Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

KISTA DAN ABSES KELENJAR BARTHOLINE


Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian di Departemen ilmu obstetetri dan
ginekologi Rumah sakit umun jayapura.

Oleh :

Nama :Marike kegiye ,S,ked


Pembimbing : dr. Josef Wattimury, Sp.OG

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD JAYAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAUNIVERSITAS CENDERAWASIH


JAYAPURA PAPUA
TAHUN 2017
BAB 1

PENDAHULUAN

Kista Bartholin dan abses Bartholin merupakan masalah umum pada wanita usia
reproduksi. Kelenjar Bartholin terletak bilateral di posterior introitus dan bermuara
dalam vestibulum pada posisi arah jam 4 dan 8. Kelenjar ini biasanya berukuran
sebesar kacang dan tidak teraba kecuali pada keadaan penyakit atau infeksi. Pada masa
pubertas, kelenjar ini mulai berfungsi, memberikan kelembaban bagi vestibulum.
Di Amerika Serikat, incidensnya adalah sekitar 2% dari wanita usia reproduksi
akan mengalami pembengkakan pada salah satu atau kedua kelenjar Bartholin.
Penyakit yang menyerang kelenjar Bartholin biasanya terjadi pada wanita antara usia
20 dan 30 tahun. Pembesaran kelenjar Bartholin pada pasien yang berusia lebih dari 40
tahun jarang ditemukan, dan perlu dikonsultasikan pada gynecologist untuk dilakukan
biopsi.
Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian distal dari
duktus kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga terjadi pelebaran
duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan selanjutnya
berkembang menjadi abses. Abses Bartholin selain merupakan akibat dari kista
terinfeksi, dapat pula disebabkan karena infeksi langsung pada kelenjar Bartholin.
Kista bartholin bila berukuran kecil sering tidak menimbulkan gejala. Dan bila
bertambah besar maka dapat menimbulkan dispareunia. Pasien dengan abses Bartholin
umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan
progresif.
Dalam penanganan kista dan abses bartholin, ada beberapa pengobatan yang dapat
dilakukan. Dapat berupa intervensi bedah, dan medikamentosa. Intervensi bedah yang
dapat dilakukan antara lain berupa incisi dan drainase, pemasangan Word catheter,
marsupialisasi, dan eksisi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

Kelenjar Bartholin (greater vestibular glands) merupakan homolog dari


kelenjar Cowper (kelenjar bulbourethral pada lakilaki)1. Pada masa pubertas,
kelenjar ini mulai berfungsi, memberikan kelembaban bagi vestibulum.
Kelenjar Bartholin berkembang dari tunas dalam epitel daerah posterior
dari vestibulum. Kelenjar ini terletak bilateral di dasar labia minora dan
mengalirkan hasil sekresinya melalui duktus sepanjang 2 2.5 cm, yang
bermuara ke dalam vestibulum pada arah jam 4 dan jam 8.2,3 (Gambar 1).
Kelenjar ini biasanya berukuran sebesar kacang dan ukurannya jarang
melebihi 1 cm. Kelenjar ini tidak teraba kecuali pada keadaan penyakit atau
infeksi. Kelenjar bartolini diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi
oleh nervus pudendus dan nervus hemoroidal inferior

Gambar 1. Anatomi kelenjar Bartholin.

2.2 FISIOLOGI
Pada introitus vagina terdapat kelenjar yang berfungsi untuk membasahi
mengeluarkan lender untuk memberikan pelumas vagina saat melakukan hubungan
seksual ,kira-kira spertiga dari introitus vagina kanan dan kiri yang terletak
postelateral.dalam keadaan normal keaadaan ini tidak teraba pada palpasi .

2.3 DEFINISI
Kista dan abses kelenjar Bartolini merupakan kelainan yang disebabkan karena adanya
sumbatan pada duktus kelenjar Bartolini. Sumbatan tersebut menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan sehingga membentuk kantong (kista). Kista tersebut umunya tidak
menimbulkan gejala apapun dan hanya akan terdeteksi apabila dilakukan pemeriksaan.
Abses Bartolini didefinisikan sebagai penghasilan pus yang membentuk bengkak pada
satu dari kelenjar Bartolini yang terletak di samping labia pada alat kelamin wanita
Namun kista tersebut dapat terinfeksi oleh berbagai macam mikroorganisme sehingga
akan menghasilkan pus dan terjadi abses dengan gejala utama yaitu nyeri pada daerah
sekitar vagina.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Kista Bartholin merupakan pertumbuhan kistik yang paling sering ditemukan
pada vulva.4,5 Sekitar dua persen wanita pernah terinfeksi kista
Bartholindanabses selama hidupnya.6 Abses hampir tiga kali lebih sering
ditemukan daripada kista. Sebuah case control study membuktikan bahwa
wanita berkulit hitam dan putih lebih mudah mengalami kista atau abses
Bartholin dibandingkan dengan wanita ras Hispanik; dan studi ini juga
mengemukakan bahwa wanita dengan angka paritas yang tinggi berada pada
risiko terendah.2

Involusi bertahap dari kelenjar Bartholin dapat terjadi pada saat seorang
wanita mencapai usia 30 tahun.8 Hal ini mungkin menjelaskan sering terjadinya
Kista Bartholin dan abses kelenjar selama usia reproduksi, khususnya antara 20
hingga 29 tahun.
Karena massa vulva pada wanita pascamenopause dapat berupa kanker,
biopsi excisional mungkin diperlukan. Beberapa peneliti mengusulkan bahwa
eksisi pembedahan tidak diperlukan karena risiko kanker kelenjar Bartholin
sangat rendah (0,114 kasus per 100.000 womanyears). Namun, jika diagnosis
kanker tertunda, prognosis dapat menjadi buruk.

Gambar 2. Pembesaran unilateral pada Abses Bartholin

2.4 ETIOPATOLOGI
Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartholin dapat menyebabkan retensi
dari sekresi, dengan akibat berupa pelebaran duktus dan pembentukan
kista.Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan abses bisa berkembang
dalam kelenjar. Kelenjar Bartholin sangat sering terinfeksi dan dapat
membentuk kista atau abses pada wanita usia reproduksi. Kista dan abses
bartholin seringkali dibedakan secara klinis. Kista Bartholin terbentuk ketika
ostium dari duktus tersumbat, sehingga menyebabkan distensi dari kelenjar dan
tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini biasanya merupakan akibat sekunder dari
peradangan nonspesifik atau trauma. Kista bartholin dengan diameter 13 cm
seringkali asimptomatik. Sedangkan kista yang berukuran lebih besar, kadang
menyebabkan nyeri dan dispareunia.
Abses Bartholin merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar, atau
kista yang terinfeksi. Pasien dengan abses Bartholin umumnya mengeluhkan
nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan progresif. Abses
kelenjar Bartholin disebakan oleh polymicrobial (Tabel 1). 4,11,12

2.5 Patogenesis

Trauma non spesifik

Obstruksi pada ostium ductus kelenjar Bartolini

Hambatan aliran cairan

Akumulasi cairan

Membentuk kantong (kista)

