Anda di halaman 1dari 17

Trigger :

Ny G usia 38 tahun datang ke UGD rumah sakit dengan keluhan lemas dan
perdarahan pervaginam. Karakteristik perdarahan sedikit-sedikit tapi terus-menerus,
3x dalam sebulan ini padahal sebelumnya pasien tidak pernah haid sampai selama
ini. Pasien mengatakan terdapat benjolan di perut bawah sejak 18 bulan yang lalu
tetapu tidak diperiksakan karena takut di usia pernikahannya yang 9 tahun sampai
saat ini pasien belum memiliki anak. Hasil pemersiksaan: pasien tampak lemas dan
pucat, teraba benjolan sebesar bola tenes di perut bawa, massa berbatas tegas,
nyeri tekan (+), TD 90/70 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, suhu 36.8 oc,
perdarahan pervaginam pembalut warna merah bata, konjungtiva anemis, aktifitas
makan/minum dirumah dibantu suami, dan Hb 10 gd/dl. Pasien cemas karena
selama ini belum pernah dirawat di rs sedang menyusun tindakan keperawatan pa
Ny G.

Study Learning Objective : Mioma Uteri


1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Kalsifikasi
4. Etiologi
5. Faktor Resiko
6. Manifestasi Klinis
7. Patofisiologi
8. Pemeriksaan Diagnostik
9. Penatalaksanaan
10. Komplikasi
11. Pencegahan
12. Study Learnign Objective Tambahan
- Karakteristik benjolan
- Mediator nyeri
13. Asuhan Keperawatan
- Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
- Intoleransi aktiivitas
- Ansietas
Definisi
Menurut Hadibroto (2005), mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang
terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan fibroid dan kolagen serta dikelilingi
kapsul yang tipis. Beberapa istilah untuk moima uteri yaitu fibromioma, miofibroma,
leiomiofibroma, fibroleiomioma, fibroma, dan fibroid.
Hadibroto, Budi R. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Volume 38.
No.3 Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik Medan - RSUD Dr. Pirngadi Medan
Mioma uteri memiliki ciri-ciri bulat, berbatas tegas, warna putih hingga merah
jambu pucat, bersifat jinak dan terdiri dari otot polos dengan kuantiti jaringan
penghubung fibrosa yang berbeda-beda. Sebanyak 95% mioma uteri berasal dari
corpus uteri dan 5% berasal dari serviks. Mioma uteri juga adalah tumor pelvis yang
sering terjadi dan diperkirakan sebanyak 10% kasus ginekologi umumnya (Shukri,
2010).
Shukri, Muhammad. 2010. Mioma Uteri. Online (http://www.repository.usu.ac.id),
diakses 9 Desember 2012
Bentuk padat dan batas tegas pada mioma uteri dikarena jaringan ikat dan
otot rahimnya dominan. Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang paling umum
dan sering dialami oleh wanita. Neoplasma ini memperlihatkan gejala klinis
berdasarkan besar dan letak mioma (Ompusunggu, 2011).
Ompusunggu, ML. 2011. Mioma Uteri. Online (http://www.repository.usu.ac.id),
diakses 9 Desember 2012

Epidemilogi
Di Indonesia mioma uteri ditemukan pada 2,4%-11,7% dari semua penderita
ginekologi yang dirawat. Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita
berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita berkulit hitam ditemukan
paling banyak. Mioma terjadi pada kira-kira 5% wanita selama masa reproduksi.
Tumor ini tumbuh dengan lambat dan mungkin baru dideteksi secara klinis pada
kehidupan dekade keempat. Mioma lebih sering terjadi pada pasien nullipara atau
wanita yang hanya mempunyai satu anak (Novianto dkk, 2011).
Novianto, Fajar, dkk. 2011. Presentasi Kasus: Mioma Uteri dengan
Menometroragha. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Klasifikasi
1. Lokasi
a. Cerivical (2,6%), umumnya tumbuh ke arah vagina menyebabkan infeksi.
b. Isthmica (7,2%), lebih sering menyebabkan nyeri dan gangguan traktus
urinarius.
c. Corporal (91%), merupakan lokasi paling lazim, dan seringkali tanpa gejala.

