Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan
seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam
kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai
investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa siap pakai dan tetap
terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini.
Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.
Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang
sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang kesehatan sebagai elemen penyangga,
yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap
keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita
sendiri.
Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup
bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk
menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari pusat.
Sumber :
Astiena, Dr. Adila Kasni, MARS. 2009. Materi Kuliah Pembiayaan Pelayanan Kesehatan.
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas
Depkes RI. Sistem Kesehatan Nasional. 2009. Jakarta : Depkes RI.
Pembiayaan Pelayanan Kesehatan dikutip dari http://diankusuma.files.wordpress.com. 14
November 2009. 20:15 WIB.
Pembiayaan Kesehatan dikutip dari http://www.jpkmonline-.net/index.php?option=com_
content &task= view&id=84&Itemid=119. 14 November 2009. 21:00 WIB
Peraturan atau dasar hukum dalam setiap tindakan pelayanan kesehatan di rumah sakit
wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU Kesehatan sebagai
dasar dan ketentuan umum dan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakit
dalam melakukan pelayanan kesehatan. Dalam penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit
mencakup segala aspeknya yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
Melalui ketentuan UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit dalam hal ini pemerintah dan institusi
penyelenggara pelayanan kesehatan yakni rumah sakit, memiliki tanggung jawab agar
tujuan pembangunan di bidang kesehatan mencapai hasil yang optimal, yaitu melalui
pemanfaatan tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, baik dalam jumlah maupun
mutunya, baik melalui mekanisme akreditasi maupun penyusunan standar, harus
berorientasi pada ketentuan hukum yang melindungi pasien, sehingga memerlukan
perangkat hukum kesehatan yang dinamis yang dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberi dasar bagi
pelayanan kesehatan.
Sumber :
http://www.suduthukum.com/2015/09/dasar-hukum-pelayanan-kesehatan.html
Arman Anwar[2]
Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga dikenal paling rendah di
negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp.
171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang
dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya
mampu mencapai 2,2 persen dari GNP sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP.
Kondisi ini masih jauh dibanding Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari
GNP pada 2003 (Adisasmito, 2008:78).
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, perlu upaya kerja keras
dalam pembangunan kesehatan, termasuk penyediaan SDM kesehatan.
Dalam konteks sederhana ini, terlihat peran hukum dibidang kesehatan sangat penting dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya di daerah terpencil dan sangat terpencil.
Relevansi hukum dalam bidang kesehatan memiliki fungsi yang sangat strategis. Oleh karena
itu perumusan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang baik dan
responsif, yang memenuhi rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat, telah menjadi
bagian integral dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (RENSTRA) Tahun 2010
2014.
Mengingat waktu yang diberikan sangat singkat maka pada kesempatan ini secara sekilas
pandang akan lebih difokuskan hanya pada UU Kesehatan yang baru yakni UU No 36 Tahun
2009, LN Tahun 2009 No. 144, TLN No.5063
1. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah undang-undang yang relatif
cukup lengkap
Undang-Undang kesehatan yang lama dari sisi substansi juga diaggap terlalu sentralistik,
disamping itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan dinamika
masyarakat serta dunia kesehatan kontemporer.
Meskipun disadari, UU Kesehatan yang baru 2009 dalam pembahasannya di DPR RI,
melahirkan beragam polimik di masyarakat, karena banyak pasal krusial yang sangat
sensitif, namun oleh beberapa kalangan diakui pula telah melahirkan terobosan baru dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembahasannya dilakukan melalui pendekatan yang
multidisipliner, dengan kerangka pemikiran yang lebih mendalam baik dari sisi substansi
maupun dari sisi cakupan pengaturannya yang lebih merespon tuntutan pelayanan
kesehatan untuk menjawab perkembangan dunia kesehatan di masa depan, seperti
mengutamakan prinsip jaminan pemenuhan hak asasi manusia di bidang kesehatan,
pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, implementasi hak dan
kewajiban berbagai pihak serta meningkatkan peran organisasi profesi.
Jika kita melihat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yang
baru yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua;
prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga;
kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-Undang Kesehatan
No 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan diatas maka salah satu poin penting yang diatur dalam UU
kesehatan yang baru adalah adanya pengakuan yang lebih tegas tentang pentingnya melihat
kesehatan sebagai bagian dari HAM yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Pasal 4-8).
Pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan tercermin dalam alokasi anggaran Negara
(APBN/APBD) Dalam UU Kesehatan 2009 diatur secara konkrit, yaitu pemenuhan alokasi
anggaran kesehatan untuk pusat (APBN) sebesar 5% (Pasal 171 ayat 1) dan untuk daerah
(APBD Provinsi/Kabupaten/Kota) menyiapkan 10% dari total anggaran setiap tahunnya
diluar gaji pegawai (Pasal 171 ayat 2). Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan
untuk kepentingan pelayanan publik (terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut
usia, dan anak terlantar) yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (Pasal 171 ayat 3). Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup
pelayanan kesehatan harus mencakup setiap upaya kesehatan yang menjadi komitmen
komunitas global, regional, nasional maupun lokal.
Hal ini sebetulnya sudah memenuhi harapan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang
menyebutkan, jumlah alokasi anggaran di sektor kesehatan yaitu minimal sekitar lima
persen dari anggaran suatu negara. Mudah-mudahan dengan semakin membaiknya
perekonomian Indonesia, anggaran kesehatan di Indonesia bisa sama dengan di Amerika
Serikat yang sudah diatas 10 persen.
Dari sisi pelayanan kesehatan, Profesi tenaga kesehatan memang banyak berkaitan dengan
problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik. UU Kesehatan 2009
lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada pemberi layanan selaku
tenaga kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan kesehatan (Pasal 56-58).
Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain
Bilamana dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, maka kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi (Pasal 29). Untuk itu tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang
sistem Alternative Dispute Resolution (ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat
diandalkan mengingat 90 % kasus malpraktik yang dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dapat diselesaikan dengan baik.
UU ini juga menjamin keterjangkaun pembiayaan kesehatan bagi semua pasien. Pasal 23
ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama memberikan
pelayanan kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau meminta uang muka
apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang kerap terjadi adanya
layanan kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien tidak mampu
menyediakan sejumlah uang. Aturan semacam ini dibuat untuk mencegah cara-cara tidak
manusiawi dalam memperlakukan pasien.
Sumber :
[1] Makalah dalam Rapat Kerja Bidang Kesehatan (Rakerkesda) Kabupaten Buru Tahun 2011
dengan tema: Melalui Rakerkesda Kita Wujudkan Tercapainya MDGs Tahun 2015, 4 6
April 2011, Aula Kantor Bupati Buru, Namlae, Kabupaten Buru