Infeksi pada kista


kelenjar Bartolini

Membesar dalam Menghasilkan pus Kista akan teraba lunak,


beberapa jam hari berwarna merah dan panas

Kista dan abses kelenjar


2.6 Patofisiologi
Kista kelenjar bartolini dapat terjadi ketika ostium dari duktus
mengalami obstruksi yang mengakibatkan distensi duktus atau kelenjar
tersebut oleh cairan. Obstruksi tersebut dapat terjadi oleh karena inflamasi atau
trauma. Kista yang berukuran 1-3 cm biasanya asimptomatik, meskipun kista
ukurang lebih besar dapat menimbulkan nyeri dan dispareunia. Ketika kelenjar
bartolini mengalami infeksi maka dapat menimbulkan abses. Kista kelenjar
bartolini dapat menimbulkan nyeri oleh karena tekanan pada jaringan sekitar
kista yang timbul akibat cairan dalam kista tidak terakumulasi, sedangkan pada
abses nyeri yang dirasakan dapat timbul karena infeksi atau penyebaran
selulitis pada jaringan disekitar abses. Pembengkakan yang terjadi pada abses
diakibatkan oleh produksi secret mukus yang tidak terakumulasi.
Pembengkakan tersebut juga dapat menimbulkan rasa nyeri, sensitif dan hangat
ketika dipalpasi.

2.7 MANIFESTASI KLINIS

Pasien dengan kista dapat memberi gejala berupa pembengkakan labial


tanpa disetai nyeri. Pasien dengan abses dapat memberikan gejala sebagai
berikut:
1) Nyeri yang akut disertai pembengkakan labial unilateral.

2) Disparenia

3) Nyeri pada waktu berjalan dan duduk

4) yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge (sangat


mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses)
Hasil pemeriksaan fisik yang dapat diperoleh dari pemeriksaan terhadap Kista
Bartholin adalah sebagai berikut:
1) Pasien mengeluhkan adanya massa yang tidak disertai rasa sakit,
unilateral, dan tidak disertai dengan tanda tanda selulitis di
sekitarnya.
2) Jika berukuran besar, kista dapat tender.
3) Discharge dari kista yang pecah bersifat nonpurulent

Sedangkan hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pemeriksaan


terhadap abses Bartholin sebagai berikut:
1) Pada perabaan teraba massa yang tender, fluktuasi dengan daerah
sekitar yang eritema dan edema.
2) Dalam beberapa kasus, didapatkan daerah selulitis di sekitar abses.

3) Demam, meskipun tidak khas pada pasien sehat, dapat terjadi.

4) Jika abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat discharge yang
purulen.

Gambar 3. Abses Bartholin

Kista Bartholin harus dibedakan dari abses dan dari massa vulva lainnya.
Karakteristik dari lesi kistik dan solid dari vulva dapat dilihat pada Tabel 2.
Karena kelenjar Bartholin mengecil saat usia menopause, suatu pertumbuhan
massa pada wanita postmenopause perlu dievaluasi terhadap tanda tanda
keganasan, terutama bila massanya bersifat irreguler, nodular, dan keras.10
Karsinoma kelenjar Bartholin memiliki persentase sekitar 1% dari kanker
vulva, dan walaupun kasusnya jarang, merupakan tempat tersering timbulnya
adenocarcinoma. Sekitar 50% dari tumor kelenjar Bartholin adalah karsinoma
sel skuamosa. Jenis lain dari tumor yang timbul di kelenjar Bartholin adalah
adenokarsinoma, kistik adenoid (suatu adenokarsinomadengan histologis
spesifik dan karakteristik klinis), adenosquamousa, dan transitional cell
carcinoma.
Karena mungkin sulit untuk membedakan tumor Bartholin dari kista
Bartholin yang jinak hanya dengan pemeriksaan fisik, setiap wanita berusia
lebih dari 40 tahun perlu menjalani tindakan biopsi untuk menyingkirkan
kecurigaan neoplasma, dimana penyakit inflamasi jarang ditemui pada usia
tersebut. Karena lokasinya yang jauh di dalam, tumor dapat mempengaruhi
rektum dan langsung menyebar melalui fossa ischiorectalis. Akibatnya, tumor
ini dapat masuk ke dalam saluran limfatik yang langsung menuju ke kelenjar
getah bening inguinal profunda serta superficialis. Kesalahan dalam
mendiagosis keganasan Bartholin akan memberikan prognosa yang buruk,
sehingga ketepatan dan kecepatan dalam mendiagnosa sangat diperlukan.
Beberapa kondisi berikut ini dapat merupakan sugestif keganasan
kelenjar Bartholin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut
hingga biopsi:
1) Usia yang lebih tua dari 40 tahun

2) Massa yang tidak nyeri, kronis, dan bertambah besar secara progresif

3) Massa yang solid, tidak fluktuasi, dan tidak nyeri

4) Terdapat riwayat keganasan labial sebelumnya.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Apabila pasien dalam kondisi sehat, afebris; tes laboratorium darah tidak
diperlukan untuk mengevaluasi abses tanpa komplikasi atau kista. Kultur bakteri
dapat bermanfaat dalam menentukan kuman dan pengobatan yang tepat bagi
abses Bartholin.

