Anda di halaman 1dari 35

ACARA I

PEMBUATAN PRODUK DAN UJI KUALITAS PRODUK DAGING

A. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara I Pembuatan Produk dan Uji Kualitas
Produk Daging adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat menerapkan teknologi pengolahan dan uji kualitas produk
daging secara sederhana.
2. Mahasiswa terampil melakukan tahapan cara pengawetan daging sebagai
upaya untuk memperpanjang umur simpan.
3. Mahasiswa dapat mendeteksi kerusakan awal pada daging segar dan
produk daging.
4. Mahasiswa dapat melakukan penilaian organoleptik produk daging dengan
baik dan benar
B. Tinjauan Pustaka
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan tubuh hewan dan produk
hasil olahannya yang sesuai untuk dikonsumsi. Daging harus tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengonsumsinya. Termasuk ke
dalam definisi daging di atas adalah organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-
paru, jantung, limfa, pankreas dan jaringan otot. Secara umum, daging
mengandung sekitar 75%, dengan kisaran 68-80%, protein sekitar 19%
(16-22%), mineral 1% serta lemak sekitar 2,5% (1,5-13,0%). Protein asal
daging mengandung asam-asam amino esensial karena merupakan bahan
pangan yang sangat baik dipakai sebagai sumber protein hewani dalam
perbaikan gizi (Amertaningtyas, 2012).
Uji eber digunakan untuk mengetahui pembusukan pada daging yang
dilakukan dengan meletakkan daging di atas 5 ml reagen eber (HCL pekat +
alkohol 96% dengan rasio 1:3) dalam tabung reaksi. Tabung reaksi ditutup
rapat. Jika terdapat kabut berwarna putih, menandakan daging telah
membusuk. Kabut berwarna putih timbul sebagai akibat terbentuknya
ammonia yang bereaksi dengan asam klorida yang terdapat pada reagen eber
(Hadiwiyoto dkk., 2005).
Ciri-ciri daging yang segar yaitu daging sapi yang masih segar berwarna
merah, tidak pucat, tidak kotor. Daging sapi segar bertekstur kenyal yang
apabila ditekan sedikit daging tersebut, maka kembali keposisi semula. Aroma
daging yang segar biasanya memiliki aroma yang khassapi. Cairan merah mirip
darah yang terdapat pada daging bukanlah darah, melainkan sari dari daging
tersebut (Sarwan, 2015).
Suhu yang rendah, dapat menghambat penurunan nilai pH pada
daging. Hal ini dapat dilihat pada laju glikolisis daging yang dihambat oleh
rendahnya suhu sehingga penurunan pH terhambat antara pH 5,5 sampai
dengan 5,6. Daging dengan pH akhir yang rendah sekitar 5,1 sampai dengan
6,1 mempunyai struktur yang terbuka yang memudahkan penetrasi zat-zat
tertentu ke dalam daging seperti pada proses pengasinan daging. Struktur
terbuka ini diduga akan memudahkan masuknya enzim proteolitik dan zat
antimikroba. Kisaran pH optimal untuk aktivitas proteolitik adalah 5,0 sampai
dengan 6,0 (Komariah dkk, 2004).
Pembusukan daging antara lain disebabkan oleh penguraian bahan-
bahan organik oleh bakteri-bakteri yang menghasilkan gas dan bau busuk. Pada
umumnya, faktor yang mem-pengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada
daging ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging,
keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi
penghalang atau penghambat dan (b). Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur,
kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging.
Bakteri akan tumbuh optimal pada suhu 37C. Hasil uji Eber yang disimpan
pada suhu ruang lebih cepat mengalami awal pembusukan daripada daging
yang disimpan pada suhu chilling. Daging yang disimpan pada suhu ruang
270C lebih cepat mengalami awal pembusukan daripada yang disimpan pada
suhu chilling 20C. Warna daging pada suhu ruang berwarna merah kecoklatan
dan tampak lebih gelap dibandingkan dengan daging pada suhu chilling. Hal
ini disebabkan mioglobin mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi
kimia. Bila terkena udara, pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi
oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang, dan pada oksidasi lebih
lanjut akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang berwarna cokelat.
Timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena
udara bebas, sehingga menjadi rusak (Estoepangestie dkk, 2011).
Pembekuan adalah metode yang paling alami dalam mempersiapkan
daginguntuk penyimpanan lama, memungkinkan nilai gizi yang penuh pada
daging terjaga sebelum disajikan. Selama pembekuan dan penyimpanan beku,
daging mengalami perubahan kualitatif fisikokimia tertentu, jenis dan luas
yang sangat tergantung pada metode dan laju pembekuan. Sebagian besar
perubahan ini, termasuk perubahan konsistensi, perubahan warna atau berat
daging menurun terkait dengan pembentukan kristal es. Selama penyimpanan
beku, lipid mengalami beberapa perubahan, terutama autooksidasi dan
perubahan hidrolitik (Zymon et al, 2007).
Bakso merupakan daging yang dihaluskan, dicampur tepung pati,
dibentuk bulat-bulat dengan tangan sebesar kelereng atau lebih besar lagi dan
dimasak dengan air panas untuk dikonsumsi. Bakso umumnya dibuat
menggunakan daging pre-rigor agar dihasilkan bakso yang kenyal dan kompak.
Prinsip pembuatan bakso daging sapi terdiri atas empat tahap yaitu:
penghancuran daging, pencetakan bakso dan pemasakan
(Aulawi dan Ninsix, 2009).
Bahan baku dalam pembuatan bakso daging adalah daging sapi bagian
paha atas (top side, silver side) dan daging disekeliling tulang panggul, yang
benar-bear masih baru. Pada pembuatan bakso natrium polifosfat berfungsi
sebagai bahan perekat, karena dapat merekatkan butir-butir daging sapi
sehingga menyatu dengan baik dan dapat menghasilkan bakso dengan tekstur
lebih kenyal dan keras. Tepung digunakan sebagai bahan perekat dan bahan
pengisi adonan bakso, sehingga jumlah yang dihasilkan akan banyak
(Suprapti, 2003).
Cara paling mudah menilai mutu bakso adalah dengan menilai mutu
sensoris atau mutu organoleptiknya. Penampakan bakso daging yaitu bentuk
bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, serta tidak kusam.
Warna bakso daging yaitu cokelat muda cerah sedikit kemerahan atau coklat
muda agak keputihan. Bau khas daging segar rebus, bau cukup tajam. Rasa
lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol. Tekstur
kompak elastiskenyal, tetapi tidak liat tidak membal (Wibowo, 2014).
Berdasarkan mutunya, daging ayam dibedakan menjadi dua, yaitu dark
meat dan white meat. White meat adalah daging ayam yang memiliki mutu
bagus dan menyehatkan, misal daging bagian dada. Dark meat adalah daging
ayam dengan mutu kurang bagus dan kurang baik bagi kesehatan, misalnya
daging bagian paha dan sayap (Yuyun, 2007).
Chicken nugget saat ini merupakan produk yang sangat disukai
konsumen sebagai makanan cepat saji di seluruh dunia. Chicken nugget dibuat
dengan menggunakan daging ayam, protein nabati, karet dan proporsi yang adil
kulit ayam. Setelah dilakukan formulasi adonan, nugget direndam dalam media
penggorengan untuk pra-goreng sebelum dikemas. Pilihan media menggoreng
untuk menggoreng chicken nugget dapat bervariasi tergantung pada biaya serta
preferensi produsen makanan. Selama menggoreng nugget, sebagian besar
produkdekomposisi yang terbentuk mempengaruhi kualitas fungsional,
sensorik dan gizi minyak dan produk yang digoreng (Ali et al., 2014).
Nugget adalah suatu bentuk olahan daging yag terbuat dari daging
gling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dan dilapisi dengan
tepung berbumbu. Nugget dikonsumsi setelah proses penggorengan rendam.
Produk nugget dapat dibuat dari dagig sapi, ayam ikan dan lain lain. Bahan
baku daging untuk nugget dapat menggunakan bagian daging dari karkas yang
bernilai ekonomis rendah apabila dijual dalam bentuk yang utuh
(Evanuarini and Hari, 2011).
MSG (monosodium glutamat) murni sendiri tidak mempunyai rasa
yang enak jika tidak dikombinasikan dengan bau gurih yang sesuai. Sebagai
pemberi cita rasa dan dalam jumlah yang tepat, MSG memiliki kemampuan
untuk memperkuat senyawa aktif pada rasa lainnya, menyeimbangkan dan
menyempurnakan keseluruhan rasa pada masakan tertentu. MSG tercampur
dengan baik dengan daging sapi, ikan dan unggas Namun seperti perasa dasar
lain kecuali sukrosa, MSG menambah kesedapan hanya dalam kadar yang
tepat. MSG yang berlebihan akan dengan cepat merusak rasa masakan
(Eduardo et al., 2013).
Ikan tongkol yang sering dijumpai dibedakan menjadi tiga yaitu tongkol
krai dengan ciri khas memilikisirip dada yang pendek, letak sirip punggung
pertama dan kedua berjauhan. Tongkol jenis como atau biasa disebut dengan
tongkol lurik dengan ciri-ciri pada bagian punggung pertama dan kedua
berdekatan, terdapat beberapa titik hitam dibawah sirip dada. Tongkol abu-abu
dengan ciri khas warna badan sisi bawah dan perutnya putih keperakan dengan
titik-titik oval memanjang tidak berwarna. Sirip ekornya berwarna kehitam-
hitaman dengan streaks berwarna hijau kekuning-kuningan
(Purnomowati dkk, 2008).
Abon atau furikake merupakan produk kering, dimana penggorengan
merupakan salah satu tahap yang umumnya dilakukan dalam pengolahannya.
Pengolahan abon, baik abon daging maupun abon ikan, dilakukan dengan
menggoreng (deep frying). Deep frying adalah proses penggorengan dimana
bahan yang digoreng terenam semua dalam minyak. Pada proses penggorengan
sistem deep frying suhu yang digunakan adalah 170-200C dengan lama
penggorengan 5 menit, perbandingan bahan yang digoreng engan minyak
adalah 1:2. Pa frying merupakan proses penggorengan bahan dengan
menggunakan sedikit minyak dengan suhu permukaan dapat mencapai lebih
dari 100C. Lama penggorengan antara 30-60 menit atau tergantung bahan
yang digoreng (Dewi dkk, 2011).
Penambahan bahan berserat pada abon selain memberikan tekstur
berserat dari abon, juga menigkatkan warna dan volume abon. Kelemahan abon
ikan yang kurang serat adalah teksturnya yang lembut yang kadang
memberikan kesan seperti tepung dan tidak seperti abon dari daging hewan
darat pada umumnya yang cukup berserat. Selain itu karena serat pangan
berguna dan berdampak positif bagi kesehatan, maka abon yang kurang serat
kurang memberikan nilai positif bagi kesehatan (Hardoko dkk, 2015).
C. Metodologi
1. Alat
a. Uji pH
1. Alumunium foil
2. Gelas beker
3. Kertas lakmus pipet ukur
4. Pisau
5. Propipet
b. Uji Eber
1. Tabung reaksi
2. Kapas
3. Pipet ukur
4. Propiprt
5. Rak
6. Alumunium foil
7. Pisau
c. Bakso
1. Baskom
2. Blender
3. Kompor
4. Panci
5. Penumbuk
6. Pisau
7. Sendok
8. Solet
9. Telenan
10. Timbangan
d. Nugget
1. Baskom
2. Blender
3. Kompor
4. Penumbuk
5. Pisau
6. Sendok
7. Solet
8. Spatula
9. Telenan
10. Timbangan
11. Wajan
e. Furikake
1. Baskom
2. Kompor
3. Panci
4. Penumbuk
5. Pisau
6. Sendok
7. Solet
8. Spatula
9. Wajan
2. Bahan
a. Uji pH
1. Daging segar 5 gram
2. Daging refrigerator 5 gram
3. Daging beku 5 gram
4. Larutan eber
b. Uji Eber
1. Daging segar 5 gram
2. Daging refrigerator 5 gram
3. Daging beku 5 gram
4. Larutan eber
c. Bakso
1. Daging sapi 250 gram
2. Bawang putih
3. Garam
4. Lada
5. Tepung terigu
6. Tepung kanji
d. Nugget
1. Air es
2. Bawang putih
3. Daging ayam 25 gram
4. Garam
5. Lada
6. MSG
7. Polifosfat 0,25%
8. STPP
9. Tepung terigu
e. Furikake
1. Bawang merah
2. Bawang putih
3. Daun salam
4. Ebi
5. Garam
6. Gula merah
7. Ikan tongkol
8. Kacag tanah
9. Ketumbar
10. Lengkuas
11. Santan
12. Serai
13. Teri
3. Cara Kerja
a. Uji pH
Daging segar, daging refrigerator, daging
beku 5gr

