Anda di halaman 1dari 16

KERATITIS PUNGTATA SUPERFISIAL

PENDAHULUAN

Mata bagian luar adalah bagian krusial dalam tubuh yang terpapar dengan dunia
luar. Struktur dan fungsi yang normal dari mata yang sehat terkait dengan homeostasis
dari keseleruhan tubuh sebagai proteksi terhadap lingkungan yang dapat merugikan.
Segmen anterior dari bola mata memberikan jalur masuk yang jernih dan terlindungi
sehingga cahaya dapat diproses melalui jalur visual menuju susunan saraf pusat.1
Radang kornea (Keratitis) biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea yaitu
terkena seperti keratitis superfisial dan intertisial atau propunda. Keratitis dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi
terhadap yang diberikan topical dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Keratitis
akan memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa kelilipan.2
Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran seperti infiltrate halus pada
permukaan kornea. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak secara langsung pada
inspeksi, akan tetapi dapat dilihat dengan mudah dengan menggunakan slit lamp atau
loup. Lesi epithelial yang terdapat keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan opasitas
granular, abu abu atau cromblike (seperti remah roti) yang berbentuk bulat atau oval.3
Sekitar 25.000 dari penduduk Amerika Serikat mendapatkan keratitis infeksi.
Insiden dari keratitis microbial dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak rata-rata
sebanyak 2 sampai 4 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dan sebanyak 10 sampai
20 infeksi dari 10.000 pengguna lensa kontak dengan penggunaan yang berkepanjangan.4

Gambar 1: Keratitis pungtata superficial


ANATOMI DAN FISIOLOGI
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. bola mata dibagian
depan (Kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat 2 bentuk
kelengkungan yang berbeda.5
Bola mata dibungkus oleh 3 jaringan ikat, yaitu :
1. Sklera merupakan jaringan ikat kenyal dan memberikan bentuk pada mata,
merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera
disebut kornea yang bersifat transparan sehingga memudahkan cahaya masuk
kedalam bola mata. Kelengkungan pada kornea lebih besar dibandingkan pada
sklera.5
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler, yang terdiri dari iris, korpus siliaris
dan koroid. Pada iris didapatkan pupil yang terdiri oleh 3 susunan otot dapat
mengatur jumlah sinar yang masuk kedalam mata. Otot dilatator dipersarafi oleh
simpatis sedangkan sfingter iris dan otot siliaris dipersarafi oleh para simpatis.
Otot siliaris yang terletak dibadan siliaris mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan
akomodasi. Corpus siliaris yang menghasilkan humor akuos yang dikeluarkan
melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris dibatas kornea dan sklera.5
3. Lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai
sususan sebanyak 10 lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar
menjadi rangsangan pada saraf optik yang diteruskan ke otak.5

Gambar 2 : Anatomi Bola Mata

Badan kaca atau humor vitreus mengisi rongga dalam bola mata dan bersifat
gelatin yang hanya menempel pada papil saraf optik, makula dan pars pelana. Lensa

2
terletak dibelakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya oleh zonula zinii. Lensa
mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat
difokuskan di daerah makula lutea. Terdapat 6 otot penggerak bola mata dan terdapat
kelenjar lakrimal yang terletak pada daerah temporal atas dalam rongga orbita.5

ANATOMI KORNEA
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, merupakan
bagian selaput mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan.5
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
disebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea. Rata rata ketebalan
kornea pada orang dewasa adalah sekitar 0,52 mm di sentral dan 0,65 mm di perifer.
Diameter horizontal kornea rata rata orang dewasa adalah 11,75 mm dan diameter
vertikalnya rata rata 10,66 mm.6
Dari anterior ke posterior, kornea memiliki 5 lapisan yang saling berhubungan
yaitu lapisan epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel dikonjungtiva bulba),
membrana bowman, stroma, membrana descement dan endotel.5
1. Epitel, terdiri atas 5 lapisan sel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, 1
lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis
sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui dermosom dan makula
ekluden, ikatan ini menghampat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang
merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.5
2. Membrane Bowman, terletak di bawah epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian stroma. Lapisan
ini tidak mempunyai daya regenerasi.5
3. Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susuna kolagen yang sejajar 1 dengan
lainnya, pada permukaan terlihat ayaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu

3
lama yang kadang kadang sampai 15 bulan. Stroma ini adalah merupakan
sekitar 90% dari ketebalan kornea.5
4. Membrane Descement, merupakan membran aseluler dan merupakan batas
belakang stroma kornea yang dihasilkan dari sel endotel dan merupakan membran
basalnya. Membrane ini bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur
hidup.5
5. Endotel, terdiri atas 1 lapisan sel dengan bentuk hexagonal, besarnya sampai 40
60 mm. endotel tidak mempunyai daya regenerasi.5

Gambar 3 : Lapisan Kornea Normal

Suplai darah kornea berasal dari pembuluh pembuluh darah konjungtifa,


episklera dan sklera yang berakhir di sekitar limbus korneosklera. Kornea itu sendiri
bersifat avaskuler.7

FISIOLOGI KORNEA
Fungsi utama kornea adalah sebagai membrane protektif dan sebuah jendela
yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea dimungkinkan oleh
sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang sifat deturgescence
nya. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponen
komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing masing fibril kolagen
berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak
yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang

4
menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas
optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat aktif dari endotel
dan fungsi barbier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap berada pada
keadaan basah dengan kada air sebanyak 78%.7,8
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah
penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari
total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh
kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat
memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi fisus seseorang.9
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea sangat lah
sensitif. Saraf saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membrana bowman
dan berakhir secara bebas diantara sel sel epithelial serta tidak memiliki selebung
myelin lagi sekitar 2 3 mm dari limbus ke sentral kornea, sehingga menyebabkan
sensitifitas yang tinggi pada kornea.7
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi
taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan
pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet)
mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai
dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas
penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri
selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.10
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu :10
Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya
Difusi dari humor aquous
Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air
mata juga melindungi mata dari infeksi.5

5
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya inflamasi
pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes),
penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan
preparat imunosupresif topical maupun sistemik.10
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan,
oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme
pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi
antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier
terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan
lengkap.10
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan
lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang
bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah
merupakan pathogen kornea bacterial, pathogen-patogen yang lain membutuhkan
inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea.8
Ketika pathogen telah mengibvasi jaringan melalui lesi kornea superfisial,
beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu: 10
Lesi pada kornea
Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
Antibodi akan mneginfiltrasi lokasi invasi pathogen
Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi
kornea
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang
akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
Pathogen akan menginvasi seluruh kornea.

6
Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana
descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang
dimana hanya membarana descement yang intak.
Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi
dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate dan
merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan
menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan menjadi
lunak.
Penyakit ini dapat mengikuti suatu penyakit mata lainnya maupun penyakit
sistemik, seperti :2
Kelainan local seperti pada inspeksi adenovirus, herpes, moluskum , alergi,
keracunan obat miotika, penyakit new castle dan dapat ditemukan bersama -
sama dengan folikel.
Kelainan sistemik yang menyertai infeksi saluran pernafasan bagian atas
seperti yang disebabkan herpes simpleks dan adenovirus, artritis, penyakit
saluran kemih, penyakit saluran pencernaan seperti pemfigoid.