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Beberapa jenis lesi vulva dan vagina dapat menyerupai kistaBartholin. Beberapa
diantaranya adalah:
1. Kista sebaceous pada vulva sangat sering ditemukan. Kista sebaseous ini
merupakan suatu kista epidermal inklusi dan seringkali asimptomatik.
Pada keadaan terinfeksi, diperlukan incisi dan drainase sederhana.
2. Dysontogenetic cysts merupakan kista jinak yang berisi mukus dan
berlokasi pada introitus atau labia minora. Terdiri dari jaringan yang
menyerupai mukosa rektum, dan seringkali asimptomatik.
3. Hematoma pada vulva. Dapat dibedakan dengan adanya trauma akibat
berolahraga, kekerasan.
4. Fibroma merupakan tumor solid jinak vulva yang sering ditemukan.
Indikasi untuk eksisi berupa timbulnya rasa nyeri, pertumbuhan yang
progresif, dan kosmetik.
5. Hidradenoma merupakan tumor jinak yang dapat muncul pada labia
majora dan labia minora. Perlu dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi
apabila timbul perdarahan dan diangkat bila timbul gejala.

2.7 TERAPI

Pengobatan kista Bartholin bergantung pada gejala pasien. Suatu kista


tanpa gejala mungkin tidak memerlukan pengobatan, kista yang menimbulkan
gejala dan abses kelenjar memerlukan drainase.2

Pada terapi ,selanjutnya harus dapat diangkat seluruhnya sebab dapat


menyebabkan residif .3
2.7.1 Tindakan Operatif

Beberapaprosedur yang dapat digunakan:

1. Incisi dan Drainase

Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudah
dilakukan serta memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur

ini harus diperhatikan karena ada kecenderungan kekambuhan kista atau


abses.1,5,16 Ada studi yang melaporkan, bahwa terdapat 13% kegagalan pada
prosedur ini.17
Tindakan ini dilakukan bila terjadi symptomatic Bartholin's gland abscesses .
Sering terjadi rekurensi
Cara:
Disinfeksi abses dengan betadine
Dilakukan anastesi lokal( khlor etil)
Insisi abses dengan skapel pada titik maksimum fluktuasi
Dilakukan penjahitan

2. Word Catheter

Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960an.


Merupakan sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat
digembungkan dengan saline
pada ujung distalnya. biasanya digunakan untuk mengobati kista dan
abses Bartholin.12 Panjang dari kateter karet ini adalah sekitar 1 inch
dengan diameter
No.10 French Foley kateter. Balon kecil di ujung Word catheter dapat
menampung sekitar 34 mL larutan saline (Gambar 4).

Gambar 4. Word Catheter

Adapun alat alat yang diperlukan dalam pemasangan Word


catheter tercantum pada tabel 3. Setelah persiapan steril dan pemberian
anestesi lokal, dinding kista atau abses dijepit dengan forceps kecil dan
blade no.11 digunakan untuk membuat incisi sepanjang 5mm pada
permukaan kista atau abses.2,16 Penting untuk menjepit dinding kista
sebelum dilakukan incisi, atau bila tidak kista dapat collapse dan dapat
terjadi incisi pada tempat yang salah.16 Incisi
harus dibuat dalam introitus external hingga ke cincin hymenal pada area
sekitar orifice dari duktus.10,16 Apabila incisi dibuat terlalu besar, Word
catheter dapat lepas.