Pemasukan kedalam gelas beker

Penambahan
Aquadest 5 ml

Pengamatan pH pada hari ke- 0, 2 dan 7

Gambar 1.1 Diagram Alir Uji pH

b. Uji Eber
Daging segar, daging refrigerator, daging
beku 5gr

Pemasukan kedalam tabung reaksi

Penambahan dan penutupan dengan kapas


Larutan Eber

Pengamatan kabut pada hari ke- 0, 2 dan 7

Gambar 1.2 Diagram Alir Uji Eber


c. Pembuatan Bakso
Daging 250 gram

Penggilingan

Bawang putih, garam, lada Penambahan bumbu

Pendiaman 5-10 menit

Tepung terigu, tepung kanji Pencampuran

Pembentukan adonan

Pemasakan dalam air mendidih hingga


mengapung

Pendinginan

Bakso

Gambar 1.3 Diagram Alir Pembuatan Bakso


d. Pembuatan Nugget

Daging ayam 250 gram

Penggilingan

MSG, garam 3,2gram, pilifosfat 0,25% Penambahan

Pendiaman 5-10 menit

Lada 1,3 gram, bawang putih, air es 44ml Penambahan

Pencampuran hingga rata

Tepung terigu 15 gram Penambahan

Pengadukan hingga kalis

Pembentukan adonan

Pendinginan dalam kulkas

Penggorengan

Penirisan

Nugget

Gambar 1.4 Diagram Alir Pembuatan Nugget


e. Pembuatan Furikake
Ikan tongkol, serai, daun salam

Perebusan 20 menit

Perebusan selama 30 menit


Penyuwiran

Bawang merah, bawang putih, gula


merah, ketumbar, garam (bumbu halus), 200 gr ikan suwir
lengkuas, santan

Minyak goreng Pemasakan hingga kering

Kacang tanah, teri, ebi Penambahan (bahan pelengkap)

Furikake
Gambar 1.5 Diagram Alir Pembuatan Furikake
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Uji pH pada Daging
Sampel Hasil uji pH hari ke-
0 2 7
Daging segar 6 9 9
Daging dingin 6 9 11
Daging beku 6 9 10

