. Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari

informan di lapangan yaitu melalui wawancara mendalam (indept interview)

dan observasi. Berkaitan dengan hal tersebut, wawancara mendalam

dilakukan kepada narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu dan pihak yang terkait dalam

pembinaan seperti ustad, polisi, pengacara dan lain-lain.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak

langsung dari informan di lapangan, seperti dokumen dan sebagainya.

Dokumen tersebut dapat berupa buku-buku dan literature lainnya yang

berkaitan serta berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti. Data

sekunder yang peneliti gunakan yaitu data diri dari narapidana, data pegawai

Lembaga Pemasyarakatan dan foto proses pembinaan.

F. Teknik Pengumpulan data

1. Observasi

Observasi yaitu peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap

kegiatan-kegiatan dan tahap-tahap selama proses pembinaan narapidana


untuk mendapatkan data yang akurat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

B Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan maksud tertentu.

Wawancara secara mendalam dan ditujukan kepada informan dan responden

untuk mengetahui identitas responden bagaimana aktivitas fisik, mental dan

tingkah laku responden. Dalam hal ini peneliti mengadakan wawancara

langsung dengan warga binaan dan petugas Lembaga Pemasyarakatan

Kabupaten Rokan Huku. Wawancara dilakukan dengan membuat instrumen

pertanyaan untuk diajukan kepada yang diwawancarai yaitu warga binaan

dan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir Pengaraian

Kabupaten Rokan Hulu terkait dengan pola pembinaan narapidana warga

binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Rokan Hulu guna

memperoleh data untuk hasil penelitian.

3. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan untuk memperoleh keadaan lokasi penelitian yang

dilakukan dengan cara pencatatan atau pendokumentasian yang

berhubungan dengan masalah yang akan diteliti mengenai hal-hal atau

variable yang berupa catatan, buku, arsip, notulen rapat, dan sebagainya

(Arikunto, 2010:274). Metode dokumentasi dilakukan dengan maksud untuk

mempertajam metodologi dan memperdalam kajian teoritis. Dokumentasi


yang peneliti peroleh di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Pasir

Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu selama penelitian berlangsung untuk

mencari data-data mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pola

pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Rokan

Hulu.

G. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif dimana

penulis tidak hanya memberikan penilaian terhadap data yang ada, tetapi akan

lebih memprioritaskan pada gambaran situasi atau secara umum disebut dengan

pendeskripsian atau deskriptif analisa. Proses analisa dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, seperti pengamatan (observasi)

dan wawancara. Setelah data terkumpul secara lengkap dan menyeluruh, maka

data dikelompokkan berdasarkan sumber, jenis dan bentuk data, selanjutnya akan

dibahas dalam dua bentuk. Data yang bersifat kuantitatif akan diuraikan dalam

bentuk tabel, sementara itu data yang bersifat kualitatif diuraikan dengan lengkap

dan rinci dalam bentuk kalimat, kemudian akan diambil kesimpulan dari hasil

penelitian yang dilakukan dengan mendapatkan gambaran yang sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pratik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Dirjen Pemasyarakatan. 2008. Pembaharuan Pelaksanaan Sistem

Pemasyarakatan. Jakarta : Dirjen Pemasyarakatan.

Harsono Hs. 2005. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Djambatan.

Idrus, Muhammad, 2009. Metode Penelitian Sosial (Pendekatan Kualitatif dan

Kuantitatif) Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Maman, Rachman. 2010. Metode Penelitian Moral. Semarang: UNNES PRES

Mangundharjana A. 2005. Pengembangan : Arti Dan Metodenya. Yogyakarta

:Kanisius.

Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Muladi. 2006. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: PT. Alumni.

Priyatno, Dwidja. 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia.

Bandung: PT Refika Aditama.

Reksodiputro, Mardjono. 2004. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan

Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan

Keadilan dan Pengabdian Hukum dan Lembaga Kriminologi UI.

Sari, Erliana Purnama. 2009. Proses Penempatan Narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Terbuka. Skripsi. Universitas Indonesia, Depok.


Sholehuddin M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali.

Sujatno, Adi. 2004. Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia

Mandiri. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum

dan HAM RI.

Susetyo, Heru. 2013. Sistem Pembinaan Narapidana berdasarkan Prinsip

Restorative Justice. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Anda mungkin juga menyukai