Setelah insisi dibuat, Word catheter dimasukkan, dan ujung balon


dikembangkan dengan 2ml hingga 3 ml larutan saline. Balon yang
mengembang ini membuat kateter tetap berada di dalam rongga kista atau
abses (Gambar 5). Ujung bebas dari kateter dapat dimasukkan ke
dalam vagina.16 Agar terjadi epitelisasi pada daerah bekas pembedahan,
Word catheter dibiarkan di tempat selama empat sampai enam
minggu,1,10,16 meskipun epithelialisasi mungkin terjadi lebih cepat, sekitar
tiga sampai empat minggu.18 Jika Kista Bartholin atau abses terlalu
dalam, pemasangan Word catheter tidak praktis, dan pilihan lain
harus dipertimbangkan.10

Abses biasanya dikelilingi oleh selulitis yang signifikan, dan pada


kasus kasus tersebut, antibiotik diperlukan. Antibiotik yang digunakan
harus merupakan antibiotik spektrum luas untuk mengobati infeksi
polymicrobial dengan aerob dan anaerob. Dapat dilakukan kultur untuk
mencari kuman penyebab. Selama menunggu hasil kultur, diberikan
terapi antibiotic kempiris.

Pasien dianjurkan untuk merendam di bak mandi hangat dua kali


sehari (Sitz bath). Koitus harus dihindari untuk kenyamanan pasien dan
untuk mencegah lepasnya Word catheter.

Gambar 5. Pemasangan Word Catheter


Sitz bath (disebut juga hip bath, merupakan suatu jenis mandi,
dimana hanya bagian pinggul dan bokong yang direndam di dalam air
atau saline; berasal dari Bahasa Jerman yaitu sitzen yang berarti duduk.)
dianjurkan dua sampai tiga kali sehari dapat membantu kenyamanan dan
penyembuhan pasien selama periode pasca operasi.
Gambar 6. Alat yang digunakan untuk sitz bath

3. Marsupialisasi

Alternatif pengobatan selain penempatan Word catheter adalah


marsupialisasi dari kista Bartholin (Gambar 7). Prosedur ini tidak boleh
dilakukan ketika terdapat tanda tanda abses akut.1

Gambar 7. Marsupialisasi Kista Bartholin;

(Kiri) Suatu incisi vertikal dibuat pada bagian tengah kista, lalu
pisahkan mukosa sekitar; (Kanan) Dinding kista dieversi dan
ditempelkan pada tepi mukosa vestibular dengan jahitan interrupted.

Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian


anestesi lokal, dinding kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu
dibuat incisi vertikal pada vestibular melewati bagian tengah kista
dan bagian luar dari hymenal ring. Incisi dapat dibuat sepanjang 1.5
hingga 3 cm, bergantung pada besarnya kista. Berikut adalah
peralatan yang diperlukan dalam melakukantindakanmarsupialisas.

Setelah kista diincisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat
diirigasi dengan larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak denganhemostat.
Dinding kista ini lalu dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular
mukosa dengan jahitan interrupted menggunakan benang absorbable 20.18
Sitz bath dianjurkan pada hari pertama setelah prosedur dilakuka
Kekambuhan kista Bartholin setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar
510%. Komplikasi yang timbul berkaitan dengan dyspareunia, hematoma,
dan infeksi.1
4. Eksisi (Bartholinectomy)

Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien


yang tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus
dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.

Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka


sebaki nya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi
umum. Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat
insisi kulit berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada
vestibulum dekat ujung medial labia minora dan sekitar 1 cm lateral dan
parallel dari hymenal ring. Hati hati saat melakukan incisi kulit agar
tidak mengenai dinding kista.
Struktur vaskuler terbesar yang memberi supply pada kista terletak
pada bagian posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi harus
dimulai dari bagian bawah kista dan mengarah ke superior. Bagian
inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari jaringan
sekitar (Gambar 8). Alur diseksi harus dibuat dekat dengan dinding kista
untuk menghindari perdarahan plexus vena dan vestibular bulb dan untuk
menghindari trauma pada rectum.
Gambar 8. Diseksi Kista

Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan,vaskulariasi


utama dari kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu
dipotong dan diligasi dengan benang chromic atau benang delayed
absorbable 30 (Gambar 9).
gambar 9 .Ligasi pembuluh darah

Cool packs pada saat 24 jam setelah prosedur dapat mengurangi


nyeri, pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, dapat
dianjurkan sitz bath hangat 12 kali sehari untuk mengurangi nyeri post
operasi dan kebersihan luka.

2.7.2 Pengobatan Medikamentosa


Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular
seksual biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan
chlamydia. Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan
insisi dan drainase.
Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan abses bartholin:
1. Ceftriaxone
Sebuah monoterapi efektif untuk N gonorrhoeae. Ceftriaxone
adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum
terhadap bakteri

gramnegatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri grampositif, dan


efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada
satu atau lebih penicillinbinding protein, akan menghambat sintesis dari
dinding sel bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang
dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose

2. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan
antibiotik tipe bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan,
oleh sebab itu akan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menginhibisi DNAgyrase pada bakteri.
Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari

3. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara
berikatan dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri.
Diindikasikan untuk C trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari

4. Azitromisin
Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang
disebabkan oleh beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi untuk
C trachomatis. Dosis yang dianjurkan: 1 g PO 1x

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum dari abses Bartholin adalah kekambuhan.
o Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah
dilakukan drainase abses.
o Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati.
o Timbul jaringan parut.

2.9 PROGNOSIS
Jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan dicegah,
prognosisnyabaik. Tingkat kekambuhanumumnya dilaporkan kurang dari 20%.
BAB III
KESIMPULAN

Kista Bartholin dan abses Bartholin merupakan masalah umum pada wanita
usia reproduksi. Incidensnya adalah sekitar 2% dari wanita usia reproduksi. Usia
yang paling sering terserang penyakit kelenjar Bartholin adalah wanita antara usia
20 dan 30 tahun. Pembesaran kelenjar Bartholin pada pasien yang berusia lebih dari
40 tahun jarang ditemukan, dan perlu dikonsultasikan pada gynecologist untuk
dilakukan biopsi. Penyakit ini seringkali recurrence, sehingga diperlukan suatu
penanganan yang adekuat.
Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian distal
dari duktus kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga terjadi
pelebaran duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi,
dan selanjutnya berkembang menjadi abses. Abses Bartholin selain merupakan
akibat dari kista terinfeksi, dapat pula disebabkan karena infeksi langsung pada
kelenjar Bartholin.
Kista bartholin bila berukuran kecil sering tidak menimbulkan gejala. Dan bila
bertambah besar maka dapat menimbulkan dispareunia. Pasien dengan abses
Bartholin umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan bertambah secara
cepat dan progresif.
Dalam penanganan kista dan abses bartholin, ada beberapa pengobatan yang
dapat dilakukan. Dapat berupa intervensi bedah, dan medikamentosa. Intervensi
bedah yang dapat dilakukan antara lain berupa incisi dan drainase, pemasangan Word
catheter, marsupialisasi, dan eksisi. Pemilihan terapi ini disesuaikan dengan ukuran
dan keadaan kista. Jika Kista Bartholin atau abses terlalu dalam, pemasangan Word
catheter tidak praktis, dan pilihan lain harus dipertimbangkan. Prosedur seperti
marsupialisasi tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda tanda abses akut. Oleh
sebab itu, abses perlu diobati dengan pemberian antibiotik broad spectrum. Eksisi dari
kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak berespon terhadap
drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stenchever MA. Comprehensive gynecology. 4th ed. St. Louis: Mosby,