pH merupakan faktor penentu faktor penentu dari pertumbuhan


mikroba, maka pH akhir dari daging sangat penting untuk ketahanan
penyimpanan daging. Prinsip kerja dari uji pH adalah sampel dicincang,
ditambah aquades dan diuji dengan menggunakan kertas indikator pH.
Sepotong daging diletakkan pada gelas beker kemudian dimasukkan aquades
hingga tercampur dan diaduk hingga terbentuk endapan. Selanjutnya kertas
lakmus dicelupkan kemudian diamati perubahan warnanya dan disesuaikan
apakah pH daging tersebut bersifat asam atau basa
(Aritonang dan Mihrani, 2008). Uji pH berfungsi untuk mengetahui keasaman
suatu daging yang akan menguji seberapa besar tingkat kebusukan daging
tersebut derajat keasaman akan semakin meningkat seiring dengan tingkat
kebusukannya (Akhtar, 2013).
Langkah yang dilakukan untuk uji pH daging yaitu daging segar,
daging refrigerator, daging beku diambil 5 gram dicacah kecil dan dimasukkan
kedalam gelas beker. Aquadest sebanyak 5 ml ditambahkan. Kemudian
pengamatan dilakukan pada hari ke-0,2 dan 7 dengan mengunakan kertas
lakmus.
Berdasarkan Tabel 1.1 pengamatan uji pH pada hari ke-0 sampel
daging segar memiliki pH sebesar 6, untuk sampel daging beku memiliki pH 6,
dan sampel daging beku memiliki pH 6. Pada hari ke-2 sampel daging segar
memiliki pH 9, untuk sampel daging dingin memiliki pH 9 dan untuk sampel
daging beku memiliki pH 9. Pada hari ke-7 uji pH untuk sampel daging segar
memiliki pH 9, untuk sampel daging dingin pH nya 11 dan untuk sampel
daging beku pH nya 10.
Hasil praktikum tidak sesuai dengan teori Pambudi dkk (2014) yang
menyatakan bahwa pH pada daging segar menujukkan sifat asam yang masuk
kategori asam lemah (kadar pH 4,7-4,9), sedangkan pada daging busuk
menunjukkan kadar pH yang lebih kecil, yaitu masuk dalam kategori asam
kuat, dengan kadar pH 3,3-3,6. pH normal daging adalah 5,4-5,8. Faktor yang
berpengaruh terhadap pH daging diantaranya adalah stress sebelum
pemotongan, injeksi hormon atau obat-obatan, spesies, individu ternak dan
macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim dan terjadinya glikosis. Pengaruh
temperatur terhadap perubahan pH daging adalah sebagai akibat pengaruh
langsung dari temperatur terhadap glikolisis postmortem. Glikolisis adalah
pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa yang diawali dengan
degradasi glikogen secara enzimatik (glikogenolisis)
Estoepangestie dkk (2011),
Tabel 1.2 Uji Eber pada Daging Sapi Dengan Berberapa Perlakuan
Kelompok Sampel Hasil uji eber hari ke-
0 2 7
1,4,7,10 Daging segar + + ++
2,5,8 Daging dingin + + ++++
3,6,9 Daging beku + + +++
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
+ : Tidak mengandung gas
++ : Mengandung sedikit gas
+++ : Mengandung sedang gas
++++ : Mengandung banyak gas
Uji eber merupakan uji yang dilakuakan untuk mengetahui adanya
pembusukan pada daging dengan cara meletakkan daging dalam 5ml reagen
eber dalam tabung reaksi kemudian tabug reaksi ditutup rapat. Jika terdapat
kabut berwarna putih maka menandakan daging telah membusuk
(Hadiwiyoto, 2005). Fungsi uji eber adalah untuk mengetahui daya simpan
daging dan kualitas daging dimana untuk mengetahui pembusukan pada
daging. Pada uji eber jika daging mengalami pembusukan, maka daging akan
mengeluarkan gas NH3. Gas NH3 ini kemudian berikatan dengan asam kuat
(HCl) sehingga membentuk NH4Cl (gas). Daging yang busuk akan
menghasilkan gas putih pada dinding tabung raksi. Jika terjadi pembusukan,
maka pada uji ini ditandai dengan terjadinya pengeluaran asap di dinding
tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl)
sehingga akan membentuk NH4Cl (gas) (Dengen, 2015).
Langkah yang dilakukan untuk pengujian eber pada daging yaitu
sampel daging segar, daging refrigerator dan daging beku masing-masing
dicacah dimasukkan sebanyak 5 gram kedalam tabunng reaksi. Kemudian
larutan eber ditambahkan dan ditutup engan kapas. Pengamatan uji dilakukan
pada hari ke-0, 2 dan 7.
Berdasarkan tabel 1.2 pada sampel daging segar hari ke-0 sampel tidak
mengandung gas, untuk daging dingin sampel tidak mengandung gas, dan
untuk daging beku sampel juga tidak mengandung gas. Pada uji eber hari ke-2
sampel daging segar tidak mengandung gas, untuk sampel dagig beku tidak
mengandung gas, dan untuk sampel daging beku tidak mengandung gas. Pada
hari ke-7 sampel daging segar mengandung sedikit gas, untuk sampel daging
dingin mengandung banyak gas, dan untuk sampel daging beku mengandung
sedang gas. Sehingga didapatkan hasil pada uji eber hari ke-0 dan hari ke-2
sampel tidak menganung gas artinya sampel dagig masih bagus tetapi pada hari
ke-7 mulai terlihat adanya kebusukan.
Berdasarkan praktikum sampel yang paling baik yaitu daging segar
kemudian daging beku dan untuk daging yang paling tidak bagus yaitu daging
dingin. Hasil praktikum tidak sesuai dengan teori Estoepangestie dkk (2011),
yang menyebutkan bahwa hasil uji eber yang disimpan pada suhu ruang lebih
cepat megalami awal pembusukan daripada daging yang disimpan pada suhu
chilling. Menurut Dengen (2015), hal tersebut bisa disebabkan oleh adanya
mikroba yang mengkontaminasi yang dapat menyebabkan kebusukan.
Kontaminasi dapat terjadi pada saat proses penyembelihan seperti dari alat-alat
penyembelihan, bangunan, kontak oleh manusia, dan kontak antar karkas.
Bakteri yang sering berperan sebagai pembusuk adalah Pseudomonas,
Acinetobacter atau Moraxella, Aeromonas, Alteromonas putrefaciens,
Lactobacillus, dan Brochothrix thermosphacta.
Ciri-ciri daging yang busuk yaitu berbau busuk, bisa saja berjamur,
tidak elastis, berair, dan jika ditekan akan mengeluarkan air dan sudah tidak
berbau khas daging. Ciri-ciri daging segar adalah daging berwarna merah, tidak
pucat, tidak kotor, bertekstur kenyal yang apabila ditekan sedikit daging
tersebut akan kembali ke posisi semula, memiliki aroma khas daging dan
cairan merah mirip darah yang terdapat pada daging bukanlah darah melainkan
sari dari daging tersebut (Sarwan, 2015).
Menurut Prasetyo dan Kendriyanto (2010), penyimpanan daging segar
yaitu dengan refrigerator pada suhu dingin antara 0-4oC. Penyimpanan dingin
konvensional ini hanya berfungsi untuk mencegah daging cepat rusak secara
fisik dan oleh mikroba. Keasaman daging ditunjukkan dengan nilai pH. pH
ultimat daging sapi adalah 5,4-5,8 dan nilai pH daging dipengaruhi oleh
kandungan glikogen daging serta daya ikat air daging. Sapi yang diistirahatkan
sebelum disembelih akan mempunyai cadangan glikogen tinggi sehingga
berpengaruh baik pada kualitas daging. Nilai pH daging bisa juga dipengaruhi
aktivitas bakteri dalam daging yang mendukung terjadinya proses fermentasi
selama penyimpanan.
Menurut Zymon et al (2007), pembekuan adalah metode yang paling
alami dalam mempersiapkan daginguntuk penyimpanan lama, memungkinkan
nilai gizi yang penuh pada daging terjaga sebelum disajikan. Selama
pembekuan dan penyimpanan beku, daging mengalami perubahan kualitatif
fisikokimia tertentu, jenis dan luas yang sangat tergantung pada metode dan
laju pembekuan. Sebagian besar perubahan ini, termasuk perubahan
konsistensi, perubahan warna atau berat daging menurun terkait dengan
pembentukan kristal es. Selama penyimpanan beku, lipid mengalami beberapa