2. Lapisan Uterus
a. Mioma Subserosum
Lokasi tumor di sub serosa korpus uteri atau padalapisan uterus yang
paling luar. Dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat pula sebagai satu
massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai (pedunculated).
Dimana, jika mimoma terlepas dari tangkainya (induknya) dan berjalan-jalan
atau dapat menempel dalam rongga peritoneum disebut wandering/parasitic
fibroid (Chelmow, 2005).
Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum,
dan disebut sebagai mioma intraligamen. Mioma yang cukup besar akan
mengisi rongga peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan dengan
ementum di sekitarnya menyebabkan sisten peredaran darah diambil alih
dari tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus,
sehingga mioma terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas
dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis
parasitik (Ompusunggu, 2011).
b. Mioma Intramural (intraepitalial)
Merupakan mioma yang paling banyak ditemukan yang tumbuh
diantara lapisan uterus yang paling tebal dan paling tengah, yaitu
miometrium. Apabila masih kecil, tidak merubah bentuk uterus, tapi bila
besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah besar
dan berubah bentuknya (Ompusunggu, 2011).
c. Mioma Submukosa
Merupakan mioma yang tumbuh dari dinding uterus paling dalam dan
dapat tumbuh ke arah cavum uteri sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan bentuk dan besar kavum uteri (Chelmow, 2005). Bila tumor ini
tumbuh dan bertangkai, maka tumor dapat keluar dan masuk ke dalam
vagina yang disebut mioma geburt. Mioma submukosum walaupun hanya
kecil selalu memberikan keluhan perdarahan melalui vagina. Perdarahan
sulit dihentikan, sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi
(Ompusunggu, 2011).
Chelmow, D. 2005. Gynecologic Myomectomy. Online,
(http://www.emedicine.com/med/topic3319), diakses 9 Desember 2014