201:482 6,6456.
2. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,
Cunningham FG, "Chapter 4. Benign Disorders of the Lower Reproductive
Tract" (Chapter). Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL,
Bradshaw KD, Cunningham FG: Williams Gynecology. USA: McGrawHill
3. Elstar Offset Ginekologi edisi 2 Obstetri dan ginekologi fakultas kedokteran
Universitas padjadjaran bandung hal 115-115.
4. Hill DA, Lense JJ. Office management of Bartholin gland cysts and abscesses.J
Am Fam Physician. 1998;57:16116.161920.
5. Govan AD, Hodge C, Callander R. Gynaecology illustrated. 3d ed New York:
Churchill Livingstone, 1985:19,1956
6. Kaufman RH. Benign diseases of the vulva and vagina. 4th ed. St Louis:
Mosby, 1994:168248.
7. Stillman FH, Muto MG. The vulva. In: Ryan KJ, Berkowitz RS, Barbieri RL,
eds. Kistner's Gynecology: principles and practice. 6th ed. St. Louis:
Mosby,1995:668.
8. Visco AG, Del Priore G. Postmenopausal Bartholin gland enlargement: a
hospitalbased cancer risk assessment. Obstet Gynecol. 1996;87:28690.
9. Wilkinson EJ, Stone IK. Atlas of vulvar disease. 5th ed. Baltimore: Williams
& Wilkins, 1995:115.
10. Cheetham DR. Bartholin's cyst: marsupialization or aspiration?. Am J Obstet
Gynecol. 1985;152:56970.
11. Word B. Office treatment of cyst and abscess of Bartholin's gland duct.South
Wed J. 1968;61:5148.
12. Brook I. Aerobic and anaerobic microbiology of Bartholin's abscess. Surg
Gynecol
Obstet. 1989;169:324.
13. Landay Melanie, Satmary Wendy A, Memarzadeh Sanaz, Smith Donna M,
Barclay David L, "Chapter 49. Premalignant & Malignant Disorders of the
Vulva & Vagina" (Chapter). DeCherney AH, Nathan L: CURRENT Diagnosis
& Treatment Obstetrics & Gynecology, 10e. USA: McGrawHill
14. Saul HM, Grossman MB. The role ofChlamydia trachomatis in Bartholin's gland
abscess.
Am J Obstet Gynecol. 1988;158(3 pt 1):767.
15. MacKay H. Trent, "Chapter 18. Gynecologic Disorders" (Chapter). McPhee SJ,
Papadakis MA, Tierney LM, Jr.: CURRENT Medical Diagnosis & Treatment
2010. USA: McGrawHill
16. Peters WA. Bartholinitis after vulvovaginal surgery. Am
J Obstet Gynecol.
1998;178:11434.
17. Apgar BS. Bartholin's cystabscess: Word catheter insertion. In: Pfen inger
JL, Fowler GC, eds. Procedures for primary care physicians. St. Louis: Mosby,
1994:596600.
18. Horowitz IR, Buscema J, Woodruff JD. Surgical conditions of the vulva. In:
Rock JA, Thompson JD, eds. Te Linde's Operative gynecology. 8th ed.
Philadelphia:Lipincott Raven, 1997:8903.
19. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG, "Chapter 41. Surgeries for Benign Gynecologic Conditions" (Chapter).
Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,
Cunningham FG: Williams Gynecology. USA: McGrawHill
20. Vorvick LJ, Storck S, Zieve D: Bartholins abscess, Medline plus: [Online]. 2010
[cited 6 May 2010]. Available from:
URL:www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001489.htm
21. Schorge JO, Schaffer JI, Malvorson LM, et al. Cystic Vulvar Tumors In: Williams
Gynecology. China: Mc-Graw Hills Companies. 2008. p. 1723-1727.
22. Patil S, Sultah AH, Thakar R, et al: Bartholins Cyst and Abscess, Patient.co.uk:
[Online]. 2010 [cited 18 January 2010]. Available from:
URL:http://www.patient.co.uk/health/Bartholin%27s-Cyst-and-Abscess.htm
.
\

Anda mungkin juga menyukai