Anda di halaman 1dari 11

Pembiayaan Pelayanan Kesehatan

1. Pembiayaan Pelayanan Kesehatan

(Health Care Financing)

Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan
seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam
kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai
investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa siap pakai dan tetap
terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini.
Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.

Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang
sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang kesehatan sebagai elemen penyangga,
yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap
keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita
sendiri.
Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup
bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk
menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari pusat.

2. Sistem Kesehatan Nasional

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :


a. Upaya Kesehatan
b. Pembiayaan Kesehatan
c. Sumber Daya Manusia Kesehatan
d. Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
e. Pemberdayaan Masyarakat
f. Manajemen Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa
faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran
(kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan
sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari
anggaran yang ada.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan.
Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah
untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena kesehatan
belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang mengalami transisi
demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan
efisien akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-program kesehatan yang
hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi. Relatif ketatnya birokrasi di
lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang
sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran serta
masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim, jika
tak mau disebut tidak ada sama sekali.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat
vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan
penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan
pelayanankesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas
(assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya
memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin
terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan
efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang
memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya
adalah dalam area sebagai berikut:
a. meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan
b. mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan
kesehatan masyarakat miskin
c. pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan
sosial (SHI)
d. penggalian dukungan nasional dan internasional
e. penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional
f. pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta
ilmiah
g. pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal
pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan
kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan
efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang memadai
dan dapat diterima pengguna jasa.
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna,
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Strategi Pembiayaan Kesehatan


Mekanisme pembayaran (payment mechanism), yang dilakukan selama ini adalah provider
payment melalui sistem budget, kecuali untuk pelayanan persalinan yang oleh bidan di klaim
ke Puskesmas atau Kantor Pos terdekat. Alternatif lain adalah empowerment melalui sistem
kupon. Kekuatan dan kelemahan alternatif-alternatif tersebut perlu ditelaah dengan melibatkan
para pelaku di tingkat pelayanan.
Informasi tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing cara tersebut juga merupakan
masukan penting untuk melengkapi kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan
kesehatan penduduk miskin.Alternatif Sumber Pembiayaan: Prospek Asuransi Kesehatan
Dalam penyaluran dana JPS-BK tahun 2001, dicoba dikembangkan JPKM (Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) sebagai wadah penyaluran dana JPS-BK. Upaya tersebut
umumnya tidak berhasil, karena dalam praktik yang dilakukan hanyalah pemberian jasa
administrasi keuangan yang dikenal sebagai TPA (Third Party Administration). Berdasarkan
pengalaman tersebut diketahui bahwa salah satu prinsip pokok asuransi tidak bisa diterapkan,
yaitu pooling of risk. Dalam prinsip ini risiko ditanggung peserta dari berbagai tingkatan,
tidak hanya oleh penduduk miskin. Selain itu, 4 pemberian premi sebesar Rp 10.000/Gakin
(dan dipotong 8% oleh Badam Pelaksana JPKM) tidak didasarkan pada perhitungan risiko
finansial mengikuti prinsip-prinsip aktuarial yang profesional.
4. Curative vs Preventive Care
a. Sebagian besar dana (pemerintah & swasta) dialokasikan ke program kuratif.
b. Pengalaman empiris menunjang bahwa kegiatan preventif lebih efektif meningkatkan
status kesehatan ketimbang curative care
c. Persepsi preventive, bisa ditunda karena tidak immediate needs- sering salah
Kenapa Preventive tidak menjadi Prioritas?
a. Negara berkembang cenderung alokasi lebih besar ke kuratif dibanding preventif
immediate needs
b. Tenaga kesehatan lebih terlatih untuk memberi pelayanan kuratif dari pada kuratif
c. Ukuran preventif tidak selalu berkaitan langsung dengan kesehatan, seperti diet,
exercise, dll.
d. Pendapatan perkapita negara yang tinggi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi , sadar
untuk alokasi preventif
Kesehatan sebagai barang Konsumsi dan Investasi
a. Sebagai barang konsumsi yang langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(konsumsi), atau
b. Kesehatan sebagai kendaraan untuk meningkatkan output dalam perekonomian?
(investasi)
Makna investasi dalam budget berbeda yaitu biaya pembelian barang fisik, alat untuk RS atau
fasilitas kesehatan lainnya.
5. Pendidikan dan Pelatihan
a. Pendidikan untuk tenaga kesehatan : dokter, spesialis, dokter gigi, apoteker, public
health, ada di bawah diknas
b. Pendidikan untuk tenaga kesehatan: perawat, tenaga analis, bidan, ada di bawah depkes
c. Pendidikan dan kesehatan militer: Pendidikan untuk pengobatan alternatif
d. Lebih rasional masuk ke sektor pendidikan

PEMBIAYAAN KESEHATAN DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL


Subsistem pembiayaan kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan berbagai upaya
penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung
penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan
kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, merata dan termanfaatkan
secara berhasilguna dan berdaya guna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Unsur-unsur Pembiayaan Kesehatan
a. Dana
Dana digali dari sumber pemerintah baik dari sektor kesehatan dan sektor lain terkait, dari
masyarakat, maupun swasta serta sumber lainnya yang digunakan untuk mendukung
pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dana yang tersedia harus mencukupi dan dapat
dipertanggung-jawabkan.
b. Sumber daya
Sumber daya pembiayaan kesehatan terdiri dari: SDM pengelola, standar, regulasi dan
kelembagaan yang digunakan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam upaya penggalian,
pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung terselenggaranya
pembangunan kesehatan.
c. Pengelolaan Dana Kesehatan
Prosedur/Mekanisme Pengelolaan Dana Kesehatan adalah seperangkat aturan yang disepakati
dan secara konsisten dijalankan oleh para pelaku subsistem pembiayaan kesehatan, baik oleh
Pemerintah secara lintas sektor, swasta, maupun masyarakat yang mencakup mekanisme
penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan.

Prinsip Subsistem Pembiayaan Kesehatan


a.Pembiayaan kesehatan pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama pemerintah,
masyarakat, dan swasta. Alokasi dana yang berasal dari pemerintah untuk upaya kesehatan
dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, baik Pusat maupun daerah,
sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15% dari total anggaran pendapatan dan belanja setiap
tahunnya. Pembiayaan kesehatan untuk orang miskin dan tidak mampu merupakan tanggung
jawab pemerintah.
Dana kesehatan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun
swasta yang harus digali dan dikumpulkan serta terus ditingkatkan untuk menjamin kecukupan
agar jumlahnya dapat sesuai dengan kebutuhan, dikelola secara adil, transparan, akuntabel,
berhasilguna dan berdayaguna, memperhatikan subsidiaritas dan fleksibilitas, berkelanjutan,
serta menjamin terpenuhinya ekuitas.
b.Dana Pemerintah ditujukan untuk pembangunan kesehatan, khususnya diarahkan untuk
pembiayaan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan dengan
mengutamakan masyarakat rentan dan keluarga miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-
pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta. Selain itu, program-program
kesehatan yang mempunyai daya ungkittinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan menjadi
prioritas untuk dibiayai.
Dalam menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan dana kesehatan, maka sistem
pembayaran pada fasilitas kesehatan harus dikembangkan menuju bentuk pembayaran
prospektif. Adapun pembelanjaan dana kesehatan dilakukan melalui kesesuaian antara
perencanaan pembiayaan kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran
dan kompetensi pemberi pelayanan kesehatan dengan tujuan pembangunan kesehatan.
c.Dana kesehatan diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan perorangan dan masyarakat
melalui pengembangan sistem jaminan kesehatan sosial, sehingga dapat menjamin
terpeliharanya dan terlindunginya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Setiap dana kesehatan digunakan secara bertanggung-jawab berdasarkan prinsip pengelolaan
kepemerintahan yang baik (good governance), transparan, dan mengacu pada peraturan
perundangan yang berlaku.
d.Pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan diupayakan melalui penghimpunan
secara aktif dana sosial untuk kesehatan (misal: dana sehat) atau memanfaatkan dana
masyarakat yang telah terhimpun (misal: dana sosial keagamaan) untuk kepentingan kesehatan.
e.Pada dasarnya penggalian, pengalikasian, dan pembelanjaan pembiayaan kesehatan di daerah
merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun untuk pemerataan pelayanan
kesehatan, pemerintah menyediakan dana perimbangan (maching grant) bagi daerah yang
kurang mampu.

Penyelenggaraan Pembiayaan Kesehatan


Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan suatu proses yang terus-menerus dan terkendali,
agar tersedia dana kesehatan yang mencukupi dan berkesinambungan, bersumber dari
pemerintah, swasta, masyarakat, dan sumber lainnya. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan
kesehatan dilakukan melalui penggalian dan pengumpulan berbagai sumber dana yang dapat
menjamin kesinambungan pembiayaan pembangunan kesehatan, mengalokasikannya secara
rasional, menggunakannya secara efisien dan efektif.
Dalam hal pengaturan penggalian dan pengumpulan serta pemanfaatan dana yang bersumber
dari iuran wajib, pemerintah harus melakukan sinkronisasi dan sinergisme antara sumber dana
dari iuran wajib, dana APBN/APBD, dana dari masyarakat, dan sumber lainnya.
a.Penggalian dana
Penggalian dana untuk upaya pembangunan kesehatan yang bersumber dari pemerintah
dilakukan melalui pajak umum, pajak khusus, bantuan atau pinjaman yang tidak mengikat,
serta berbagai sumber lainnya; dana yang bersumber dari swasta dihimpun dengan menerapkan
prinsip public-private partnership yang didukung dengan pemberian insentif; penggalian dana
yang bersumber dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri atau dilakukan
secara pasif dengan memanfaatkan berbagai dana yang sudah terkumpul di masyarakat.
Penggalian dana untuk pelayanan kesehatan perorangan dilakukan dengan cara penggalian dan
pengumpulan dana masyarakat dan didorong pada bentuk jaminan kesehatan.
b.Pengalokasian Dana
Pengalokasi dana pemerintah dilakukan melalui perencanaan anggaran dengan mengutamakan
upaya kesehatan prioritas, secara bertahap, dan terus ditingkatkan jumlah pengalokasiannya
sehingga sesuai dengan kebutuhan.
Pengalokasian dana yang dihimpun dari masyarakat didasarkan pada asas gotong-royong
sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Sedangkan pengalokasian dana untuk pelayanan
kesehatan perorangan dilakukan melalui kepesertaan dalam jaminan kesehatan.
c.Pembelanjaan
Pemakaian dana kesehatan dilakukan dengan memperhatikan aspek teknis maupun alokatif
sesuai peruntukannya secara efisien dan efektif untuk terwujudnya pengelolaan pembiayaan
kesehatan yang transparan, akuntabel serta penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good
Governance).
Pembelanjaan dana kesehatan diarahkan terutama melalui jaminan kesehatan, baik yang
bersifat wajib maupun sukarela. Hal ini termasuk program bantuan sosial dari pemerintah untuk
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (Jamkesmas)

Sumber :
Astiena, Dr. Adila Kasni, MARS. 2009. Materi Kuliah Pembiayaan Pelayanan Kesehatan.
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas
Depkes RI. Sistem Kesehatan Nasional. 2009. Jakarta : Depkes RI.
Pembiayaan Pelayanan Kesehatan dikutip dari http://diankusuma.files.wordpress.com. 14
November 2009. 20:15 WIB.
Pembiayaan Kesehatan dikutip dari http://www.jpkmonline-.net/index.php?option=com_
content &task= view&id=84&Itemid=119. 14 November 2009. 21:00 WIB

Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan


Sudut Hukum | Dasar Hukum Pelayanan Kesehatan
Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, maka semakin
berkembang juga aturan dan peranan hukum dalam mendukung peningkatan pelayanan
kesehatan, alasan ini menjadi faktor pendorong pemerintah dan institusi penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menerapkan dasar dan peranan hukum dalam meningkatkan
pelayanan kesehatan yang berorientasi terhadap perlindungan dan kepastian hukum
pasien. Dasar hukum pemberian pelayanan kesehatan secara umum diatur dalam Pasal 53
UU Kesehatan, yaitu:

1. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan


memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
3. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan
lainnya.

Kemudian dalam Pasal 54 UU Kesehatan juga mengatur pemberian pelayanan kesehatan,


yaitu:

1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab,


aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum, yang
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dalam hal
ini rumah sakit terhadap penerima pelayanan kesehatan, yang meliputi kegiatan atau
aktivitas professional di bidang pelayanan prefentif dan kuratif untuk kepentingan pasien.
Secara khusus dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakit, rumah sakit mempunyai
kewajiban memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah
sakit.

Peraturan atau dasar hukum dalam setiap tindakan pelayanan kesehatan di rumah sakit
wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU Kesehatan sebagai
dasar dan ketentuan umum dan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf (b) UU Rumah Sakit
dalam melakukan pelayanan kesehatan. Dalam penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit
mencakup segala aspeknya yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.

Melalui ketentuan UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit dalam hal ini pemerintah dan institusi
penyelenggara pelayanan kesehatan yakni rumah sakit, memiliki tanggung jawab agar
tujuan pembangunan di bidang kesehatan mencapai hasil yang optimal, yaitu melalui
pemanfaatan tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, baik dalam jumlah maupun
mutunya, baik melalui mekanisme akreditasi maupun penyusunan standar, harus
berorientasi pada ketentuan hukum yang melindungi pasien, sehingga memerlukan
perangkat hukum kesehatan yang dinamis yang dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberi dasar bagi
pelayanan kesehatan.
Sumber :

http://www.suduthukum.com/2015/09/dasar-hukum-pelayanan-kesehatan.html

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG KESEHATAN[1]

Arman Anwar[2]

Indonesia masih mengalami keterlambatan dalam proses realisasi pencapaian Tujuan


Pembangunan Millenium (TMP) / Millenium Development Goals (MDGs). Terlihat pada
masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, masih rendahnya kualitas sanitasi & air
bersih, laju penularan HIV/AIDS yang kian sulit dikendalikan, serta meningkatnya beban
utang luar negeri yang kian menumpuk. Permasalahan tersebut jelas memberikan pengaruh
pada kualitas hidup manusia Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia
yang kian menurun pada Human Development Growth Index. Pada tahun 2006 Indonesia
menyentuh peringkat 107 dunia, 2008 di 109, hingga tahun 2009 sampai dengan 2010 masih
di posisi 111. Posisi Indonesia ternyata selisih 9 peringkat dengan Palestina yang berada di
posisi 101. Sulit dipungkiri, dan sungguh ironis
(Progres Report in Asia & The Pacific yang diterbitkan UNESCAP)

Khusus masalah pembiayaan kesehatan per kapita. Indonesia juga dikenal paling rendah di
negara-negara ASEAN. Pada tahun 2000, pembiayaan kesehatan di Indonesia sebesar Rp.
171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi capital expenditure (modal yang
dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya
mampu mencapai 2,2 persen dari GNP sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP.
Kondisi ini masih jauh dibanding Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari
GNP pada 2003 (Adisasmito, 2008:78).

Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, perlu upaya kerja keras
dalam pembangunan kesehatan, termasuk penyediaan SDM kesehatan.

Ketidakseimbangan kualifikasi, jumlah dan distribusi SDM kesehatan menyebabkan


rendahnya jumlah SDM kesehatan berkualitas terutama di daerah terpencil. Hal itu disebabkan
karena SDM kesehatan berkualitas enggan ditempatkan di daerah terpencil dan sangat
terpencil. Karena itu, pemerintah memberikan perhatian serius pada pengembangan dan
pemberdayaan tenaga kesehatan melalui Inpres No: 1 Tahun 2010, yang mengamanatkan
Kemenkes berkewajiban menyebarkan lebih banyak staf medis di daerah terpencil. Selain itu,
dengan Inpres No: 3 tahun 2010, Kemenkes harus mengembangkan pemetaan kebutuhan
tenaga kesehatan sedangkan Kementerian PAN menjamin 30% total formasi tenaga kesehatan
untuk ditempatkan di daerah terpencil dan sangat terpencil.

Dalam konteks sederhana ini, terlihat peran hukum dibidang kesehatan sangat penting dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia khususnya di daerah terpencil dan sangat terpencil.

Relevansi hukum dalam bidang kesehatan memiliki fungsi yang sangat strategis. Oleh karena
itu perumusan peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang baik dan
responsif, yang memenuhi rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat, telah menjadi
bagian integral dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (RENSTRA) Tahun 2010
2014.

Berbicara tentang Peraturan perundang-undangan sangatlah luas karena pengertian peraturan


perundang-undangan menurut Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mencakup UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah/Perpu, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah (Pasal 7 ayat 1) serta berbagai
jenis peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat 4). Khusus Peraturan perundang-undangan
dalam bidang kesehatan kita ketahui ada UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dll.
Begitupun dalam bentuk Peraturan Pemerintah juga sangat banyak diantaranya PP No 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, PP No.51 Tahun 2009 tentang Tenaga Kefarmasian,
dll

Mengingat waktu yang diberikan sangat singkat maka pada kesempatan ini secara sekilas
pandang akan lebih difokuskan hanya pada UU Kesehatan yang baru yakni UU No 36 Tahun
2009, LN Tahun 2009 No. 144, TLN No.5063
1. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah undang-undang yang relatif
cukup lengkap

Undang-Undang Kesehatan merupakan landasan utama dan merupakan payung hukum


bagi setiap penyelenggara pelayanan kesehatan. Oleh karena itu ada baiknya setiap orang
yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang
diatur didalam undang-undang tersebut.

Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memiliki landasan hukum yang


telah disesuaikan dengan UUD 1945 hasil amandemen, seperti dalam konsideran
mengingat; sebagaimana dicantumkannya Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, undang-undang ini juga memiliki jumlah pasal
yang sangat banyak yaitu terdiri dari 205 pasal dan 22 bab, serta penjelasannya. Jika
dibandingan dengan UU Kesehatan yang lama yaitu UU No 23 Tahun 1992, hanya terdiri
dari 12 Bab dan 90 Pasal.