perubahan, terutama autooksidasi dan perubahan hidrolitik.
Suhu yang rendah, dapat menghambat penurunan nilai pH pada
daging. Hal ini dapat dilihat pada laju glikolisis daging yang dihambat oleh
rendahnya suhu sehingga penurunan pH terhambat antara pH 5,5 sampai
dengan 5,6. Daging dengan pH akhir yang rendah sekitar 5,1 sampai dengan
6,1 mempunyai struktur yang terbuka yang memudahkan penetrasi zat-zat
tertentu ke dalam daging seperti pada proses pengasinan daging. Struktur
terbuka ini diduga akan memudahkan masuknya enzim proteolitik dan zat
antimikroba. Kisaran pH optimal untuk aktivitas proteolitik adalah 5,0 sampai
dengan 6,0 (Komariah dkk, 2004).
Tabel 1.3 Hasil Uji Organoleptik Bakso
Kode Parameter
sampel Warna Rasa Aroma Tekstur Overall
123 3.12a 3.04bc 3.12a 2.80a 2.64a
231 3.24a 3.12c 3.24a 2.96a 3.52b
312 3.04a 2.08a 2.80a 2.76a 3.20b
214 3.12a 2.52ab 2.84a 2.84a 2.64a
Keterangan:
Nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
nilai yang berbeda nyata pada taraf signifikan 5%
Semakin besar nilai, menunjukkan tingkat kesukaan panelis tinggi
Kode sampel:
123 = Kanji 25 gram
231 = Terigu 25 gram
312 = Kanji 5 gram, terigu 20 gram
214 = Kanji 20 gram, terigu 5 gram
Bahan-bahan yang digunakan alam pembuatan bakso yaitu daging sapi,
bawang putih, garam, lada, tepung kanji, tepung terigu. Setiap bahan
mempunyai fungsi masing-masing, seperti daging, daging berfungsi sebagai
bahan utama pembuatan bakso dan memberi aroma dan rasa khas daging.
Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging segar yang segera
setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan sehingga dapat
menghasilkan bakso dengan kualitas baik. Daging yang banyak digunakan
untuk membuat bakso adalah daging penutup, pendasar, gandik, lemusir, paha
depan, dan daging iga (Sudrajat, 2007).
Penambahan tepung terigu agar adonan bakso tidak lengket. Sedangkan
penambahan tepung kanji digunakan sebagai pengenyal dan perekat alami.
Biasanya tepung kanji dicampur dalam adonan bakso agar lebih kenyal dan
tidak pecah ketika direbus. Garam dapur atau NaCl mempunyai fungsi untuk
meningkatkan cita rasa produk bakso, sebagai pelarut protein yaitu miosin
sehingga menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet karena dapat
mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan dan
untuk meningkatkan daya mengikat air. Garam dapat memperbaiki sifat
fungsional produk daging dengan mengekstrak protein miofibril dari sel-sel
otot selama perlakuan mekanis dan berinteraksi dengan protein otot selama
pemanasan sehingga terbentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air
bebas serta membentuk tekstur produk. Penambahan garam sebaiknya tidak
kurang dari 2% atau lebih dari 4% karena konsentrasi garam kurang dari 1,8%
menyebabkan rendahnya protein terlarut (Sudrajat, 2007).
Merica atau lada merupakan salah satu bahan bumbu untuk
memberikan kesan rasa pedas pada produk pangan serta dapat memperbaiki
rasa dan aroma. Manfaat lain untuk meningkatkan nafsu makan, karena efek
stimulan dalam saluran usus, sehingga memberikan reaksi rasa pedas dari
pengaruh non volatil ether extract yang terkandung alam merica
(Hasrati dan Rusnawati, 2011). Bawang putih yang digunakan sebagai bumbu
merupakan salah satu rempah yang biasa digunakan sebagai pemberi rasa dan
aroma makanan, bawang putih terutama ditujukan untuk menambah flavor
sehingga produk akhir mempunyai flavor yang menarik. Fungsi bawang putih
selain sebagai antimikrobia juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet
(Puspitasari, 2008).
Pembuatan bakso terdiri dari tahapan proses yaitu daging sapi
dibersihkan dan dipisahkan dari lemak dan uratnya lalu dipotong-potong kecil
(dicincang) baru di lakukan penggilingan hingga halus (lumat), penggilingan
ini bertujuan untuk mempermudah pembentukan adonan. Daging yang sudah
benar-benar halus (lumat) dan bersih siap untuk dicampurkan dengan bahan
lain. Daging yang telah lumat dicampur dengan tepung tapioka dan bumbu-
bumbu yang telah dihaluskan. Bila perlu digiling kembali, sehingga dihasilkan
adonan bakso yang benar-benar telah homogen dan benar-benar sudah halus.
Adonan yang telah dibentuk dituang ke dalam wadah dan siap untuk dibentuk
bola-bola kecil. Pencetakan dilakukan dengan tangan, dengan cara
mengepalngepal adonan dan kemudian ditekan sehingga adonan yang telah
memadat akan keluar berupa bulatan. Dapat juga digunakan sendok untuk
membentuknya. Adonan yang telah dibentuk langsung direbus dalam air yang
mendidih. Perebusan dilakukan sampai bakso matang, matangnya bakso
ditandai dengan mengapungnya bakso di atas permukaan air perebusan,
kemudian ditiriskan bakso dan setelah dingin dapat dikemas lalu dipasarkan
dan kemudian dikonsumsi (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Pada proses pembuatan bakso yang paling penting adalah proses
pencampuran bahan. Adonan bakso juga ditambahkan bumbu-bumbu. Bumbu
merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan bakso
dan berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk
olahan daging. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso
daging sapi adalah garam dapur halus dan bumbu penyedap yang terbuat dari
campuran bawang putih dan merica. Penambahan bumbu ini berfungsi untuk
meningkatkan nilai cita rasa dan aroma pada bakso (Wibowo, 2014).
Pada pembuatan bakso daging sapi sebanyak 250 gram digiling
kemudian ditambahkan bawang putih yang sudah dihaluskan, garam, dan lada,
lalu didiamkan selama 5-10 menit. Kemudian tepung terigu dan tepung kanji
dicampurkan dan dibentuk adonan bulat-bulat. Setelah itu dimasukkan dalam
air mendiih hingga mengapung, ditiriskan. Kemudian dilakukan uji
organoleptik.
Menurut Hasrati dan Rusnawati (2011), kenampakan bakso daging
adalah berbentuk bulat, halus, seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam
sedikitpun, tidak berjamur dan tidak berlendir. Warna bakso daging adalah
coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga
coklat muda agak keputih putihan atau abu abu. Dan warna tersebut merata
tanpa warna lain yang mengganggu. Bau bakso adalah bau khas daging segar
rebus dominan, tanpa bau tengik/ masam/ basi/ busuk dan bau bumbu cukup
tajam, tapi tidak berlebihan. Rasa bakso adalah memiliki rasa lezat, enak, rasa
daging sapi dominan dan rasa bumbunya cukup menonjol tetapi tidak
berlebihan. Tidak terdapat rasa asing. Tekstur bakso daging adalah kompak,
elastis, kenyal tetapi tidak membal , tidak ada serat dagingnya, tidak lembek,
tidak basah berair dan tidak rapuh.
Parameter uji organoleptik pada pembuatan bakso didasarkan pada
warna, rasa, aroma, tekstur dan overall. Pada pembuatan bakso digunakan
empat formulasi yang berbeda yaitu pada kode 123 formulasi penambahan
kanji 25 gram, kode 231 penambahan terigu 25 gram, kode 312 dengan
formulasi kanji 5 gram dan terigu 20 gram, kode 214 dengan formulasi kanji
20 gram dan terigu 5 gram. Pada parameter warna dari yang paling disukai
hingga yang paling tidak disukai yaitu kode 231 dengan nilai 3.24 dengan
formulasi penambahan terigu 25 gram kemudian kode 214 dan kode 123
dengan nilai pada kode 214 sebesar 3.12 dengan formulasi kanji 20 gram dan