KLASIFIKASI
Keratitis dapat dibagi berdasarkan :
1. LESI KORNEA
Keratitis epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis,
dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat
(misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan pada epitel sangat
bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil,
pembuntukan filament, keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesi-lesi itu juga
bervariasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna
diagnostic yang penting dan pemeriksaan biomikroskopik dengan dan tanpa
pulasan fluorosein yang merupakan bagian dari setiap pemeriksaan mata
bagian luar.5
Keratitis Stroma

7
Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel sel radang; edema muncul sebagai penebalan
kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan perlunakan, yang dapat
berakibat perforasi; dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang spesifik bagi
penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter sering harus
mengandalkan informasi klinik dan pemeriksaan labpratorium untuk
menetapkan penyebabnya.5

Keratitis Endotelial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang mula
mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel
kemudian stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih mungkin
dilihat kelainan morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel sel radang
pada endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak selalu
menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga merupakan
manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak mneyertai keratitis
stroma.5

ORGANISME PENYEBABNYA
a. Keratitis Bakterial
Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Sejumlah
bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus epidermis,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan
haemophilus.7
Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea
masih intak. Hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epitel
korea yang intak.7
Gejala gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah,
lakrimasi dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri
sedangkan keratitis virus mempunyak sekret yang berair.7
Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal
(ofloxacin dan polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan

8
bakteri gram negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui.
Immobilisasi badan siliar dan iris oleh terapi midriasis diindikasikan jika ada
iritasi intraocular. Keratitis bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes
mata ataupun salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan
jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.7

b. Keratitis Viral
1) Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks terdapat dalam berbagai bentuk
seperti : keratitis pungtata superfilis, keratitis dendritic, keratitis profunda.
Keratitis dendritic yang disebakan oleh virus akan memberikan gambaran
spesifik berupa infiltrate pada kornea dengan bentuk seperti ranting pohon
yang bercabang-cabang dengan memberikan uji fluorescein positif nyata pada
tempat percabangan. Sensibilitas kornea nyata menurun diakibatkan karena
ujung saraf ikut terkena infeksi virus herpes simpleks. Infeksi ini biasanya
bersifat reinfeksi endogen. Infeksi primer berjalan tanpa gejala klinis atau sub
klinis. Virus pada infeksi primer masuk melalui akson saraf menuju ganglion
dan menetap menjadi laten. Bila penderita mengalamin penurunan daya tahan
tubuh seperti demam maka akan terjadi rekurensi.7
Gejala keratitis virus herpes simpleks sangat nyeri, fotopobia, lakrimasi
dan edema palpebral. Bentuk keratitis virus herpes simpleks dibedakan
berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea. Keratitis dendritic mempunyai
khas lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun dan dapat
berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal ini mempunyai epitel
yang intak, pada pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea
disirformis sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena virus
herpes simpleks terdapat pada humor aquos yang menyebabkan
pembengkakan sel endotel. Dan sindrom nekrosis retinal akut mengenai bola
mata bagian posterior yang terlibat pada pasien imunokompromis (AIDS).7
Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti IDU trifluoritimidin dan
asiklovir. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena
gejala akan sangat berkurang akan tetapi proses berjalan trus karena daya
tahan tubuh yang berkurang.7

9
2) Keratitis Herpes Zoster
Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster
pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian
pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus
ini, maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan
pada herpes zoster akan mengakibatkan terdapatkan vesikel pada kulit. Pada
mata akan terasa sakit dengan perasaan yang berkurang (anastesia dolorosa).
Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian analgetika, vitamin dan
antibiotik topical atau umum untuk mencegah infeksi sekunder.7

c. Keratitis Jamur
Pathogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida albicans.
Mekanisme yang sering adalah trauma terkena bahan - bahan organic yang
mengandung jamur seperti ranting pohon. Pasien pada umumnya
mengeluhkan gejala yang sedikit. Pada inspeksi didapatkan mata merah, ulkus
yang berbatas tegas dan dapat meluas menjadi ulkus kornea serpiginuous.
Pada pemeriksaan slitlamp menunjukkan infiltrate stroma yang berwarna
putih keabuan, khusuhnya jika penyebabnya adalah candida albicans. Lesi
lesi yang lebih kecil berkelompok mengililingi lesi yang besar membentuk lesi
satelit. Indentifikasi mikrobiologi jamur sulit dan memakan waktu.
Pengobatan konservatif berupa anti nikotik topikal seperti natamycin, nystatin
dan amphoterisin B, sedangkan tindakan pembedahan berupa keratoplasti jika
dengan pengobatan konservatif gagal dan keadaan makin memburuk dalam
perawatan.7