Undang-Undang kesehatan yang lama dari sisi substansi juga diaggap terlalu sentralistik,
disamping itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan dinamika
masyarakat serta dunia kesehatan kontemporer.

Meskipun disadari, UU Kesehatan yang baru 2009 dalam pembahasannya di DPR RI,
melahirkan beragam polimik di masyarakat, karena banyak pasal krusial yang sangat
sensitif, namun oleh beberapa kalangan diakui pula telah melahirkan terobosan baru dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembahasannya dilakukan melalui pendekatan yang
multidisipliner, dengan kerangka pemikiran yang lebih mendalam baik dari sisi substansi
maupun dari sisi cakupan pengaturannya yang lebih merespon tuntutan pelayanan
kesehatan untuk menjawab perkembangan dunia kesehatan di masa depan, seperti
mengutamakan prinsip jaminan pemenuhan hak asasi manusia di bidang kesehatan,
pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, implementasi hak dan
kewajiban berbagai pihak serta meningkatkan peran organisasi profesi.

2. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membawa Paradigma Baru

Jika kita melihat 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yang
baru yaitu pertama; kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, kedua;
prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Ketiga;
kesehatan adalah investasi. Keempat; pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat, dan yang Kelima adalah bahwa Undang-Undang Kesehatan
No 23 tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan diatas maka salah satu poin penting yang diatur dalam UU
kesehatan yang baru adalah adanya pengakuan yang lebih tegas tentang pentingnya melihat
kesehatan sebagai bagian dari HAM yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Pasal 4-8).
Pemenuhan hak masyarakat atas kesehatan tercermin dalam alokasi anggaran Negara
(APBN/APBD) Dalam UU Kesehatan 2009 diatur secara konkrit, yaitu pemenuhan alokasi
anggaran kesehatan untuk pusat (APBN) sebesar 5% (Pasal 171 ayat 1) dan untuk daerah
(APBD Provinsi/Kabupaten/Kota) menyiapkan 10% dari total anggaran setiap tahunnya
diluar gaji pegawai (Pasal 171 ayat 2). Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan
untuk kepentingan pelayanan publik (terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut
usia, dan anak terlantar) yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (Pasal 171 ayat 3). Bahkan lebih jauh lagi, ruang lingkup
pelayanan kesehatan harus mencakup setiap upaya kesehatan yang menjadi komitmen
komunitas global, regional, nasional maupun lokal.

Hal ini sebetulnya sudah memenuhi harapan organisasi kesehatan dunia (WHO) yang
menyebutkan, jumlah alokasi anggaran di sektor kesehatan yaitu minimal sekitar lima
persen dari anggaran suatu negara. Mudah-mudahan dengan semakin membaiknya
perekonomian Indonesia, anggaran kesehatan di Indonesia bisa sama dengan di Amerika
Serikat yang sudah diatas 10 persen.

Dari sisi pelayanan kesehatan, Profesi tenaga kesehatan memang banyak berkaitan dengan
problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik. UU Kesehatan 2009
lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum baik pada pemberi layanan selaku
tenaga kesehatan (Pasal 21-29) maupun penerima layanan kesehatan (Pasal 56-58).

Pada satu sisi, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Namun disisi lain
Bilamana dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, maka kelalaian tersebut menurut UU harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi (Pasal 29). Untuk itu tenaga kesehatan sebaiknya juga mulai memahami tentang
sistem Alternative Dispute Resolution (ADR). Efektifitas sistem ini cukup dapat
diandalkan mengingat 90 % kasus malpraktik yang dimediasi oleh Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dapat diselesaikan dengan baik.

UU ini juga menjamin keterjangkaun pembiayaan kesehatan bagi semua pasien. Pasal 23
ayat 4 menentukan bahwa Penyelenggara pelayanan kesehatan selama memberikan
pelayanan kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.

Pasal 32 UU Kesehatan 2009 secara tegas melarang seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
baik milik pemerintah maupun swasta untuk menolak pasien dan atau meminta uang muka
apalagi dalam kondisi Bencana (Pasal 85). Selama ini memang kerap terjadi adanya
layanan kesehatan yang menolak untuk mengobati karena pasien tidak mampu
menyediakan sejumlah uang. Aturan semacam ini dibuat untuk mencegah cara-cara tidak
manusiawi dalam memperlakukan pasien.

Sumber :

[1] Makalah dalam Rapat Kerja Bidang Kesehatan (Rakerkesda) Kabupaten Buru Tahun 2011
dengan tema: Melalui Rakerkesda Kita Wujudkan Tercapainya MDGs Tahun 2015, 4 6
April 2011, Aula Kantor Bupati Buru, Namlae, Kabupaten Buru

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Pattimura

Anda mungkin juga menyukai