A. Pendahuluan
Dalam konteks Islam, hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan
kefilsafatan yang terfokus pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada
masa-masa awal ketika teks al-Quran dirasakan sulit dipahami dan problematik, yang
dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan diinterpretasikan agar dapat dipahami.
Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat
karena tidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Quran, dan kaum muslimin
telah berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban lain.
Dalam perjalanan sejarah, para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam
pengertian yang sejalan dengan perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-
masing untuk memahami sebuah teks suci yang mereka imani, al-Quran. Dalam
perjalanan sejarah pula, perkembangan hermeneutika al-Quran tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan ilmu-ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Ul Al-fiqh), filsafat
dan sufisme) dan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika al-
Quran tidak hanya termasuk dalam apa yang disebut secara tradisional sebagai ilmu al-
Quran dan Tafsir. Ia telah menjelma menjadi bidang multi dan interdisipliner. Hakikat
interdisipliner dari disiplin ini nampak sangat jelas dalam hermeneutika al-Quran
kontemporer, di mana penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas tidak bisa diabaikan.
Teori hermeneutika al-Quran Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu contoh yang trend
di masa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan menguraikan sedikit
penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid, teori, gagasan dan aplikasi
penafsirannya.
B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang
dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.1 Nasr Hamid di lahirkan di
desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah
keluarga yang religious. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwn Al-Muslimn dan
1 Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm 116.
pernah dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak
Mesir, dia mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Quran di kuttb
ketika dia berusia empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal
keseluruhan al-Quran pada usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil Syaikh Nashr
oleh anak-anak di desanya.2
Ketika Al-Ikhwn Al-Muslimn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki
cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada
usia sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum
diperkenankan mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk
memasukkannya dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan
diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar
anggota itulah maka Abu Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari dan
dilepaskan karena dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran
Syayyid Quthb dalam bukunya Al-Islm wa Al-Adlah Al-Ijtimiyyyah (Islam dan
Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan
Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang
sebagai imam shalat,3 hal yang biasanya di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.4
Abu Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah
kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu
perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia
bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo
sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan
awalnya ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab,
jurnal pemimpin Amn Al-Khl. Dua artikel pentingnya saat itu adalah Hawl Adab Al-
Ummal wa Al-Fallahin (tentang Sastra Buruh dan Petani)5 dan Azmah Al-Aghniyyah
2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16.
3 Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat di masjid-masjid
Mesir dipersyaratkan untuk hafal al-Quran.
4 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan , hlm 16.
5 Al-Adab, no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan
nama penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari 1965), editor mengoreksi bahwa
Al-Mishriyyah (Krisis Lagu Mesir).6 Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi
ketika keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai
mengkritik Al-Ikhwn Al-Muslimn, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu
dalam tulisan-tulisan awalnya.7
Pada 1968, Abu Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di
Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia
menyelesaikan studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat
sebagai asisten dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para
asisten dosen baru untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master
dan Doktor, dia merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik sastra menjadi studi
Islam, khususnya studi al-Quran. Abu Zaid sebenarnya enggan untuk mengambil subjek
ini, mengingat pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem
serius karena dia menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Quran
dalam disertasinya. Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia
melakukan studi tentang al-Quran dan problem interpretasi dan hermeneutika.8
Pada 1975, Abu Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan
studi selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih
gelar MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas
Kairo dengan tesis yang berjudul Al-Ittijh Al-Aql fi Al-Tafsr: Dirsah fi Qadhiyyat Al-
Majz fi Al-Quran inda Al-Mutazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi
tentang Problem Metafor menurut Mutazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah
itu, dia diangkat menjadi dosen.9
Selama periode 1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang
Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di
Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di
Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-
penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur
Ichwan, Meretas, hlm. 16-17.
6 Al-Adab, no. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas, hlm. 17.
7 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan , hlm 16-17.
8 Ibid.,, hlm 17.
9 Ibid.,, hlm 17-18.
ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada
periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah
artikel Al-Hirminiyq wa mudhilat Tafsr Al-Na (Hermeneutika dan Problem
Penafsiran Teks), yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang
hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab.10
Pada 1981, Abu Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa
Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul
Falsafah Al-Tawl: Dirsah f Tawl Al-Quran inda Muhy Al Dn ibnu Arab (Filsafat
Takwil: Studi Hermeneutika Al-Quran Muhy Al-Din ibnu Arabi) yang dipublikasikan
pada 1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana
dia mendapatkan penghargaan Abd Al-Azz Al-Ahwn untuk Humanitas karena
konsernya pada humanitas dan budaya Arab.
Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of
Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan
sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif
baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya Mafhm Al-Na:
Dirsah f Al-Ulm Al-Qurn (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu-ilmu Al-Quran) dan
menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-
Khithb Al-Dn (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat
dalam buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.11
Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya
menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk
dipromosikan mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo.
Diantaranya sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitb al-Dn yang
diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di
dunia Islam. Namun di tahun ini dimulailah kasus Abu Zayd di persidangan yang
berakhir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun
1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu, dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan
menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia
12 Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 168-
187.
13 Ibid.,, hlm. 187-188.
kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan
petanda (signified) ditentukan oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini,
disimpulkan bahwa kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat-
Nya. Asyariyah meyakini bahwa al-Quran sebagai kata-kata Allah adalah abadi
sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfzh).14
Yang kedua adalah teori Mutazilah yang beragumen bahwa bahasa adalah
konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara
suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk secara langsung kepada
realitas aktual; namun, realitas dipahami. Dikonseptualisasi, dan disimbolisasi melalui
suatu sistem suara. Mutazilah berpendapat bahwa al-Quran diciptakan dan, dengan
demikian, tidak abadi. Al-Quran diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang
dikandungnya haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.15
Menurut Abu Zaid, pendapat Mutazilah tentang hakikat al-Quran ini lebih
sesuai dengan pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk
teks al-Quran, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya
sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asyariyah, Abu Zaid lebih mendukung teori
Mutazilah. Menurutnya, teori Mutazilah tentang asal-usul bahasa dan hubungannya
dengan teks suci adalah teori yang paling rasional. Teori ini menekankan pada manusia
sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.16
Abu Zaid meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Quran bukanlah
problem tentang keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang
hakikat teks, yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman
interpretasi secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya
didasarkan atas konsep objektif tentang teks.17
Teks al-Quran sebagai pesan berarti masyarakat yang menjadi sasarannya adalah
seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa yang sama dengan teks, dan
18 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, diter. dari
Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Quran oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta:
LKIS, 2001), hlm. 69.
19 Nar Hamid Abu Zayd, Mafhm al-Na: Dirst fi Ulm al-Qurn, (Beirut: Al-Markaz al-
Saqafi al-Arab, 2000), hlm. 28.
20 Ibid.
21 Nar Hamid Abu Zayd, Al-Na, al-Sulat, al-Haqqat: Al-Fikr al-Dn bain Irdat al-Marifat
wa Irdat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqaf al-Arab, 1994), hlm. 74.
22 Nar Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khib al-Dn (Kairo: Sin li al-Nasyr, 1992), hlm.
diketahui karena adanya media tafsirah.23 Sedangkan, tawil adalah kembali ke asal usul
sesuatu untuk mengungkapkan man dan magz.24 Man merupakan dallah (arti) yang
dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-
makna gramatik (mani al-nawi).25 Sedangkan magz menunjukkan pada makna dalam
konteks sosio-historis.26 Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan
dengan kuat, magz selalu mengikuti man begitu pula sebaliknya.
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu
membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang
dikehendakinya, sementara dalam proses tawil tidak selalu membutuhkan medium
tafsirah, bahkan kadang-kadang tawil didasarkan pada gerak mental intelektual dalam
menemukan asal mula gejala.27 Hal ini menunjukkan bahwa tawil bisa dijalankan atas
dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa
dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek
tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda.
Penafsiran al-Quran sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan
menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks al-Quran turun bukan dalam
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbb al-
nuzl merupakan bukti bahwa teks al-Quran telah merespon terhadap kondisi
masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang
saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Analisis terhadap teks al-Quran dan tradisi otentik Nabi SAW. Menurut latar
belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini
disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyarakat yang
pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu,
masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka
28 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Quran, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk,
(Bandung: Korpus, 2003), hlm. 96.
29 Ibid.,,
(metode yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya
pembaharuan dan pembacaan ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap apa yang
dalam tradisi sebelumnya belum mungkin untuk disingkap).30
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat
dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan
catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer
memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-
hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirah gair al-
bariah).31 Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk
teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan
terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu.
Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks
tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks.
Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses
interpretasi.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan
tendensius (al-qirah al-mugridah).32 Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks
yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir.33 Pembacaan
tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil
yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki
kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya.
Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala
macam horizon subjektif yang beredar di otaknya.
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi-ideologi yang
ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan
dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dallah dan magz. Pembedaan antara
dallah dan magz harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak
30 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press,
2003), hlm . 66-67.
31 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al, hlm. 113.
32 Ibid.,,
33 Ibid.,, hlm. 114.
tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar.34 Secara tegas Nasr
menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan
opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan
gerak teks (harakah al-na) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang
memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks.
Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya
bertujuan untuk menyingkap fakta-fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar
horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya,
maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi
subjek.35 Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada
dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya
akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya
akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang
dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.
Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan
yang disebut al-qirah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirah al-muntijah yang
ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara
man dan magz, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara istilah dallah
dan magz. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang
menggunkan distingsi magz dan dallah, tapi terkadang menggunakan distingsi magz
dan man. pada dasarnya dallah dan magz merupakan dua bentuk yang digunakan
untuk satu pekerjaan. Magz tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dallah, sebab
dalalahlah yang mengantarkan magz sampai pada mana yang paling jauh.36 Sementara
itu, untuk mengungkap mana dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda).
Dengan demikian, al-qirah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk
memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna
konteks sosio-historis untuk memperoleh magz.
3. Level-level Konteks
34 Ibid.,,
35 Ibid.,, 115.
36 Ibid.,, hlm. 144.
Struktur teks dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari
persoalan al-siyq (konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Quran, membawa level-
level konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu
Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:37
1. Konteks sosio-kultural (al-siyq al-saqaf al-ijtimi) yang terdiri dari aturan sosio dan
kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang terekspresikan
dalam bahasa teks itu. Bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang
bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada
masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai kebudayaannya sendiri dan konsepsi-
konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan kulturalnya sendiri. Dalam rangka inilah,
Abu Zaid mengusulkan proposisi fundamentalnya bahwa al-Quran adalah sebuah produk
budaya dan bahwa ia haruslah dipahami dalam sosio-kulturalnya.
2. Konteks eksternal (al-siyq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyq al-takhathub)
yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) suatu teks. Konteks
percakapan berkaitan dengan hubungan antara pembicara atau pengirim pesan dan patner
bicara atau penerima pesan, yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan
otoritas tafsir dan interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks hermeneutika al-Quran, Abu
Zaid juga menyebut konteks ini dengan konteks pewahyuan (siyq al-tanzl)
berdasarkan dua fakta: pertama, teks (al-Quran) diwahyukan secara berangsur-angsur
selama lebih dari 22 tahun, yang masing-masing bagian mempunyai konteksnya sendiri.
Kedua, variasi dalam level suasana pewacana pertama, Muhammad SAW, yang dengan
sendirinya berada dalam ruang psikologi yang berubah-ubah, seperti senang, marah,
sedih, kecewa dan tidak menutup kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang
diajak bicara, baik sahabat, khususnya istri-istri Nabi.
3. Konteks internal (al-siyq al-dakhli) yang berkaitan dengan ketakintegralan struktur
teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid, tidaklah integral.
Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartb al-ajza) dan urutan
pewahyuan (tartb al-nuzl). Lebih dari itu, teks al-Quran pada hakekatnya bersifat
plural, dan tidak mungkin untuk memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level
39 Ibid.,, 144-149.
Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio-historis posisi perempuan
dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum Islam yang berkaitan
dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa
mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan Arab pra-Islam,
perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak produktif, perempuan
(dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya, mereka dapat
diwariskan laiknya harta warisan. Aturan standarnya terkait dengan masalah
produktivitas ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: kita tidak memberikan
warisan kepada seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak
melukai musush. Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap
peperangan sebagai salah satu jalan, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi
juga harta kekayaan (yang berupa rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks
kebudayaan semacam ini, al-Quran manyatakan bahwa perempuan mendapatkan
warisan setengah dari bagian laki-laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk
mendapatkan kalalah.
Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: hukum berubah berdasarkan atas
ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu yaruddu maa al-illah wujudan wa
adaman), konteks dan alasan legal dari hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah
berubah. Pada masa Nabi, secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada
masa sekarang perempuan rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini
haruslah berubah.
Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang ditetapkan Allah
(fardhah min Allah) yang tidak seorang pun diperbolehkan menguranginya. Dari sini,
Abu Zaid beralih kepada argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang
alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase bagi laki-laki bagian yang
sebanding dengan bagian dua perempuan, adalah bahwa teks menekankan pada bagian
laki-laki dulu baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Quran
membatasi bagian laki-laki ketimbang bagian perempuan sebanding dengan bagian dua
perempuan. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian minimum,
bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki-laki dapat memperoleh lebih rendah ketimbang
bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat menerima lebih banyak dari
bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan kesepakatan. Dengan
mempertimbangkan arah teks, perempuan haruslah mendapatkan bagian waris yang
sebanding dengan laki-laki. Dalam hal ini, Abu Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam
konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya.
3. Poligami40
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana
pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi
masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam
masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:
Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai
produk sosial dan kultural.
meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil.
Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa yang tak terkatakan atau yang
implisit dapat diungkapkan.
Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari
poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.
Yang tak
No. Makna /Dilalah Signifikansi/magza
terkatakan
Poligami Praktik poligami Islam Sikap adil dalam Tujuan akhir legislasi Poligami
pra-islam : membatasi poligami tidak Islam: monogami dilarang
poligami tidak poligami mungkin:
terbatas empat istri monogami
secara adil ditekankan
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.
Arif, Syamsudin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, diter. dari
Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Quran oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I,
Yogyakarta: LKIS, 2001.
______, Al-Quran, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus,
2003.
______,Al-Na, al-Sulat, al-Haqqat: Al-Fikr al-Dn bain Irdat al-Marifat wa Irdat al-
Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqaf al-Arab, 1994.