terigu 5 gram, untuk kode 123 dengan nilai 3.12 dengan formulasi
penambahan kanji 25 gram. Untuk kode sampel yang paling tidak disukai
yaitu kode 312 dengan nilai 3.04 dengan formulasi kanji 5 gram dan terigu 20
gram. Pada parameter warna tidak ada beda nyata, sehingga perbedaan
formulasi yang digunakan tidak meyebabkan perbedaan warna.
Pada parameter rasa dari yang paling disukai hingga yang paling tidak
disukai yaitu kode 231 dengan nilai 3.12 dengan formulasi terigu 25 gram,
kemudian kode 123 dengan nilai 3.04 dengan formulasi kanji 25 gram. Lalu
kode 214 dengan nilai 2.52 dengan formulasi kanji 20 gram dan terigu 5 gram.
Untu kode sampel yang paling tidak disukai yaitu kode 312 dengan nilai 2.08
dengan formulasi kanji 5 gram dan terigu 20 gram. Pada parameter rasa ada
beda nyata, artinya perbedaan formulasi yang digunakan mempengaruhi rasa
bakso.
Pada parameter aroma dari yan paling isukai hingga yang paling tidak
disukai yaitu kode 231 dengan nilai 3.24 dengan formulasi terigu 25 gram,
kemudian kode 123 dengan nilai 3.12 dengan formulasi kanji 25 gram. Lalu
kode 214 dengan nilai 2.84 dengan formulasi kanji 20 gram dan terigu 5 gram.
Untuk kode sampel yang paling tidak disukai yaitu kode 312 dengan nilai
2.80 dengan formulasi kanji 5 gram dan terigu 20 gram. Pada parameter aroma
tidak ada beda nyata, sehingga perbedaan formulasi tiak menyebabkan
perbedaan aroma.
Pada parameter tekstur kode sampel dari yang paling disukai hingga
yang paling tidak disukai yaitu kode 231 dengan nilai 2.96 dengan formulasi
terigu 25 gram, kemudian kode 214 dengan nilai 2.84 dengan formulasi kanji
20 gram dan terigu 5 gram. Selanjutnya kode sampel 123 dengan nilai 2.80
dengan formulasi kanji 25 gram. Untuk kode sampel yang paling tidak disukai
yaitu kode 312 dengan nilai 2.76 dengan formulasi kanji 5 gram dan terigu 20
ram. Pada parameter tekstur tidak ada beda nyata, artinya perbedaan formulasi
tidak menyebabkan adanya perbedaan tekstur bakso.
Pada parameter overall atau secara keseluruhan kode sampel dari yang
paling disukai hingga yang paling tidak disukai yaitu pada kode sampel 231
dengan nilai 3.52 dengan formulasi terigu 5 gram. Kemudian kode 312 dengan
nilai 3.20 dengan formulasi kanji 5 gram dan terigu 20 gram. Kemudian kode
123 dan koe 214, pada kode sampel 123 dengan nilai 2.64 dengan formulasi
kanji 25 gram, untuk kode 214 dengan nilai 2.64 dengan formulasi kanji 20
gram dan terigu 5 gram. Pada parameter ini terdapat beda nyata, artinya
perbedaan formulasi mempengaruhi parameter secara kseluruhan.
Menurut Triatmojo (1992), kualitas bakso ditentukan antaralain oleh
banyaknya bahan pengisi atau pengikat yang ditambahkan. Pada umumnya,
bahan pengisi atau pengikat yang dipakai adalah bahan-bahan yang
mengandung pati. Substitusi daging dengan bahan pengisi dianjurkan
tidakmelebihi 50% karena dapat mempengaruhi komposisi, kualitas fisik
danorganoleptik produk. Selain itu penambahan air pada adonan bakso juga
mempengaruhi tekstur bakso yang dihasilkan. Air diberikan dalam bentuk es
batu atau air es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah.
Jumlah penambahan air biasanya berkisar antara 20-50% dari berat tepung
yang ditambahkan. Untuk menghasilkan tekstur adonan yang sama, semakin
banyak penambahan tepung semakin banyak air yang harus ditambahkan.
Tabel 1.4 Hasil Uji Organoleptik Nugget Ayam
Kode Parameter
sampel Warna Aroma Rasa Tekstur Overall
657 3.64ab 3.64ab 3.76ab 3.68a 3.84a
732 3.24a 3.34ab 3.48a 3.40a 3.60a
236 3.36ab 3.20a 3.64ab 3.44a 3.56a
273 3.72b 3.84b 4.04b 3.60a 3.92a
Keterangan:
Nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
nilai yang berbeda nyata pada taraf signifikan 5%
Semakin besar nilai, menunjukkan tingkat kesukaan panelis tinggi
Kode sampel:
657 = Penambahan STPP + garam + MSG
732 = Penambahan garam
236 = Penambahan STPP + garam
273 = Penambahan MSG + garam
Daging ayam merupakan bahan utama dalam pembuatan chicken
nugget. Daging ayam merupakan salah satu jenis pangan sumber protein yang
biasa digunakan dalam pembuatan nugget. Semakin segar daging semakin
bagus mutu nugget yang dihasilkan.bawang putih mempunyai aroma yang
sangat khas sekali dan merupakan salah satu bahan yang berfungsi sebagai
bumbu yang memberikan rasa gurih dan aroma yang harum dalam pembuatan
nugget. Bau khas dari bawang putih berasal dari minyak volatil yang
mengandung komponen sulfur. Penggunaan bawag putih dallam pembuatan
nugget dihaluskan agar bisa tercampur rata dalam adonan (Yuliani, 2013).
Fungsi MSG yaitu untuk meningkatkan rasa yang diinginkan dan
mengurangi rasa yang tidak diinginkan. MSG murni tidak berbau, tetapi
memiliki cita rasa yang nyata yaitu campuran rasa manis dan asin yang terasa
enak dimulut.fungsi tepung terigu pada nugget yaitu untuk memperbaiki sifat
elastis, warna dan kekuatan gel. Tepung terigu mengandung gluten yang tinggi
sehingga dapat mengikat air lebih banyak.tepung terigu mmengandung gluten
yang tinggi sehingga dapat mengikat air lebih banyak.STPP mempunyai fungsi
meningkatkan pH dan daya mengikat air, menurunkan penyusutan makanan
karena dapat mengurangi air yang hilang selama pemasakan, meningkatkan
keempukan dan menstabilkan warna dan keseragaman, sebagai antioksidan
serta meningkatkan mutu produk (Sudrajat, 2007).
Penambahan air es untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya
secara merata keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protei
serabut otot, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu
adonnan akibat pemanasan mekanis.selain itu penambahan air es juga
digunakan untuk menjaga kelembaban prouk akhir agar tidak kering,
meningkatkan keeempukan dan sari minyak (juiceness) daging. Jumlah air es
yang ditambahkan dalam adonan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air,
penambahan dianjurkan sebanyak 20% dari berat daging yang digunakan
(Sudrajat, 2007).
Lada atau merica merupakan salah satu bahan yang termasuk dalam
bumbu mempunyai aroma khas dan rasa sedikit pedas. Rasa pedas merica
isebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin, serta chavicia yang
merupakan persenyawaan dari piperin dengan alkaloida. Penggunaan lada atau
merica dalam pembuatan nugget agar mempunyai rasa sedikit pedas. Garam
merupakan komponen bahan makanan yang itambahkan dan digunakan untuk
penegas cita rasa dan bahan pengawet. Penggunaan garam tidak boleh terlalu
banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan
rasa produk menjadi asin. Konsentrasi garam yang ditambahkan biasanya
berkisar 2 sampai 3% dari berat daging yang digunakan (Yulianti, 2013).
Tahapan dalam membuat nugget menurut Yulianti (2013) yaitu:
a. Penimbagan bahan
Penimbangan bahan merupakan kegiatan menimbang semua bahan sesuai
dengan formula yang ditentukan. Semua harus ditimbang dengan benar
agar tidak terjadi kesalahan dalam pembuatan nugget.
b. Penggilingan
Tahap ini dilakukan untuk membuat tekstur daging ayam menjadi lebih
halus agar mudah dicampur dan dicetak dengan bahan lain.
c. Pencampuran bahan
Semua bahan dicampur dan diaduk agar menjai suatu adonan nugget yang
homogen. Pencampuran bahan meliputi ayam, MSG, garam, polifenol,
lada, bawang putih, air es an tpung terigu.
d. Pencetakan
Adonan nugget dicetak dengan rapi, pencetakannya dilakukan dengan cara
dibentuk degan tangan atau bisa juga dicetak dengan plastik.
e. Pemaniran
Pemaniran merupakan proses yang harus dilakukan dalam pembuatan
nugget. Dengan cara menutupi seluruh permukaan nugget degan tepung
roti atau tepung panir.hal ini dilakukan agar nugget mempunyai lapisan
tepung roti dan bertekstur renyah setelah digoreng
f. Pengggorengan
Penggorengan awal (pre frying) adalah langkah yang terpenting dalam
aplikasi pemaniran. Tujuan penggorengan awal adalah untuk
menempelkan perekat tepung pada produk. Penggorengan merupakan
proses termal yang umum dilakukan orang dengan menggunakan minyak
atau lemak pangan. Bahan pangan yang digoreng mempunyai permukaan
luar berwarna coklat keemasan. Warna yang muncul disebabkan karena
reaksi pencoklatan
Tahapan proses yang dapat menentukan mutu para nugget ialah pada
proses penggilingan dan penggorengan. Tahap penggilingan daging ini sangat
penting karena jika tidak ada protein yang terekstrak, maka serpihan daging
tidak dapat saling berikatan selama proses pemasakan dan tidak menghasilkan
produk yang bermutu baik. Kemudian pada tahap penggorengan, pada saat
nugget digoreng akan terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke
bahan pangan, dimana minyak goreng ini sebagai media pemindah panas yang
menyebabkan perubahan pada warna, aroma, rasa dan tekstur nugget
(Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Pembuatan nugget diawali dengan penyiapan daging ayam sebanyak
250 gram kemudian daging ayam digiling. Ditambahkan MSG, garam,
polifosfat 0,25% didiamkan selama 5-10 menit. Kemudian ditambahkan lada,
bawang putih, dan air es dan dicampur hingga rata, kemudian ditambahkan
tepug terigu sedikit demi sedikit dan diaduk hingga kalis. Adonan nugget
dibentuk sesuai keiinginan selanjutnaya diberi tepung panir atau tepung roti.
Nugget digoreng ditiriskan dan diuji organoleptik.
Pengujian organoleptik pada nugget ayam didasarkan pada empat
parameter yaitu warna, aroma, rasa, tekstur dan overall dengan penggunaan
empat formulasi yang berbeda. Untuk kode sampel 657 menggunakan
formulasi penambahan STPP + garam + MSG, untuk kode 732 dengan
formulasi penambahan garam, untuk kode 236 dengan formulasi penambahan
STPP + garam, dan untuk kode 273 dengan formulasi penambahan MSG +
garam. Pada parameter warna yang paling disukai hingga yng tidak disukai
yaitu kode 273 dengan nilai 3.72 dengan formulasi penambahan MSG +
garam, kemudian kode 657 dengan nilai 3.64 dengan formulasi penambahan
STPP + garam + MSG, lalu kode 236 dengan nilai 3.36 dengan formulasi
penambahan STPP + garam. Untuk kode yang paling tidak disukai yaitu kod
732 dengan nilai 3.24 dengan formulasi penambahan garam. Pada uji
organoleptik parameter warna terdapat beda nyata, artinya perbedaan
formulasi yang digunakan menyebabkan perbedaan warna yang dditimbulkan.
Pada parameter aroma dari yang paling disukai hingga yang tidak
disukai yaitu pada kode 273 dengan nilai 3.84 dengan formulasi penambahan
MSG + garam. Kemudian kode 657 dengan nilai 3.64 dengan formulasi
penambahan STPP + garam + MSG, kemudian kode 732 dengan nilai 3.34
dengan formulasi penambahan garam. Untuk kode sampel yang paling tidak
disukai yaitu koe 236 dengan nilai 3.20 dengan formulasi penambahan STPP
+ garam. Pada parameter aroma tidak ada beda nyata, sehingga perbedaan
formulasi menyebabkan adanya perbedaan aroma.
Pada parameter rasa dari yang paling disukai hingga yang paling tidak
disukai yaitu pada kode sampel 273 dengan nilai 4.04 dengan formulasi
penambahan MSG + garam, kemudian koe 657 dengan nilai 3.76 dengan
formulasi penambahan STPP + garam + MSG. Kemudian kode 236 dengan
nilai 3.64 dengan formulasi penambahan STPP + garam. Untuk kode yang
paling tidak disukai yaitu kode 732 dengan nilai 3.48 dengan formulasi
penambahan garam. Untuk parametr rasa ada beda nyata,berarti perbedaan
penambahan formulasi menyebabkan perbedaan rasa.
Pada parameter tekstur dari yang paling disukai hingga yang paling
tidak disukai yaitu pada kose 657 denga nilai 3.68 dengan formulasi
penambahan STPP + garam + MSG, kemudian kode 273 dengan nilai 3.60
dengan formulasi penambahan MSG + garam. Lalu kode 236 dengan nilai
3.44 dengan formulasi penambahan STPP + garam. Untuk kode 732 dengan
nilai 3.40 dengan formulasi penambahan gara. Pada parameter tekstur tidak
ada beda nyata, perbedaan penggunaan formulasi tidak menyebabkan
perbedaan tekstur.
Pada parameter overall kode sampel dari yang paling disukai hingga
yang paling tidak disukai yaitu pada kode 273 dengan nilai 3.92 dengan
formulasi penambahan MSG + garam, kemudian kode 657 dengan nilai 3.84
dengan formulasi penambahan STPP + garam + MSG. Kemudian kode sampel
732 dengan nilai 3.60 dengan formulasi penambahan garam. Untuk kode
sampel yang paling tidak disukai yaitu kode 236 dengan nilai 3.56 dengan
formulasi penambahan STPP + garam. Pada parameter overall atau secara
keseluruhan tidak ada beda nyata, berarti perbedaan penggunaan formulasi
tidak menyebabkan adanya perbedaan secara keseluruhan.
Menurut Permadi dkk. (2011), faktor yang mempengaruhi kualitas
nugget ayam yang dihasilkan diantaranya adalah pertama proses
penggorengan kemungkinan menyebabkan warna nugget menjadi agak coklat
karena adanya reaksi pencoklatan non-enzimatik dari gula pereduksi yang
dikandungnya, dimana warna pada daging olahan dapat diperoleh dari
pengaruh cara pengolahan dan bahan yang ditambahkan. Faktor kedua adalah
penggilingan atau pengecilan ukuran berfungsi agar area permukaan daging
meluas sehingga dapat terjadi ekstraksi protein. Ekstraksi protein sangat
penting karena apabila tidak terjadi ekstraksi maka daging tidak dapat
menyatu saat dimasak, dan hal ini dapat mempengaruhi tekstur nugget yang
dihasilkan. Faktor ketiga adalah rasa nugget kemungkinan merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap kesukaan panelis. Semakin enak rasanya
dan gurih, semakin besar tingkat kesukaan panelis terhadap produk nugget
yang disajikan, dan sebaliknya. Faktor yang terakhir adalah permukaan yang
halus dari nugget bukan merupakan karakteristik yang diharapkan oleh
konsumen. Lemak dalam bahan makanan dapat menyebabkan lebih enaknya
makanan tersebut, karena lemak dapat mengabsorpsi dan menambah flavor.
Tabel 1.5 Hasil Uji Organoleptik Furikake
Kode Parameter
sampel Warna Aroma Rasa Tekstur Overall
125 3.48b 3.32b 3.28b 3.00ab 3.32b
315 3.20b 2.92ab 3.12ab 3.01ab 3.12b
754 3.48b 3.20ab 3.56b 3.44b 3.52b
453 3.29a 2.84a 2.64a 2.76a 2.68a
Keterangan:
Nilai yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
nilai yang berbeda nyata pada taraf signifikan 5%
Semakin kecil nilai, menunjukkan tingkat kesukaan panelis kecil
Kode sampel:
125 = Tanpa penambahan (Kontrol)
315 = Penambahan kacang tanah
754 = Penambahan Ebi
453 = Penambahan Teri
Menurut Hardiyanto (2013), furikake adalah bumbu yang berupa
butiran tepung yang mirip dengan abon ikan yang ditaburkan diatas nasi.
Furikake dibuat dari campuran ikan teri dengan ikan cakalang yang tulangnya
kemudian ditumbuk dan dihaluskan. Dalam istilah Indonesia furikake sering
disebut dengan abon ikan.
