Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian hadits menarik perhatian para peminat studi hadits, baik dari
kalangan Islam, maupun non Islam. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap
hadits, mulai dari kritik otensitias hadits, sampai pemaknaannya masih terus
berkembang. Pemahaman hadits relatif berkembang dari zaman ke zaman,
mulai dari tekstualis, konservatif, sampai kontekstualis. Seiring dengan
perkembangan zaman, hadits dimaknai dengan sesuai kebutuhan pada zaman
tersebut, dikarenakan teks hadits itu sangat terbatas adanya, sedangkan realitas
perkembangan zaman selalu dinamis.

Pembukuan hadits telah melalui sejarah yang panjang. Ulama berupaya


menangkap maksud kandungan dalam hadits, hingga muncul berbagai
pemahaman dalam memahami kandungan yang terdapat dalam hadits. Oleh
karena itu, pemaknaan hadits dengan metode baru yang lebih menekankan pada
aspek historis, sosiologis, dan antropologis sangatlah penting untuk dikaji, demi
perkembangan interpretasi hadits untuk menjawab realitas sosial masyarakat
yang masih perlu untuk dinilai dengan kaca mata agama.

Teks hadits Nabi saw yang telah melewati masa yang sangat panjang
tetap harus dilakukan pemahaman yang sesuai dengan maksudnya. Mengingat
Nabi saw sudah tiada, pemahaman dari satu teks hadits bisa bervariasi. Oleh
karena itu mazhab-mazhab pun muncul dalam Islam. Meskipun demikian, ada
sekelompok orang yang hanya meyakini bahwa kebenaran itu harus satu macam
dan tidak akan menerima pemahaman selain dari apa yang mereka pahami.1
Banyak pendekatan yang dapat diterapkan dalam pemahaman hadits, salah
satunya pendekatan hermeneutik. Maka, pada kesempatan ini, akan membahas
tentang metodologi dalam memahami hadits.

1
Nashiruddin Albani, Sifat Shalat Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 16.
2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana metode pemahaman hadits ?
2. Bagaimana hermeneutika dalam kajian hadits ?

C. Tujuan
1. Mengetahui metode pemahaman hadits
2. Mengetahui hermeneutika dalam kajian hadits
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Metode Pemahaman Hadits


Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam lahir dan muncul dari berbagai
situasi. Pada kalangan ulama, dikenal dua macam pemahaman makna
kandungan hadits yaitu pemahaman tekstual dan kontekstual.
1. Metode Tekstual
Metode tekstual ialah tipe pemahaman hadits sebagai sumber ajaran
Islam dengan hanya melihat makna harfiah, tanpa memperhatikan latar
belakang kemunculan hadits maupun sejarah pengumpulannya. Tipe
pemikiran tersebut oleh ilmuan sosial dikategorikan sebagai pemikiran a-
historis (tidak mengenal sejarah pertumbuhan hadits). Tokoh tekstual yang
terkenal sangat tekstual harfiah dalam nash baik Al-Quran maupun hadits
ialah Abu Dawud al-Zahiri.2
Sejalan dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial yang
sangat cepat, maka model pemahaman tekstual sulit untuk dipertahankan.
Kekhususan pemahaman terhadap hadits yang berkaitan dengan kehidupan
sosial kemasyarakatan. Jika tetap dipahami secara harfiah, maka akan
menimbulkan kesulitan dalam mengamalkan hadits Nabi. Selain itu,
pemahaman tekstual dapat berdampak pada ajaran Islam yang tidak cocok
diterapkan di dunia modern.3

2. Metode Kontekstual
Pemahaman kontekstual ialah memahami hadits sebagai sumber ajaran
Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-
usul hadits. Pemahaman kontekstual dikembangkan oleh Abu Hanifah dan
kelompok ahlul rayi yang kemudian diperkuat oleh Imam Qarafi, dan Imam
as-Syatibi.

2
Alamsyah, dkk, Ilmu-Ilmu Hadits, (Lampung: Pusikamla, 2009), h. 12.
3
Alamsyah, dkk, Loc. Cit., h. 12.
4

Pada metode kontekstual, kedudukan Rasulullah dibedakan dalam


beberapa posisi, yakni:
a. Sebagai rasul penetap syariat
b. Sebagai hakim dan mufti yang memutuskan hukum atau fatwa
c. Sebagai pemimpin atau imam
d. Sebagai manusia biasa. Hal ini ditambahkan oleh ulama kontemporer
seperti Abu Zahrah
Sejak zaman Nabi, pemahaman secara tekstual dan kontekstual
terhadap hadits Nabi telah mulai dikenal dan dipraktekkan oleh sahabat Nabi.
Contoh, suatu ketika Nabi pernah memerintahkan sejumlah para sahabatnya
untuk pergi keperkampungan Bani Qurazhah. Sebelum berangkat, Nabi
berpesan agar jangan ada seorangpun yang shalat dzuhur kecuali sampai di
kampung Bani Quraizahah. Karena takut kehabisan waktu shalat dzuhur,
maka sebagian sahabat melaksanakan shalat sebelum sampai di kampung.
Sedangkan sebagian tetap mengikuti perintah Nabi walaupun akan kehabisan
waktu. Ketika persoalan tersebut disampaikan kepada Nabi, maka beliau
tidak menyalahkan pihak manapun. Sebagian sahabat memahami perintah
Nabi secara kontekstual melihat bahwa inti dari sabda Nabi bukan sebagai
larangan, tetapi agar bergegas di perjalanan dan perintah tersebut terkait
dengan waktu. Sedangkan bagi yang memahaminya secara tekstual,
berpendapat mereka harus mengikuti apapun yang diperintahkan Nabi
walaupun waktu dzuhur habis. Nabi ternyata mentolerir dua model
pemahaman sahabat tersebut.4
Pada metode kontekstual digunakan beberapa pendekatan keilmuan,
sebagai berikut:
a. Pendekatan Kebahasaan
Persoalan pemahaman makna hadits tidak dapat dipisahkan dari
penelitian matan. Pemahaman hadits dengan beberapa pendekatan
memang diperlukan. Salah satunya ialah dengan pendekatan bahasa. Hal
tersebut karena bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi dalam
menyampaikan berbagai hadits selalu dalam susunan yang baik dan

4
Alamsyah, dkk, Loc. Cit., h. 14.
5

benar. Pendekatan bahasa dalam studi matan dilakukan dengan cara


melihat bentuk-bentuk kebahasaan dalam matan hadits. Pendekatan
bahasa dalam penelitian matan akan sangat membantu terhadap kegiatan
penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan
hadits yang bersangkutan. Apalagi bila diingat bahwa sebagian dari
kandungan matan berhubungan dengan masalah keyakinan, hal-hal
ghaib,dan petunjuk kegiatan agama yang bersifat taabudi.5 Contohnya:

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW. bersabda,


Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang
kafir. (HR. Muslim)
Jika dipahami secara tekstual, hadits tersebut mengajarkan orang-
orang mukmin harus hidup sengsara di dunia, sementara bagi orang-
orang kafir, dunia merupakan surga. Jika dipahami secara tekstual,
maknanya sangat jauh berbeda. Kata penjara ialah perumpamaan bahwa
kehidupan orang mukmin di dunia memiliki aturan tertentu, tidak bebas
semuanya. Sedangkan bagi orang kafir, dalam kehidupan dunia memang
tidak banyak aturan perintah dan larangan, sehingga mereka bagaikan di
surga.6 Masih banyak lagi contoh dengan menggunakan pendekatan
bahasa, seperti mengenai Dajjal, Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa
menjelang hari kuamat, dan lain sebagainya.

b. Pendekatan Historis
Pendekatan historis dalam memahami hadits adalah cara untuk
memahami hadits dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau
peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadits.
Sejarah sendiri memiliki arti sebagai ilmu tentang perkembangan
manusia dalam upaya-upaya mereka sebagai makhluk sosial.7 Pendekatan

5
Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta: Cesadypi Al-
Rahmah, 200)1, h. 57.
6
Alamsyah, dkk, Op.Cit, h. 15.
7
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2002), h. 73.
6

historis atau kesejarahan digunakan dalam ruang lingkup kritik eksternal


yakni sanad, karena sunnah merupakan fakta sejarah yang berkaitan
dengan perkataan, perbuatan, sifat, dan pengakuan Nabi. Menurut Thaha
ad-Dasuqi Hubaysyi, pendekatan historis merupakan keharusan bagi para
peneliti dan transmitter (perawi) hadits, karena tugas transmitter hadits
ialah menyampaikan informasi dari beberapa generasi, sedangkan tugas
peneliti ialah memeriksa sifat dan kondisi para transmitter tersebut.8
Pendekatan historis ialah memahami hadits dengan memperhatikan
suasana dan peristiwa sejarah yang menyebabkan atau mengiringi
munculnya suatu hadits (asbabul wurud). Sebenarnya, asabul wurud
tidak ada pengaruhnya secara langsung terhadap kualitas suatu hadits,
namun mengetahui asbabul wurud dapat mempersempit wilayah kajian.
Asbabul wurud berfungsi sebagai berikut:
1) Menjelaskan makna hadits melalui tahshish al-am, taqyid al-muthlaq,
tafsil al-mujmal, al-nasikh wal mansukh, bayan illat al-hukm, dan
tawdhih al-musykil.
2) Mengetahui kedudukan Rsulullah pada saat kemunculan hadits,
apakah sebagai rasul, sebagai qadhi dan mufti, sebagai pemimpin
masyarakat, atau sebagai manusia biasa.
3) Mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadits tersebut
disampaikan.9
Pendekatan historis mutlak dalam penelitian hadits atau sunnah
karena hadits merupakan dokumentasi sejarah, baik sanad yang terdiri
dari perawi dari generasi ke generasi maupun matan itu sendiri.10 Contoh
pendekatan historis sebagai berikut:

:
. ) (


8
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 85.
9
Bustamin, dan Isa H.A. Salam, Metdologi Kritik Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 85.
10
Abdul Majid Khon, Op.Cit., h. 86.
7



) (

Telah menceritakan kepadaku (Imam al-Bukhari) Ismail ibn


Abdullah, ia telah mengatakan bahwa Malik telah menceritakan
kepadaku yang ia terima dari Nafi dan Nafi ini menerima dari Abdullah
ibn Umar r.a. yang berkata bahwa sekelompok orang Yahudi datang
kepada Rasulullah SAW. Sambil menceritakan (masalah yang mereka
hadapi) bahwa seorang laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka
telah melakukan perbuatan zina. Kemudian Rasulullah menanyakan
kepada mereka: Apa yang kamu temukan dalam kitab Taurat mengenai
hukum rajam?. Mereka menjawab: Kami mempermalukan dan
mendera mereka. Kemudian Abdullah ibn Salam berkata: Kamu semua
berdusta, sebab dalam kitab Taurat itu ada hukum rajam. Ambillah kitab
Taurat. Dan mereka menggelar Taurat tersebut untuk dibaca, tetapi
salah satu di antara mereka meletakkan telapak tangannya tepat di atas
ayat rajam dan hanya dibaca ayat sebelum dan sesudahnya saja.
Kemudian Abdullah ibn Salam mengatakan lagi:Angkat tanganmu.
Lalu orang itu mengangkat tangannya dan saat itu tampaklah ayat rajam.
Selanjutnya mereka mengatakan: Benar ya Muhamad bahwa dalam
kitab Taurat ada ayat rajam. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk
melakukan hukum rajam tersebut. (HR. Bukhari)

c. Pendekatan Sosiologis
Pemahaman sosiologis ialah pendekatan dengan memperhatikan
keterkaitan berbagai faktor sosial kemasyarakatan baik yang bersifat
struktural maupun relasi yang mempengauhi atau
menyebabkan/memicunya adanya hadits. Kontribusi pendekatan ini
digunakan untuk menyajikan uraian yang meyakinkan tentang apa yang
sesungguhnya terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup yang
berhubungan dengan ruang dan waktu. Pendekatan tersebut digunakan
8

untuk mengkaji makna kandungan hadits, seperti tentang persyaratan


keturunan Quraish sebagai kepala negara.

Telah diriwayatkan pada otoritas 'Abdullah bahwa Rasulullah


mengatakan: Khilafah akan tetap di antara Quraish bahkan jika hanya dua
orang yang tersisa (di bumi) (HR. Muslim)

d. Pendekatan Sosio Historis


Pendekatan sosio historis ialah memahami hadits dengan
memperhatikan latar belakang situasi sejarah sosial kemasyarakatan dan
tempat serta waktu terjadinya yang menyebabkan kemunculan suatu
keputusan atau tindakan dari Nabi. Meneliti berbagai faktor tersebut akan
diketahui lingkup pemberlakuan hadits apakah situasional atau universal,
memungkinkan utuhnya gambaran pemaknaan hadits yang disampaikan
yang dapat dipadukan secara harmoni dalam suatu pembahasan. Oleh
karena itu, pendekatan tersebut dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh
hal-hal yang bermanfaat secara optimal dari hadits yang disampaikan.11

Contoh pendekatan sosio historis tentang larangan perempuan


berpergian sendiri, sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Seorang


wanita tidak boleh bepergian selama tiga hari kecuali disertai
mahramnya.(HR. Muslim)
Hadits tersebut, sebagaimana dijelaskan Imam an-Nawawi dalam
kitab Syarah Muslim dipahami oleh jumhur ulama sebagai suatu larangan
bagi perempuan untuk berpergian yang bersifat sunnah atau mubah tanpa
disertai mahram. Sedangkan untuk berpergian yang sifatnya wajib,

11
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Bogor: Kencana, 2003), h. 244.
9

seperti menunaikan haji, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam


abu Hanifah dan didukung oleh mayoritas ulama hadits adalah wajib
hukumnya perempuan yang akan berhaji, harus disertai
mahram/suaminya. Namun menurut Imam Malik, al-Auzai dan al-
Syafii, tidak wajib. Mereka mensyaratkan keamanan saja. Keamanan
bisa diperoleh dengan mahram atau suami atau perempuan-perempuan
lain yang terpercaya (tsiqah).
Jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat
itu larangan Nabi muncul dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran
Nabi SAW akan keselamatan perempuan yang berpergian jauh, tanpa
disertai suami atau mahram, apalagi pada waktu itu perjalanan harus
menembus padang pasir luas yang hampir tidak ada manusia dengan
hanya berkendara unta, kuda atau keledai, sehingga jika terjadi sesuatu
maka akan dapat mengancam jiwa dan kehormatannya. Sedangkan,
kondisi masyarakat sekarang sudah berubah, di mana jarak yang jauh
sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah lagi dengan adanya sistem
keamanan yang menjamin keselamatan perempuan dalam berpergian,
maka sah-sah saja perempuan pergi sendirian untuk menuntut ilmu,
menunaikan haji bekerja dan lain sebagainya. Apalagi alat transportasi
dan telekomunikasi sudah sangat canggih, yang memungkinkan untuk
ikut menjamin keamanan dan keselamatan perempuan di saat harus pergi
sendirian, tanpa mahram/suami.
Kontekstualisasi hadits tersebut di atas didukung oleh data yang
valid dari kandungan hadits yang diriwayatkan al-bukhari dari Ady
Hattim, sebagai berikut:

Dari 'Adiy bin Hatim berkata; Ketika aku sedang bersama Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi
beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang laki-laki
10

yang mendatangi beliau mengeluhkan para perampok jalanan. Maka


beliau berkata: Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al-
Hirah?. Aku jawab; Aku belum pernah melihatnya namun aku pernah
mendengar beritanya. Beliau berkata: Seandainya kamu diberi umur
panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai
kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka'bah
tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. (HR. Al-Bukhari)

e. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis ialah memahami hadits dengan
memperhatikan tradisi dan budaya, termasuk model keyakinan yang
berkembang dimasyarakat dan menjadi faktor latar belakang munculnya
hadits. 12 Contoh pendekatan antropologis sebagai berikut:


:
:




Dari Abdullah (bin Masuud), ia berkata : Aku pernah
mendengar Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya
manusia yang paling keras adzabnya di sisi Allah adalah para tukang
gambar. (HR. Bukhari Muslim dan Nasai)

f. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis ialah memahami maksud hadits dengan cara
memperhatikan kondisi kejiwaan Nabi dan masyarakat yang dihadapi
beliau yang menjadi sasaran hadits tersebut. Adakalanya hadits-hadits
Nabi disabdakan sebagai respon pertanyaan sahabat atau prilaku
sahabat.13 Contoh pendekatan psikologis


) (

12
Alamsyah, Ilmu-Ilmu Hadits, Op.Cit., h. 116.
13
Ibid., h. 117.
11

Mereka para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, amalan Islam yang


manakah yang lebih utama? beliau menjawab: yaitu orang yang kaum
muslimin selamat dari gangguan mulutnya dan tangannya. (HR. Bukhari
dan lainnya)

g. Pendekatan filosofis

Pendekatan filosofis adalah upaya untuk mencari inti, hakekat dan


hikmah dalam memahami sesuatu di balik forma suatu hadits.14
Walaupun pendekatan filosofis pada hakikatnya sama dengan prinsip
maslahah, yaitu sama-sama berorientasi pada tujuan dan kebermanfaatan,
namun tetap saja terdapat perbedaan di antara keduanya. Menurut
pandangan ahli filsafat, sebagaimana dikatakan al-Buthi, maslahah
bersifat keduniaan semata. Pertimbangan antara baik dan buruk menurut
mereka adalah berdasarkan pengalaman dan panca indra saja.
Pertimbangan tersebut berbeda dengan Islam yang meletakkan
pertimbangan kepada kebaikan dunia dan akhirat secara serentak. Bahkan
pandangan terhadap maslahah dunia bergantung kepada maslahah
akhirat.
Contohnya




Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:


Siwak itu membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha.

Siwak adalah wasilah, sehingga boleh mesyarakat menggunakan


selain siwak untuk membersihkan mulut. Walaupun Rasulullah SAW
menentukan siwak, karena siwak cocok dan mudah didapat di jazirah
Arab. Dengan demikian, diperbolehkan menggunakan sikat gigi..
Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa tujuan atau maksud dari
hadis ini sebenarnya adalah membersihkan mulut sehingga Allah menjadi
ridha karena kebersihan itu. Sedangkan siwak merupakan media untuk
mencuci mulut. Disebutkan siwak oleh Rasul, karena siwak cocok dan

14
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 31.
12

mudah didapat di jazirah Arab. Karena itu, siwak dapat diganti dengan
barang lain, seperti odol dan sikat gigi dan sama kedudukannya dengan
siwak.15

B. Hermeneutika dalam Kajian Hadits


Walaupun dalam perkembangannya, hermeneutik digunakan dalam
berbagai kajian keilmuan, namun secara singkat hermeneutik dapat diartikan
sebagai suatu metode interpretasi yang memperhatikan konteks kata-kata (dari
suatu teks) dan konteks budaya pemikirannya. Hermeneutik juga dapat diartikan
sebagai salah satu metode interpretasi yang mempunyai tugas untuk memahami
isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, serta untuk menemukan instruksi-
instruksi yang terdapat dalam bentuk simbol-simbol.16 Maka dapat ditarik
sebuah pengertian bahwa hermeneutik adalah suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan
budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial
dalam situasi sekarang. Hermeneutika merupakan sebuah pendekatan dalam
memahami hadits Nabi saw. Pada awalnya, wacana hermeneutika
sesungguhnya diarahkan sebagai solusi atas kebuntuan tafsir dalam menghadapi
tantangan zaman. Namun belakangan, hadits yang tidak lain adalah penjelasan
terhadap al-Quran tidak luput dari garapannya.
Hermeneutika merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk
mempelajari keaslian teks kuno dan memahami kandungannya sesuai dengan
kehendak pencetus ide yang termuat dalam teks tersebut dengan pendekatan
sejarah, dan sebagainya. Melalui metode hermeneutik, hadits dapat diubah
menjadi sunnah yang hidup. Banyak Ilmuwan Muslim yang memberikan
perhatian besar pada disiplin ilmu interpretasi ini, diantaranya adalah Fazlur
Rahman.17

15
Yusuf Qardhawy, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, diterjemahkan dari buku dengan judul asli al-Madkhal li Dirsah al-Sunnah al-
Nabawiyyah, (Jakarta: Islamuna Press, 1994), cet. ke-1, h. 200.
16
Ansori, Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou El-
Fadl) dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran dan Hadits Vol. 10 No. 1, (Yogyakarta: Jur. Tafsir
Hadits, 2009), h. 55.
17
Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin, Studi Alquran Kontemporer (Yogyakarta : PT
Tiara Wacana, 2002), h. 44.
13

Mengingat perkembangan kehidupan yang dijalani dan dihadapi umat


Islam di zaman modern sangat kompleks dan sangat jauh berbeda dengan
kehidupan yang dijalani pada masa-masa sebelumnya, maka kontekstualisasi
kedua sumber tersebut, terutama hadits yang memuat penjelasan dan rincian
doktrin Islam dalam berbagai bidang, sangat mendesak untuk dilakukan.18
Hadits merupakan produk masa lampau yang tidak mudah dipahami secara
tepat, sebab terkadang ada hadits yang tampak bertentangan, ada pula hadits
yang sulit dipahami jika hanya melihat teks hadits, maka tidak cukup hanya
melihat teks hadits dan mengandalkan pemaknaan secara tekstual. Menurut
Amina Wadud, ada tiga aspek yang dipertimbangkan dalam pendekatan
hermeneutik yaitu:
1. dalam konteks apa suatu teks ditulis,
2. bagaimana komposisi tata bahasanya, dan
3. dalam bentuk apa pengungkapannya dan bagaimana pandangan hidup yang
terkandung dalam keseluruhan teks.19
Kajian hermeneutika, bukan hanya gramatika bahasa yang ditekankan,
namun pendekatan historis, sosiologis dan antropologis juga dikedepankan.
Maka, untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus ketahui latar
belakang sosial budaya dimana dalam dalam situasi apa sebuah teks itu muncul.
Contoh penggunaan metode hermeneutika dalam kajian hadits, ialah

Amru bin Khalid meriwayatkan kepada kami, ia berkata : Al-Laits


meriwayatkan kepada kami dari Yazid, dari Abul Khair, dari Abdullah bin
Amru Radhiyallahuanhuma. Bahwasanya ada seorang laki laki bertanya
kepada Nabi

Islam apa yang paling baik ?, Nabi menjawab : Engkau bersedekah


makanan dan mengucapkan salam kepada yang kau kenal dan yang tidak kau
kenal.(HR. Bukhari)
18
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
19
M. Amin Abdullah, Hadits dalam Khazanah Intelektual Muslim: Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyyah, dalam Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, ed. Yunahar Ilyas, (Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
1996), h. 91.
14

Jika ditarik ke masa sekarang, maka pertanyaan apakah amal terbaik


sesungguhnya masih terus dapat diajukan. Jawaban atas pertanyaan itu tidak
harus selalu mengacu pada tekstualitas hadits Nabi, tetapi dapat dijawab sendiri
dengan mempertimbangkan karakter penanya serta situasi dan kondisi
masyarakat ketika pertanyaan diajukan. Ketika banyak terjadi bencana alam,
maka tentu saja jika ada yang bertanya apakah amal terbaik, maka salah satu
jawaban yang dapat diberikan adalah memberi makan sebagaimana dalam
hadits Abdullah bin Amr, sebab hal tersebut merupakan kebutuhan masyarakat
yang sangat mendesak pada saat itu. Memberi makan tidak hanya berarti
menyuplai bahan makanan, tetapi memenuhi kebutuhan pangan mereka secara
umum. Maka, penggunaan pendekatan apapun dapat dipakai dalam kaitan
penelitian matan hadits. Apalagi jika pendekatan itu telah diakui sebagai
pendekatan penelitian dalam dunia ilmiah.
Masalah lain muncul, apabila terdapat pertentangan/ikhtilaful hadits, ada
beberapa metode yang dapat ditempuh:
1. Metode jamu wa taufiq
penyelesaian dalam bentuk kompromi ini adalah penyelesaian hadis-
hadismukhtalif dari pertentangan yang tampak (makna lahiriahnya) dengan
cara menelurusuri titik temu kandungan maknanya yang dituju oleh yang
satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan, atau dengan perkataan lain,
dengan cara mencari pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis yang
tampak saling bertentangan tersebut.20
2. Metode tarjih
Apabila hadis-hadis mukhtalif yang ditemukan tidak
bisa dikompromikan dan tidak pula ditemukan keterangan yang
menunjukkan bahwa antara satu dengan lainnya telah terjadi nasakh seperti
dijelaskan dalam uraian yang lalu, maka langkah penyelesaian berikutnya
yang telah ditempuh imam as-syafii adalah dengan cara tarjih.
3. Metode nasakh
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan, bisa pula berarti
memindahkan. Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang
20
Edi safri, Al-Imam Asy-syafiI Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Disertasi,
(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, 1990), h. 151.
15

dilakukan oleh Syari terhadap ketentuan hukum syariat yang datang


terlebih dahulu dengan dalil syari yang datang kemudian.21 Maka dapat
diartikanbahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya
(bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan
ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat
dikatakan sebagai hadits nasikh(yang menghapus). Namun perlu diingat
bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad
s.aw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara,
sesungguhnya hanyalah Syari. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan
syariat sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan
hukum yang tetap (bada istiqrar al- hukm).
4. Metode tawil
Tawil secara bahasa berarti murni. Selain itu, dapat diartikan saling
berdekatan dan saling mengisis. Menurut abu Zahrah, tawil berarti
mengeluarkan lafadz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada
kemungkinan untuk itu. Terdapat rumusan sederhana yang dapat dilihat dari
hakikat yang merupakan ciri utama tawil, yakni:
a. Lafadz tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya
b. Arti yang dipahami dari lafadz tersebut adalah arti lain yang secara
umum juga dijangkau oleh arti zahir lafadz tersebut
c. Peralihan dari arti zahir kepada arti lain tersebut menyandar kepada
petunjuk dalil yang ada.22
5. Metode tawaquf
Tawaquf merupakan salah satu metode untuk menyelesaikan dua dalil
yang saling bertentangan yang apabila dengan metode kompromi dan
naskh/tarjih tidak dapat dilakukan, maka metode yang dapat ditempuh ialah
dengan meningggalkan dua dalil tersebut. Cara tawaquf ialah dengan
meninggalkan pengamalan kedua dalil tersebut sambil menunggu
kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara
kedua hadits tersebut.23

21
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih 1, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 249.
22
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 38-39.
23
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, Op.Cit., h. 248.
16

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan kesimoulan
sebagai berikut:
1. Metode dalam memahami hadits terbagi menjadi dua, yaitu metode tekstual
dan kontekstual. Pendekatan dalam metode kontekstual terdiri dari
pendekatan bahasa, pendekatan sejarah, pendekatan sosiologi, pendekatan
sosio historis, pendekatan antropologi, pendekatan psikologi, dan
pendekatan filosofis.
2. Hermenutika dalam kajian hadits digunakan dalam menggambarkan
bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang
lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam
situasi sekarang. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan berupa pendekatan
bahasa, sosiologis, antriopologis, dan sebagainya.
B. Saran
Adanya makalah diharapkan dapat mempermudah memahami metode
pemahaman hadits, sehingga berbagai bentuk hadits yang diperoleh dapat
dilakukan berbagai pendekatan sehingga diambil sesuai dengan kebutuhan.
17

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2012).

Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsuddin, Studi Alquran Kontemporer (Yogyakarta :


PT Tiara Wacana, 2002).

Alamsyah, dkk, Ilmu-Ilmu Hadits, (Lampung: Pusikamla, 2009).

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008).

Ansori, Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou


El-Fadl) dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran dan Hadits Vol. 10 No. 1,
(Yogyakarta: Jur. Tafsir Hadits, 2009).

Bustamin, dan Isa H.A. Salam, Metdologi Kritik Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004).

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Bogor: Kencana, 2003).

M. Amin Abdullah, Hadits dalam Khazanah Intelektual Muslim: Al-Ghazali dan


Ibnu Taimiyyah, dalam Pengembangan Pemikiran terhadap Hadits, ed.
Yunahar Ilyas, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
(LPPI), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996).

Nashiruddin Albani, Sifat Shalat Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007).

Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi (Metode dan Pendekatan), (Yogyakarta:


Cesadypi Al-Rahmah, 2001).

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996).

Yusuf Qardhawy, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: antara Pemahaman Tekstual


dan Kontekstual, diterjemahkan dari buku dengan judul asli al-Madkhal li
Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Jakarta: Islamuna Press, 1994), cet. ke-
1.

Anda mungkin juga menyukai