d. Keratitis Akantamoeba
Gejalanya berupa pasien mengeluh nyeri, fotopobia dan lakrimasi.
Pasien sering mempunyai riwayat beberapa minggu atau bulan tidak berhasil
dengan pengobatan antibiotik. Dari inspeksi menunjukkan mata merah
unilateral biasanya tidak mempunyai secret. Infeksi dapat membentuk
infiltrate pada sub epitel, opasasifikasi disiformis intrasstromal pada kornea
atau abses kornea yang membentuk cincin.7
Amoeba air tawar ini menyebabkan keratitis infeksi. Infeksi ini menjadi
lebih sering terjadi seiring dengan peningkatan penggunaan lensa kontak

10
lunak. Terjadi keratitis yang nyeri dengan tonjolan saraf kornea. Amoeba
dapat diisolasi dari kornea (dan dari lensa kontak) dengan kerokan dan
dikultur dalam media khusus yang dipenuhi dengan Escherichia coli.7

Gejala Klinis
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien yang
terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat
mengeluhkan adanya rasa nyeri, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia,
penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan blefarosspasma.5
Oleh karena korea memiliki banyak serat serat saraf, kebanyakan lesi kornea
baik supervisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia. Nyeri
pada keratitis diperparah degan pergerakan dari palpebral (umunnya palpebral
superior) terhadap kornea dan biasanya menetap hingga terjadi penyembuhan karena
kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan cahaya, lesi kornea sering
kali mengakibatkan penglihatan menjadi kabur, terutama ketika lesinya berada
dibagian central.8
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi epithelia
multiple sebanyak 1 50 lesi (rata rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi epithelia
yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan bintik bintik
kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi di daerah pupil.
Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di inspeksi secara langsung, tetapi
dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah diberi flouresent.2
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi tidak
pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks. Walaupun
umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi reaksi minimal
seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.3

Diagnosis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang
datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia)
dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini biasanya
diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan

11
interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi inflamasi dari epitel
kornea dan membrane bowman superfisial terkait.7
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada pasien
yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan
melihat tanda tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial, perubahan
epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga erosi,
pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal, respon
struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada
edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.8
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis
dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat
menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan
inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi
yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara
memindahkan cahaya dengan hati hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area yang
kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat.8
Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata epithelial atau
Thygensons desease merupakan salah satu tipe inflamasi atau peradangan pada
kornea mata dengan hilangnya epitel kornea. Lesinya berupa pungtata yang terlihat
seperti titik titik meskipun dapat juga berupa dendritic dengan gambaran linier dan
bercabang. Karateristik dengan tidak adanya jaringan parut sisa dan jarang
menyisakan penglihatan.8
Keadaan yang meyebabkan penyakit ini dapat berupa infeksi mata (virus,
bakteri) maupun noninfeksi seperti :
Abnormalitas air mata
Reaksi imun
Denervasi
Distrofi
Trauma kimia ringan
Lensa kontak
Reaksi terhadap pengobatan sistemik, dll

12
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan air mata
yang berlebihan. Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada
daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik titik abu abu yang
kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini, tergantung factor penyebabnya.
Pengguna kortikosteroid topikal terbukti dapat mengurangi gejala.8
Larutan floresens diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan menggunakan
slit lamp ataupun dengan iluminasi terang dan melihat menggunakan loup. Hal
tersebut dapat memberikan gambaran defek epithelial. Pola distribusi flouresensi
yang spesifik dapat sebagai informasi yang berguna dalam menegakkan kemungkinan
etiologi dan keratitis pungtata superfisial.10
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble yang
tersedia dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik
(benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun dalam
zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens akan
menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang berbentuk makroulseratif
(positive stanining) dan dapat memberikan gambaran akan lesi yang tidak bebrbekas
melalui film air mata (negative staining). Floresens yang terkumpul dalam sebuah
defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma kornea dan tampak dengan
warna hijau pada kornea.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultu dari flora kornea dilakukan
selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya akan
tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan
menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan
periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.10
Penatalaksaan / Terapi
Terdapat beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis pungtata
superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artifisial
seringkali adekuat pada kasus kasus yang ringan. Air mata artifisial dapat
mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata. Mereka