Pembuatan furikake yaitu pertama ikan tongkol, serai dan daun salam
direbus selama 20 menit. Perebusan disertai serai dan daun salam bertujuan
agar tidak ada bau amis tongkol. Kemudian disuwir. Bumbu bawang merah,
bawang putih, gula merah, ketumbar, garam (bumbu halus), lengkuas santan
dicampur terlebih dahulu bumbu-bumbu dihaluskan. Kemudian ditambahkan
dengan 200 gram ikan tongkol yang disuwir. Minyak goreng dimasukkan
dalam wajan kemudian bahan dimasukkan dimasak hingga mengering.
Kemudian ditambahkan bahan pelengkap terdapat empat perbedaan formulasi
yaitu penambahan kacang tanah, penambahan ebi, penambahan teri dan
perlakuan kontrol (tanpa penambahan). Menurut Kusumayani dkk (2011),
proses pembuatan furikake atau abon ikan adalah sebagai berikut: ikan yang
sudah dicuci, dibersihkan kemudian disiangi, dikukus dan dicabik-cabik,
setelah itu ikan dimasukkan kedalam wajan, diberi bumbu, santan, lalu
digoreng hingga kering, abon yang sudah jadi kemudian ditiriskan atau dipress,
diangin-annginkann dan siap untuk dikemas.
Menurut Hadi (2013), proses pembuatan furikake terdiri dari perebusan
daging, penyeratan daging, penghalusan bumbu, pencampuran bumbu dengan
seratan daging, penggorengan dan pengepresan. Lama perebusan daging dan
lama penggorengan sangat berpengaruh terhadap sifat organoleptik, terutama
terhadap warna, bau, dan rasa. Perebusan daging berguna untuk membunuh
bakteri juga berguna untuk meningkatkan keempukan daging, tetapi perebusan
yang terlalu lama justru akan merusak protein daging dan daging menjadi
hancur sehingga sulit untuk dilakukan penyeratan daging.
Berdasarkan tabel 1.5 hasil uji organoleptik furikake dengan empat
formulasi berbeda yaitu kode 125 tanpa penambahan (kontrol), kode 315
penambahan kacang tanah, kode 754 penambahan ebi, dan kode 453 dengan
penambahan teri dan pengujian dengan lima parameter yaitu warna, aroma,
rasa, tekstur dan overall. Pada parameter warna yang paling disukai adalah
kode 125 dengan nilai 3.48 dan kode 754 dengan nilai 3.48, untuk kode 125
dengan formulasi tanpa penambahan (kontrol), untuk kode 754 dengan
formulasi penambahan ebi, kemudian kode 453 nilai 3.29 dengan formulasi
penambahan teri. Untuk yang tidak disukai kode 315 dengan nilai 3.20 dan
formulasi penambahan kacang tanah. Pada parameter warna terdapat beda
nyata, yang berarti perbedaan penambahan bahan tambahan menyebabkan
adanya beda nyata.
Untuk parameter aroma yang paling disukai kode 125 dengan nilai 3.32
dan formulasi tanpa penambahan, kemudian kode 754 dengan nilai 3.20 dan
formulasi penambahan ebi. Lalu kode 315 dengan nilai 2.92 dan formulasi
penambahan kacang tanah. Untuk yang tidak disuakai yaitu kode 453 dengan
nilai 2.84 dan formulasi penambaha teri. Pada parameter aroma terdapat beda
nyata yang berarti perbedaan formulasi penambahan bahan menyebabkan
adanya beda aroma
Untuk parameter rasa dari yang paling disukai hingga yang tidak
disukai yaitu pada kode 754 dengan nilai 3.56 dan formulasi penambahan ebi,
kemudian kode 125 dengan nilai 3.28 dan dengan tanpa penambahan apapun
(kontrol). Kemudian kode 315 dengan nilai 3.12 dengan formulasi penambahan
kacang tanah. Kemudian untuk kode yang tidak disukai yaitu kode 453 dengan
nilai 2.64 dengan formulasi penambahan teri. Pada parameter rasa terdapat
perbedaan nyata, sehingga pada perbedaan formulasi menimbulkan rasa yang
berbeda.
Pada parameter tekstur dari yang paling disukai hingga ynag tidak
disukai yaitu kode sampel 754 dengan nilai 3.56 dengan formulasi penambahan
ebi, kemudian kode 125 dengan nilai 3.28 dengan tanpa penambahan (kontrol).
Kemudian kode 315 dengan nilai 3.12 dengan formulasi penambahan kacang
tanah. Untuk sampe yang paling tidak disukai yaitu kode 453 dengan nilai 2.64
dengan formulasi penambahan teri. Pada parameter rasa terdapat beda nyata,
artinya perbedaan formulasi penambahan bahan menyebabkan adanya beda
nyata.
Pada parameter tekstur yang paling disukai yaitu kode 754 dengan nilai
3.44 dengan penambahan formulasi penambahan ebi, kemudian kode 315
dengan nilai 3.01 dengan penambahan formulasi kacang tanah. Lalu kode 125
dengan nilai 3.00 dengan tanpa penambahan formulasi (kontrol). Untuk kode
yang plaing tidak disukai yaitu kode 453 engan nilai 2.76 dengan formulasi
penambahan teri. Pada parameter tekstur ada beda nyata, jadi perbedaan
formulasi bahan tambahan menyebabkan adanya perbedaan tekstur.
Pada parameter overall atau secara keseluruhan kode sampel dari yang
paling disukai hingga yang tidak disukai yaitu kode sampel 754 dengan nilai
3.52 dengan formulasi penambahan ebi. Kemudian kode 125 degan nilai 3.32
dengan formulasi tanpa penambahan (kontrol). Lalu kode 315 dengan nilai
3.12 dengan formulasi penambahan kacang tanah. Untuk kode sampel yang
paling tidak disukai yaitu kode 453 dengan nilai 2.68 dengan formulasi
penambahan teri. Secara keseluruhan atau overall terdapat beda nyata artinya
perbedaan pformulasi penambahan bahan menyebabkan adanya perbedaan.
Pada proses pemasakan furikake ditambahkan juga kacang tanah dan
juga ikan teri. Penambahan kacang tanah dalam pemasakan furikake berfungsi
untuk menambah nilai gizi dari furikake karena dalam kacang tanah terdapat
sumber-sumber mineral penting seperti magnesium, tembaga, fosfor, kalium,
dan seng. Dalam kacang tanah juga mengandung resveratrol, salah satu
senyawa fitokimia yang merupakan senyawa alami yang berguna bagi
kesehatan. Kacang tanah juga kaya akan fitosterol yang sangat bermanfaat
untuk mereduksi penyakit kanker dan tumor (Astawan, 2009). Penambahan
ikan teri dalam pembuatan furikake juga digunakan untuk menambah nilai gizi
pada produk furikake yang dihasilkan, terutama kandungan kalsium. Ikan teri
dapat dimakan bersama tulangnya yang begitu kaya akan mineral kalsium.
Kalsium berfungsi untuk menjaga keseimbangan asam basa darah yang akan
mengoptimalkan pembentukan hormon-hormon yang ada dalam tubuh.
E. Kesimpulan
Kesimpulan dari acara I Pembuatan Produk dan Uji Kualitas Produk
Daging antara lain:
1. Uji pH dagingberfungsi untuk mengetahui keasaman suatu daging yang
akan menguji tingkat kebusukan daging keasaman akan semakin
meningkat seiring dengan kebusukan daging.
2. Pada praktikum uji pH daging segar memiliki pH akhir 9, daging dingin
pH akhir 11 dan daging beku pH akhir 10.
3. Fungsi uji eber adalah untuk mengetahui daya simpan daging dan kualitas
daging dimana untuk mengetahui pembusukan pada daging.
4. Pada praktikum uji eber daging yang mengalami kebusukan dan
menandakan kualitasnya jelek adalah daging dingin, daging beku,
daginng segar. Semakin banyak kabut atau gas semakin jelek kualitas
daging.
5. Bahan yang digunaakan dalam pembuatan bakso adalah daging sapi,
bawang putih, garam, lada, tepung kanji, tepung terigu.
6. secara keseluruhan kode sampel dari yang paling disukai hingga yang
paling tidak disukai yaitu pada kode sampel 231 dengan nilai 3.52 dengan
formulasi terigu 5 gram. Kemudian kode 312 dengan nilai 3.20 dengan
formulasi kanji 5 gram dan terigu 20 gram. Kemudian kode 123 dan koe
214, pada kode sampel 123 dengan nilai 2.64 dengan formulasi kanji 25
gram, untuk kode 214 dengan nilai 2.64 dengan formulasi kanji 20 gram
dan terigu 5 gram.
7. Pada parameter ini terdapat beda nyata, artinya perbedaan formulasi
