Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Allah SWT yang diberikan
kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Karenanya hak untuk mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat adalah sama bagi semua manusia bahkan mahluk hidup yang ada
didunia. Dibalik kesamaan hak tersebut, tentunya adalah kewajiban semua manusia juga untuk
menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup ini. Kewajiban disini menjurus kepada semua
tindakan,usaha,dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun secara
berkelompok guna menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Hal ini perlu dan wajib untuk
dilaksanakan karena kondisi lingkungan hidup dari hari ke hari semakin menunjukkan penurunan
kualitas yang cukup signifikan.
Tidak hanya terjadi di Indonesia saja, masalah pencemaran dan pengrusakan lingkungan
hidup telah menjelma menjadi sebuah isu global yang diyakini secara Internasional. Kondisi ini
tentu saja memaksa tiap-tiap negara didunia untuk memberikan kadar perhatian yang lebih dari
biasanya terhadap masalah pencemaran dan pengrusakan Lingkungan hidup ini. Salah satu cara
yang dilakukan oleh dunia Internasional adalah melalui bentuk-bentuk kerjasama antar negara
termasuk mengadakan pertemuan-pertemuan Internasional terkait dengan masalah lingkungan
hidup. Dimulai dengan pertemuan Stockholm 1972 sampai dengan saat ini,dunia Internasional
telah sepakat menempatkan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu permasalahan
Internasional yang mendesak untuk diselesaikan. Karena memang dampak yang diberikan
sebagai akibat dari pengrusakan dan pencemaran Lingkungan Hidup ini telah mulai dirasakan
oleh jutaan umat manusia didunia dan hal ini juga diyakini akan berdampak sangat buruk pada
generasi dunia dimasa mendatang. Kerusakan Lingkungan Hidup memang dapat terjadi secara
alami dalam bentuk bencana dan sebagainya,namun juga dapat terjadi sebagai akibat dari ulah
manusia yang tidak mau dan tidak mampu untuk menjaga kelestarian fungsi Lingkungan
Hidupnya sendiri.

1
Indonesia sendiri tidak mau ketinggalan dalam memikirkan permasalahan Lingkungan Hidup
ini. Menurut Emil Salim, ada tiga sebab utama mengapa Indonesia merasa perlu menangani
masalah Lingkungan Hidup secara sungguh-sungguh,yaitu :
Kesadaran bahwa Indonesia sulit menanggapi masalah Lingkungan hidup sendiri;
Keharusan untuk mewariskan kepada generasi mendatang,bahwa sumber daya alam yang
biasa diolah secara berkelanjutan dalam proses pembangunan jangka panjang;
Alasan yang sifatnya idiil,yaitu untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya
(Salim,1980:23).
Kondisi ini disebabkan karena pada kenyataannya masih banyak sekali ditemukan berbagai
pencemaran dan pengrusakan Lingkungan Hidup yang terjadi di negara kita ini.Untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan terhadap pihak yang telah melakukan pencemaran
dan pengrusakan Lingkungan Hidup tersebut dilakukan melalui jalur hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di Negara Indonesia. Dalam hukum negara
Indonesia sendiri,masalah sengketa Lingkungan Hidup dapat diselesaikan dengan beragam cara.
Dimulai dari penyelesaian melalui jalur peradilan maupun diluar jalur peradilan,mulai dari
pelanggaran secara Pidana sampai dengan bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan secara
Perdata. Beragam cara ini memberikan kesempatan dan pilihan kepada warga negara untuk
menentukan proses hukum terkait dengan berbagai bentuk kegiatan pencemaran dan
pengrusakan Lingkungan.
Berbagai cara telah diupayakan oleh pemerintah termasuk dengan memperbaiki instrument-
instrumen hukum terutama yang terkait dengan Lingkungan Hidup. Salah satu produk hukum
terbaru yang disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-undang yang mulai berlaku sejak
Oktober 2009 dan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140
ini menggantikan peran dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ini diyakini memiliki tingkat
kelengkapan dan pembahasan yang lebih komprehensif jika dibandingkan dengan UU No 23
tahun 1997,ini dikarenakan masih banyak celah-celah hukum yang ditinggalkan oleh UU No 23
tahun 1997 tersebut. Salah satu hal yang paling dinanti dari penerapan UU No 32 tahun 2009 ini
adalah pada konteks penyelesaian masalah pencemeran dan pengrusakan Lingkungan

2
Hidup,tentang bagaimana bentuk penyelesaiannya sampai dengan berbagai ancaman pidana
terhadap para pelanggarnya

B. MASALAH
1. Penegakan Hukum pidana lingkungan
2. Penyelesaian Hukum secara pidana

C. TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang
penegakan hukum pidana lingkungan dan penyelesaian hukum pidana

D. MANFAAT
Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang
penegakan hukum pidana lingkungan dan penyelesaian hukum secara pidana

3
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Hukum pidana


Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa
yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

A. Penegakan hukum pidana lingkungan

Penegakan hukum tidak identik dengan penerapan undang-undang, melainkan sarat dengan
muatan perilaku sehingga menjadi fariabel. Maka dari itu nilai-nilai sosial budaya dan setiap
perilaku manusia perlu diperhatikan dalam upaya penegakan hukum.

Faktor nilai-nilai sosial budaya dan perilaku serta sikap manusia perlu diperhatikan untuk
memperoleh gambaran yang lebih benar mengenai hukum dan upaya penegakannya. Oleh
karenanya hukum harus dipandang sebagai suatu sistem, yang terdiri dari struktur hukum,
substansi hukum dan budaya hukum.

Perundang-undangan (legal substance) memang merupakan unsur sistem hukum, akan tetapi
sistem hukum itu tidak terdiri dari perundang-undangan belaka melainkan juga termasuk struktur
hukum (legal structure) yaitu lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif. Budaya hukum
(legal culture) berupa sikap manusia terhadap hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya
hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang
bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (a dead fish lying in a basket, not a living fish
swimming in its sea)

Hukum berfungsi mengatur, juga berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengamanan,


pelindung dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif, fleksibel, melainkan juga

4
prediktif dan antisipatif. Potensi hukum ini terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum
yaitu fungsi preventif dan fungsi represif.

Fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang dituangkan dalam bentuk pengaturan
pencegahan yang pada dasarnya merupakan disain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan
masyarakat yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk resiko dan pengaturan
prediktif terhadap bentuk penanggulangan resiko itu. Sedangkan represif adalah fungsi
penanggulangan, yang dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap
kerusakan keadaan yang disebabkan oleh resiko tindakan yang terlebih dahulu telah ditetapkan
dalam perencanaan tindakan itu.

Tindak pidana lingkungan dapat dikategorikan sebagai administrative penal law atau public
welfare offences yang memberikan kesan ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi
hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma
hukum administrasi. Dengan demikian keberadaan tindak pidana lingkungan sesungguhnya
bergantung kepada hukum lain. Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa pentingnya
lingkungan hidup yang sehat dan baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka
ketentuan khusus (specific crimes) perlu dilengkapi tindak pidana lingkungan yang bersifat
umum dan mandiri terlepas dari hukum lain (generic crimes).

Kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata tetapi juga yang
bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum.
Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali tidak seketika timbul dan tidak dengan
mudah pula untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan itu generic crimes yang relatif berat
sebaiknya dirumuskan sebagai tindak pidana materil, dalam hal mana akibat merupakan unsur
hakiki yang harus dibuktikan. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes)
yang melekat pada hukum administratif yang relatif lebih ringan, maka perumusan yang bersifat
formal tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan.

Pengaturan generic crimes yang bersifat delik materil diatur dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 dalam pasal 41, 42. Sedangkan specific crimes diatur
dalam pasal 43 dan 44 yang bersifat delik formal. Di samping itu diatur pula tentang corporate

5
crimes dan corporate criminal liabilty diatur pada pasal 45, 46 dan 47. Sedangkan dalam pasal
48 dinyatakan dengan tegas bahwa semua ketentuan pidana tersebut adalah merupakan
kejahatan.

Penegakan hukum pidana lingkungan, mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai
dalam pemidanaan, yaitu : Pertama, Untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan
moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang, Kedua, Mencegah atau menghalangi
perilaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap
lingkungan hidup.

Dalam hal ini benar-benar harus dipertimbangkan bahwa pelaku harus diberi tindakan untuk
mengganti sepenuhnya keuntungan ekonomis yang diperoleh pelaku sebagai hasil tindak
pidananya dan mengganti sebahagian dan seluruhnya biaya-biaya penyidikan dan perbaikan
kembali dari berbagai kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh perbuatan pelaku.

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdayaguna bagi
masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum
yang tercapai suatu keadilan.

Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan. Hukum itu tidak
identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Barangsiapa merusak lingkungan harus dihukum : Setiap orang yang merusak
lingkungan harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang merusak. Jika kita menghukum
orang yang telah merusak lingkungan, maka pada saat yang sama kita melindungi pelestarian
lingkungan itu. Dengan demikian kita memelihara struktur ekonomi sosial masyarakat.
Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai
keadilan saja, tetapi harus berisikan nilai kegunaan/manfaat dan kepastian, misalnya apa yang
kita rasakan adil belum tentu berguna/bermanfaat, begitu juga sebaliknya. Kita tidak dapat
menilai sahnya suatu hukum dari sudut keadilan atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus
memperhatikan nilai-nilai kegunaan/manfaat dalam masyarakat. Seandainya dalam penegakan
hukum pidana lingkungan, kita lebih cenderung berpegang pada nilai keadilan, maka sebagai

6
nilai ia segera menggeser nilai-nilai kepastian dan kegunaan. Maka dalam hal ini, upaya
penegakan hukum itu perlu adanya keserasian dan keseimbangan dari ketiga nilai hukum
tersebut. Kesenjangan yang terjadi diantara ketiga nilai tersebut akan menimbulkan keresahan
dalam masyarakat.

Kondisi yang diresahkan masyarakat saat ini tidak semata-mata terletak pada ketidak puasan
terhadap praktek peradilan, tetapi justru ketidak puasan terhadap penegakan hukum dalam arti
luas, yaitu penegakan seluruh norma/tatanan kehidupan bermasyarakat. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa ketidakberesan (ketidakbenaran, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan,
praktek pilih kasih dan sebagainya) di bidang politik, sosial ekonomi, dan sebagainya. Inilah
yang justru paling meresahkan masyarakat. Diharapkan penegakan hukum pidana lingkungan
harus dapat memperhatikan berbagai nilai dasar hukum, substansi, struktur dan budaya hukum.

a. Ruang lingkup hukum pidana lingkungan hidup

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


mengatur tentang tindak pidana dalam pasal 41 sampai dengan pasal 48. Disamping
undang-undang ini, ada pula perundang-undangan pidana lingkungan yang diatur dalam
undang-undang sektoral, yaitu antara lain:

a. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960.

b. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha-Usaha Bagi


Umum.

c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan.

d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia


(ZEEI).

e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

f. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

7
g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (disebut Undang-Undang Konservasi Hayati).

h. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

i. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

b. Asas-Asas umum dalam hukum pidana lingkungan hidup

Asas-asas umum yang berlaku dalam hukum pidana lingkungan antara lain dikemukakan
oleh Muladi sebagai berikut:

1. Asas legalitas (principle of legality)

Asas ini terkandung di dalam asas kepastian hukum dan kejelasan dan ketajaman
dalam merumuskan peraturan hukum pidana, khususnya sepanjang berkaitan dengan
definisi dari kejahatan lingkungan dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar sipelaku
mentaati normanya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi dengan segala
persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah adanya korban, dan kerugian
yang jelas dalam rumusan norma hukumnya.

2. Asas pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

Asas ini menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan sampai mengorbankan


hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat dan
baik.

3. Asas pencegahan (the precautionary principle)

Asas ini mengaskan bahwa apabila terjadi bahaya atau ancaman terjadinya kerusakan
yang serius dan irreversible maka kekurang sempurnaan kepastian ilmiah jangan
dijadikan alasan untuk menunda cost effective measures dalam rangka mencegah
terjadinya degradasi lingkungan hidup.

8
4. Asas pengendalian (principle of restraint)

Asas ini merupakan salah satu syarat kriminalisasi yang menyatakan bahwa sanksi
pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi perdata dan sanksi
administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk
menangani tndak pidana tertentu. Dalam hukum pidana dikenal asas subsidiaritas
atau ultima rasio principle atau asas ultimum remedium.

Pelaksanaan peradilan administrasi dan hukum pidana (double sanctioning) tidak akan
merupakan nebis in idem untuk itu sebaiknya dilakukan setelah mempertimbangkan tingkat
kesalahan pelaku dan berat ringannya kerusakan terhadap lingkungan akibat tindak pidana yang
dilakukan. Dalam hal ini keberadaan PNS mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penegakan hukum pidana lingkungan.

c. Subjek dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Rumusan Tindak Pidana Lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 selalu
diawali dengan kata-kata barangsiapa. Hal ini dapat ditafsirkan sama dengan pengertian
orang. Namun, dalam pasal 1 butir 24 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang
adalah perseorangan dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum.

Dilain pihak, dapat ditemukan pasal yang mengatur tentang pertanggung jawaban badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Baik berdasarkan hubungan kerja
maupun hubungan lain, yang bertindak dalam badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka
yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain melakukan tindak pidana
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa subjek
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana lingkungan adalah orang dan korporasi
(badan hukum) baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Hal ini berarti tuntutan
pidana harus mencantumkan pasal 55 KUHP (Delneming). Dalam hal tindak pidana dilakukan

9
oleh korporasi/ badan hukum dan sebagainya, pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan
terhadap:

a. badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut

b. mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak
sebagai pemimpin, atau

c. kedua-duanya.

Pertanggungjawaban pidana lingkungan didasarkan adanya unsur kesalahan dari pelaku,


karena dalam rumusan substansi tindak pidana lingkungan selalu tercantum adanya unsur
sengaja atau kealpaan/kelalaian, maka dalam hal ini berlaku asas tiada hukuman tanpa
kesalahan (genstrafzondesculd), artinya seorang tidak dapat dihukum tanpa dapat dibuktikan
adanya kesalahan dalam diri pelaku.

Dengan adanya unsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana lingkungan menganut prinsip liability based on fault
(pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan). Bertolak dari azas kesalahan, maka dalam
pertanggungjawaban pidana lingkungan, seolah-olah tidak dimungkinkan pertanggungjawaban
mutlak (strict liability atau absolute liability), walaupun ada pendapat bahwa strict liability tidak
selalu berarti sama dengan absolute liability. Secara teoritis sebenarnya dimungkinkan adanya
penyimpangan terhadap asas kesalahan, dengan menggunakan prinsip/ajaran strict liability atau
vicarious liability. Terlebih memang tidak mudah membuktikan adanya kesalahan pada delik-
delik lingkungan dan kesalahan pada korporasi/badan hukum, kecuali diperlakukan pembuktian
terbalik.

d. Penyidik Pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup


Penyidik yang berwenang terhadap tindak pidana lingkungan adalah Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah

10
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Kewenangan penyidik tersebut adalah berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang :

a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan


tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,


pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang lingkungan hidup.

f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas tindak pidana di bidang
lingkungan hidup.

Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil wajib memberitahukan kepada Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia sebelum mereka melakukan penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia. Berdasarkan ketentuan ini, kedudukan Penyidik Pengawai Negeri Sipil adalah sangat
strategis karena dapat melakukan penyidikan sendiri secara langsung dengan mekanisme, bahwa
sebelum melakukan penyidikan, harus memberitahukan kepada Penyidik Polri dan berkewajiban
untuk menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polri.
Tetapi perlu diingat, bahwa kemampuan teknis Penyidik Pengawai Negeri Sipil harus
ditingkatkan, karena untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan tidak hanya dibekali

11
pengetahuan tentang tindak pidana lingkungan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997, tetapi harus juga memahami ketentuan pidana lingkungan yang berada di luar
undang-undang tersebut, misalnya undang-undang pidana umum, undang-undang kehutanan,
undang-undang pokok agraria, undang-undang hygiene untuk usaha-usaha bagi umum, undang-
undang zona ekonomi ekslusif Indonesia, undang-undang perindustrian, undang-undang
perikanan, undang-undang konservasi hayati, dan lain sebagainya.

Pemahaman terhadap substansi hukum pidana lingkungan, adalah merupakan pisau analisis
untuk melakukan penyidikan, sehingga dapat diketahui dengan jelas tentang hal-hal apa yang
perlu diarahkan dalam penyidikan agar penyidikan dapat berlaku efektif dan efisien.

e. Ketentuan Pidana Lingkungan Hidup

Ketentuan Pidana Lingkungan Hidup dirumuskan dalam 4 pasal yang intinya sebagai
berikut :

1. Pasal 41 ayat (1) :

secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan


pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) tersebut, Tindak Pidana Lingkungan terbagi 2 (dua), yaitu :

a. Pencemaran lingkungan hidup (environtmental pollution) yang dilakukan secara


melawan hukum dan dengan sengaja.

b. Perusakan lingkungan hidup (environtmental damage) yang dilakukan secara


melawan hukum dan dengan sengaja.

Perumusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dalam rumusan Pasal 41 ayat (1)
tersebut, dirumuskan adanya unsur melawan hukum, namun tidak dijelaskan secara rinci
tentang apa yang disebut melawan hukum tersebut.

12
Di samping itu, perumusan deliknya dirumuskan sebagai delik material, bukan sebagai delik
formil. Hal ini berarti bahwa ketentuan ini baru dapat dikenakan kepada tersangka yang
melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan apabila telah menimbulkan akibat.

2. Pasal 1 butir 14

Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung


atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatnya yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Apabila pengertian/perumusan di atas dirinci, terlihat unsur-unsur yang sangat luas, yaitu:

Pencemaran lingkungan hidup (Environtmental Pollution) menurut Pasal 1 butir 12


mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain
ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia;

sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan


hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.

Perusakan lingkungan hidup (Environtmental Damage) menurut Pasal 1 butir 14


mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

tindakan;

yang menimbulkan perubahan (langsung/tidak langsung) terhadap sifat fisik dan/atau


hayatnya.

yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang


pembangunan berkelanjutan.

Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dalam Pasal 41 ayat (1) ini diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00

13
(lima ratus juta rupiah). Menurut ayat (2)-nya, ancaman pidana diperberat menjadi 15 (lima
belas) tahun penjara dan denda Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) apabila
mengakibatkan orang mati atau luka berat.

Berdasarkan keputusan Hoge Raad, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum tertulis yaitu

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (melalaikan sesuatu yang: (a) melanggar
hak orang lain (b) bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu
(c) bertentangan dengan baik kesusilaan maupun azas-azas pergaulan masyarakat mengenai
penghormatan diri orang lain atau barang orang lain).

Orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, pada dirinya harus mengandung
unsur kesalahan (schuld) yang juga berlaku dalam arti kealpaan/culpa dan kesengajaan/dolus.
Dengan demikian, pengertian kesalahan mencakup pengertian kesalahan dalam arti sempit dan
pengertian kesalahan dalam arti luas, yaitu disamping adanya unsur kealpaan dan kesengajaan,
orang tersebut harus mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid).

Dalam teori hukum pidana dikenal adanya 2 (dua) jenis kealpaan yaitu :

1. Kelalaian yang disadari (beweste culpa)

2. Kelalaian yang tidak disadari (on beweste culpa)

Maka dalam hal ini perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah tersangka/ terdakwa telah
melakukan kelalaian yang disadari atau kelalaian yang tidak disadarinya. Hal ini untuk
menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Apabila dapat
dibuktikan tersangka/terdakwa telah melakukan kelalaian yang disadari maka perbuatannya
dapat dikualifikasikan sebagai yang disengaja atau setidak-tidaknya dikategorikan sengaja
berinsaf kemungkinan, misalnya tersangka pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan telah
menginsafi bahwa perbuatannya itu akan menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan
dan mengetahui juga ada kemungkinan akan terjadi suatu akibat yang menimbulkan mati atau

14
luka berat tetapi ia tetap juga melakukan perbuatannya meskipun ia tidak menghendaki kedua
akibat itu terjadi, namun dalam hal ini perbuatan tersangka/terdakwa dapat dikategorikan telah
melakukan kelalaian yang disadari (beweste culpa) atau dapat juga dikategorikan sebagai
perbuatan sengaja berinsaf kemungkinan (doulus evantualis).

3. Pasal 42 ayat 1:

karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau


perusakan lingkungan hidup.

Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dalam pasal ini merupakan delik culpa/kelalaian.
Pasal 42 ayat (1) di atas dinyatakan sebagai kejahatan, diancam penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (sistem kumulatif) yang dapat
diperberat menurut ayat (2)-nya menjadi 5 (lima) tahun penjara dan denda Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) (sistem kumulatif) apabila mengakibatkan orang mati atau luka
berat.

4. Pasal 43 :

Dalam pasal 43 ayat (1) dirumuskan unsur-unsur tindak pidana lingkungan adalah sebagai
berikut :

(1) melanggar perundang-undangan yang berlaku dengan sengaja;

(2) sengaja melepaskan atau membuang zat/energi/komponen lain yang berbahaya atau
beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, atau air permukaan;

(3) melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut;

(4) menyimpan dan menjalankan instalasi yang berbahaya;

15
(5) mengetahui, menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang
lain.

(6) diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda sebanyak-banyaknya 300 juta.

Unsur-unsur tindak pidana yang dirumuskan pada ayat (2) adalah sebagai berikut :

(1) sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau
merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1);

(2) padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan
kesehatan umum atau nyawa orang lain.

Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dalam Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) di atas
diancam dengan pidana yang sama yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Ancaman pidana ini menurut ayat (3) dapat
diperberat menjadi pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp.
450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah), apabila mengakibatakan orang mati atau
luka berat.

5. Pasal 44 ayat (2) :

Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dalam pasal ini merupakan delik culpa terhadap
delik yang dirumuskan dalam Pasal 43. Ancaman pidananya berupa pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (ayat 1),
dan dapat diperberat menjadi pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah), apabila mengakibatkan orang mati atau luka berat.

Memperhatikan perumusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) dalam Pasal 43 dan
Pasal 44 di atas, terlihat bahwa kedua tindak pidana itu dirumuskan sebagai delik formil.
Rumusan pidana delik baru yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini

16
adalah dikualifikasikan sebagai kejahatan tidak seperti ketentuan pidana Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1982, yang membedakan Tindak Pidana Lingkungan Hidup (TPLH) berupa kejahatan
dan pelanggaran.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 telah mengatur adanya pasal khusus
yang mengatur tentang pertanggungjawaban terhadap korporasi yaitu berupa : badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya yang diatur dalam Pasal 45 dan
Pasal 46.

f. Jenis Sanksi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Jenis sanksi tindak pidana lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
adalah :

a.Hanya digunakan pidana pokok berupa penjara dan denda, karena tindak pidana
lingkungan dalam undang-undang ini hanya dikualifikasikan sebagai kejahatan.

b. Sanksi tindakan tata tertib yang dapat dikenakan kepada pelaku/subjek berupa
orang/badan hukum, berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

b. penutupan perusahaan (seluruhnya/sebagian); dan/atau

c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau

e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 secara tegas tidak ada menyebut adanya pidana
tambahan. Namun, dapat ditafsirkan bahwa bentuk tindakan berupa perampasan keuntungan
dan penutupan perusahaan pada hakekatnya dapat dikelompokkan pada pidana tambahan.

17
Perampasan keuntungan merupakan perluasan dari perampasan barang yang diatur dalam
KUHP. Penutupan perusahaan merupakan perluasan dari pidana tambahan berupa pencabutan
hak karena penutupan perusahaan dapat mengandung di dalamnya pencabutan hak/ izin
berusaha.

Menjadi permasalahan adalah apakah tindakan tata tertib itu dapat juga diperlakukan
terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup di luar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
Apabila Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tersebut berlaku sebagai payung, maka
seyogyanya tindakan tata tertib itu pun berlaku pada tindak pidana lingkungan hidup yang diatur
dalam perundang-undangan sektoral. Tetapi sangat disayangkan tidak ada rambu-rambu
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa sanksi
tindakan itu dapat diberlakukan juga untuk semua tindak pidana lingkungan hidup di luar
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, kecuali dalam Pasal 50 ditegaskan bahwa pada saat
berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Ketentuan ini dapat ditafsirkan dalam dua
penafsiran yang berbeda :

1. Bahwa sepanjang perundang-undangan lingkungan sektoral belum diganti sesuai dengan


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, maka ketentuan mengenai sanksi tindakan tata
tertib belum dapat diterapkan di luar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

2. Dapat ditafsirkan semua ketentuan tindak pidana di luar Undang-Undang Nomor 23


Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku sepanjang bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997. Jadi sanksi tindakan tata tertib dapat diterapkan dalam tindak
pidana di luar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

B. Penyelesaian hukum secara pidana

Penyelesaian hukum lingkungan tidak hanya dapat diselesaikan dengan instrumen hukum
perdata maupun hukum administrasi saja, melainkan dapat pula menggunakan instrumen hukum
pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat terakhir). Artinya

18
instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam penyelesaian sengketa
hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam suatu kasus kejahatan
maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula langsung menggunakan
instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu kejahatan yang
berdampak besar atau extraordinary crime. Dengan demikian instrumen hukum pidana ikut pula
dalam ruang lingkup penyelesaian sengketa hukum lingkungan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai alasan pertama mengenai hukum lingkungan dengan hukum
pidana ialah dalam hukum lingkungan tidak hanya mengatur mengenai pertanggung jawaban
lingkungan akan tetapi juga mengenai pertanggungjawaban sosial, sehingga hukum pidana juga
ikut berperan dalam mengatur pertanggung jawaban di hukum lingkungan terutama yang
berkaitan dengan pertanggung jawaban sosial.
Terdapat alur penyelesaian sengketa mulai dari penyidikan, pembuktian maupun gugatan
dalam perspektif hukum pidana. Alur dari perspektif hukum pidana tidak hanya terdapat dalam
Kitab Undang Undang Pidana saja melainkan salah satunya aturan yang memuat alur
perspektif hukum pidana adalah undang undang no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan AMDAL, kemudian undang undang no 7 tahun 2004
tentang sumber daya air yang khusus menangani masalah berkaitan dengan hukum lingkungan
yang berkaitan dengan sumber daya air . Akan tetapi dalam pembahasan makalah ini yang
nantinya akan dibahas lebih dalam ialah mengenai ketentuan segala hal instrumen pidana yang
berkaitan dengan undang undang no. 32 tahun 2009.
Dalam penegakkan hukum lingkungan yang terdapat dalam Undang Undang no 32 tahun
2009 menyebutkan bahwa terdapat empat pihak yang memiliki hak untuk menggugat apabila
terjadi pelanggaran terhadap hukum lingkungan, yaitu pihak pemerintah, masyarakat, orang dan
pihak organisasi lingkungan hidup. Empat pihak tersebut memiliki hak yang berbeda seperti
yang terdapat dalam pasal 90, 91, dan 92 undang undang no 32 tahun 2009, sehingga keempat
pihak tersebut telah jelas mendapatkan hak untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku tindakan
kejahatan terhadap lingkungan hidup.
Adapun pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran atau
kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2 undang undang no. 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup. Menurut pasal tersebut secara
garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah dapat meminta ganti rugi dan tindakan

19
tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup.
Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur
lebih dalam dengan Peraturan Menteri.
Adapun pihak lain yang berhak mengajukan gugatan adalah masyarakat yang pada dasarnya
seperti yang tercantum dalam pasal 91 undang undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan
dan pengelolahan lingungan hidup memiliki hak untuk mewakili kelompok untuk kepentingan
diri sendiri dan atau kepentingan masyarkat apabila mengalami kerugian.
Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan yang mengatasnamakan
pihak masyarakat yaitu
1. harus terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di
antara wakil kelompok dan anggota kelompok.
2. pihak organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi ia tidak berhak meminta ganti
rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Adapun sebelum mengajukan gugatan, organisasi lingkungan hidup harus memenuhi
syarat syarat sebagai berikut;
a. Berbentuk badan hukum.
Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat dua tahun.
3. setiap orang yang pada prinsipnya dapat mengajukan gugatan berkaitan dengan
pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin kegiatan terhadap suatu usaha atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL maupun UKL/UPL, serta
tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara pengajuan gugatan terhadap
keputusan tata usaha negara mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara.

a. Penerapan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia


Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun 2009 melengkapi dari
undang-undang sebelumnya, sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun
2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui

20
pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat 1). Pada bagian kedua tentang penyelesaian
sengketa Lingkungan Hidup diluar pengadilan,dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :
1. Bentuk dan besar nya ganti rugi;
2. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau peruskan;
3. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau
perusakan; dan/atau
4. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep
Alternative Dispute Resolution (ADR),yang dilakukan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi.
Dan pada bagian inilah peran Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang mediator dalam
pelaksanaan mediasi. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk
hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32
Tahun 2009 dan terdiri dari :
1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
2. Tanggung Jawab Mutlak
3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah
4. Hak Gugat Masyarakat
5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
6. Gugatan Administratif
Akan tetapi dibalik ini semua,UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas
Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Yang mana penerapan
asas ini,hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran
baku mutu air limbah,emisi,dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata, Hak gugat pemerintah dan pemerintah
daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentuk-
bentuk pengamalan konsep axio popularis,class action dan legal standing.Konsep-konsep ini
merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya.Penerapan hukum perdata
ini juga diikuti dengan berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat olehpemerintah bisa

21
dilakukan oleh Kejaksaan,pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh orang atau
sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang harus memenuhi
persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 ini.Ancaman
hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup komprehensif,misalkan
mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan perdata yang mengancam
setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,baik
perseorangan,korporasi,maupun pejabat.Contoh yang paling konkret adalah porsi yang diberikan
pada masalah AMDAL.Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur mengenai AMDAL,tetapi
pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU No
23/1997,yakni hilangnya dampak besar.Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat pada
undang-undang terbaru ini antara lain:AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
1. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen
AMDAL;
2. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
3. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;
4. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Wali kota sesuai
kewenangannya.

Selain hal-hal yang disebutkan diatas,ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU
No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait pelanggaran
bidang AMDAL. Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa :
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki
sertifikat kompetensi;
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Upaya penegakan hukum pidana lingkungan, harus juga meliputi penegakan hukum dalam
arti luas. Tentunya hal ini membawa konsekuensi, bahwa upaya peningkatan kualitas
pembangunan dan penegakan hukum tidak semata-mata menjadi tanggung jawab para aparat
penegak hukum, lembaga pengadilan, dan lembaga pendidikan tinggi hukum, tetapi juga
seyogyanya menjadi pusat perhatian dan tanggung jawab semua aparat dan pemegang peran di
seluruh bidang kehidupan (pemerintahan, politik, ekonomi, perdagangan, perbankan, pertahanan-
keamanan dan sebagainya).

Tindak pidana lingkungan dapat dikateorikan sebagai administratif penal law atau pulic
welfare offences. Kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya bersifat nyata tetapi juga
bersifat ancaman kerusakan yang potesial baik terhadap lingkungan hidup ataupun kesehatan
umum. Dengan demikian delik pidana lingkungan dapat berupa delik materil atau disebut dengan

23
generic crimes dan delik formil disebut sebagai specific crimes namun keduanya dikategorikan
sebagai tindak pidana kejahatan.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini kami dapat lebih mengetahui bagaimana penerapan hukum
pidana dalam pelanggar terhadap hukum lingkungan. Maka dari tiu di sarankan kepada
pemerintah utuk lebih mempertegas hukum lingkungan pada setiap pelanggar. Untuk
mahasiswa jurusan kesehatan lingkungan di harapkan dengan adanya makalah ini kita dapat
lebih memahami tentang hukum lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan


Kejahatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1993.

Lawrence M. Friedman, American Law, New York : W. Norton & Company, 1984.

Muladi, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan


Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, Dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume
1/Nomor I/1998, Jakarta : Citra Adi

24
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986.

Sudikno Merto Kusumo, Bab-bab tentang penemuan hukum, Jogyakarta : PT. Citra Aditya
Bakti, 1993.

sumber : http://suflasaint.blogspot.com/2010/04/pengertian-hukum-pidana.html

Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup. Dan undang- undang nomor 23 tahun 2009 pengelolaan lingkungan hidup
dan amdal.

25

Anda mungkin juga menyukai