Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Derajat kesehatan yang optimal dapat dilihat dari unsur kualitas hidup serta

unsurunsur mortalitas dan yang mempengaruhinya, yaitu morbiditas dan status gizi.

Keadaan gizi yang baik adalah syarat utama untuk mewujudkan sumber daya manusia

yang berkualitas dalam pembangunan kesehatan. Tujuan pembangunan kesehatan

menuju Indonesia Sehat 2025, adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang melalui terciptanya masyarakat, bangsa

dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku

dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata di seluruh wilayah Republik

Indonesia (Depkes RI, 2009).

Menurut UNICEF (United Nation of Children and Education Federation)

Masalah gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan yang

dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia (UNICEF

2009), Oleh karena itu, persoalan ini menjadi salah satu butir penting yang menjadi

kesepakatan global dalam MDGs (Milleneum Development Goals). Setiap negara

secara bertahap harus mampu mengurangi jumlah balita bergizi buruk atau gizi

kurang mencapai 15,5 persen pada tahun 2015.

1
Universitas Sumatera Utara
2

Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk dimana manifestasi

terburuk dapat menyebabkan kematian. Masalah gizi buruk dan gizi kurang

nampaknya belum dapat teratasi dengan baik dalam skala internasional maupun

nasional, tercatat 101 juta anak di dunia dibawah lima tahun menderita kekurangan

gizi (UNICEF, 2013).

Permasalahan gizi ini di Indonesia juga merupakan salah satu persoalan utama

dalam pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan kompleksitas

kependudukan yang sangat beraneka ragam, Indonesia dihadapi oleh dinamika

persoalan gizi buruk (Ares, 2006). Walaupun proses pembangunan di Indonesia telah

mampu mengatasi persoalan ini, tetapi dilihat dari kecenderungan data statistik,

masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan terutama yang menyangkut persoalan

balita gizi kurang.

Masa balita merupakan masa keemasan kedua bagi anak. Pertumbuhan balita

pada masa ini tidak bertumbuh sepesat saat masa bayi, tetapi kebutuhan nutrisi

mereka tetap merupakan prioritas utama dalam perkembangan seorang anak (Sutani,

2008). Menurut Soegeng (2009) ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka

balita termasuk dalam golongan masyarakat kelompok rentan gizi, yaitu kelompok

masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini

mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat. Akibat dari kurang

gizi ini kerentanan terhadap penyakit infeksi dapat menyebabkan meningkatnya

angka kematian balita.

Universitas Sumatera Utara


3

UNICEF tahun 1998 menyatakan bahwa krisis ekonomi, politik, sosial

merupakan akar permasalahan gizi kurang, sedangkan penyebab langsung adalah

ketidakseimbangan antara asupan makanan yang berkaitan dengan penyakit infeksi.

Kekurangan asupan makanan membuat daya tahan tubuh sangat lemah, memudahkan

terkena penyakit infeksi, ditambah dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk,

sehingga menyebabkan gizi kurang (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan model yang di kembangkan Unicef 1998, penyebab kurang gizi

(malnutrition) disebabkan oleh beberapa faktor, penyebab kurang gizi secara

langsung di pengaruhui oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara

kuantitas maupun kualitas. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh

jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai,

kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di

tingkat rumah tangga (UNICEF, 1998).

Pola asuh anak sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan

anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa

dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang

cukup dan memadai. Kekurangan gizi dapat menimbulkan gangguan tumbuh

kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus

dibawa sampai anak menjadi dewasa. Pada masa ini juga, anak masih benar-benar

tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan kesehatan dan

makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak.

Secara lebih spesifik, kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan

Universitas Sumatera Utara


4

pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan perkembangan otak dan dapat

pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi

(Soegeng, 2009).

Beberapa hasil penelitian terkait dengan status gizi, yaitu hasil penelitian

Mahgoub et al. (2006) di Botswana menyimpulkan malnutrisi secara signifikan

(p<0,01) lebih tinggi di antara anak laki-laki dari pada anak perempuan. Anak balita

yang dibesarkan oleh orang tua tunggal cenderung mengalami gizi kurang secara

signifikan (p<0,01) daripada anak balita yang tinggal bersama kedua orang tua.

Prevalensi gizi kurang menurun secara signifikan (p<0,01) jika pendapatan keluarga

meningkat. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin rendah tingkat gizi

kurang. Praktik pengasuhan anak seperti pemberian ASI ditemukan mengurangi

terjadinya gizi kurang pada anak balita.

Hasil penelitian Devi (2010) menyimpulkan faktor yang paling dominan

berhubungan dengan status gizi adalah jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu.

Jenis kelamin, umur balita, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua,

dan jenis pekerjaan orang tua berhubungan dengan status gizi balita di pedesaan.

Hasil penelitian Kusriadi (2010) menyimpulkan bahwa faktor yang berpengaruh

terhadap gizi kurang pada anak balita adalah status ekonomi keluarga yang tergolong

miskin berisiko meningkatkan kurang gizi 1,3 kali, perilaku higienis ibu yang kurang

baik berisiko sebesar 1,4 kali, adanya penyakit infeksi pada anak balita berisiko

sebesar 1,8 kali.

Universitas Sumatera Utara


5

Hasil penelitian Saputra dan Nurizzka (2012) menyimpulkan bahwa masih

banyak anak balita yang memiliki gizi buruk di Sumatera Barat dimana prevalensi

gizi buruk sekitar 17,6% dan gizi kurang sekitar 14%. Kemiskinan dan tingkat

pendidikan orang tua merupakan faktor utama penyebab balita menderita gizi buruk

dan gizi kurang. Hasil penelitian Zulfadli (2012) menyimpulkan bahwa pola asuh

makan dan pola asuh kesehatan berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Pola

asuh makan lebih dominan memengaruhi status gizi anak balita.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan prevalensi gizi kurang pada

balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% tahun 2007

menurun menjadi 17,9% tahun 2010 kemudian meningkat menjadi 19,6% tahun

2013. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk, yaitu dari 5,4% pada tahun

2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa

setiap tahun selama periode 2010-2013 ada peningkatan jumlah gizi kurang dan gizi

buruk (Kemenkes RI, 2013).

Provinsi Sumatera Utara yang terdiri atas 33 kabupaten/kota memiliki angka

prevalensi balita gizi buruk dan kurang pada tahun 2013 sebesar 22,4% yang terdiri

dari 8,3% gizi buruk dan 14,1% gizi kurang. Angka ini lebih tinggi 2,8% dengan

angka prevalensi gizi berat dan kurang secara nasional, yaitu 19,6%. Prevalensi gizi

kurang dan gizi buruk sebesar 22,4% di Sumatera Utara masih termasuk dalam

kategori tinggi. Dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara, 17 provinsi memiliki

prevalensi gizi berat dan kurang di atas angka prevalensi provinsi, yaitu berkisar

antara 22,6% di kabupaten Serdang Bedagai sampai 41,4% di kabupaten Padang

Universitas Sumatera Utara


6

Lawas. Angka prevalensi gizi buruk dan kurang tertinggi terdapat pada 3 (tiga)

kabupaten, yaitu Kabupaten Padang Lawas sebesar 41,4%, Nias Utara sebesar 40,7%

dan Nias Barat sebesar 37,5%. Sedangkan berdasarkan sasaran MDGs 2015

prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita sebesar 15,5% (Dinas Kesehatan

Provinsi Sumatera Utara, 2015).

Satu hal penting yang perlu diperhatikan untuk mempertajam identifikasi akar

masalah gizi buruk dan kurang, yaitu adanya fakta bahwa kasus gizi buruk dan

kurang tidak selalu terjadi pada keluarga miskin atau yang tinggal di lingkungan

miskin. Begitu juga sebaliknya, tidak selamanya pada lingkungan yang tidak rawan

gizi atau lingkungan yang baik selalu ditemukan bayi, balita, dan anak dengan

keadaan gizi baik. Secara epidemiologis kasus gizi buruk dan kurang ini merupakan

landasan ilmiah untuk penyusunan kebijakan gizi kesehatan masyarakat yang

difokuskan pada peningkatan kesehatan melalui gizi untuk pencegahan primer,

pengendalian, dan penanganan penyakit terkait gizi.

Kota Medan merupakan salah satu bagian wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Kota Medan tahun 2013 sebesar 19,3% yang

terdiri dari 4,2% gizi buruk dan 15,1% gizi kurang. Angka prevalensi ini mendekati

angka nasional, yaitu sebesar 19,6%. Sedangkan berdasarkan sasaran MDGs 2015

prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita sebesar 15,5%, angka prevalensi ini

termasuk dalam kategori tinggi (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2015).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumatera Utara tahun

2015, Kota Medan mendapat ranking kedua (2) kasus balita gizi buruk terbanyak di

Universitas Sumatera Utara


7

Sumut dengan jumlah 113 kasus, setelah Kabupaten Asahan yang berjumlah 117

kasus. Tahun 2015 balita yang menderita gizi buruk di Provinsi Sumatera Utara

mencapai 1.152 kasus. Jumlah tersebut sedikit menurun dibanding 2014, yakni 1.196

kasus. Selain Kota Medan dan Asahan ada beberapa kabupaten/kota lagi yang angka

kasus gizi buruknya tinggi, yaitu Kota Gunung Sitoli 76 kasus, Langkat 72 kasus,

Nias Barat 71 kasus, Mandailing Natal 62 kasus, Dairi 55 kasus, Serdang Bedagai 52

kasus, Batubara 49 kasus, Tapanuli Tengah 43 kasus .

Puskesmas Glugur Darat, Kecamatan Medan Timur merupakan salah satu

puskesmas dari 39 Puskesmas di Kota Medan yang memiliki kasus gizi buruk dan

kurang pada balita masih tinggi, yaitu dengan prevalensi sebesar 9,93%. Berdasarkan

hasil pemantauan status gizi di Puskesmas Glugur Darat Tahun 2014 ditemukan

kasus gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 59 balita, terdiri dari 3 balita gizi buruk

dan 56 balita gizi kurang. Tahun 2015 kasus gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 21

balita, terdiri dari 4 balita gizi buruk dan 17 balita gizi kurang meskipun Kecamatan

Medan Timur merupakan wilayah perkotaan. Menurut Depkes RI (2008) besarnya

masalah gizi kurang pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat secara epidemiologi jika prevalensi gizi kurang >5%.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian

tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Gizi Kurang pada Anak Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016.

Universitas Sumatera Utara


8

1.2 Permasalahan

Kasus gizi kurang pada anak balita masih relatif tinggi di Wilayah Kerja

Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur dan kajian komprehensif tentang

faktor-faktor apa saja yang memengaruhi gizi kurang pada anak balita masih terbatas.

Sedangkan informasi tersebut dibutuhkan dalam menyusun kebijakan dan program

perbaikan gizi masyarakat yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur

Darat Kecamatan Medan Timur.

1.4 Hipotesis

Karakteristik ibu anak balita (pengetahuan, pekerjaan, pendapatan keluarga,

jumlah anggota keluarga), dan Pola asuh (asuh makan, asuh kesehatan) berpengaruh

terhadap kejadian gizi kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan

Medan Timur.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi puskesmas, sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan program

penanganan gizi dan merencanakan program penanggulangan gizi anak balita.

2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

3. Bagi ibu balita, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai