Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PRNDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, dan proses spesifik (M. tuberculosa, jamur)
(Rasjad, 2007). Menurut perjalanan waktunya, osteomielitis dikatagorikan atas
akut, sub-akut, atau kronik dengan pembagian pada tiap tipe berdasarkan onset
penyakit.
Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II, tetapi dapat juga
ditemukan pada bayi dan neonatus. Insidens di Amerika 1 dari 5000 anak dan 1
dari 1000 pada neonatal. Kejadian pada anak laki-laki lebih sering dibandingkan
anak perempuan dengan perbandingan 4:1. Lokasi yang tersering adalah tulang-
tulang panjang, misalnya femur, tiba, humerus, radius, ulna, fibula. Namun tiba
menjadi lokasi tersering untuk ostemielitis post trauma karena pada tiba hanya
terdapat sedikit pembuluh darah (Siregar, 1995).
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh . Secara umum anestesi
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum
(Boulton, 1994).
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik.
Sedangkan pada anestesi lokal kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang
hilang bersifat setempat (lokal) (Boulton,1994).
Anestesi regional adalah hambatan implus nyeri suatu bagian tubuh untuk
sementara pada impuls saraf, dengan menyuntikan obat anestesi disekitar saraf
sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam
keadaan sadar. Anestesi regional terbagi menjaadi epidurl, spinal dan kaudal.
2

Spinal anastesi atau yang biasa disebut Subarachnoid Block (SAB) (Boulton,
1994).
Anestesi umum (general anestesi) adalah meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya
dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien
dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung,
pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Boulton,
1994).
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, atau proses spesifik (Micobacterium tuberculosa,
jamur). Menurut perjalanan waktunya, osteomielitis dikatagorikan atas akut, sub-
akut, atau kronik dengan pembagian pada tiap tipe berdasarkan onset penyakit
(timbulnya infeksi) (Rasjad, 2007).
Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II, tetapi dapat juga
ditemukan pada bayi dan neonatus. Insidens di Amerika 1 dari 5000 anak dan 1
1
dari 1000 pada neonatal. Pada keseluruhan insiden terbanyak pada Negara
berkembang (Siregar, 1995).
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang


Tulang dalam garis besarnya dibagi atas (Rasjad, 2007):
1. Tulang panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, fibula, ulna, humerus,
ujung tulang panjang dinamakan epifisis. Plat epifisis memisahkan epifisis
dari diafisis dan merukan pusat pertumbuhan tulang longitudinal. Ujung
tulang panjang ditutupi oleh kartilago artikular pada sendi-sendinya.
Sedangkan, daerah batas disebut diafisis dan daerah yang berdekatan dengan
garis epifisis disebut metafisis. Kerusakan atau kelainan perkembangan pada
daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebrae dan tulang carpal.
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih adalah tulang iga, tulang scapula, dan tulang
pelvis.

Gambar Tulang Panjang

Tulang tersusun atas sel, matriks protein, dan deposit mineral. Sel-selnya
terdiri atas (Rasjad, 2007):
1. Osteoblast
Osteoblast merupakan salah satu jenis sel hasil diferensiasi sel mesenkim yang
sangat penting dalam proses osteogenesis dan osifikasi.
4

2. Osteosit
Osteosit berfungsi memelihara konten mineral dan elemen organic tulang.
3. Osteoklas
Sel yang berfungsi multinukleus, tidak tertutupi oleh permukaan tulang
dengan sifat dan fungsi resorpsi serta mengerluarkan tulang.

Tulang mempunyai fungsi utama yaitu (Rasjad, 2007):


1. Membentuk kerangka badan
2. Sebagain pengumpil dan tempat melekat otot
3. Sebagai bagaian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat
dalam seperti otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru
4. Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan garam
5. Berfungsi sebagai jaringan hemopoietik untuk memproduksi eritrosi, leukosit
dan trombosit.

2.2 Osteomielitis
2.2.1 Definisi
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, dan proses spesifik (M. tuberculosa, jamur)
(Rasjad, 2007). Menurut perjalanan waktunya, osteomielitis dikatagorikan atas
akut, sub-akut, atau kronik dengan pembagian pada tiap tipe berdasarkan onset
penyakit. Osteomielitis akut berkembang dalam dua minggu setelah onset
penyakit, sedangkan osteomielitis sub-akut dalam dua minggu sampai tiga bulan
dan osteomeilitis lebih dari tiga bulan (Jong, 2005).

2.2.2 Epidemiologi
Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II, tetapi dapat juga
ditemukan pada bayi dan neonatus. Insidens di Amerika 1 dari 5000 anak dan 1
dari 1000 pada neonatal. Pada keseluruhan insiden terbanyak pada Negara
berkembang. Osteomielitis pada anak-anak sering bersifat akut dan menyebar
secara hematogen sedangkan osteomielitis pada orang dewasa merupakan infeksi
5

sub-akut atau kronik yang berkembang secara sekunder dari fraktur terbuka dan
mengikuti jaringan lunak (Siregar, 1995).
Kejadian pada anak laki-laki lebih sering dibandingkan anak perempuan
dengan perbandingan 4:1. Lokasi yang tersering adalah tulang-tulang panjang,
misalnya femur, tiba, humerus, radius, ulna, fibula. Namun tiba menjadi lokasi
tersering untuk ostemielitis post trauma karena pada tiba hanya terdapat sedikit
pembuluh darah (Siregar, 1995).
Faktor-faktor pasien seperti pertahanan netrofil, imunitas humoral dan
humonitas seluler dapat meningkatkan osteomielitis (Siregar, 1995).

2.2.3 Klasifikasi
Osteomielitis merupakan penyakit kompleks, sehingga system klasifikasi
yang bervariasi telah dikembangkan disamping katagori umum yaitu aku, sub-
akut dan kronis (Lew, 1997). Sistem klasifikasi Waldvogel membagi osteomielitis
dalam katagori hemotogenous, contiguous, chronic, sedangkan klasifikasi yang
lebih baru menurut system klasifikasi Cierry-Mader berdasarkan status dari proses
penyakit bukan etiologi, kronisitas, atau faktor lainnya sehingga istilah akut dan
kronik tidak dipergunakan pada system Cierry-Mader derajat pada system ini
bersifat dinamik dan dapat berubah-ubah sesuai kondisi medik pasien,
keberhasilan antibiotik dan pengobatan lainnya (Khoshhal, 2008).

2.2.4 Etiologi
Organanisme spesifik yang diisolasi dari osteomielitis sering dihubungkan
dengan usia pasien atau keadaan-keadaan yang menyertainya (trauma atau riwayat
operasi). Staphylococcus aureus terlibat dalam kebanyakan pasien dengan
osteomielitis hematogenous akut dan bertanggung jawab atas 90% kasus pada
anak-anak yang sehat. Penyebab osteomielitis pada anak-anak ialah
Staphylococcus aureus (89-90%), Streptococcus (4-7%), Haemophillus influenza
(2-4%), Salmonella typhy dan E. colli (1-2%). Penyebab osteomielitis kronis
terutama Staphylococcus aureus (75%), atau Escherichia colli, Proteus atau
Pseudomonas aerudinosa. Staphylococcus epidermidis merupakan penyebab
6

utama osteomielitis kronis pada operasi-operasi ortopedi yang menggunakan


implant (Khoshhal, 2008)

2.2.5 Tanda dan Gejala


Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat tulang
yang terkena terasa panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan
kemudian terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan (Lew, 1997).

2.2.6 Patofisiologi
Osteomyelitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus.
Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan
pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin terkena.
Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen, melalui infeksi
didekatnya atau scara langsung selama pembedahan. Reaksi inflamasi awal
menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis tulang. Pus mungkin menyebar ke
bawah ke dalam rongga medula atau menyebabkan abses superiosteal. Suquestra
tulang yang mati terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang
terangkat diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-sinus yang
memungkinkan pus keluar. (Siregar, 1995).

2.2.7 Faktor Risiko


Osteomielitis biasanya tidak membedakan rasa atau jenis kelamin. Tetapi
orang memiliki risiko lebih untuk terkena penyakit ini. Resiko tersebut adalah
(Rasjad, 2007):
1. Diabetes mellitus
2. Pasien yang mendapat hemodialisis
3. Orang yang daya tubuhnya lemah
4. Sickle cell disease
5. Penyalahgunaan obat-obatan IV
6. Orang tua
7. Alkoholisme
8. Penggunaan steroid jangka panjang
7

