Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Payudara itu tidak selalu sama besar, selalu ada perbedaan sedikit.

Adakalanya yang sebelah tidak berkembang sesempurna yang sebelahnya. Ini

tidak perlu dikhawatirkan sebagai suatu hal yang patologik. Payudara pada wanita

menonjol mulai dari iga ke II / III sampai ke VI/VII dan dari dekat pinggir sternum

sampai garis axillaris anterior. Tetapi jaringan payudara yang sebenarnya lebih

luas lagi, ia bisa sampai klavikula sebagai suatu lapisan jaringan tipis dan ke

medial sampai garis median, ke lateral sampai pinggir m. Latissimus dorsi.

Sebagai tonjolan payudara itu terdiri dari jaringan lemak.1

Keluhan utama penderita kelainan payudara sehingga datang berobat ke

dokter adalah berupa adanya benjolan (78 persen hingga 80 persen), rasa nyeri atau

sakit (10 persen hingga 12 persen), adanya cairan keluar dari puting susu (4 persen

hingga 6 persen). Ada beberapa anomali yang terjadi pada mamma, yaitu : Amastia,

Jaringan mamma aksesoris (Supernumerary breast) atau mamma aberrans dan

bentuk abnormal dari payudara. Mamma Aberrans merupakan hasil dari kegagalan

regresi jaringan payudara selama embriogenesis. Hal ini dapat hadir di mana saja

sepanjang garis susu (milk line), dari regio aksila ke inguinal.1

Insiden Mamma Abberans tidak pasti, tetapi umumnya diyakini menjadi

sekitar 1% dalam suatu populasi. Mamma Abberans tanpa kehadiran puting terletak

1
di luar pinggiran kelenjar didefinisikan sebagai jaringan payudara menyimpang dan

sering misdiagosed sebagai, subkutan lesion. Sehingga sebagai dokter umum untuk

membedakannya dari penyakit lain yang berhubungan dengan payudara,

dibutuhkan pengetahuan tentang Mamma Aberrans itu sendiri dan kemampuan

untuk mediagnosa serta penatalaksanaan awal dengan baik penyakit tersebut.2

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan

pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi),

perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan

nyeri menahun. Dalam anastesi dibagi beberapa macam jenis anastesi diantaranya

adalah general anastesi, anastesi lokal dan anastesi regional.11

Salah satu anastesi yang sering digunakan adalah generaal anastesi. General

anastesi adalah blokade nyeri dari seluruh tubuh yang mengakibatkan depresi nervus

saraf pusat yang reversible dengan menggunakan obat-obatan secara IV, inhalasi,

atau kombinasi keduanya.11

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi dan Anatomi Mamma

a. Embriologi

Pada minggu ke lima atau enam embrional kehamilan, terdapat dua ventral

band dari penebalan ektoderm (mammary ridges, milk lines). Pada mammalia,

penebalan ini terbentang bilateral dari axila ke vulva. Pada minggu kesembilan,

milk lines ini menjadi atrofi, kecuali di daerah pectoralis dan mulai tampak

tunas putting susu (primordium payudara). Pada minggu ke dua belas tunas putting

susu diinvasi oleh epitel skuamosa ektodermis.1

Pada bulan ke lima, jaringan ikat mesenkim menginfiltrasi primordium

payudara dan berdiferensiasi menjadi l5 sampai 20 filamen padat yang terdistribusi

simetris dibawah kulit tunas puting susu. Ductulus mamma berkembang sebagai

pertumbuhan ke dalam ventral dari sisa embriologi ini, yang terbagi ke dalam duktus

susu primer dan berakhir dalam tunas lobulus. Tunas putting susu akan terbuka

dan membentuk mammary pit;yang selanjutnya akan terelevasi dan membentuk

puting susu.1

3
Gambar 2.1 milk lines

a. Anatomi Payudara

Payudara adalah organ yang berperan dalam proses laktasi, sedangkan pada

pria organ ini tidak berkembang dan tidak memiliki fungsi dalam proses laktasi

seperti pada wanita (rudimeter). Payudara terletak antara iga ketiga dan ketujuh serta

terbentang lebarnya dari linea parasternalis sampai axillaris anterior dan mediana.

Berat dan ukuran payudara bervariasi sesuai pertambahan umur, pada masa pubertas

membesar, dan bertambah besar selama kehamilan dan sesudah melahirkan, dan

menjadi atropi pada usia lanjut.2

Setiap payudara terdiri atas 15 sampai 25 lobus kelenjar yang masing-masing

mempunyai saluran ke papilla mamma yang disebut duktus laktiferus dan dipisahkan

oleh jaringan lemak yang bervariasi jumlahnya. Diantara kelenjar susu dan fasia

pektoralis, juga di antara kulit dan kelenjar tersebut terdapat jaringan lemak. Di antara

lobus tersebut terdapat jaringan ikat yang disebut ligamentum cooper yang

merupakan tonjolan jaringan payudara, yang bersatu dengan lapisan luar fasia

superfisialis yang berfungsi sebagai struktur penyokong dan memberi rangka untuk

4
payudara. Jaringan ikat memisahkan payudara dari otot-otot dinding dada, otot

pektoralis dan anterior.2

Pembuluh darah mammae berasal dari arteri mamaria interna dan arteri

torakalis lateralis. Vena supervisialis mamae mempunyai banyak anastomosa yang

bermuara ke vena mamaria interna dan vena torakalis interna/epigastrika, sebagian

besar bermuara ke vena torakalis lateralis. Aliran limfe dari payudara kurang lebih

75% ke aksila, sebagian lagi ke kelenjar terutama dari bagian yang sentral dan medial

dan ada pula aliran ke kelenjar interpektoralis.Untuk lebih jelas dari anatomi

payudara dapat dilihat pada gambar berikut:2

Gambar 2.2 Anatomi Payudara

5
Fisiologi Payudara Perkembangan dan fungsi payudara dimulai oleh berbagai

hormon. Esterogen diketahui merangsang perkembangan duktus mamilaris.

Progesteron memulai perkembangan lobulus-lobulus payudara juga diferensiasi sel

epitelial. Payudara mengalami tiga macam perubahan yang dipengaruhi oleh hormon,

antara lain:

a. Perubahan pertama adalah mulai dari masa hidup anak melalui masa hidup

pubertas, masa fertilitas, sampai ke klimakterium, dan menopause. Sejak pubertas

pengaruh estrogen dan progesteron yang diproduksi ovarium dan juga hormon

hipofise, telah menyebabkan duktus berkembang dan timbulnya asinus.

b. Perubahan kedua adalah perubahan sesuai dengan daur haid. Sekitar hari ke-8

haid, payudara menjadi lebih besar dan pada beberapa hari sebelum haid

berikutnya terjadi pembesaran maksimal. Kadang-kadang timbul benjolan yang

nyeri dan tidak rata. Selama beberapa hari menjelang haid, payudara menjadi

tegang dan nyeri sehingga pemeriksaan fisik terutama palpasi tidak mungkin

dilakukan. Begitu haid dimulai, semuanya berkurang.

c. Perubahan ketiga terjadi pada masa hamil dan menyusui. Pada masa

kehamilan, payudara menjadi besar karena epitel duktus lobul dan duktus alveolus

berproliferasi, dan tumbuh duktus baru. Sekresi hormon prolaktin dari hipofisis

anterior memicu laktasi. Air susu diproduksi oleh sel-sel alveolus mengisi asinus,

kemudian dikeluarkan melalui duktus ke puting susu.

6
2.2 Definisi Mamma Aberrans

Mamma aberrans adalah terdapatnya payudara atau papillae mamma yang

lebih dari dua. Letaknya pada garis susu dari axilla sampai ke inguinal tapi

kebanyakan di axilla.3

Gambar 2.3 Mamma Aberrans

2.3 Etiologi dan Epidemiologi Mamma Aberrans

Downer menemukan dari kepustakaan 430 kasus. Menurut Haagensen

insidensi anomali ini 1-2 % pada wanita kulit putih. Tetapi penduduk Asia

agaknya lebih banyak. Iwai menemukan 1,88 % pada pria dan 5,19 % pada wanita.

Taheya menemukan 3,8 % pada pria Tionghoa. Menurut Haagensen mamma aberrans

ditemukan 2 kali lebih banyak pada wanita dari pada laki-laki, yang ditemukan di

Bandung hampir selalu wanita. Anomalis tersebut ada hubungannya dengan

keturunan. Terdapat pada keluarga - keluarga tertentu.3

7
2.4 Patofisiologi Mamma Aberrans

Pada minggu ke lima atau enam embrional kehamilan, terdapat dua ventral

band dari penebalan ektoderm (mammary ridges, milk lines). Pada mammalia,

penebalan ini terbentang bilateral dari axila ke vulva. Pada minggu kesembilan,

mammary ridges ini menjadi atrofi, kecuali di daerah pectoralis. Disepanjang milk

lines terdapat rudimen multipel untuk perkembangan payudara dikemudian hari.4

Rudimen multiple tersebut akan berkembang dikemudian hari jika terdapat

pengaruh hormonal baik pada masa pubertas ataupun kehamilan. Hasil kegagalan

regresi mammary ridges pada mamma aberrans memiliki berbagai tingkat ekspresi

klinis termasuk jaringan payudara dengan puting tanpa memiliki areola, jaringan

kelenjar dengan areola tapi tanpa puting, atau hanya dengan jaringan payudara bukan

merupakan areola atau nipple. Terjadinya jaringan payudara menyimpang yang

paling sering terjadi di kawasan aksila.4

2.5 Klasifikasi Mamma Aberrans

Mamma aberrans memiliki beberapa bentuk dan telah diklasifikasikan oleh

Kajava sebagai berikut :

a. payudara lengkap dengan puting, areola, dan jaringan kelenjar,

b. jaringan payudara tanpa areola tapi dengan puting dan jaringan kelenjar,

c. payudara tanpa puting tapi dengan jaringan areola dan kelenjar,

d. payudara tanpa puting atau areola,

e. pseudomamma dengan puting dan areola tapi tanpa kelenjar jaringan (jaringan

payudara digantikan oleh lemak),

8
f. polythelia (Adanya puting saja);

g. polythelia areolaris (keberadaan dari areola saja),

h. polythelia pilosa (kehadiran hanya sepetak rambut)

2.6 Manifestasi Klinis Mamma Aberrans

Ectopic breast tissue mungkin muncul sebagai sesuatu dari jaringan

subkutan dan memiliki fungsi penuh. 16 Secara histologi, supernumerary breast

mungkin memiliki sistem duktal yang terorganisir pada kulit eksternal, sedangkan

ectopic breast tissue sendiri tidak memiliki perkembangan duktus tersebut dan tidak

terhubung ke payudara ipsilateral. Jaringan ini mengikuti kontrol hormon normal

dan dapat menjadi klinis yang jelas saat perempuan memasuki masa puber atau

selama kehamilan.4

Payudara ektopik dengan kompleks areolar lengkap akan berfungsi sebagai

payudara normal, termasuk menyusui. Gejala pada jaringan payudara aksila

dilaporkan memburuk dengan kehamilan berikutnya, menyebabkan rasa sakit

meningkat dan iritasi lokal. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa jaringan

mungkin tanpa gejala.4

Polythelia dihubungkan dengan kelainan pada saluran kemih. Kelainan

ginjal tersebut termasuk kegagalan pembentukan ginjal dan karsinoma ginjal.

Hubungan polythelia dan anomali ginjal tidak begitu kuat tetapi sangat didukung

oleh beberapa studi. Sebuah studi dari Israel melaporkan 40% dari anak-anak

dengan polythelia memiliki anomali ginjal obstruktif atau duplikasi dari sistem

ekskretoris. Kehadiran puting ekstra pada anak-anak harus meningkatkan kecurigaan

9
klinisi anomali ginjal. Umumnya, mamma aberrans terjadi secara sporadis, tetapi

kasuskasus familial dilaporkan. Dalam keluarga, mamma aberrans dapat dilihat

pada saudara kandung. Toumbis-Ioannou dan Cohen menggambarkan seorang

wanita dengan sisi kiri polythelia dan ginjal kanan ektopik. Kakaknya memiliki

sisi kiri polythelia, dan kakaknya memiliki payudara supernumerary lengkap di

sisi kirinya.4

2.7 Diagnosis Klinis Mamma Aberrans

Untuk mendiagnosis suatu benjolan / massa, baik itu yang terdapat di regio

aksilaris ataupun regio mammaria, ada beberapa hal yang harus kita pikirkan.

Apakah benjolan merupakan suatu anomali, tumor jinak, keganasan atau

merupakan suatu infeksi baik itu spesifik maupun non spesifik. Hal tersebut

dapat kita bedakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan

penunjang jika dibutuhkan. Untuk suatu benjolan atau massa apapun, diagnosis

jaringan diperlukan.3

Diagnosis dini karsinoma pada mamma aberrans memerlukan diagnosis

jaringan awal karena diagnosis klinis tidak dapat diandalkan. Jika ditemani oleh

kompleks puting-areolar, massa mungkin tidak salah didiagnosis sebagai lipoma,

kelenjar getah bening, kista sebasea, atau suppurativa hidradenitis. Mamma

aberrans berisiko untuk menjadi jinak ataupun ganas. Diagnosa dilaporkan termasuk

penyakit fibrokistik, mastitis, fibroadenoma, hiperplasia atipikal, dan karsinoma.5

Penyakit keganasan yang paling sering dilaporkan adalah infiltrating ductal

carcinoma (79%), diikuti oleh meduler dan karsinoma lobular (9,5%). Satu studi

10
tentang mamma aberrans didiagnosis dengan aspirasi jarum halus hanya ditemukan 2

kasus kemungkinan kanker dari 69 kasus, dan sebuah studi terpisah dari jaringan

payudara aksilaris menyimpang dihapus untuk tujuan kosmetik menemukan kanker

tidak ada dalam 28 kasus.5

2.8 Penatalaksanaan Mamma Aberrans

Mamma aberrans untuk sebagian besar kasus hadir sebagai masalah

kosmetik dan mungkin pembedahan. Mereka juga dapat dibuang ketika

menyebabkan ketidaknyamanan karena terasa mengganjal , menseksresikan cairan

susu atau bahkan adanya kekuatiran bila terjadi karsinoma yang tidak mudah

diketahui. Dalam kasus mamma aberrans ektirpasi yang direkomendasikan.

Operasi tersebut harus dilakukan dengan tenang dan sebaliknya dengan narkose

agar yang dianggap benar-benar jaringan kelenjar payudara yang dimaksud, bukan

jaringan lemak subkutan.6

2.9 Komplikasi Mamma Aberrans

Seperti disebutkan, jaringan mamma aberrans dapat menjalani perubahan

patologis yang sama seperti payudara normal. Kasus mamma aberrans dengan

perubahan kistik jinak, tumor jinak (adenoma dan fibroadenoma), dan karsinoma

telah dilaporkan. Ketika massa terletak di sepanjang milk lines, kemungkinan

adanya jaringan payudara harus dipertimbangkan. Massa tersebut, misalnya di

ketiak, mungkin pada pemeriksaan awal keliru untuk kelenjar getah bening

yang membesar. Sejumlah kasus kanker payudara yang timbul pada jaringan

payudara ektopik telah dilaporkan. Kasus tersebut dapat menyajikan sebuah

11
tantangan untuk kedua dokter dan ahli patologi dalam membuat diagnosis yang

benar.7

2.2 ANESTESI

2.2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan

aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur

lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh

Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar

yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan

nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus

memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu.11

a. Hipnotik, hilang kesadaran

b. Analgetik, hilang perasaan sakit

c. Relaksan, relaksasi otot-otot

2.2.2 Anestesi Umum

Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana

hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat

pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat

diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.11

Indikasi anestesi umum :

12
Pada bayi dan anak-anak

Pembedahan pada orang dewasa di mana anestesi umum lebih disukai oleh

ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal

Operasi besar

Pasien dengan gangguan mental

Pembedahan yang lama

Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan

memuaskan

Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :

a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang

dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke

dalam pembuluh darah vena.

b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang

dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang

berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan

yaitu N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori

menggunakan sungkup muka, Endotrakeal Tube nafas spontan, Endotrakeal

tube nafas terkontrol.

c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan

kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi

13
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk

mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-

anestesi.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum

pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan

adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah

penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian

khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar sangat

penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi

intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu

tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua

sistem organ tubuh pasien.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang sedang dicurigai.Pemeriksaan laboratorium rutin yang

sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa

perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di

atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.

14
4. Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah

yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA):

ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin

terbatas

ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap

saat

ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan

kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.

ASA 6 : Pasien dengan kematian batang otak

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau

IIE.

2.2.3 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anestesi

15
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi

yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun

kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan

diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri

karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.11

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.

Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin

misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal

operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan

premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau

ondansetron 2-4 mg.11

Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian

injeksi Metoclopramide 10mg dan injeksi Ranitidine 50mguntuk profilaksis dari

PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti

emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metokloperamide

16
dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos

saluran cerna, meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat

pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek

ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.12

Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang

berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus,

dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada

chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk

pencegahan muntah pasca operasi.12

Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin

dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat

mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko.12

Yang banyak digunakan:

Analgetik opium :

Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler

Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler

Sedatif :

Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler

Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, 1,5 mg/kgbb intramuskuler

Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral

Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb

17
Vagolitik antisialogog :

Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau intravena pada saat induks

maksimal 0,5 mg

Antasida :

Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan 2 jam sebelum operasi

Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi

Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Sebelum induksi anastesi

Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab

untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah

apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum sekurang-

kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui hanya

dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung mungkin

penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa mungkin.

Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman. Jangan

menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.12

Pemeriksaan Alat

Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,

karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar hal-

hal yang harus diperiksa dan gantungkan pada alat anastesi yang sering digunakan.

Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan baik. Jika kita

18
menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang digunakan dan

silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung dengan tepat tanpa

ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan aliran gas ke pasien

berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan sistem pernapasan,

cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah fungsi alat resusitasi (harus

selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran gas), laringoskop, pipa dan

alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien berbaring pada meja atau kereta

dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam posisi kepala dibawah, bila terjadi

hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan obat yang akan digunakan dalam spuit

yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat itu masih baik kondisinya. Sebelum

melakukan induksi anastesi, yakinkan aliraninfus adekuat dengan memasukkan jarum

indwelling atau kanula dalam vena besar, untuk operasi besar infus dengan cairan

yang tepat harus segera dimulai.11

2.2.4 Durate operation

1. Induksi Anestesi

Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi

tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Sebelum

memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat- obatan yang

diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih

cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata

STATICS12:

19
S = Scope

Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih

bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup

terang

T = Tubes

Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5

tahun dengan balon (cuffed)

A = Airway

Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-

tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk

menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas

T = Tape

Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut

I = Introducer

Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah

dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan

C = Connector

Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi

S = Suction

Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

20
Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah

terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya

dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali. Obat induksi bolus

disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan

pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi

cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Tiopental (tiopenton, pentotal)

diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB.17

Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan

dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan

kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Ketamin intravena dengan dosis 1-

2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena

itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedative seperti midazolam. Ketamin tidak

dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg).

Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.12

Induksi Intamuskular

Sampai sekarang hanya ketamine yang dapat diberikan secara intramuskular

dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.11

21
Induksi inhalasi

Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani. Jika

induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian akibat

hipoksia jika kita tidak dapat mengembangkan paru. Sebaliknya, induksi inhalasi

hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat anestesi dapat masuk.

Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan anestesi

didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal ini terjadi,

bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-anak yang takut

pada jarum.11

Intubasi Endotrakeal

Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa

pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan

penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.11

Gambar 2.1 Intubasi Endotrakeal

22
Indikasi intubasi endotrakeal12 :

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan tenggorokan

5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan

tak ada ketegangan

6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol

7. Untuk mencegah kontaminasi trakea

8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan

pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster

9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme

10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu12 :

Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang

cukup

Posisi kepala dan leher yang tepat

Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

23
Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

a. Pipa endotrakea

Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat

dari bahan standar polivinil-klorida.Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam

milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,

penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat

sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa

cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak bocor. Pipa

endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.18

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :

Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + umur (thn)

Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)

Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + umur (thn)

b. Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat

yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan

24
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop
11
:

Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)

Bilah lengkung (curved blades/ Macinto)

Penilaian Mallampati

Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi kemudahan

intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu

didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi tampakan faring

pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut

Mallampati dibagi menjadi 4 grade12:

Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas

Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak

terlihat

Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat

Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

Kesulitan dalam teknik intubasi12:

Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap

Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi

Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)

Kesulitan membuka mulut

Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)

25
Abnormalitas pada daerah servikal

Kontraktur jaringan leher

Komplikasi pada intubasi endotrakeal12 :

Memar & oedem laring

Strech injury

Non specific granuloma larynx

Stenosis trakea

Trauma gigi geligi

Laserasi bibir, gusi dan laring

Aspirasi, spasme bronkus

2.2.5 Jenis Obat Anestesi

Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah11:

I. Gas Anestesi

Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek

klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.

Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi

misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :

1) Ambilan oleh paru

2) Difusi gas dari paru ke darah

3) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.

26
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:

1. N2O

N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak

iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen

minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir

anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,

sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk

menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.

2. Halotan

Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan napas,

maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan

merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi dan tahapan

anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik

dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada napas

kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan klinis pasien. 11

3. Isofluran

Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi

menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai

dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk

mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi adalah penurunan

tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut

27
jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap oksigen, tetapi

meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.11

4. Desfluran

Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat

absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser

khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau

bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme

laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi.Desfluran bersifat kali

lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi17 kali lebih poten dibanding

N2O.11

5. Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.

Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk

induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi

inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai

dalam 1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,

sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Setelah

pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.11

II. Obat-obat Anestesi Intravena

Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang diberikan

dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena11

28
A. Hipnosis

1. Golongan barbiturat (pentotal)

Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya cepat

(30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat kerjanya habis,

seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan kehilangan kesadaran dengan

jalan memblok kontrol brainstem.

Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai

induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian 15-20

detik (untuk orang dewasa)

2. Benzodiazepin

Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi

obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan tidak

menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai

pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam

monitorng anestesi Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-

aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak.

Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA A melainkan meningkatkan

kepekaan reseptor GABA A terhadap neurotransmitter penghambat. Dosis :

Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.

3. Propofol

Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna

putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan intravena

29
sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya diberikan lidokain 1-

2 mg/kgBB intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan

untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan

intensif 0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada

manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan pada wanita hamil tidak

dianjurkan.

4. Ketamin

Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan kerja

singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan

neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N- metil-D-aspartat. ifat

nalgesiknya angat uat ntuk istem omatik, tetapi lemah untuk sistem viseral.

Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya

sedikit meninggi. Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM.

Anestesi dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik

pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif.

Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi,

lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran

segera pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan

amnesia berlangsung sampai 1-2 jam.

30
B. Analgetik

1. Morfin

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni

tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi),

penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah

pemberian morfin dosis terapi. Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3

mekanisme12 ;

a. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri

b. Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang

timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri

dari thalamus

c. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri

meningkat.

Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah 0,1-0,2

mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang

sesuai yamg diperlukan.

2. Fentanyl

Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid sintetik

dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor . Fentanyl banyak

digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih

31
singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara bolus, dan

relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.12

3. Meridipin

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa

keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek

daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik

dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan

dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50

mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien

tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg

BB.

C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)

Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien

secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari

otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.11

Pelumpuh otot depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf

otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik,

sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot

32
lurik. Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2 mg/kgBB

IV.11

Pelumpuh otot non-depolarisasi

Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-

kolinergik, etapi ak enyebabkan epolarisasi, anya enghalangi asetilkolin

menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.12

III. Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer

33
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian

besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan

mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.12

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk

kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga

disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit,

penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.12

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan

jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan

adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100

mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L,

Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan

ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume

besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan

cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.12

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah

adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual

memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran

4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc

darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut

ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.12

34
2.2.6 Monitoring

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi

adalah12:

Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter

Heart rate, nadi, dan kualitasnya

Warna membran mukosa, dan capillary refill time

Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.7 Postoperatif

a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care

unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan

diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan pasien

dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus.

Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu

dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup

dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah

regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga tidak

berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.12

35
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu

posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke

brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus

dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke

brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan

lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari

kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti.

Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat

berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika

PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek,

monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung

jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan lancar.12

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan

fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar

hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien,

tetapi efeknya minimal.

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis

operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obat-

obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi

pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.12

36
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih

dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat alat

berikut :

a. Pulse oximeter

b. Non-invasive blood pressure monitor

c. Elektokardiograf

d. Nerve stimulator

e. Pengukur suhu.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk

dikeluarkan dari PACU adalah:

a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu

b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat

c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah

d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang

e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam

f. Mual dan muntah dalam control

g. Nyeri minimal

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan

normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring untuk

discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah SpO2

(atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Sebagian

37
besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di PACU. Sebagai

tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi seharusnya juga

menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.

Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering

terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan,

PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge

nausea and vomiting).12

Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi,

setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus.

Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal

bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan

dengan emesis.

c. Pemindahan Penderita dari Kamar Operasi

Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat dipindahkan

dari kamar operasi. Di RSUP Dr. Kariadi memakai Aldrette Score yaitu penlaian

yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, akfititas dan warna kulit. Hasil

penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai maksimal 10 menentukan

dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan nilai Aldrette Score 8, dapat

dipindahkan ke ruang perawatan.12

38
39
BAB III

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

Nama : Widya Mulyanti A

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 23 tahun

Agama : Islam

Alamat : Jln Bustaman No 30 Tembung

Pekerjaan : Mahasiswi

Status Perkawinan : Belum Menikah

No RM : 24.00.87

2. ANAMNESA

Keluhan Utama : Terdapat Benjolan di Dada Kanan

Telaah : Terdapat benjolan di bawah ketiak kanan, sejak 2 tahun yang lalu.

Penderita mengaku teraba benjolan di bawah ketiak kanan sebesar telur puyuh,

benjolan dapat digerakkan, nyeri (-), merah (-). Sejak 1 bulan penderita

mengaku benjolan semakin membesar, nyeri (+), merah (-), mengeluarkan cairan (-).

Penderita mengeluhkan benjolan terasa semakin kencang dan nyeri menjelang

mensturasi.

40
Riwayat Penyakit Dahulu :

- Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada

Riwayat Alergi :

- Alergi makanan disangkal oleh pasien

- Alergi obat disangkal oleh pasien

Riwayat Pengobatan:

- Tidak ada

Riwayat Psikososial

- Merokok (-)

- Alkohol (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Sakit Ringan

Vital Sign

Sensorium : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 83x/menit

RR : 22x/menit

Suhu : 360C

41
Tinggi Badan : 153 cm

Berat Badan : 55 kg

Pemeriksaan Umum

Kepala - Leher

Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)

Kepala : Normocephali

Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-

Hidung : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada hidung

Telinga : Tidak ada secret/bau/perdarahan pada telinga.

Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax

Simetris, gerak napas tertinggal (-/-), pektus ekskavatum (-)

Pulmo :

Inspeksi : sela iga melebar (-/-), otot bantuan napas (-/-)

Palpasi : vokal fremitus hemitoraks dextra = sinistra

Perkusi : sonor, batas paru-hepar ICS VI

Auskutasi : vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Cor :

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea mid clavicula sinistra

42
Perkusi : batas atas : ICS II

batas kanan : linea parasternalis dextra

batas kiri : ICS V linea mid aksilaris anterior sinistra

Auskultasi : S1/S2 (+) reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, Simetris

Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba

Perkusi : tympani diseluruh lapang paru

Auskultasi : Peristaltik (+) normal

Ekstremitas : Edema -/-

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Extremitas Atas-Axilla

1. Dingin (-), edema (-).

2. Deformitas (-)

3. Motorik dan sensibilitas baik

Extremitas Bawah

1. Dingin (-), edema (-)

2. Deformitas (-)

3. Motorik dan sensibilitas baik

43
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium

Darah Rutin

Hb : 15,4 g/dl (13 18 g/dl)

HT : 45,8 g/dl % (40 54 %)

Eritrosit : 5,4x 106/L (4.5 6.5 x 106/L)

Leukosit : 7300 / L (4000 11.000 / L)

Trombosit : 305.000/L (150.000 450.000 / L)

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil : 2% (1-3 %)

Basofil : 0% (0-1 %)

N. Stab : 0% (2-6 %)

N. Seg : 65% (53-75 %)

Limfosit : 25% (20-45 %)

Monosit : 8% (4-8 %)

Metabolik

KGDS : 107mg/dl (<140 mg/dl)

Fungsi Ginjal

Ureum : tidak dilakukan pemeriksaan (20 40 mg/dL)

Kreatinin : tidak dilakukan pemeriksaan (0.5 1.1 mg/dL)

44
Asam urat : tidak dilakukan pemeriksaan (3,4 7,0 mg/dl)

Fungsi Hati

AST (SGOT) : tidak dilakukan pemeriksaan (< 40 U/I)

ALT (SGPT) : tidak dilakukan pemeriksaan (< 40 U/I)

Diagnosis : MAMMAE ABERRANS DEXTRA

5. RENCANA TINDAKAN

Tindakan : Ekstirpasi jaringan mamma

Anesthesi : GA-ETT

PS-ASA :1

Posisi : Supinasi

Pernapasan :Ventilator

6. KEADAAN PRA BEDAH

Pre operatif

B1 (Breath)

Airway : Clear

RR : 20x/menit

SP : Vesikuler ka=ki

ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)

45
Akral : Hangat

TD : 100/70 mmHg

HR : 60x/menit

B3 (Brain)

Sensorium : Compos Mentis

Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm

RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)

Urine Output : -

Kateter : tidak terpasang

B5 (Bowel)

Abdomen : Soepel

Peristaltik : (+) Normal

Mual/Muntah : (-)/(-)

B6 (Bone)

Oedem : (-)

7. PERSIAPAN OBAT GA-ETT

Intravena

Propofol : 100mg

46
Fentanyl : 200 mcg

Atracurium : 25 mg

Midazolam : 2 mg

Maintenance

Sevofluran 2%

Jumlah Cairan

PO : RL 400 cc

DO : RL 500 cc

Produksi Urin :-

Perdarahan

Kasa Basah : = -

Kasa 1/2 basah :3x5 = 15 cc

Suction : = -

Jumlah : 15 cc

EBV : 65 x 55 = 3575 cc

EBL 10 % = 357,5 cc

20 % = 715 cc

30 % = 1078,5 cc

Durasi Operatif

Lama Anestesi = 10.35 Selesai WIB

47
Lama Operasi = 10.45 11.15 WIB

Teknik Anastesi : GA - ETT

Supinasi Premedikasi Midazolam Fentanyl Oksigenasi N2O

Propofol Sleep non apneu Injeksi rocuronium Sleep apneu Induksi

ETT Suara Pernafasan ka-ki - Fiksasi

8. POST OPERASI

Operasi berakhir pukul : 11.15 WIB

Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah,

nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score =/> 9

o Pergerakan :2

o Pernapasan :2

o Warna kulit :2

o Tekanan darah :2

o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan

pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil,

pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam

48
9. TERAPI POST OPERASI

Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang

IVFD RL 32 gtt/menit

Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal

Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV

Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Langman J: Medical embryology, 5th ed. Williams & Wilkins, Baltimore,

MD, 1985.

2. Sjamsuhidayat R. de jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005: 570-9

3. Bafaker, S.S & Bafana N. S., 2010. Breast Disease in Southern Yemen.

Hadramaunt University. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed

4. Fracchioli S, Puopolo M, De La Longrais IA, Scozzafava M, Bogliatto F,

Arisio R, Micheletti L, Katsaros D: Primary breast-like cancer of the

vulva: a case report and critical reviewof the literature. Int J Gynecol

Cancer, 16: 423-428, 2006.

5. Shin SJ, Sheikh FS, Allenby PA, Rosen PP: Invasive secretory (juvenile)

carcinoma arising in ectopic breast tissue of the axilla. Arch Pathol Lab Med,

125: 1372-1374, 2001.

6. Chung-ParkM, Zheng Liu C, Giampoli EJ, Emery JD, Shalodi A:Mucinous

adenocarcinoma of ectopic breast tissue of the vulva. Arch Pathol Lab Med,

126: 1216-1218, 2002.

7. Burdick AE, Thomas KA,Welsh E: Axillary polymastia. J Am Acad

Dermatol, 49: 1154-1156, 2003.

8. Diananda, R., 2009. Kanker Payudara. Katahati. Yogjakarta

50
9. Zebua, J., 2011. Gambaran Hispatologi Tumor Payudara Di Instalasi Patologi

Anatomi RSU H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2010. Skripsi FKM USU

10. Eveline, P., 1999. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. EGC. Jakarta

11. Boultan T.,Blog C 1994. Komplikasi dan Bahaya Anaestesi: Anestesiologi.

EGC. Jakarta pp:229-231

12. Dobson,Michael B 1994. Penuntun Praktis Anestesi Jakarta:EGC

51

Anda mungkin juga menyukai