13
tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih, pembilas
dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superfisial untuk
membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air mata.11
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien,air mata artifisial dengan
viskositas berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada
pasien dan diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat
pemaparan (exposure keratitis ), jel atau krim dengan viskositas yang tinggi
digunakan karena waktu retensinya yang panjang.8
Lensa kontak terapeutik yang lunak dapat digunakan sebagai lubrikasi alternative
pada beberapa kasus yang berat, walaupun komplikasi potensial (seperti keratitis
microbial) dapat terjadi. Lensa kontak memperbaiki gejala dengan menutupi lesi
kornea dan saraf yang secara konstan mengalami fraksi dengan konjungtiva selama
berkedip.10
Sekitar 90% dari inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Selain itu epitel yang
tidak intsk dapat sebagai jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea. Penanganan
diawali dengan antibiotik topikal dengan aktivitas broad spectrum terhadap
kebanyakan organisme Gram-positif dan Gram-negative hingga hasil kultur dan tes
sensitifitas diketahui. Regimen awal yang diberikan termasuk aminoglycoside dengan
cephalosporin generasi pertama setiap 15-30 menit. Seringkali digunakan
ciprofloxacin 0,3% yang meberikan percepatan waktu rata rata penyembuhan dan
penururnan terapi dibandingkan terapi konvensional.8
Penggunaan kortikosteroid topikal masih kontroversial dikarenakan
penggunaannya pada infeksi virus dan jamur dikontraindikasikan. Akan tetapi
kortikosteroid sistemik dapat mencegah perforasi kornea dan pembentukan jaringan
parut pada kornea.3
Antibiotik sistematik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera akibat infeksi
atau didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Levofloxacin maupun
ofloxacin memiliki penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan pemberian oral.5
Tidak perlu untuk menangani pasien hingga seluruh lesi di kornea hilang. Akan
tetapi penanganan dilaksanakan hanya hingga pasien dapat mencapai titik
kenyamanan.5

14
Prognosis
Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika tidak
terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode
penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan
keratitis pungtata superfisial sangat baik. Parut ringan pada kornea dapat timbul pada
kasus kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung lama.1

Daftar Pustaka

1. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Structure dan Function of the External Eye dan
Cornea. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal Science Cources
: External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American Academy of
Ophthalmology ; 2007. p.5-14
2. Doggart JH. Superficial Punctate Keratitis [online]. 1933 [cited 2011 July]; [1
screen]. Available from URL:http://bjo.bmj.com/cgi/pdf_extract

15
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu
Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. H 147-78
4. Mills TJ. Corneal Ulceration and Ulcerative Keratitis [online]. 2008 [cited 2011
July]; [4 screen]. Available from
URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/798100
5. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
6. Riordan-Eva. Anatomy and embryology of The Eye. In : Vaughan D,Asbury T,
Riordan-Eva P. general Ophthalmology. 15th edition. Connecticut; Appleton &
lange; 1999. p. 1-26
7. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual
of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams
& Wilkins; 2002. p. 67-129
8. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General
Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41
9. Skuta GL,Cantor LB,Weiss JS. Clinical Approach to Immune-Related Disorders
of the External Eye. In : Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal
Science Cources : External Disease dan Cornea 2008-2009. Singapore : American
Academy of Ophthalmology ; 2007. p.205-41
10. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2 nd
edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
11. Duszak RS. Thygeson Superficial Punctata Keratitis [online]. 2008 [cited 2011
July]. Available from
URL:http://www.emedicine.medscape.com/article/1197335

16

Anda mungkin juga menyukai