9. Penyakit sendi kronik


10. Fraktur terbuka
11. Pemakaian prostetik ortopedi.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan x-ray akan tampak adanya proses resorpsi tulang
(penebalan), proses destruksi pada tulang, sklerotik pada daerah sekitar tulang,
dan reaksi periosteal. Pemeriksaan penunjang lain berupa Radioisotope
scintigraphy yang cukup sensitive tetapi tidak spesifik. Dengan 99mTc-HDP scan
tampak adanya peningkatan aktivitas dari fase perfusi dan fase tulang. 67 Ga-
Citrate berguna untuk menunjukkan focus yang tersembunyi atau infeksi yang
tersembunyi dan lebih spesifik untuk Osteomielitis.
Pada pemeriksaan laboratorium, jumlah leukosit bisa normal, laju endap darah
dan sel darah putih akan meningkat. C-reactive protein, procalcitonin, dan level
cytokine inflammatory bisa meningkat. Kultur organisme dari daerah sinus harus
dilakukan, termasuk kultur jaringan dan cairan, untuk menentukan antibiotik yang
sensitive, dan dilakukan secara berulang karena adanya perubahan karakteristik
dari mikroorganisme dan bahkan dapat menjadi resisten (Rasad, 1995)

2.2.9 Diagnosis Banding


Diagnosos banding pada masa akut adalah demam reumatik dan selulitis.
Pada demam reumatik, nyeri cenderung berpindah dari satu sendi ke sendi
lainnya. Bisa terdapat carditis, nodul- nodul reumatik, atau erythema marginatum.
Pada selulitis, terdapat kemerahan superficial yang melebar, terjadi limfangitis.
Arthritis supuratif akut dibedakan dari osteomielitis hematogen akut berdasarkan
adanya nyeri yang difus, dan semua pergerakan sendi terbatas karena adanya
spasme otot (Rasad, 1995).
Pada Gaunchers Disease. Pseudo-osteitis dapat timbul dengan manifestasi
klinik yang sangat mirirp dengan osteomielitis. Diagnosis ditegakkan terutama
dengan adanya pembesaran hati dan lien (Rasad, 1995).
Gambaran radiologi osteomielitis dapat menyerupai gambaran penyakit-
penyakit lain pada tulang, diantaranya yang terpenting adalah tumor ganas primer
8

tulang. Destruksi tulang, reaksi periosteal, pembentukan tulang baru, dan


pembekakan jaringan lunak, dijumpai juga pada osteosarkoma dan Ewing
Sarcoma (Rasad, 1995).
Osteosarcoma, seperti halnya osteomielitis, biasanya mengenai metafisis
tulang panjang, sehingga pada stadium dini sangat sukar dibedakan dengan
osteomielitis. Pada stadium yang lebih lanjut, kemungkinan untuk membedakan
lebih besar karena pada osteosarcoma biasanya ditemukan pembentukan tulang
yang lebih banyak serta adanya infiltrasi tumor yang disertai penulangan patologi
ke dalam jaringan lunak. Juga pada osteosarcoma ditemukan segita Codman
(Rasad, 1995).
Pada tulang panjang, Ewing Sarcoma biasanya mengenai diafisis, tampak
destruksi tulang yang bersifat infiltratif, reaksi periosteal yang kadang menyerupai
kulit bawang yang berlapis-lapis dan masa jaringan lunak yang besar (Rasad,
1995).

2.2.10 Penatalaksanaan
Sasaran awal adalah untuk mengontrol dan memusnahkan proses infeksi
(Khoshhal, 2008):
1. Imobilisasi area yang sakit : lakukan rendam salin noral hangat selama 20
menit beberapa kali sehari.
2. Kultur darah : lakukan smear cairan abses untuk mengindentifikasi organisme
dan memilih antibiotik.
3. Terapi antibiotik intravena sepanjang waktu.
4. Berikan antibiotik peroral jika infeksi tampak dapat terkontrol : teruskan
selama 3 bulan.
5. Bedah debridement tulang jika tidak berespon terhadap antibiotik pertahankan
terapi antibiotik tambahan. Debridement adalah suatu tindakan eksisi yang
bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis maupun debris yang
menghalangi proses penyembuhan luka dan potensial terjadi atau
berkembangnya infeksi sehingga merupakan tindakan pemutus rantai respon
inflamasi sistemik dan maupun sepsis.
9

2.2.11 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul dari osteomielitis antara lain (Rasjad,
2007):
1. Osteomielitis kronis
2. Penyebaran infeksi yang lokal
3. Penurunan fungsi ekstremitas dan sendi
4. Amputasi
5. Ankilosis
6. Fraktur patologis
7. Arthritis supuratif.

2.2.12 Prognosis
Setelah mendapatkan terapi umumnya osteomielitis akut menunjukkan
hasil yang memuaskan. Prognosis osteomielitis kronis umumnya buruk walaupun
dengan pembedahan, abses dapat terjadi sampai beberapa minggu, bulan atau
tahun setelahnya. Amputasi mungkin dibutuhkan, khususnya pada pasien diabetes
atau berkurangnya sirkulasi darah. Pada penderita yang mendapatkan infeksi
dengan penggunaan alat bantu prostetik perlu dilakukan monitoring lebih lanjut.
Mereka perlu mendapatkan terapi antibiotik profilaksis sebelum dilakukan operasi
karena memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan osteomielitis. (Rasad,
1995)

2.3 Regional Anestesia Subarachnoid (Ra-Sab)


2.3.1 Sejarah Ra-Sab
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam
klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. RA-SAB pertama
kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara
luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera
neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi tahun 1950
menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan
teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan
lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi
10

ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi umum jika kondisi memungkinkan.


(Boulton 1994, Dabson 1994).

2.3.2 Definisi Ra-Sab


Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik
central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral
nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari
pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan
laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang
diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti
tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi
umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-Babcock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (Boulton 1994, Dabson 1994).

2.3.3 Indikasi Ra-Sab


Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:
(Boulton 1994, Dabson 1994):
1 Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat inervasi
pada buli buli kencing)
2 Hysterectomy
3 Caesarean section (T6)
4 Evakuasi alat KB yang tertinggal
5 Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti arthroplasty
6 Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal.

2.3.4 Kontraindikasi Ra-Sab


Kontraindikasi Absolut (Boulton 1994, Dabson 1994).
1. Pasien menolak
2. Deformitas pada lokasi injeksi
3. Hipovolemia berat
11

4. Sedang dalam terapi antikoagulan


5. Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
6. Peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi Relatif (Boulton 1994, Dabson 1994).
1. Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)
2. Infeksi sekitar tempat penyunikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronis

2.3.5 Komplikasi Ra-Sab


Komplikasi Pasca Tindakan (Boulton 1994, Dabson 1994).
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

2.3.6 Teknik Anastesi


Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Gambar Anatomi Spinal Anestesi


12

Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid (Boulton 1994,


Dabson 1994).
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya
L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23
G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum
suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk
meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37C adalah 1,003 1,008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air
injeksi.
13

2.3.7 Preoperatif
a) Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif (Boulton 1994, Dabson 1994).
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan.

b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi
identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum yang
meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat
operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi (Boulton 1994,
Dabson 1994).
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi
nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai
status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang
meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit
darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik
dan endokrin, otot rangka (Boulton 1994, Dabson 1994).
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu pada
pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik
tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi
14

pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi (Boulton 1994,


Dabson 1994).
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila
dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana atau
darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif
koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama
dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan
bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD (Boulton 1994,
Dabson 1994).
5. Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) (Boulton 1994, Dabson 1994).

Tabel 2.3 Klasifikasi ASA.


Kelas Definisi
ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemikringan sampai sedang
ASA 3 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai
penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal.
ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani
transplantasi organ untuk donor.
E Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka
status pemeriksaan diikuti E (Misal, 2E)
15

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring (Boulton 1994, Dabson 1994).

c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia
(Boulton 1994, Dabson 1994).

2. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa (Boulton 1994, Dabson 1994).
16

3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya (Boulton 1994, Dabson 1994) :
a) Meredakan kecemasan dan ketakutan
b) Memperlancar induksi anestesi
c) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d) Meminimalkan jumlah obat anestetik
e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular (Boulton 1994, Dabson 1994).
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg (Boulton 1994, Dabson 1994).
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung
17

sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi (Boulton


1994, Dabson 1994).
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi
yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine
pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna
untuk pencegahan muntah pasca operasi (Boulton 1994, Dabson 1994).
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko
(Dabson 1994).

2.3.8 Durante Operasi


a) Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu
pendingin ruangan (Boulton 1994).
b) Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg (Boulton 1994).
c) Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma
dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler (Boulton 1994, Dabson 1994).
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan
18

baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga
disebut cairan jenis replacement (Boulton 1994, Dabson 1994).
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan
menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL
sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang (Boulton
1994, Dabson 1994).
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1
spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat
menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika
spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah
(Boulton 1994, Dabson 1994).
d) Monitoring
Standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor
berikut ini adalah standard minimal monitoring) (Boulton 1994, Dabson
1994) :
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard
ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan
salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang
jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak
praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode
monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis
selanjutnya.
19

1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama
general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor
perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama
anestesi adalah:
a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya
c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time
d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas
reflek palpebra)
e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.3.9 Post Operatif


a) Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase (Boulton 1994).
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu
posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke
brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
20

dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke


brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury (Boulton 1994).
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat
agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi
ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum
pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter
anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut
berjalan dengan lancar (Boulton 1994).

b) Perawatan Post Anestesi di Recovery Room


Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal (Boulton 1994, Dabson 1994).
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih
dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut (Boulton 1994, Dabson 1994) :
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu
Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok (Boulton 1994, Dabson
1994) :
a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan
kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca
21

anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca


anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan pasca
anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga
respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan.
Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu juga harus
bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien
dapat kembali pulang.

Ruang Pulih (Boulton 1994, Dabson 1994) :


a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara kontinyu
dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi,
mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi, memantau
perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih:
pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien dengan risiko
tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien
yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan
khusus di ruangan.
c) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik. Hal-hal yang perlu
diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran, respirasi (sumbatan jalan
nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi
ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh,
masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia dan kriteria
pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete. Pasien tetap berada
dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu tekanan
darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95%, dan
tingkat kesadaran baik.
22

Tabel 2.4 Aldrete Score


POSTA NESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE
ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue
COLOR Oxygenation
PINK SpO2>92% on room air 2
PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1
CYANOTIC SpO2<90% on oxygen 0
RESPIRATION
CAN BREATHE DEEPLY AND COUGH Breathes deeply and 2
coughs freely
SHALLOW BUT ADEQUATE Dyspneic, shallow or 1
EXCHANGE limited breathing
APNEA OR OBSTRUCTION Apnea 0
CIRCULATION
BLOOD PRESSURE WITHIN 20% OF Blood pressure 20 2
NORMAL mmHg of normal
BLOOD PRESSURE WITHIN 2050% OF Blood pressure 20 1
NORMAL 50mmHg of normal
BLOOD PRESSURE DEVIATING >50% Blood pressure more than 0
FROM NORMAL 50 mmHg of normal
CONSCIOUSNESS
AWAKE, ALERT, AND ORIENTED Fully awake 2

AROUSABLE BUT READILY DRIFTS Arousable on calling 1


BACK TO SLEEP
NO RESPONSE Not responsive 0
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2
MOVES TWO EXTREMITIES Same 1
NO MOVEMENT Same 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth


Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited.
J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau
minimal 9.
23

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah (Boulton 1994, Dabson 1994).
a) Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
b) Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c) Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d) Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e) Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f) Mual dan muntah dalam kontrol
g) Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering
terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien.
Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge
(postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial yang
meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor pasien sendiri. Terjadi
peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah
pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus.
Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal
bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis.
Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-
hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4
mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang
efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak
berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi
24

disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type


antiemetics.
Dexamethasone, 410 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan
dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter.
Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge
nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV
misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6
acupuncture point (pergelangan tangan).

2.3.10 Efek Ra-Sab


Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional
dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid
dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan
relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan obat anestetik local pada
ruang subarachnoid diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang
subarachnoid adalah untuk menghindari adanya kerusakan pada medulla
spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang
subarachnoidantara L2 dan L5(biasanya antara L3 dan L4). Untuk mendapatkan
blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini
tergantung kepada banyak factor, antara lain posisi pasien dan berat jenis obat
(Boulton 1994).
25

BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
Nama : Suprapti
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 57 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Taut No 73 Medan
Pekerjaan : PNS
Status Perkawinan : Menikah
No RM : 04.66.32

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Lemas disertai nyeri pada ibu jari kaki kanan
Telaah :
Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji dengan keadaan lemas disertai
keluhan nyeri pada ibu jari kaki kanan. Terlihat bengkak dan kemerahan
pada ibu jari kaki kanan. Keluhan tidak disertai demam, batuk, sesak
nafas, sakit kepala. Riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Terdapat
riwayat penyakit diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan post stroke.
RPT : (-)
RPO : (-)
RPK : (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis
26

Tekanan Darah : 140/70 mmHg


Nadi : 78x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 370C
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 87 kg

Pemeriksaan Umum
Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
Kepala : Normocepali
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax
Paru
Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
abdominotorakal, retraksi costae -/-
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru

Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Nyeri Ketok (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Ekstremitas : Edema -/-
Genitalia : tidak ada pembesaran
27

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 9,5 g/dl
HT : 27,8 %
Eritrosit : 3,2 x 106/L
Leukosit : 10.200/ L
Trombosit : 278.000/L

Metabolik
KGDS : 142 mg/dl
Asam Urat :-

Fungsi Ginjal
Ureum: 28 mg/dl
Kreatinin: 0,65 mg/dl

Diagnosis : Osteomielitis

5. RENCANA TINDAKAN
Tindakan : Debridement
Anesthesi : RA-SAB
PS-ASA :2
Posisi : Supinasi
Pernapasan : Kanul nasal O2

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
Airway : Clear
RR : 20x/menit
SP : Vesikuler ka=ki
28

ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)
Akral : Hangat/Merah/Kering
TD : 130/70 mmHg
HR : 88 x/menit

B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)
Urine Output : -
Kateter : tidak terpasang

B5 (Bowl)
Abdomen : Soepel
Peristaltik : Normal (+)
Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)
Oedem : (-)

7. PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
Bupivacaine 0,5% : 15mg

Jumlah Cairan
PO : RL 200 cc
DO : RL 100 cc
Produksi Urin :-
29

Perdarahan
Kasa Basah :-
Kasa 1/2 basah :5x5 = 25 cc
Suction :-
Jumlah :-
EBV : 65 x 87 = 5665 cc
EBL 10 % = 566,5 cc
20 % = 1131 cc
30 % = 1696,5cc
Durasi Operatif
Lama Anestesi = 14.45 15.15 WIB
Lama Operasi = 14.50 15.15 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB


Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 Desinfektan
betadine + alcohol 70% Insersi spinocan 25G CSF (+), darah (-)
injeksi bupivacain 0,5% 15 mg posisi supine atur blok setinggi T6.

8. POST OPERASI
Operasi berakhir pukul : 15.15 WIB
Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
30

PERAWATAN POST OPERASI


Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

9. TERAPI POST OPERASI


Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
IVFD RL 25gtt/menit
Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah
31

BAB IV
KESIMPULAN

1. Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, atau proses spesifik (Micobacterium
tuberculosa, jamur). Menurut perjalanan waktunya, osteomielitis
dikatagorikan atas akut, sub-akut, atau kronik dengan pembagian pada tiap
tipe berdasarkan onset penyakit (timbulnya infeksi).
2. Pada kasus Osteomielitis dengan diagnosa yang sudah pasti tindakan yang
biasanya dilakukan adalah Debridement. Debridement adalah suatu tindakan
eksisi yang bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis maupun debris
yang menghalangi proses penyembuhan luka dan potensial terjadi atau
berkembangnya infeksi sehingga merupakan tindakan pemutus rantai respon
inflamasi sistemik dan maupun sepsis.
3. Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok
teknik yaitu central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid)
dan peripheral nerve blockade.
32

DAFTAR PUSTAKA

1. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.


EGC. Jakarta. pp:229-231
2. Rasjad C., 2007. Infeksi dan Inflamasi. Dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Yarsif Watampone. Hal 132-141.
3. Siregar P. 1995. Osteomielitis. Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian
Bedah Staff Pengajar FK UI. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal 472-474.
4. Rasjad C. 2007. Struktur dan Fungsi Tulang. Dalam Pengantar Ilmu Bedah
Ortopedi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Yusuf Watampone. Hal 6-11.
5. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
6. Jong W., Sjamsuhidayat R. 2005. Infeksi Muskuloskeletal. In Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi kedua. Jakarta: EGC. Hal 903-911.
7. Lew, Daniel P., Waldvogel Francis A. 1997. Osteomyelitis. The New England
Journal of Medicine.
8. Khoshhal K., Letts R. M. 2008. Subacute Osteomyelitis (Bordie Abcess).
Emedicine.
9. Rasad S., Kartoleksono S. Ekayuda I. 1995. Infeksi Tulang dan Sendi.
Radiologi Diagnostik. Jakarta: Bagian Radiologi FK UI. Hal 62-72.

Anda mungkin juga menyukai