Etiologi
Penyebab utama mioma uteri belum diketahui secara pasti. Namun ada
beberapa faktor yang diduga berperan sebaga inisiasi pada perubahan genetik
mioma uteri. Faktor tersebut adalah abnormalitas intrinsik pada miometrium,
peningkatan reseptor estrogen secara kongenital pada miometrium, perubahan
hormonal, atau respon kepada kecederaan iskemik ketika haid (Ikbal, 2012).
Ikbal. 2012. Mioma Uteri. Mioma Uteri. Online (http://www.repository.usu.ac.id),
diakses 9 Desember 2012
Menurut teori onkogenik maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2
faktor yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan
mioma masih belum diketahui pasti. Dari penelitian menggunakan glucose-6-
phosphatase dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan uniseluler.
Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik
dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks dan growth
factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses
pertumbuhan tumor (Hadibroto, 2005).
Tidak dapat dibuktikan bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab
mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma
terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari
miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium.
Hormon progesteron meningkatkan aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda
namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara
pasti. Progesteron memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation
apoptosis dari tumor. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan
meningkatkan produksi matriks ekstraseluler (Hadibroto, 2005).
Faktor Resiko
1. Usia penderita
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan
sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun, namun masih tidak
diketahui pasti apakah mioma uteri yang terjadi adalah disebabkan
peningkatan formasi atau peningkatan pembesaran secara sekunder
terhadap perubahan hormon. Mioma menunjukkan pertumbuhan maksimal
selama masa reproduksi dimana saat itu kadar estrogen sangat tinggi. Tumor
ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun. Dan mengalami
pengecilan pada saat menopause. (Parker, 2007).
2. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita
mioma uteri mempunyai peningkatan 2,5 kali kemungkinan risiko untuk
menderita mioma uteri dibanding dengan wanita tanpa garis keturunan
penderita mioma uteri. Penderita mioma yang mempunyai riwayat keluarga
penderita mioma uteri mempunyai 2 kali lipat kekuatan ekspresi dari VEGF-
(myoma-related growth factor) dibandingkan dengan penderita mioma yang
tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri (Parker, 2007).
3. Etnik dan Ras
Dari studi yang dijalankan melibatkan laporan sendiri oleh pasien
mengenai mioma uteri, rekam medis, dan pemeriksaan sonografi
menunjukkan bahwa :
- Etnik Afrika-Amerika mempunyai kemungkinan risiko menderita mioma
uteri setinggi 2,9 kali berbanding wanita etnik caucasia, dan risiko ini tidak
mempunyai kaitan dengan faktor risiko yang lain.
- Wanita Afrika-Amerika menderita mioma uteri dalam usia yang lebih muda
dan mempunyai mioma yang banyak dan lebih besar serta menunjukkan
gejala klinis.
Namun masih belum diketahui jelas apakah perbedaan ini adalah karena
masalah genetik atau perbedaan pada kadar sirkulasi estrogen, metabolisme
estrogen, diet, atau peran faktor lingkungan.
Pada penelitian terbaru menunjukkan Val/Val genotype untuk enzim
essensial kepada metabolisme estrogen, catechol-O-methyl transferase
(COMT) ditemui sebanyak 47% pada wanita Afrika-Amerika berbanding
hanya 19% pada wanita kulit putih. Wanita dengan genotype ini lebih rentan
untuk menderita mioma uteri. Ini menjelaskan mengapa prevalensi yang tinggi
untuk menderita mioma uteri dikalangan wanita Afrika-Amerika lebih tinggi
(Parker, 2007).
4. Berat Badan
Satu studi prospektif dijalankan dan dijumpai kemungkinan risiko
menderita mioma uteri adalah setinggi 21% untuk setiap kenaikan 10 kg
BBdan dengan peningkatan IMT. Temuan yang sama juga turut dilaporkan
untuk wanita dengan 30% kelebihan lemak tubuh. Hal ini terjadi karena
obesitas menyebabkan pemingkatan konversi androgen adrenal kepada
estrone dan menurunkan hormon sex-binding globulin. Hasilnya
menyebabkan peningkatan estrogen secara biologikal yang bisa
menerangkan mengapa terjadi peningkatan prevalensi mioma uteri dan
pertumbuhannya (Parker, 2007).
5. Kehamilan dan paritas
Peningkatan paritas menurunkan insidensi terjadinya mioma uteri.
Mioma uteri menunjukkan karakteristik yang sama dengan miometrium yang
normal ketika kehamilan termasuk peningkatan produksi extracellular matrix
dan peningkatan ekspresi reseptor untuk peptida dan hormon steroid.
Miometrium postpartum kembali kepada berat asal, aliran darah dan saiz asal
melalui proses apoptosis dan diferensiasi. Proses remodeling ini
berkemungkinan bertanggungjawab dalam penurunan saiz mioma uteri. Teori
yang lain pula mengatakan pembuluh darah di uterus kembali kepada
keadaan atau saiz asal pada postpartum dan ini menyebabkan mioma uteri
kekurangan suplai darah dan kurangnya nutrisi untuk terus membesar.
Didapati juga kehamilan ketika usia midreproductive (25-29 tahun)
memberikan perlindungan terhadap pembesaran mioma (Parker, 2007).
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas menyebabkan mioma
uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertilitas, atau apakah
kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
6. Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan
pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke,
berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.
Parker WH. 2007. Etiology, Symptomatology and Diagnosis of Uterine Myomas.
Volume 87. Department of Obstetrics and gynecology UCLA School of
Medicine. California : American Society for Reproductive Medicine

Manifestasi Klinis
Menurut Hardibroto (2005), manifestasi klinis mioma uteri adalah sebagai
berikut:
1. Perdarahan uterus yang abnormal
Perdarahan uterus yang abnormla adalah menaifestasi klinis yang
paling sering terjadi dan paling penting. Sebanyak 30% pasien dengan mioma
uteri mengalami perdarahan. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan
mengalami siklus menstruasi yang teratur atau tudak teratur. Menorrhagia
dan atau metrorrhagia sering terjadi pada penderita mioma uteri. Selain itu,
perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
Adapun mekanisme perdarahan abnormal pada mioma uteri adalah
sebagai berikut:
- Peningkatan ukuran permukaan endometrium
- Vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus meningkat
- Gangguan kontraksi uterus
- Ulserasi endometrium pada mioma submukosum
- Kompresi pada pleksus venosus di dalam miometrium
2. Nyeri Panggul
Nyeri panggul yang terjadi disebabkan karena degenerasi akibat oklusi
vaskuler, infeksi, torsi dari miomayang bertangkai maupun akibat kontraksi
miometrium yang disebakan mioma subserosum. Adanya tumor yang besar
dapat mengisi rongga pelvik dan menekan saraf sehingga menyebabkan rasa
nyeri menyebar ke bagian punggung dan ekstrimitas.
3. Penekanan
Pertumbuhan mioma uteri yang semakin membesar dapat menekan
organ lain. Penekanan dapat menyebakan gangguan berkemih, defakasi
maupun dispareunia. Selain itu, penekanan pemuluh darah vena juga dapat
terjadi yang menyebabkan kongesti dan edema pada ekstrimitas.
4. Disfungsi Reproduksi
Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas. hal ini karena mioma yang
terletak didaerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan
transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Selain
itu, gangguan yang lain dapat berupa gangguan kontaksi uterus (sebenarnya
diperlukan untuk motilitas sprema) dan gangguan implantasi embrio.
Mekanisme gangguan reproduksi pada mioma uteri adalah sebagai berikut:
- Gangguan transportasi gamet dan embrio
- Pengurangan kemampuan bagi pertumbuhan uterus
- Perubahan aliran darah vaskuler
- Perubahan histologi endometrium