mempengaruhi parameter secara kseluruhan
8. bahan yang digunakan dalam pembuatan nugget antara lain ayam, MSG,
STPP, garam, lada, air es, tepung terigu, bawang putih.
9. Pada parameter overall kode sampel dari yang paling disukai hingga yang
paling tidak disukai yaitu pada kode 273 dengan nilai 3.92 dengan
formulasi penambahan MSG + garam, kemudian kode 657 dengan nilai
3.84 dengan formulasi penambahan STPP + garam + MSG. Kemudian
kode sampel 732 dengan nilai 3.60 dengan formulasi penambahan garam.
Untuk kode sampel yang paling tidak disukai yaitu kode 236 dengan nilai
3.56 dengan formulasi penambahan STPP + garam.
10. Pada parameter overall atau secara keseluruhan tidak ada beda nyata,
berarti perbedaan penggunaan formulasi tidak menyebabkan adanya
perbedaan secara keseluruhan.
11. Bahan yang digunakan dalam pembuatan furikake antara lain ikan tongkol,
bawang merah, bawang putih, gula merah, ketumbar, garam, lengkuas,
santan, minyak goreng, serai, daun salam.
12. Pada parameter overall kode sampel dari yang paling disukai hingga yang
tidak disukai yaitu kode sampel 754 dengan nilai 3.52 dengan formulasi
penambahan ebi. Kemudian kode 125 degan nilai 3.32 dengan formulasi
tanpa penambahan (kontrol). Lalu kode 315 dengan nilai 3.12 dengan
formulasi penambahan kacang tanah. Untuk kode sampel yang paling
tidak disukai yaitu kode 453 dengan nilai 2.68 dengan formulasi
penambahan teri.
13. Secara keseluruhan atau overall terdapat beda nyata artinya perbedaan
pformulasi penambahan bahan menyebabkan adanya perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, Sehar., Khan, muhammad Issa., Faiz, Farrukh. 2013. Effect of Thawing on
Frozen Meat Quality: A Comprehensive Review. 23(4): 198-211.
Ali, M. A., Daud, A. S. M., Latip, R. A., Othman, N. H., and Islam, M. A.
2014.Impact of Chicken Nugget Presence on the Degradation of Canola Oil
during Frying. International Food Reasearch Journal, Vol. 21 (2).
Amertaningtyas, Dedes. 2012. Kualitas Daging Sapi Segar di Pasar Tradisional
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak 7 (1): 42-47.
Aritonang, Salam N. dan Mihrani. 2008. Pengaruh Pencucian dengan Larutan
Asam Asetat terhadap Nilai pH, Kadar Protein, Jumlah Koloni Bakteri dan
Daya Simpan Daging Ayam Kampung pada Penyimpanan Suhu Ruang.
Jurnal Agrisistem 4 (1).
Aulawi, Tahrir., dan Ninsix, Retty. 2009. Sifat Fisik Bakso Daging Sapi dengan
bahan Pengenyal dan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Jurnal Peternakan
6(2): 44-52.
Dengen, Pratiwi M R. 2015. Perbandingan Uji Pembusukan Dengan
Menggunakan Metode Uji Postma, Uji Eber, Uji H2S dan Pengujian
Mikroorganisme Pada Daging Babi di Pasar Tradisional Sentral Makassar.
Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Hasanuddin Makassar.
Dewi, Eko Nurcahya., Ibrahim, Ratna., Yuaniva, Nuzulia. 2011. Daya Simpan
Abon Ikan Nila Merah (Oreochromis neloticus Trewavas) yang Diproses
Dengan Metoda Penggorengan Berbeda. Jurnal Saintek Perikanan 6(1): 6-
12.
Eduardo, Maria, Ulf Svanberg, Jorge Oliveira and Lilia Ahrne. 2013. Effect of
Cassava Flour Characteristics on Properties of Cassava-Wheat-Maize
Composite Bread Types. International Journal of Food Science 1 (1): 1-10.
Estoepangestie, Soelih., Hariyono, Dimas., Budhy, Setya. 2011. Pengaruh suhu
Penyimpanan Terhadap Terjadinya Awal Pembusukan Daging yang Dijual
Disalah Satu Pasar Tradisional Surabaya. Veterinaria Medika 4(2).
Evanuarini, Herly and Hari Purnomo. 2011. Physical and Organoleptic Quality of
Chicken Nuggets Fried at Different Temperature and Time. Jurnal
Agriculture Food Technology 1 (8).
Hadi, Syamsul. 2013. Pemanfaatan Limbah Tuna Loin (Daging Tetelan) melalui
diversifikasi Produk Berupa Abon dan Bakso Ikan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Terate. Pusat Penyuluhan Badan Pengembangan sumberdaya
Manusia. Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Hadiwiyoto, Suwedo dkk. 2005. Pengawetan Daging Segar Dengan Ekstrak
Metabolik Bakteri Asam Laktat Dari Buah Tomat. Jurnal Buletin Peternakan
vol. 29 (1).
Hardiyanto, Muhammad Ariojati. 2013. Budaya Kuliner Jepang: Bahan Pangan,
Pengolahan, dan Kandungan Nutrisi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Universitas Indonesia.
Hardoko., Sari, Putri Yurida., Puspitasari, Yunita Eka. 2015. Substitusi Jantung
Pisang Dalam Pembuatan Abon dari Pindang Ikan Tongkol. Jurnal
Perikanan dan Kelautan 25(1).
Hasrati, Endah dan Rini Rusnawati. 2011. Kajian Penggunaan Daging Ikan Mas
(Cyprinus Carpio Linn) Terhadap Tekstur Dan Cita Rasa Bakso Daging
Sapi. Jurnal Agromedia 29 (1).
Komariah dkk. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang Ditambah
Jahe (Zingiber offcinale Roscoe) pada Konsentrasi dan Lama Penyimpanan
yang Berbeda. Jurnal Media Peternakan vol. 27 (2).
Kusumayani, Heny., Astuti, Widi., Broto, Wisnu. 2011. Inovasi Pembuatan Abon
Ikan Sebagai Salah Satu Teknologi Pengawetan Ikan. Gema Teknologi
16(3).
Muchtadi, T.R. dan Ayustaningwarno, F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Alfabeta. Bandung.
Pambudi, Prastyono Eko., Utanta, Edhy., Mujiman. 2014. Identifikasi Daging
Segar dan Busuk Menggunakan Sensor Warna RGB dan pH Meter Digital.
Jurnal Teknologi Technoscientia 7(1).
Permadi, S.N., S. Mulyani dan A. Hintono. 2011. Kadar Serat, Sifat Organoleptik
dan Rendemen Nugget Ayam yang Disubstitusi dengan Jamur Tiram Putih
(Plerotus Ostreatus). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1 (4).
Prasetyo, Amrih dan Kendriyanto. 2010. Kualitas Daging Sapi dan Domba Segar
yang Disimpan pada Suhu Dingin dengan Pengawet Asap Cair. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Purnomowati, Ida., Hidayati, diana., Saparinto, Cahyo. 2008. Aneka Kudapan
Berbahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Puspitasari, Indri. 2008. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bawang Putih (Allium
sativum Linn) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus in Vitro. Skripsi.
Semarang.
Sarwan. 2015. 40 Resep Penyetan Enak Soro! + 23 Resep Sambal. Genta Smart.
Solo.
Sudrajat, Galih. 2007. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dan
Daging Kerbau Dengan Penambahan Karagenan dan Khitosan. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Suprapti, Lies. 2003. Membuat: Bakso Daging & Bakso Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Triatmojo, S. 1992. Pengaruh Penggantian Daging Sapi dengan Daging
Kerbau,Ayam dan Kelinci pada Komposisi dan Kualitas Fisik Bakso.
Buletin Peternakan 16: 63-71.
Wibowo, Singgih. 2014. 50 Bakso Sehat dan Enak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widyaningsih, T.W, dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Trubus Agirasana. Surabaya.
Yuliani, Ita. 2013. Studi Eksperimen Nugget Ampas Tahu Dengan Campuran
Jenis Pangan Sumber Protein dan Jenis Filter yang Berbeda. Skripsi.
Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang.
Yuyun, A. 2007. Aneka Nugget Sehat Nan Lezat. AgroMedia. Jakarta.
Zymon, Monika et al. 2007. Effect Of Freezing and Frozen Storage On Fatty Acid
Profile of Calves Meat. Polish Journal Of Food and Nutritions Sciences Vol.
57 (4).

Anda mungkin juga menyukai