Anda di halaman 1dari 18

Teori dan Gagasan Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid

A. Pendahuluan
Dalam konteks Islam, hermeneutika sebagai sekumpulan metode, teori dan
kefilsafatan yang terfokus pada problem pemahaman teks, sebenarnya telah muncul pada
masa-masa awal ketika teks al-Quran dirasakan sulit dipahami dan problematik, yang
dengan demikian harus dijelaskan, diterjemah, dan diinterpretasikan agar dapat dipahami.
Problem hermeneutika menjadi semakin rumit setelah Nabi Muhammad SAW wafat
karena tidak ada lagi otoritas tunggal untuk menjelaskan al-Quran, dan kaum muslimin
telah berkenalan dengan berbagai bangsa, kebudayaan, dan peradaban lain.
Dalam perjalanan sejarah, para ilmuan muslim menerapkan hermeneutika dalam
pengertian yang sejalan dengan perkembangan disiplin ini pada masa mereka masing-
masing untuk memahami sebuah teks suci yang mereka imani, al-Quran. Dalam
perjalanan sejarah pula, perkembangan hermeneutika al-Quran tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan ilmu-ilmu Islam (utamanya teori hukum Islam (Ul Al-fiqh), filsafat
dan sufisme) dan ilmu-ilmu sosial dan humanitas. Oleh karena itu, hermeneutika al-
Quran tidak hanya termasuk dalam apa yang disebut secara tradisional sebagai ilmu al-
Quran dan Tafsir. Ia telah menjelma menjadi bidang multi dan interdisipliner. Hakikat
interdisipliner dari disiplin ini nampak sangat jelas dalam hermeneutika al-Quran
kontemporer, di mana penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas tidak bisa diabaikan.
Teori hermeneutika al-Quran Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu contoh yang trend
di masa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan menguraikan sedikit
penjelasan tentang biografi Nasr Hamid Abu Zaid, teori, gagasan dan aplikasi
penafsirannya.
B. Biografi Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh kontroversial akibat kritik keagamaan yang
dilontarkannya di Mesir dan kepada kalangan muslim Sunni.1 Nasr Hamid di lahirkan di
desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943 dan hidup dalam sebuah
keluarga yang religious. Bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwn Al-Muslimn dan

1 Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis , (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm 116.
pernah dipenjara menyusul dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana anak-anak
Mesir, dia mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal al-Quran di kuttb
ketika dia berusia empat tahun. Dan karena kecerdasannya, dia telah menghafal
keseluruhan al-Quran pada usia delapan tahun, sehingga dia dipanggil Syaikh Nashr
oleh anak-anak di desanya.2
Ketika Al-Ikhwn Al-Muslimn menjadi sebuah gerakan yang kuat dan memiliki
cabang hampir di setiap desa, dia ikut bergabung dengan gerakan ini pada 1954, pada
usia sebelas tahun. Dalam usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum
diperkenankan mengikutinya. Tetapi, dia merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk
memasukkannya dalam gerakan yang dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan
diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar
anggota itulah maka Abu Zaid pun pernah dijebloskan dipenjara selama satu hari dan
dilepaskan karena dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran
Syayyid Quthb dalam bukunya Al-Islm wa Al-Adlah Al-Ijtimiyyyah (Islam dan
Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan
Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan di masjid dan tak jarang
sebagai imam shalat,3 hal yang biasanya di Mesir dilakukan oleh orang dewasa.4
Abu Zaid menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Thantha. Setelah
kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk membantu
perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thantha pada 1960, dia
bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo
sampai pada tahun 1972. Minatnya pada kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan
awalnya ketika dia berusia 21 yang dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab,
jurnal pemimpin Amn Al-Khl. Dua artikel pentingnya saat itu adalah Hawl Adab Al-
Ummal wa Al-Fallahin (tentang Sastra Buruh dan Petani)5 dan Azmah Al-Aghniyyah

2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), cet. 1, hlm 15-16.
3 Tampaknya sederhana. Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, imam shalat di masjid-masjid
Mesir dipersyaratkan untuk hafal al-Quran.
4 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan , hlm 16.
5 Al-Adab, no. 5, thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak mencantumkan
nama penulisnya, namun pada Al-Adab, no. 8, thn. 9 (Januari 1965), editor mengoreksi bahwa
Al-Mishriyyah (Krisis Lagu Mesir).6 Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan revolusi
ketika keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun 1960-an. Dan dia mulai
mengkritik Al-Ikhwn Al-Muslimn, kendatipun dia tidak mengekspresikan kritiknya itu
dalam tulisan-tulisan awalnya.7
Pada 1968, Abu Zaid mulai studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di
Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap bekerja. Dia
menyelesaikan studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat
sebagai asisten dosen. Karena kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para
asisten dosen baru untuk mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master
dan Doktor, dia merubah bidangnya dari murni linguistic dan kritik sastra menjadi studi
Islam, khususnya studi al-Quran. Abu Zaid sebenarnya enggan untuk mengambil subjek
ini, mengingat pengalaman Muhammad Ahmad Khalafallah yang mengalami problem
serius karena dia menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Quran
dalam disertasinya. Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia
melakukan studi tentang al-Quran dan problem interpretasi dan hermeneutika.8
Pada 1975, Abu Zaid mendapatkan beasiswa Ford Foundation untuk melakukan
studi selama dua tahun di American University di Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih
gelar MA dengan predikat cum laude dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas
Kairo dengan tesis yang berjudul Al-Ittijh Al-Aql fi Al-Tafsr: Dirsah fi Qadhiyyat Al-
Majz fi Al-Quran inda Al-Mutazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi
tentang Problem Metafor menurut Mutazillah), dan dipublikasikan pada 1982. Setelah
itu, dia diangkat menjadi dosen.9
Selama periode 1976-1978, Abu Zaid mengajar bahasa Arab untuk orang-orang
Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian Pendidikan di samping tetap mengajar di
Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di
Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-

penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur
Ichwan, Meretas, hlm. 16-17.
6 Al-Adab, no. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch. Nur Ichwan, Meretas, hlm. 17.
7 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan , hlm 16-17.
8 Ibid.,, hlm 17.
9 Ibid.,, hlm 17-18.
ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada
periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah
artikel Al-Hirminiyq wa mudhilat Tafsr Al-Na (Hermeneutika dan Problem
Penafsiran Teks), yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang
hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab.10
Pada 1981, Abu Zaid meraih gelar PhD-nya dalam bidang studi Islam dan Bahasa
Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum laude. Dia menulis disertasi berjudul
Falsafah Al-Tawl: Dirsah f Tawl Al-Quran inda Muhy Al Dn ibnu Arab (Filsafat
Takwil: Studi Hermeneutika Al-Quran Muhy Al-Din ibnu Arabi) yang dipublikasikan
pada 1983. Abu Zaid dipromosikan sebagai asisten professor pada 1982, tahun di mana
dia mendapatkan penghargaan Abd Al-Azz Al-Ahwn untuk Humanitas karena
konsernya pada humanitas dan budaya Arab.
Selama 1985-1989, dia menjadi seorang professor tamu pada Osaka University of
Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang, dia dipromosikan
sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat produktif
baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zaid menyelesaikan bukunya Mafhm Al-Na:
Dirsah f Al-Ulm Al-Qurn (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu-ilmu Al-Quran) dan
menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-
Khithb Al-Dn (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat
dalam buku terakhir ini dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.11
Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya
menginjak 49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk
dipromosikan mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas Kairo.
Diantaranya sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitb al-Dn yang
diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya melejit di
dunia Islam. Namun di tahun ini dimulailah kasus Abu Zayd di persidangan yang
berakhir dengan vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun
1995. Karena karyanya dinilai tidak bermutu, dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan
menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia

10 Ibid.,, hlm 18.


11 Ibid.,, hlm 20.
mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di masjid Amr bin A menyatakan
bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-kan oleh para khatib lainnya di
masjid-masjid pada hari jumat berikutnya, Mesir pun heboh. Dan apada akhirnya pada
14 Juni 1995, Mahkamah al-Istinf Kairo menyatakan Abu Zayd murtad.12
Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad dan ia menolak untuk mencabut
keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman mati yang dituntut oleh Majelis
Ulama al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang kemudian dibuktikan juga dengan
dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga
telah menyatakan ia murtad, maka kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli
1995, bersama-sama dengan istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda,
sejak 2 Oktober 19995 sampai sekarang (data pada tahun 2008).13
Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhm al-Na: Dirsah f `Ulm al-
Qurn (Konsep Teks: Studi Ilmu-ilmu Alquran), Isykliyyt al-Qirah wa Aliyt al-
Tawl (Problem Pembacaan dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Tawl: Dirsah f
Tawl al-Qurn `inda Ibn `Arab (Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika Alquran
menurut Ibn Arabi), al-Imm al-Syfii wa Ta`ss al-Aidiulujiyyah al-Wasaiyyah (Imam
Syafii dan Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittij al-`Aqli fi at-
Tafsr (Rasionalisme dalam Tafsir), Naqd al-Khithb al-Dn (Kritik Wacana Agama),
dan lain-lain. Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of
Islamic Thought: a Critical Historical Analysis; Rethinking the Quran: Towards a
Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam.
C. Teori dan Gagasan Nasr Hamid Abu Zaid
1. Konsep Wahyu dan Teks Al-Quran
Abu Zaid selalu memulai diskusi tentang tekstualitas al-Quran dengan mengkaji
perdebatan klasik antara Asyariyah dan Mutazilah tentang kata-kata Allah (kalm
Allh). Isu ini berkaitan dengan diskusi tentang asal-usul basasa dan ke-tak-terciptaan
al-Quran. Abu Zaid menyebutkan dua teori tentang asal-usul bahasa itu. Teori pertama,
yang didukung oleh Asyariyah, mengatakan bahwa bahasa adalah pemberian Tuhan

12 Syamsudin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran,(Jakarta: Gima Insani, 2003), hlm. 168-
187.
13 Ibid.,, hlm. 187-188.
kepada manusia, dan bukanlah temuan manusia. Hubungan antara penanda (signifier) dan
petanda (signified) ditentukan oleh Tuhan. Hubungan ini bersifat ilahiyah. Dari poin ini,
disimpulkan bahwa kata-kata Allah tidaklah tercipta, namun merupakan salah satu sifat-
Nya. Asyariyah meyakini bahwa al-Quran sebagai kata-kata Allah adalah abadi
sebagaimana Allah sendiri, dan direkam dalam Tablet Terjaga (Al-Lawh Al-Mahfzh).14
Yang kedua adalah teori Mutazilah yang beragumen bahwa bahasa adalah
konvensi manusia, karena ia merefleksikan konvensi sosial tentang hubungan antara
suara suatu kata dengan maknanya. Bahasa tidaklah merajuk secara langsung kepada
realitas aktual; namun, realitas dipahami. Dikonseptualisasi, dan disimbolisasi melalui
suatu sistem suara. Mutazilah berpendapat bahwa al-Quran diciptakan dan, dengan
demikian, tidak abadi. Al-Quran diciptakan dalam konteks tertentu dan pesan yang
dikandungnya haruslah dipahami dalam sinaran konteks itu.15
Menurut Abu Zaid, pendapat Mutazilah tentang hakikat al-Quran ini lebih
sesuai dengan pengertian modern tentang teks yang menganggap semua teks, termasuk
teks al-Quran, sebagai sebuah fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya
sendiri. Alih-alih mengadopsi teori Asyariyah, Abu Zaid lebih mendukung teori
Mutazilah. Menurutnya, teori Mutazilah tentang asal-usul bahasa dan hubungannya
dengan teks suci adalah teori yang paling rasional. Teori ini menekankan pada manusia
sebagai tujuan teks dan sasaran pesan-pesannya.16
Abu Zaid meyakini bahwa problem pokok hermeneutika al-Quran bukanlah
problem tentang keberagaman interpretasi, namun adanya perbedaan konsep tentang
hakikat teks, yang pada akhirnya melahirkan keberagaman interpretasi. Keberagaman
interpretasi secara natural tidak terhindarkan, namun interpretasi itu seharusnya
didasarkan atas konsep objektif tentang teks.17
Teks al-Quran sebagai pesan berarti masyarakat yang menjadi sasarannya adalah
seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa yang sama dengan teks, dan

14 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan , hlm. 63-64.


15 Ibid.,, hlm. 64.
16 Ibid.,,
17 Ibid.,, hlm. 65.
yang terkait dengan peradaban di mana bahasa tersebut dianggap sebagai sentralnya.18
Kerena itu, penelusuran konsep teks oleh Nasr Hamid ini sesungguhnya bertujuan untuk
pertama, menulusuri relasi dan kontak sistematis (al-alaqat al-murakkabat) antara teks
dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks tersebut. Kedua, teks sebagai
bentuk dan kebudayaan.19 Pada tujuan yang kedua ini, pembahasan konsep teks
difokuskan kepada aspek-aspek yang terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi,
tepatnya masalah historitas, otoritas, otoritas, dan konteks.20
Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Quran senantiasa mempunyai
hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan merupakan hal nyata
yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Quran dibentuk oleh
realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga teks al-Quran
berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan
dari al-Quran itu sendiri. Jadi proses keduanya saling terkait, tidak bisa dipisahkan. Oleh
karena proses inilah, lalu Nasr Hamid mengatakan bahwa al-Quran merupakan produk
budaya (muntij al-tsaqfi). Ide dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al-
Quran adalah Tuhan, akan tetapi ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut
tersejarahkan dan termanusiakan oleh intervensi budaya dalam bingkai sistem bahasa.21
2. Teori Interpretasi Teks
Pembahasan tentang al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa dilepaskan dari
kesadaran seorang penafsir mengenai al-Quran sebagai teks linguistik yang memiliki
karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang
tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi.22 Gambaran
penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan tawil. Tafsir memiliki
pengertian menyingkap sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa

18 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, diter. dari
Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Quran oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I, (Yogyakarta:
LKIS, 2001), hlm. 69.
19 Nar Hamid Abu Zayd, Mafhm al-Na: Dirst fi Ulm al-Qurn, (Beirut: Al-Markaz al-
Saqafi al-Arab, 2000), hlm. 28.
20 Ibid.
21 Nar Hamid Abu Zayd, Al-Na, al-Sulat, al-Haqqat: Al-Fikr al-Dn bain Irdat al-Marifat
wa Irdat al-Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqaf al-Arab, 1994), hlm. 74.
22 Nar Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khib al-Dn (Kairo: Sin li al-Nasyr, 1992), hlm.
diketahui karena adanya media tafsirah.23 Sedangkan, tawil adalah kembali ke asal usul
sesuatu untuk mengungkapkan man dan magz.24 Man merupakan dallah (arti) yang
dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-
makna gramatik (mani al-nawi).25 Sedangkan magz menunjukkan pada makna dalam
konteks sosio-historis.26 Dalam proses penafsiran kedua hal ini saling berhubungan
dengan kuat, magz selalu mengikuti man begitu pula sebaliknya.
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses penafsiran selalu
membutuhkan medium tafsirah, sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang
dikehendakinya, sementara dalam proses tawil tidak selalu membutuhkan medium
tafsirah, bahkan kadang-kadang tawil didasarkan pada gerak mental intelektual dalam
menemukan asal mula gejala.27 Hal ini menunjukkan bahwa tawil bisa dijalankan atas
dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu tafsir hanya bisa
dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan antara subjek dan objek
tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa atau berupa suatu penanda.
Penafsiran al-Quran sebagai teks bahasa tidak bisa digali hanya dengan
menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks al-Quran turun bukan dalam
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya. Paling tidak keberadaan asbb al-
nuzl merupakan bukti bahwa teks al-Quran telah merespon terhadap kondisi
masyarakat saat itu. Oleh sebab itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang
saat itu berkembang merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Analisis terhadap teks al-Quran dan tradisi otentik Nabi SAW. Menurut latar
belakang konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini
disebabkan karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyarakat yang
pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu,
masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya mereka

23 Ibid., hlm. 225.


24 Ibid.,, hlm. 229.
25 Ibid.,, hlm. 108.
26 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawir al-Khaf (Beirut: Al-Markaz al-Saqaf al-Arab, tth.), hlm.
203.
27 Ibid.,, hlm. 232.
sendiri.28 Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap
pesan dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang
berbeda pula.
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang beragam seiring
dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi muslim pertama terhadap
pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut.29 Bahasa teks al-
Quran pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa selalu mengalami
perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak
berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang berkembang menjadi signifikasi, atau
dengan kata lain akan selalu terjadi produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks
tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menafsirkan teks itu secara terus-
menerus. Oleh karena itu, proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan
reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa.
Untuk itu dibutuhkan suatu model analisis yang membedakan pembacaan zaman
sekarang dengan masa klasik. Masyarakat kontemporer tidak lagi sekedar melakukan
pembacaan yang bersifat pengulangan-pengulangan, repetitive, namun lebih kepada
upaya untuk menemukan proggresivitas tradisi secara lebih terbuka. Model analisis
alternative tersebut bagi Nasr Abu Zaid adalah metode analisis wacana. Untuk itu
Nasr menyatakan:
(Suatu tradisi tidaklah akan dapat diperbarui dengan hanya (menggunakan
pembacaan) yang bersifat pengulangan-pengulangan) dan taqlid semata-mata, akan
tetapi hanya dapat diperbarui dengan menelaah, mengkaji dan menganalisisnya seiring
dengan semakin berkembangnya metode-metode yang ada. Kemampuan nalar manusia
secara epistemologis akan dapat menangkap apa yang sebelumnya belum diketahui.
Selanjutnya ia mengatakan juga:

28 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Quran, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk,
(Bandung: Korpus, 2003), hlm. 96.
29 Ibid.,,
(metode yang semakin banyak dan progresif,mengharuskan diadakannya
pembaharuan dan pembacaan ulang terhadap masa lampau untuk menyingkap apa yang
dalam tradisi sebelumnya belum mungkin untuk disingkap).30
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa interpretasi teks dapat
dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun demikian, Nasr memberikan
catatan penting sebelum penafsir melakukan interpretasi. Beberapa teori kontemporer
memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-
hubungan semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirah gair al-
bariah).31 Hubungan antara teks dengan pengarang , masa dan realitas yang memproduk
teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini mengakibatkan pembacaan
terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan yang terdapat pada teks itu.
Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks
tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks.
Pembacaan terikat atau tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses
interpretasi.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh penafsir adalah pembacaan
tendensius (al-qirah al-mugridah).32 Pembacaan tendensius adalah pembacaan teks
yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir.33 Pembacaan
tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil
yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal ini karena sejak awal penafsir memiliki
kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya berbicara sesuai yang diinginkannya.
Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi penafsir harus menanggalkan segala
macam horizon subjektif yang beredar di otaknya.
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari ideologi-ideologi yang
ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal ini Nasr membuat pemisahan
dua dimensi. Makna dalam teks, yaitu antara dallah dan magz. Pembedaan antara
dallah dan magz harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak

30 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press,
2003), hlm . 66-67.
31 Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al, hlm. 113.
32 Ibid.,,
33 Ibid.,, hlm. 114.
tunduk pada ideologi pengkaji secara serampangan dan vulgar.34 Secara tegas Nasr
menolak kegiatan interaksi dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan
opotunistik-pragmatis, karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan
gerak teks (harakah al-na) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang
memungkinkan untuk membantu mengungkap makna teks.
Aktivitas intelektual pada umumnya dan tindakan pembacaan khususnya
bertujuan untuk menyingkap fakta-fakta tertentu dari tataran-tataran eksistensi di liar
horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut pandangnya,
maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi
subjek.35 Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada
dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius hanya
akan menghasilkan ideologi. Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya
akan melahirkan klaim bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang
dihasilkan itu sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.
Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr menawarkan model pembacaan
yang disebut al-qirah al-muntijah (pembacaan produktif). Al-qirah al-muntijah yang
ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk dalam diskusi tentang hubungan antara
man dan magz, tapi dalam hal ini Nasr menggunakandialektika antara istilah dallah
dan magz. Di sini Nasr terlihat tidak konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang
menggunkan distingsi magz dan dallah, tapi terkadang menggunakan distingsi magz
dan man. pada dasarnya dallah dan magz merupakan dua bentuk yang digunakan
untuk satu pekerjaan. Magz tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dallah, sebab
dalalahlah yang mengantarkan magz sampai pada mana yang paling jauh.36 Sementara
itu, untuk mengungkap mana dalalah harus melalui media al-tafsirah (denotatum/tanda).
Dengan demikian, al-qirah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa untuk
memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna
konteks sosio-historis untuk memperoleh magz.
3. Level-level Konteks

34 Ibid.,,
35 Ibid.,, 115.
36 Ibid.,, hlm. 144.
Struktur teks dan produksi makna teks bagi Nasr tidak bisa dilepaskan dari
persoalan al-siyq (konteks). Termasuk dalam hal ini teks al-Quran, membawa level-
level konteksnya sendiri, yang harus dipertimbangkan oleh interpreter. Menurut Abu
Zaid, ada lima level konteks dari sebuah teks, diantaranya adalah:37
1. Konteks sosio-kultural (al-siyq al-saqaf al-ijtimi) yang terdiri dari aturan sosio dan
kultural, dengan semua konvensi, adat kebiasaan, dan tradisinya yang terekspresikan
dalam bahasa teks itu. Bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif yang
bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada
masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai kebudayaannya sendiri dan konsepsi-
konsepsi mental dan kepercayaan-kepercayaan kulturalnya sendiri. Dalam rangka inilah,
Abu Zaid mengusulkan proposisi fundamentalnya bahwa al-Quran adalah sebuah produk
budaya dan bahwa ia haruslah dipahami dalam sosio-kulturalnya.
2. Konteks eksternal (al-siyq al-khariji), yakni konteks percakapan (siyq al-takhathub)
yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) suatu teks. Konteks
percakapan berkaitan dengan hubungan antara pembicara atau pengirim pesan dan patner
bicara atau penerima pesan, yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi, dan
otoritas tafsir dan interpretasi pada sisi lain. Dalam konteks hermeneutika al-Quran, Abu
Zaid juga menyebut konteks ini dengan konteks pewahyuan (siyq al-tanzl)
berdasarkan dua fakta: pertama, teks (al-Quran) diwahyukan secara berangsur-angsur
selama lebih dari 22 tahun, yang masing-masing bagian mempunyai konteksnya sendiri.
Kedua, variasi dalam level suasana pewacana pertama, Muhammad SAW, yang dengan
sendirinya berada dalam ruang psikologi yang berubah-ubah, seperti senang, marah,
sedih, kecewa dan tidak menutup kemungkinan pula adanya pengaruh dari orang yang
diajak bicara, baik sahabat, khususnya istri-istri Nabi.
3. Konteks internal (al-siyq al-dakhli) yang berkaitan dengan ketakintegralan struktur
teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks, menurut Abu Zaid, tidaklah integral.
Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartb al-ajza) dan urutan
pewahyuan (tartb al-nuzl). Lebih dari itu, teks al-Quran pada hakekatnya bersifat
plural, dan tidak mungkin untuk memahaminya kecuali dengan mempertimbangkan level

37 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan, hlm. 90-93


spesifikasinya. Seorang pembaca haruslah mengenali level wacana yang dihadapinya.
Wacana cerita (siyq al-qiah), misalnya, berbeda dalam pengertian dan penekanan dari
wacana hiburan dan intimidasi (al-targhb wa tarhb), debat dan konteks (al-jadl wa al-
sijl), janji dan ancaman (al-wad wa al-waid), dan lain-lain.
4. Konteks linguistik yang tidak hanya berkaitan dengan elemen-elemen suatu kalimat, atau
korelasi antar kalimat (nazm), atau berkaitan dengan perluasan figuratif atau majaz-ifikasi
(tajwuz) dalam arti bentuk-bentuk gramatikal dan style, namun juga berkaitan dengan
signifikansi yang implisit atau yang tak terkatakan di dalam struktur wacana. Analisis
teks melalui tanda-tanda linguistik haruslah mengungkap yang tak terkatakan dengan
melampaui kata-kata dengan masuk dalam struktur kultural teks. Hal ini disebabkan
karena bahasa adalah kristalisasi budaya dan merupakan bagian integral darinya.
Misalnya, srah Jinn yang mempresentasikan bahwa Jinn memang ada adalah bahwa al-
Quran menggunakan kepercayaan kultural atau yang disebut Abu Zaid dengan konsep
mental, yang ada dalam budaya Arab pra-Islam.
5. Konteks pembacaan (siyq al-qirah). Proses pembacaan, yang pada hakekatnya adalah
sebuah dekonstruksi kode (fakk al-syifrah), bukanlah konteks eksternal pelengkap yang
disandarkan kepada teks. Tekstualisasi al-Quran terungkap melalui tindak pembacaan.
D. Aplikasi Penafsiran
1. Riba dan Bunga Bank38
Kata riba (usry) telah dipakai dalam wacana Islamis kontemporer di Mesir,
sebagaimana di negara-negara Islam lainnya sejajar dengan bunga dalam sistem
perbankan. Pengkiasan hukum (antara riba dan bunga bank) ini menyebabkan para
Islamis menolak segala bentuk bunga, dan sebagai gantinya mereka berupaya mendirikan
bank-bank Islam dan lembega-lembaga ekonomi lainnya. Kongres kedua Lembaga Riset
Islam (Islamic Research Group) Mesir menyatakan dalam salah satu rekomendasinya
bahwa bunga dari segala bentuk pinjaman, baik untuk konsumsi maupun produksi, adalah
legal, haram. Jika pinjaman dengan riba berderajat kecil saja haram, apalagi berderajat
besar.

38 Ibid.,, hlm. 127-130.


Diskusi tentang riba dan bunga di Mesir tentu bukan suatu hal yang baru. Rasyid
Ridha , misalnya, mengatakan bahwa riba yang dilarang dalam al-Quran adalah riba
yang oleh Ibnul Qoyyim disebut riba yang jelas (riba nasiah), dan yang mempunyai
karakteristik pelipatan yang terus menerus dari utang semula. Menurut Muhammad Said
Al-Asymawi, riba yang disebut dalam al-Quran adalah riba pra-Islam, suatu bentuk
renta yang mempunyai tingkat bunga sangat tinggi yang sering kali berujung pada
perbudakan pengutang ketika dia tidak mampu membayarnya. Lagi pula, riba semacam
ini hanya di Arab belum ada sistem mata uang. Sistem bunga yang ada sekarang tidak ada
masalah karena tingkat bunga bisa dikontrol oleh pemerintah dan lebih rendah dari sistem
riba jahiliyah itu.
Abu Zaid mengatakan bahwa penggunaan kembali kata riba sebagai padanan riba
(arbah atau fawid, keuntungan) tidaklah tepat karena riba dalam al-Quran adalah riba
pra-Islam. Abu Zaid mengkritik para Islamis karena bersiteguh menggunakan dan
menghidupkan kembali suatu kata yang menjadi perbendaharaan kata lama, yakni riba.
Abu Zaid berargumen bahwa penggunaan kata riba sebagai padanan bunga bukanlah
merupakan ijtihd hukum murni dan objektif, karena tidak ada ijtihd hukum semacam
itu, namun ini merupakan bagian dari mekanisme wacana keagamaan untuk
menggantikan hal yang baru dengan yang lama.
Kaum Islamis selalu mendasarkan diri atas mekanisme analogi hukum (al-qiys
al-fiqhi) yang mengarah, baik kepada pengharaman atau penghalalan. Sementara itu,
hukum berdasarkan atas alasan-alasan legal yang dengannya ijtihad menemukan adanya
pengharaman riba. Namun, dalam pandangan Abu Zaid, sistem perbankan, termasuk
bunga, tidaklah terkait dengan riba, namun ia memberikan keuntungan kepada depositor.
Tidak ada hubungan antara sistem perbakan modern dan riba pra-Islam yang dilarang
Allah dalam al-Quran. Disini, menurut Abu Zaid, konsep riba memiliki level pertama
makna pesan, yakni konsep yang harus dianggap sebagai bukti sejarah yang tidak dapat
diinterpretasikan secara metaforis.
2. Hak Waris Perempuan39

39 Ibid.,, 144-149.
Abu Zaid kemudian beralih menganalisis konteks sosio-historis posisi perempuan
dalam masyarakat pra-Islam. Petanda dari sebagian besar hukum Islam yang berkaitan
dengan perempuan, dan juga signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa
mempertimbangkan kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam kebudayaan Arab pra-Islam,
perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki. Karena tidak produktif, perempuan
(dan juga anak-anak kecil) tidak mendapatkan warisan; bahkan sebaliknya, mereka dapat
diwariskan laiknya harta warisan. Aturan standarnya terkait dengan masalah
produktivitas ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: kita tidak memberikan
warisan kepada seseorang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kelelahan dan tidak
melukai musush. Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang menganggap
peperangan sebagai salah satu jalan, bukan hanya untuk mendapatkan kekuasaan tetapi
juga harta kekayaan (yang berupa rampasan perang dan budak tawanan). Dalam konteks
kebudayaan semacam ini, al-Quran manyatakan bahwa perempuan mendapatkan
warisan setengah dari bagian laki-laki, dan bahkan mereka mempunyai hak untuk
mendapatkan kalalah.
Berdasarkan atas sebuah prinsip hukum Islam: hukum berubah berdasarkan atas
ada, atau tidak adanya, alasan-alasan legal (al-hukmu yaruddu maa al-illah wujudan wa
adaman), konteks dan alasan legal dari hak perempuan untuk mendapatkan warisan telah
berubah. Pada masa Nabi, secara ekonomi, perempuan tidak produktif, sementara pada
masa sekarang perempuan rata-rata secara ekonomi produktif. Jadi, hukum dalam hal ini
haruslah berubah.
Bagian waris perempuan ditetapkan sebagai bagian yang ditetapkan Allah
(fardhah min Allah) yang tidak seorang pun diperbolehkan menguranginya. Dari sini,
Abu Zaid beralih kepada argumen lain, yang mendukung argumen pertama (tentang
alasan produktivitas perempuan). Analisis lain dari frase bagi laki-laki bagian yang
sebanding dengan bagian dua perempuan, adalah bahwa teks menekankan pada bagian
laki-laki dulu baru kemudian bagian perempuan. Ini menunjukkan bahwa al-Quran
membatasi bagian laki-laki ketimbang bagian perempuan sebanding dengan bagian dua
perempuan. Namun, bagian perempuan ini sebenarnya merupakan bagian minimum,
bukan maksimum. Ini berarti bahwa laki-laki dapat memperoleh lebih rendah ketimbang
bagian yang seharusnya dia terima, dan perempuan dapat menerima lebih banyak dari
bagian yang seharusnya mereka terima berdasarkan kesepakatan. Dengan
mempertimbangkan arah teks, perempuan haruslah mendapatkan bagian waris yang
sebanding dengan laki-laki. Dalam hal ini, Abu Zaid mengkaji hukum pewarisan dalam
konteks level makna ketiga, yang harus diungkap signifikansi pesannya.
3. Poligami40
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana
pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi
masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam
masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:
Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai
produk sosial dan kultural.
meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil.
Dengan melakukan ini, Abu Zaid berharap bahwa yang tak terkatakan atau yang
implisit dapat diungkapkan.
Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari
poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.
Yang tak
No. Makna /Dilalah Signifikansi/magza
terkatakan
Poligami Praktik poligami Islam Sikap adil dalam Tujuan akhir legislasi Poligami
pra-islam : membatasi poligami tidak Islam: monogami dilarang
poligami tidak poligami mungkin:
terbatas empat istri monogami
secara adil ditekankan

40 Ibid.,, hlm. 138-143.


Kesimpulan

Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip tektualitas al-Qur`an, bahwa


obyek utama kajian al-Qur`an adalah teks kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut,
studi al-Qur`an harus dikaitan dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain
pendekatan tekstual, studi al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis.
Bagaimanapun teks al-Quran turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak
memiliki budaya. Menurut latar belakang kontekstual yang terjadi saat itu harus
dilakukan dalam proses penafsiran. Al-Quran berinteraksi dengan akal (untuk dipahami)
dan kemudian al-Quran terbentuk dengan budaya Arab, oleh karena itu Nasr Hamid Abu
Zaid berpendapat bahwa al-Quran adalah produk budaya. Nasr Hamid juga berpendapat
bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan
yang lain dalam kebudayaan manusia.
Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil.
Pembacaan teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis dan interpreter. Pembacaan
teks tidak hanya berhenti pada yang terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai
pada signifikansi/magz, makna yang tidak terkatakan. Takwil adalah suatu upanya
kembali pada asal usul sesuatu. Hal itu dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan
signifikansinya. Sederhananya Nasr Hamid Abu Zaid menafsirkan al-Quran dengan apa
pesan yang terkandung yang tidak terlihat secara dzhohir melainkan dengan kajian yang
lebih mendalam. Nasr Hamid Abu Zaid juga menekankan analisis beberapa konteks dan
hubungan masing-masing dalam proses penafsiran. Beberapa konteks tersebut adalah
Konteks sosio-kultural (al-siyq al-saqaf al-ijtimi), Konteks eksternal (al-siyq al-
khariji), Konteks internal (al-siyq al-dakhili), Konteks linguistik, Konteks pembacaan
(siyq al-qirah).
Daftar Pustaka
Latief, Hilman, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: Elsaq Press,
2003).
E. Sumaryono, Hermenautik sebuah Metode filsafat, Yogyakarta, Penerbit Kanisius,
1999.

Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Quran dan Hadis , Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu
Zayd, Jakarta: Teraju, 2003.

Arif, Syamsudin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gima Insani, 2003.

Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, diter. dari
Mafhum al-Nash Dirasah fi Ullum al-Quran oleh Khoirun Nahdliyyin,Cet. I,
Yogyakarta: LKIS, 2001.

______, Al-Quran, Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, Bandung: Korpus,
2003.

______,Al-Na, al-Sulat, al-Haqqat: Al-Fikr al-Dn bain Irdat al-Marifat wa Irdat al-
Haiminat, Bairut: Markaz al-Tsaqaf al-Arab, 1994.

______, Dawir al-Khauf , Beirut: Al-Markaz al-Saqfi al-Arab, tth.

______,Mafhm al-N: Dirsat fi Ulm al-Quran, Beirut: Al-Markaz al-Saqfi al-Arab,


2000.

______, Naqd al-Khib al-Dn, Kairo: Sin li al-Nasyr, 1992.

Anda mungkin juga menyukai