Patofisiologi
Terlampir.

Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik pada mioma uteri yaitu sebagai berikut:
1. Anamnesis
Pada saat dianamnesis pasien akan mengeluh rasa berat dan adanya
benjolan pada perut bagian bawah, kadang mempunyai gangguan haid dan ada
nyeri (Prawirohardjo, 2008).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan bimanual akan mengungkap tumor pada uterus, yang umumnya
terletak di garis tengah atau pun agak ke samping,seringkali teraba terbenjol-
benjol. Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubung dengan
uterus. Berikut ini adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan pada mioma uteri :
a. Pemeriksaan abdomen
- Uterus yang membesar dapat dipalpasi pada abdomen
- Teraba benjolan tidak teratur, tetap dan lunak
- Ada nyeri lepas yang disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal
b. Pemeriksaan pelvis
- Adanya dilatasi serviks
- Uterus cenderung membesar, tidak beraturan dan berbentuk nodul
(Prawirohardjo, 2008).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Ultra Sonografi (USG)
Mioma uteri yang besar paling bagus didiagnosis dengan kombinasi
transabdominal dan transvaginal sonografi. USG dapat menentukan jenis
tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan adneksa dalam
rongga pelvis Gambaran USG mioma biasaanya adalah simetrikal, berbatas
tegas, hypoechoic, dan degenerasi kistik menunjukkan anechoic (Parker,
2007).
b. Magnetic Resonance Imagine (MRI)
Lebih baik daripada USG tetapi mahal. MRI mampu menentukan saiz,
lokasi dan bilangan mioma uteri serta bisa mengevaluasi jarak penembusan
mioma submukosa di dalam dinding miometrium (Parker, 2007).
c. Foto Bulk Nier Oversidth (BNO), Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai
massa di rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter
(Prawirohardjo, 2008).
d. Histerografi dan histerokopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai
dengan infertilitas (Prawirohardjo, 2008).
e. Laparoskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis (Prawirohardjo, 2008).
f. Laboratorium
Hitung darah lengkap dan apusan darah, untuk menilai kadar hemoglobin
dan hematokrit serta jumlah leukosit (Prawirohardjo, 2008).
g. Tes kehamilan atau tes HCG
Tes hormon Chorionic gonadotropin (HCG), karena bisa membantu
dalam mengevaluasi suatu pembesaran uterus, apakah oleh karena
kehamilan atau oleh karena adanya suatu mioma uteri yang dapat
menyebabkan pembesaran uterus menyerupai kehamilan (Prawirohardjo,
2008).
Prawirohardjo E.J. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Penatalaksanaan
Menurut Cunningham, et al (2003) penatalaksanaan mioma uteri dapat
dilakukan secara konservatif, yaitu sebagai berikut:
1. Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan
2. Monitor keadaan Hb
3. Pemberian zat besi
4. Penggunaan agonis GnRH
Cunningham, Mc Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 2003.
Williams Obstetrics. Prentice-Hall International.Inc
Sementara itu menurut Hadriboto (2005), penatalaksanaan mioma uteri ada 2
metode, yaitu sebagai berikut:
a. Terapi medisinal (Hormonal)
Terapi ini menggunakan Gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
agonis memberikan hasil yang baik memperbaiki gejala klinis mioma uteri.
Tujuan pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan
jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis
sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi
pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi
hormonal yang lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron
akan mengurangi gejala pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma
uteri.
b. Terapi pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of
obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive
Medicine (ASRM) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi
konservatif adalah sebagai berikut:
1. Dugaan adanya keganasan
2. Pertumbuhan mioma pada masa menopause
3. Infertilitas karena ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi tuba
4. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu
5. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
6. Anemia akibat perdarahan (Hadibroto, 2005).
Adapun tindakan pembedahan yang dilakukan yaitu:
a) Miomektomi
Dilakukan pada wanita yang masih ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan
pembedahan ini dapat dilakukan dengan laparotomi, yaitu melakukan
insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus.
tindakan pembedahan ini dilakukan berdasarkan ukuran dan lokasi dari
moima (Hardibroto, 2005).
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi,
histeroskopi maupun dengan laparoskopi.
- Miomektomi Laparotomi
Dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat
mioma dari uterus. Keunggulan melakukan miomektomi adalah
lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan
terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan
miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi
secara laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga
akan mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa
penyembuhan paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
- Miomektomi Histeroskopi
Dilakukan terhadap mioma submukosum yang terletak pada
kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan paska
operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi namun
dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan
elektrolit dan perdarahan.
- Miomamektomi laparoskopi.
Dilakuakn untuk mengangkat mioma yang bertangkai diluar
kavum uteri. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan
uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi
adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko
yang terjadi pada pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma
terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium, rektum serta perdarahan.
Sampai saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan
prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang masih ingin
mempertahankan fungsi reproduksinya (Hadibroto, 2005).
b) Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah
tindakan terpilih. Histerektomi dilakukan apabila didapati keluhan
menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan
ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu (Hadibroto, 2005).
Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal (laparotomi),
vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi.
- Histerektomi Perabdominal
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal
hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH).
Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu:
STAH
Dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti
perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung
kemih dan rektum. Namun dengan melakukan STAH ada
kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi.
TAH
Jaringan granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi
sumber timbulnya sekret vagina dan perdaraahn paska operasi
dimana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.
- Histerektomi Pervaginan
Histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur
operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat
minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat
diminimalisasi. Maka histerektomi pervaginam tidak terlihat parut bekas
operasi sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik. Selain itu,
kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi lebih minimal dan
masa penyembuhan lebih cepat dibandng histerektomi abdominal.
- Histerektomi Laparoskopi
Ada beberapa teknika pada histerektomi laparoskopi, yaitu:
Histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically
assisted vaginal histerectomy / LAVH).
Teknik ini dilakukan dengan memisahkan adneksa dari dinding
pelvik dengan memotong mesosalfing kearah ligamentum kardinale
dibagian bawah, pemisahan pembuluh darah uterina dilakukan dari
vagina.
Classic intrafascial serrated edged macromorcellated hysterectomy
(CISH) tanpa colpotomy.
CISH pula merupakan modifikasi dari STAH. Pada teknik ini
dilakukan resekresi lapisan dalam dari serviks dan uterus
menggunakan morselator. Dengan prosedur ini diharapkan dapat
mempertahankan integritas dinding pelvik dan mempertahankan
aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus.
Keunggulan CISH adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan
kandung kemih, perdarahan yang lebih minimal, waktu operasi yang
lebih cepat, resiko infeksi yang lebih minimal dan masa
penyembuhan yang cepat. Selain itu, prosedur histerektomi
laparoskopi memiliki kelebihan kerana masa penyembuhan yang
singkat dan angka morbiditas yang rendah dibanding prosedur
histerektomi abdominal (Hadibroto, 2005).
c. Radioterapi
Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga
penderita mengalami menopause. Radioterapi ini umumnya hanya dikerjakan
kalau terdapat kontraindikasi untuk tindakan operatif. Akhirakhir ini
kontraindikasi tersebut makin berkurang. Radioterapi hendaknya hanya
digunakan apabila tidak ada keganasan pada uterus (Cunningham, et al,
2003).

Komplikasi
1. Degenerasi Ganas
Mioma uteri yang menjadi Leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32 0,6 % dari
seluruh mioma, serta merupakan 50 75 % dari seluruh sarkoma uterus.
Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology uterus yang
telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat
membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause
(Prawirohardjo, 2008).
2. Torsi (Putaran Tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan
sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah
syndrome abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan gangguan akut tidak
terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan dimana terdapat
banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum (Prawirohardjo, 2008).
Torsi terjadi pada mioma uteri subserosa dan mioma uteri submukosa.
Sementara itu, nekrosis dan infeksi akibat torsi yang diperkirakan karena
gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang
menyebabkan perdarahan berupa metroragia disertai leukore dan gangguan
gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri (Prawirohardjo,
2008).
3. Perdarahan sampai terjadi anemia
4. Pengaruh timbal balik moma dan kehamilan
a. Pengaruh mioma terhadap kehamilan
Infertilitas, abortus, persalinan prematuritas dan malpresentasi janin, inersia
uteri, gangguna jalan persalinan, perdarahan post partum, dan retensi
plasenta (Prawirohardjo, 2008).
b. Pengaruh kehamilan terhapad mioma
- Mioma cepat memebesar karena rangsangan sertogen
- Kemungkinan torsi mioma uteri bertangkai (Prawirohardjo, 2008).

Pencegahan
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan ini dilakukan pada perempuan yang belum menarche atau
sebelum terdapat resiko mioma uteri. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang tinggi serat seperti sayuran dan buah
(Ompusunggu, 2011).
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan awal pencegahan sebelum seseorang
menderita mioma. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan penyuluhan
mengenai faktor-faktor resiko mioma terutama pada kelompok yang beresiko
yaitu wanita pada masa reproduktif. Selain itu, tindakan pengawasan pemberian
hormon estrogen dan progesteron dengan memilih pil KB kombinasi
(mengandung estrogen dan progesteron), pil kombinasi mengandung estrogen
lebih rendah dibanding pil sekuensil, oleh karena pertumbuhan mioma uteri
berhubungan dengan kadar estrogen (Ompusunggu, 2011).
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan untuk orang yang telah terkena mioma uteri,
tindakan ini bertujuan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Pencegahan
yang dilakukan adalah dengan melakukan diagnosa dini dan pengobatan yang
tepat (Ompusunggu, 2011).
a. Gejala Subjektif
Gejala subjektif dipengaruhi oleh: letak mioma uteri, besar mioma uteri,
perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala subjektif pada mioma uteri
yaitu perdarahan abnormal, rasa nyeri, dan tanda penekanan (Ompusunggu,
2011).
b. Gejala Objektif
Gejala Objektif merupakan gejala yang ditegakkan melalui diagnosa
ahli medis. Gejala objektif mioma uteri ditegakkan melalui:
Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan Abdomen dan pemeriksaan
pelvik. Pada pemeriksaan abdomen, uterus yang besar dapat dipalpasi
pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area
perlunakan memberi kesan adanya perubahan degeneratif. Pada
pemeriksaan Pelvis, serviks biasanya normal, namun pada keadaan
tertentu mioma submukosa yang bertangkai dapat mengakibatkan dilatasi
serviks dan terlihat pada ostium servikalis. Uterus cenderung membesar
tidak beraturan dan noduler. Perlunakan tergantung pada derajat
degenerasi dan kerusakan vaskular. Uterus sering dapat digerakkan,
kecuali apabila terdapat keadaan patologik pada adneksa (Ompusunggu,
2011).
Pemeriksaan Penunjang
Apabila keberadaan masa pelvis meragukan maka pemeriksaan dengan
ultrasonografi akan dapat membantu. Selain itu melalui pemeriksaan
laboratorium (hitung darah lengkap dan apusan darah) dapat dilakukan
(Ompusunggu, 2011).
Daftar Pustaka
Chelmow, D. 2005. Gynecologic Myomectomy. Online,
(http://www.emedicine.com/med/topic3319), diakses 9 Desember 2014

Cunningham, Mc Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 2003.


Williams Obstetrics. Prentice-Hall International.Inc

Hadibroto, Budi R. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Volume 38.
No.3 Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik Medan - RSUD Dr. Pirngadi Medan

Ikbal. 2012. Mioma Uteri. Mioma Uteri. Online (http://www.repository.usu.ac.id),


diakses 9 Desember 2012

Novianto, Fajar, dkk. 2011. Presentasi Kasus: Mioma Uteri dengan


Menometroragha. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Ompusunggu, ML. 2011. Mioma Uteri. Online (http://www.repository.usu.ac.id),


diakses 9 Desember 2012

Parker WH. 2007. Etiology, Symptomatology and Diagnosis of Uterine Myomas.


Volume 87. Department of Obstetrics and gynecology UCLA School of
Medicine. California : American Society for Reproductive Medicine
Prawirohardjo E.J. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Shukri, Muhammad. 2010. Mioma Uteri. Online (http://www.repository.usu.ac.id),


diakses 9 Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai